Di Eropa, citra Turki menjadi kata lain dari kekejaman dan kebengisan. Sejak 1536, kata Turk dipakai dalam bahasa Inggris dengan pengertian, menurut Oxford English Dictionary, “Seseorang yang berperilaku barbar dan biadab. Webster New Collegiate Dictionary menyebutnya begini, ”One who is cruel or tyrannical.”
Stigma ini setelah penaklukkan Konstantinopel pada 83 tahun sebelumnya oleh Muslim Turki Utsmani. Tahun 1453 menjadi khas dan istimewa karena dia adalah sejarah yang justru banyak ditulis oleh pihak yang kalah. Roger Crowley—penulis buku 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim—menulis demikian di bab Tentang Sumber buku itu.
Wajar karena sebagian besar masyarakat Utsmani—menurut Crowley—masih buta huruf, penyebaran kisahnya masih melalui lisan, tanpa tradisi pencatatan kisah-kisah secara individual. Yang ada hanyalah kronik-kronik pendek, yang dibuat belakangan dalam rangka membangun legenda dinasti, sehingga perspektif Utsmani seringkali disusun berdasarkan pembacaan atas apa-apa yang tidak diuraikan penulis-penulis Kristen.
Buku yang menceritakan secara detil jalannya persiapan perang, pengepungan Konstantinopel, peperangannya itu sendiri, dan keruntuhan kota di pagi 29 Mei 1453 ini dalam versi Inggrisnya juga menjadi salah satu rujukan dari Felix Siauw saat menulis Muhammad Al-Fatih 1453.
Yang membedakan dari buku Felix Siauw tentunya adalah perspektif Roger Crowley saat memandang Sultan Mehmet. Mehmet digambarkan sebagai manusia yang percaya takhayul, penyuka sesama jenis, dan tidak ada nuansa profannya sama sekali sebagaimana telah diterangkan dari sebuah hadis nabi Muhammad saw, “Pasti akan ditaklukkan Konstantinopel dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukannya.”
Yang sangat filmis diceritakan oleh Roger Crowley dalam buku itu adalah pada saat pasukan Janisari mulai memasuki halaman gereja dan mendapati pintunya terkunci, mereka mulai mendobrak pintu tengah, pintu kerajaan, yang dipakai sebagai pintu masuk kaisar Konstantin yang Agung dan rombongan istana. Karena dipukul berkali-kali dengan kapak, pintu setebal empat inci itu pun rusak dan terbuka sehingga prajurit Utsmani bisa merangsek memasuki gedung. Di atas mereka sosok mosaik Kristus berwarna biru keemasan menatap tanpa daya, tangan kanannya terangkat memberi berkat, sementara di tangan kiri tergenggam buku dengan tulisan: “Semoga kedamaian bersamamu, akulah cahaya dunia.”
Crowley menulis lagi, “Jika ada momen di mana bisa dikatakan Byzantium menemui ajalnya maka sekaranglah momen itu terjadi, saat pukulan terakhir dari kapak dilancarkan. St. Sophia telah menjadi saksi berbagai drama besar kota kekaisaran ini. Sebuah gereja yang berdiri kokoh selama 1100 tahun, menjadi gereja Justinian selama 900 tahun….” Tepatnya setelah 1134 tahun dan 27 hari, semua itu berakhir.
Di buku Roger Crowley ini digambarkan dengan detil saat pasukan Utsmani mulai memasuki benteng kota hingga Sultan Mehmet memasuki pintu Gerbang sampai kepada bagaimana pelarian orang-orang kota Konstantinopel di laut, Ini yang tidak ada di dalam bukunya Felix Siauw.
Secara lebih rinci lagi Crowley menulis tentang ketidakpastian bagaimana raja Konstantin menemui ajalnya. Nyanyian duka dan ratapan ditulis untuk kematian kaisar malang yang berusia 49 tahun ini. Salah satunya digambarkan oleh Emile Legrand dalam bunga rampai yang berjudul Recueil de Chansons Populaires Grecques. Di dalamnya, prajurit Utsmani disebut sebagai anjing-anjing kafir. Manuskripnya masih bisa diakses sampai sekarang di internet.
Ces chiens impies, dalam Recueil de Chansons Populaires Grecques.
Setelah Konstantinopel jatuh, Mehmet tidak membangunnya sebagai kota Islam, melainkan membangun ulang sebuah ibu kota yang berbudaya majemuk yang seluruh warganya memiliki hak-hak tertentu. Mehmet menjamin keamanan tanah perdikan orang Genoa di Galata dan melarang satu pun orang Turki hidup di sana.
Rahib Gennadios, yang sekuat tenaga menentang penyatuan gereja, diselamatkan dari perbudakan di Edirne dan dikembalikan ke ibu kota sebagai patriark komunitas Kristen Ortodoks. Orang Kristen hidup di lingkungan mereka dan memperoleh kembali gereja-gereja mereka, meski dengan aturan tertentu. Ini sebuah kebijakan yang sangat toleran untuk ukuran saat itu.
Sedangkan 39 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1492, di ujung lain wilayah Mediterania, penaklukan terakhir Spanyol oleh raja-raja Katolik mengakibatkan pemaksaan pemindahan agama atau pengusiran seluruh Muslim dan Yahudi dari wilayah itu yang menyebabkan mereka pindah ke wilayah Kesultanan Utsmani.
Seorang Rabbi Spanyol menulis kepada saudaranya di Eropa, “Di sini, di tanah orang Turki, kami tidak punya keluhan apa-apa. Kami sangat beruntung, kami punya emas dan perak. Kami tidak dibebani pajak yang besar dan perdagangan kami bebas berjalan tanpa kendala.”
Seorang Jerman bernama Arnold von Harff berkunjung ke Konstantinopel pada tahun 1499, dia tercengang mendapati dua biara Fransiskan di Galata yang masih mengadakan misa Katolik. George dari Hungaria pada abad ke-15 menulis “orang kafir” ini, “Orang Turki tidak memaksa siapa pun untuk menanggalkan keyakinannya, tidak mati-matian membujuk orang lain dan tidak peduli dengan soal balas dendam.” Sangat kontras dengan perang antaragama yang mencabik-cabik Eropa selama masa Reformasi. Demikian Crowley menulis Konstantinopel setelah 1453.
Untuk memperbanyak khazanah maka buku ini sangat menarik dibaca. Apalagi kalau kita membaca buku Felix Siauw dan menonton film Fetih 1453 sebelumnya. Maka wajar kalau Noel Malcolm dalam Sunday Telegraph mengatakan tentang buku ini, “Salah satu cerita paling menarik dalam sejarah dunia. Penuturannya dahsyat, membuat iri para sejarawan.”
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Tjitajam, 29 Januari 2017
Buku 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim ini diterbitkan oleh Penerbit Alvabet pada November 2015. Judul Asli: The Holy War for Constantinopel and the Clash of Islam and The West tahun 2005.