Internet mengubah cara orang berkomunikasi. Inadia Aristyavani dalam artikelnya yang mengutip Profesor Terry Flew dari Queensland University of Technology membuat komparasi cara komunikasi antara era sebelum dan sesudah adanya internet.
Era komunikasi massa atau era sebelum internet terjadi pada abad 20 dan dinamakan Komunikasi 1.0. Televisi menjadi media dominan pembentuk perubahan era itu. Sedangkan era internet yang membiak pada awal abad 21–dijuluk sebagai Komunikasi 2.0—mengacu kepada internet sebagai media perubahannya.
Menurut Flew, internet mengubah bentuk media menjadi lebih sederhana. Media saat ini dikelola dengan sedikit pekerja dan berbiaya murah. Berbeda sebelumnya yang sangat kompleks dan mahal.
Dalam proses penentuan isi media, pihak media yang menentukannya sendiri. Sekarang, dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan khalayak. Penentuan topik utama memperhatikan apa yang dipandang penting oleh publik.
Hubungan media juga menjadi personal yang melibatkan konsumen yang mulanya impersonal dan anonim. Dari sana muncullah interaksi antara media dan konsumen.
Internet juga mengubah orang dalam mengunyah informasi yang semula hanya dari sedikit televisi atau media massa menjadi banyak dari mana saja sesuai fragmentasinya. Kini, publik memiliki alternatif media yang lebih beragam.
Inilah yang menyebabkan media daring bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Lalu satu per satu media arus utama yang tidak ikut atau terlambat berubah kemudian tumbang.
Bagi media massa seperti koran dan majalah yang terbit masih dalam versi cetaknya mereka segera mencari sekoci penyelamat untuk menghindarkan diri dari kematian dengan berpindah format penerbitan menjadi daring.
Kita bisa melihat The Washington Post, Newsweek, Reader Digest. atau semacam tabloid legendaris di tanah air. Tabloid Bola tidak terbit dalam versi cetak atau pun daringnya. Sama sekali tutup. Dari sanalah kemudian semestinya Intax becermin.
Sebagai majalah internal Intax masih banyak yang harus dibenahi. Terutama untuk menggapai hajat utamanya: memenuhi kebutuhan informasi tentang jeroan dan apa yang sedang berdetak di jantung organisasi besar Direktorat Jenderal Pajak kepada seluruh pegawainya.
Pada 2018 kita berkaca. Dua prestasi ditorehkan Intax dengan mendapatkan Silver Winner di ajang Indonesia inhouse Magazine Awards (InMA) 2018 dan Silver Winner di Indonesia Content Marketing Awards (ICMA) 2018 untuk kategori majalah internal pemerintahan.
Prestasi yang diikuti dengan catatan-catatan muhasabah. Jadwal terbit Intax yang masih molor menjadi catatan pertama. Kita senantiasa merencanakan Intax untuk terbit tepat waktu, namun kendala-kendala muncul menghambat Intax untuk berlari kencang. Terutama sekali adalah kebutuhan kontributor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang masih belum mencukupi.
Salah satunya disebabkan dinamisasi organisasi melalui mutasi yang menyebabkan Intax kehilangan banyak kontributor andalnya. Walaupun demikian mereka tetap menjadi kontributor jarak jauh Intax yang menyuplai informasi dari daerah.
Keberadaan kontributor di setiap direktorat menjadi penting karena Intax ingin pegawai pajak di seluruh Indonesia tahu tentang apa yang dilakukan oleh direktorat itu. Mereka menjadi peliput yang menghimpun informasi dari masing-masing direktorat. Memenuhinya tidak mudah, selain kemampuan menulis juga kemampuan memenuhi tenggat yang telah ditetapkan.
Maka perekrutan kontributor menjadi hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Pelatihan dan lokakarya mesti segera diselenggarakan. Kemudian membuat sistem pengendalian yang dapat berjalan untuk memitigasi molornya waktu penerbitan.
Sistem mentoring oleh redaktur atau kontributor senior bisa dijalankan. Masing-masing mentor yang membawahi kontributor baru sekaligus menjadi editor konten. Mentor bertanggung jawab terhadap pemenuhan tenggat dari para mentee-nya
Selain itu, keberadaan narasumber yang belum memprioritaskan Intax dalam kepentingan utama mereka menjadi catatan lainnya. Padahal Intax bisa menjadi kanal efektif dalam penyebaran informasi kepada internal.
Apalagi saat ini, ketika Direktorat Jenderal Pajak sedang menjalankan proses perubahannya melalui Reformasi Perpajakan. Di mana masing-masing direktorat yang ada di Kantor Pusat ikut terlibat dalam proses perubahan tersebut. Di titik itulah Intax punya peran untuk mengabarkan kerja yang telah dilakukan dalam setiap direktorat itu.
Selanjutnya yang menjadi catatan adalah tingkat keterbacaan Intax. Apakah Intax benar-benar sudah menjangkau ke seluruh pegawai atau tidak? Selama ini Intax ditautkan di laman internal situs web P2humas yang hanya menjadi tempat pendokumentasian. Seringnya Intax disebarkan via aplikasi percakapan seperti Whatsapp.
Perlu dipertimbangkan untuk menyebarkan Intax melalui email blast entah dengan melampirkan Intax dalam format pdf atau tautan Google Drive. Yang terpenting Intax dengan berbagai cara bisa sampai ke genggaman tangan pembaca. Layak dicoba untuk membuat Intax dalam format mobil di aplikasi Android sehingga pembaca dapat membaca Intax kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Terkait pemenuhan kebutuhan pembaca maka yang menjadi catatan lanjutannya adalah apakah Intax sudah benar-benar mengetahui apa yang diinginkan pembacanya? Di sinilah perlu adanya survei untuk mengukurnya.
Dari sana kemudian kita mengetahui rubrik-rubrik mana yang disukai pembaca atau diperlukan pembenahan. Karena seperti Flew ingatkan, kembali kepada Komunikasi 2.0, penentuan topik memperhatikan partisipasi publik. Tidak lagi dari medianya itu sendiri.
Apa yang kita lakukan saat ini belum terwujud, sekadar kata-kata dan menulis risalah. Meskipun demikian itu lebih baik daripada tidak bergerak atau tak berpikir sama sekali atau bahkan tidur.
Kita berharap, di era internet yang lebih maju lagi, era disrupsi ini, Intax tidak menjadi Tabloid Bola. Karena per non dormire, tidur tak akan membawa hasil.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13 Januari 2019
Artikel ini ditulis untuk dan telah dimuat di majalah internal Direktorat Jenderal Pajak: Intax Edisi Desember 2018