Chubbyrock, ini kucing kampung, jantan, tua-tua keladi, dan bulunya berwarna oranye. Mata kanannya berkabut, jejak luka seusai berkelahi mixed martial arts sesama kucing. Makanya kalau jalan, kepalanya selalu miring ke kanan.
Tubuhnya juga banyak bekas cedera. Entah seberapa banyak pertempuran jalanan yang telah ia lalui, entah dalam rangka memperebutkan betina atau mempertahankan daerah kekuasaannya.
Olehnya, rumah kami sering dijadikan base camp, home base, safe house, atau apalah engkau sebut.
Kalau ia kupanggil, ia datang. Seberapa pun jauh atau dekatnya. Pernah sewaktu petang, saat pulang dari kantor, di atas motor aku melihatnya sedang berjalan ke gang sebelah. Kupanggil ia. Seketika ia mendongak, mencari sumber suara, lalu lari menujuku serupa anjing Lassie di film-film itu.
Lalu ia akan mendekatiku dan menggosok-gosokkan kepalanya di kakiku. Ia tahu siapa saja di rumah kami, yang memiliki jantung serupa Telaga Sarangan buatnya.
Ia tak akan membiarkan pintu rumah terbuka, kecuali ia akan masuk dan segera berlari menuju dapur kami. Lalu ia diam sejenak di bawah meja makan.
Kalau kami lengah, ia akan menaikkan dua kaki depannya ke bibir tempat sampah lalu dengan memanfaatkan berat tubuh dan gravitasi bumi ia mampu menggulingkan tempat sampah itu.
Setelahnya, ia akan berpesta-pora mengacak-acaknya dan mencari sisa-sisa makanan. Kalau beruntung, ia mendapat jackpot potongan daging ikan dan ayam utuh. Kenyanglah ia.
Sewaktu tudung saji yang menutupi masakan di atas meja rusak dan belum diganti, Chubbyrock mampu memasukkan kepalanya melalui sela-sela tudung saji dan menikmati potongan ayam yang ada di sana. Luar biasa kucing garong ini. Sungguh terlalu.
Tetapi yang lebih keterlaluan lagi, ia juga sering kencing sembarangan. Aku tahu ia tak punya otak seperti manusia apalagi pernah makan bangku sekolahan. Padahal tiada kucing jantan lain yang masuk ke rumahku kecuali dia. Lalu untuk apa ia tetap berkhuluk seperti itu untuk menandai daerah kekuasaannya?
Perlu diketahui, jantan yang manutan dan mau dielus-elus di sepanjang Jalan Puri Lestari Raya itu hanya Chubbyrock. Lainnya penakut. Tiada hendak dielus kecuali engkau mendapatkan cakaran yang tak senonoh dan semestinya.
Kautahu ciri-ciri ia akan kencing itu? Pertama, ia mencium-cium atau tepatnya mengendus-endus objek yang akan dikencingi dengan moncongnya. Kedua, menggosok-gosokkan kepala di objek yang akan dikencingi. Ketiga, mengarahkan bagian belakang tubuhnya tepat di dekat objek sasaran. Keempat, suuur. Kalau dilihat-lihat ya sekitar empat tetes saja sih.
Ia kencing di pintu, di tumpukan buku, di pot, di tempat sampah, di dinding, di gorden, bahkan di kakiku yang berlapis sarung. Yang terakhir ini, padahal ia sedang kupanggil dari ruang depan, malah dengan santai ketika datang ia menghujaniku dengan air seninya yang tak berkesenian itu.
Apa yang kulakukan? Mengelus dada sendiri, menyemprotnya dengan air supaya ia keluar, lalu mengepel supaya najisnya enggak ke mana-mana. Dibentak-bentak juga dia mah woles bae.
Paling-paling yang bisa kulakukan agar ia tidak kencing sembarangan adalah menjaga supaya ia tak masuk ke dalam rumah. Kalaupun ia sudah berada di dalam rumah, mata kudu waspada saja agar ia tidak menunjukkan tingkah mencurigakan.
Kalaupun gejala akan menandai sudah ada, segera aku meneriakinya. Hush…hush…!!! Dan membopongnya keluar. Seringkali aku terlambat. Begitulah Chubbyrock.
Namun pagi tadi, kehidupan bentala yang seharusnya sentosa dan hangat dengan sinar matahari, tiba-tiba mendadak bersengkarut. Bagaimana tidak coba? Aku melihat sesuatu yang mencengangkan.
Waktu itu aku bergegas turun dari commuter line di Stasiun Cawang menuju tempat mangkalnya bus Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB).
Tentu aku harus melewati terowongan yang panjangnya kurang lebih 40 meter itu. Ratusan orang melewati jalan sempit yang hanya pas untuk dua orang berpapasan. Tepat di samping jalan sempit adalah rel kereta. Yang membatasi pejalan kaki dengan rel itu adalah pagar kawat di sepanjang terowongan.
Nah, saat aku menuju terowongan, aku terkejut, sampai mengucap permohonan ampun kepada Tuhan. Aku melihat seorang pria bersetelan rapi dan bersepatu pantofel sedang berkemih di samping jalan masuk terowongan. Padahal banyak orang sedang berlalu-lalang menuju dan ke luar dari Stasiun Cawang.
Volume cairan sisa yang diekskresikan ginjal milik pria itu jelas lebih banyak ratusan kali lipat dari empat tetes milik Chubbyrock. Membasahi dinding. Banyak, banyak, dan banyak. Sungguh-sungguh.
Aku segera memalingkan wajah. Aku pun tak melihat ia bergetar sebagai respons tubuh terhadap panas yang keluar dari tubuh saat melakukannya.
Lagi-lagi aku mengelus dada sendiri, tak bisa berteriak “Hush! Hush! Hush!” sekuat tenaga, dan tak bisa membopongnya, atau mengguyurnya dengan air.
Apakah ia penumpang commuter line atau salah satu dari kumpulan orang-orang yang sedang menunggu di atas Jembatan Cawang yang kebelet dan tak bisa menahan berkemih? Padahal ada toilet di Stasiun Cawang.
Ah, aku jadi teringat kepada guru mengajiku waktu SMA dulu. Ia yang mengajariku kitab kuning Sulamuttaufik dan Safinatunnajah di bawah lampu bohlam musala yang taram-temaram.
Sampai sekarang aku masih mengingatnya bagaimana ia menunjukiku cara mencuci “perkakas” sehabis kencing dengan rinci dan detil hingga kau tak mampu mendengarkannya tanpa betul-betul membayangkannya.
Ia yang berpesan kepadaku untuk berhati-hati dalam bersuci. Karena kita bukan Chubbyrock, beradab dan berhati-hati dalam beristinja memang selayaknya ada.
Ah, sudahlah. Aku masih berharap, esok hari, di kolong Jembatan Cawang, di tempat pria itu berkemih, tak ada yang memaku spanduk bertuliskan: “Tuhan, tolong cabut nyawa orang yang kencing di sini.”
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
3 April 2018