Kemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat mengejutkan. Persona polemis ini memang dikenal dengan kebijakan rasisnya terhadap minoritas dan imigran. Partai Republik yang mencalonkannya juga dikenal sebagai partai konservatif. Dalam bidang ekonomi partai ini meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi didorong melalui persaingan bebas tanpa ada campur tangan pemerintah.
Partai Republik juga meyakini bahwa hak kekayaan harus diberikan kepada individu secara penuh. Oleh karenanya partai ini cenderung menurunkan beban pajak buat orang kaya: mereka yang berpenghasilan 250 ribu dolar Amerika Serikat ke atas. Jumlahnya 2% dari populasi penduduk Amerika Serikat.
Dari Partai Republik sendiri banyak yang tidak setuju dengan gaya kampanye Trump. Salah satunya ekonom konservatif dan profesor Harvard bernama N. George Mankiw. Mankiw, yang pernah menjadi Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden George W. Bush, menulis di blognya tentang Trump, “He will not be getting my vote.”
Mankiw inilah yang menulis buku teks Makroekonomi yang terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Penjabarannya ditulis dalam gaya majalah, ringkas, dan tidak membosankan. Maka pantas saja buku itu pun menjadi bahan ajar di banyak universitas dalam negeri.
Bukunya itu mengingatkan saya atas sebuah studi kasus yang diajukan Mankiw. Banyak data yang menerangkan hubungan yang kuat antara garis lintang dan kesejahteraan ekonomi: negara-negara yang lokasinya dekat dengan khatulistiwa umumnya memiliki pendapatan per kapita yang lebih kecil daripada negara-negara yang jauh dari khatulistiwa.
Menurut beberapa pendapat ekonom, penyebabnya karena iklim tropis yang panas di daerah khatulistiwa memberikan dampak buruk bagi produktivitas antara lain ditunjukkan dengan pertanian yang sulit berkembang dan penyakit lebih mudah menular.
Nah, Mankiw menulis bahwa faktor dari lokasi geografis bukanlah satu-satunya penyebab mengapa negara tropis cenderung miskin. Ada beberapa mekanisme tak langsung dari dampak geografis terhadap institusi (baca: alat untuk memastikan bahwa sumber daya yang tersedia dialokasikan dengan sebaik-baiknya). Mankiw mengutip penelitian yang dilakukan oleh Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson (2001). Penjelasannya seperti ini:
Pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19 iklim tropis menyebabkan banyak penduduk Eropa mengalami peningkatan terkena risiko berbagai penyakit, terutama malaria dan campak. Akibatnya, ketika banyak orang Eropa menjajah berbagai negara di dunia, mereka menghindar dari negara dengan iklim tropis seperti Afrika dan Amerika Tengah. Orang Eropa lebih memilih daerah dengan iklim sedang dan kondisi kesehatan yang lebih baik seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.
Di daerah-daerah tempat banyak orang Eropa bermukim tersebut, mereka menerapkan institusi dengan gaya Eropa yang melindungi hak milik dan membatasi kekuasaan pemerintah. Sebaliknya di daerah beriklim tropis, penjajah seringkali menerapkan institusi “merusak”, termasuk di antaranya pemerintahan yang otoriter, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari sumber daya yang ada di daerah tersebut. Institusi-institusi ini memperkaya penjajah, namun hanya memberikan sedikit sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi.
Meskipun zaman penjajahan telah lama berlalu, institusi awal yang dibangun koloni Eropa berkorelasi erat dengan institusi modern di negara-negara bekas daerah jajahan tersebut. Di negara–negara tropis, di tempat penjajah membangun institusi yang merusak, hanya ada sedikit perlindungan bagi hak milik bahkan hingga saat ini. Ketika penjajah pergi, institusi yang merusak tersebut tetap ada dan hanya diambil oleh penguasa baru.
Kualitas institusi adalah kunci penentu kondisi perekonomian. Ketika hak milik dilindungi, masyarakat memiliki insentif lebih besar untuk melakukan investasi yang selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika hak milik tidak lagi dihormati, seperti yang banyak terjadi di negara-negara tropis, investasi dan pertumbuhan ekonomi akan jauh tertinggal. Demikian studi kasus dalam buku Mankiw.
Sementara itu kita menjadi semakin ingat dengan pertanyaan berikut ini? Mengapa daerah bekas koloni Inggris seperti Malaysia dan Singapura lebih makmur daripada jajahan Belanda seperti Indonesia? Atau secara sederhananya: enak mana dijajah Inggris atau Belanda?
Ini terkait institusi yang diciptakan dua negara penjajah itu memang berbeda. Contoh institusi itu berupa tradisi hukum dalam suatu negara. Daerah bekas koloni Inggris dikenal memiliki sistem hukum dengan gaya Inggris. Sedangkan koloni Belanda memiliki tradisi hukum yang berasal dari Kode Napoleonik Prancis. Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan peneliti bahwa perlindungan hukum pada sistem hukum dengan gaya Inggris lebih kuat daripada sistem dengan gaya Prancis.
Oleh karenanya Adam Smith, ekonom abad ke-18 yang menjadi rujukan utama Partai Republik, pernah menulis bahwa, “Yang disyaratkan untuk membawa negara dari tingkatan barbar yang paling rendah menuju kejayaan yang paling tinggi hanyalah perdamaian, pajak yang masuk akal, dan hukum yang ditegakkan: syarat lainnya akan terselesaikan secara ilmiah.”
Tapi entah Inggris ataupun Belanda, dalam kesadaran kolektif anak bangsa di seluruh Nusantara, mereka insaf tak akan pernah mendapatkan kedamaian kala penjajah masih bertengger di bumi pertiwi, maka 10 November 1945, memantik semangat perlawanan kepada penjajah yang mau kembali itu. Kepada dua-duanya: Inggris dan Belanda.
Kini kita telah merdeka, perdamaian tiba, sudah selayaknya pajak tidaklah dilupa, agar hukum tegak tiada menjadi hamba, negeri pun menjadi jaya. Walau nun jauh di sana ada yang menulis artikel di Guardian tentang Trump berjudul: “The US has elected its most dangerous leader.” Indonesia tetaplah Indonesia. Kita adalah kita yang anti terhadap segala penundukan. Selamat hari pahlawan!
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 14 November 2016
Artikel ini telah dimuat di e-Magazine DJP Edisi November 2016
Foto diambil dari themedicinechest.files.wordpress.com