Anisa kewalahan dengan adu teriak di antara dua anaknya. Dentuman pertengkaran yang tiada henti di setiap hari, di setiap waktu makan, di setiap saat. Hingga suatu ketika seorang peninjau datang dan mengevaluasi semuanya. Diketahui kalau Muthia, anak sulungnya, selalu memulai pertengkaran dengan keisengan memukul Fathiya, sang adik. Tapi sebenarnya tidak selalu. Juga yang penting adalah sikap Anisa sendiri yang ternyata memicu kedua anaknya untuk tidak mematuhi nasihat Anisa. Mengapa ini bisa terjadi?
Jawaban peninjau itu adalah karena Anisa seorang ibu yang tidak konsisten memberi arahan dan menghentikan tindakan sulung. Anisa kadang melakukan, kadang tidak. Anisa juga tidak memberi perlakuan yang sama ketika Fathiya melakukan keisengan yang tiada berbeda kepada kakaknya. Ini yang dilihat Muthia sebagai perlakuan yang tidak adil.
Pungkasan, ternyata ketika Muthia mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan pemukulan kepada Fathiya, Anisa tidak mendengar, mengabaikan, dan tidak memberikan kesempatan kepada Muthia untuk menjelaskan. Lalu bagaimana Anisa akan mendapatkan rasa hormat dari Muthia? Bagaimana Anisa akan mampu menghentikan Muthia agar tidak memukuli adiknya? Saat itulah saat terburuk ketika prinsip legitimasi tidak ditegakkan.
Friedrich Schneider, seorang Profesor dari Johannes Kepler University of Linz, pada tahun 2010 pernah menulis sebuah makalah yang berjudul The Influence of The Economic Crisis on the Underground Economy in Germany and other OECD Countries in 2010.
Makalah itu menggambarkan ukuran ekonomi bawah tanah dari 21 Negara OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) mulai tahun 1989 hingga 2010. Ukuran ini dinyatakan dengan persentase terhadap Produk Domestik Bruto masing-masing negara.
Dari 21 negara itu, Amerika, Swiss, Austria, Jepang, dan Selandia Baru menduduki lima peringkat teratas dengan persentase terendah di tahun 2010. Amerika dengan poin 7,8. Sedangkan Italia dan Yunani menduduki peringkat terbawah dengan angka masing-masing 22.2, dan 25,2. Angka rata-rata ekonomi bawah tanah di 21 negara OECD itu adalah 14.
Semakin tinggi angka ukuran ekonomi bawah tanah menandakan tingginya aktivitas ekonomi baik legal ataupun ilegal yang tidak dapat dipajaki. Dapat dicatat, ini berarti Italia dan Yunani adalah negara-negara yang warga negaranya tidak taat hukum dan membayar pajak. Sedangkan pembayar pajak dari Amerika sampai Selandia Baru itu adalah pembayar pajak yang lumayan jujur.
Pertanyaannya adalah mengapa Amerika jauh lebih taat hukum dalam hal pajak dibanding Yunani? Mengapa warga Amerika tidak berbuat curang? Malcolm Gladwell dalam catatannya di buku yang berjudul David and Goliath—ditulis di tahun 2013—menyebutkan penyebabnya. Ini karena warga Amerika berpikir sistem Amerika mempunyai legitimasi. Artinya orang menerima otoritas ketika melihat bahwa otoritas memperlakukan semua orang dengan setara, ketika orang bisa bersuara dan didengar, dan ketika ada kanun yang menjamin bahwa besok perlakuan tak akan sangat berbeda dengan hari ini. Legitimasi didasarkan pada keadilan, suara, dan prediktabilitas, dan pemerintah Amerika Serikat, meski masih dikeluhkan warga Amerika, masih memenuhi ketiga standar ini.
Di Yunani, lanjut Gladwell, ekonomi bawah tanahnya tiga kali lebih besar secara relatif di banding Amerika Serikat. Tapi itu bukan karena orang Yunani tak sejujur orang Amerika. Itu karena sistem Yunani kurang memiliki legitimasi dibanding sistem Amerika. Yunani adalah salah satu negara paling korup di Eropa. Aturan pajaknya berantakan. Orang kaya membuat perjanjian yang istimewa dengan orang dalam; dan jika Anda dan saya—kata Gladwell—hidup di negara yang sistem pajaknya jelas-jelas tak punya legitimasi—di mana tak ada yang adil, dan suara kita tak didengar, dan aturan bisa berubah setiap hari—kita juga tak bakal bayar pajak.
Dunia menyaksikan kelanjutan dari apa yang ditulis oleh Schneider dan Gladwell. Tepat pada tanggal 30 Juni 2015, juru bicara Menteri Keuangan Yunani, Yanis Varoufakis menegaskan bahwa tidak ada pembayaran utang kepada IMF (International Monetary Fund) untuk hari itu. Yunani tegas menyatakan bangkrut.
Dari dua cerita di atas, kebutuhan tiga prinsip legitimasi inilah yang mengemuka, yakni ada suara bawah yang berbicara dan didengar, hukum di masa depan yang tidak berubah dengan yang ada pada saat ini, dan otoritas yang adil. Lalu apa pentingnya prinsip ini buat kita dalam sebuah otoritas yang bernama Direktorat Jenderal Pajak?
Pada jangka pendek tentunya ada pada saat Amnesti Pajak yang sebentar lagi akan berakhir. Ada suara yang menyeruak dari wajib pajak yang mengikuti Amnesti Pajak. Suara keresahan yang tidak hanya terdengar ketika Undang-undang Pengampunan Pajak ini mulai diberlakukan bahkan ketika masanya tinggal menyisakan satu bulan lagi.
Pintalan keresahan itu berupa sangkaan akan kuasa otoritas yang hanya mengobok-obok wajib pajak yang telah mengikuti Amnesti Pajak dengan beleid Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak sebagai senjatanya. Suara ini akankah lahap didengar? Jika menegasikan, maka prinsip yang meminta suara arus bawah didengar terabaikan.
Sekaligus menegaskan kalau-kalau wajib pajak yang tidak mengikuti Amnesti Pajak bahkan memperoleh rente yang berlipat-lipat. Maka ketidakadilanlah yang kemudian tampak di cakrawala benak kesadaran wajib pajak yang taat hukum dan telah mengikuti Amnesti Pajak. Prinsip kesetaraan yang menjadi tereliminasi. Dan jangan lupa, sekaligus pada asas kepastian hukum yang tercederai. Afdal sudah. Untuk itu kita perlu mengedau bersama, sekarang juga: tidak!
Prinsip legitimasi ini menjadi perigi kepercayaan mereka kepada kita. Ini sebuah iktikad untuk tidak menjadi Anisa dan Yunani di tengah semua sengkarut itu. Apakah kita memiliki legitimasinya? Waktu yang akan menjawab.
Sekiranya kita mampu menyandangnya, tak melulu raihan rasio pajak 15% di tahun 2020 sebagaimana amanat reformasi perpajakan akan terpenuhi, bahkan mengisbatkan negara ini mandiri dan rakyatnya makmur merata serta berkeadilan, bukanlah sekadar lamunan, ia maujud.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Lantai 16, 20 Februari 2017
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Elektronik DJP: Intax Edisi Kedua
Gambar berasal dari hdwallpape.com