Saya menemukan kisah pendek ini dalam dua buku yang berbeda. Kisah pendek yang ditulis oleh William Livingstone Larned berjudul Father Forgets. Kisah ini muncul pertama kali sebagai editorial dalam sebuah majalah wanita People’s Home Journal di tahun 1920-an. Kemudian kisah ini dicetak ulang oleh Reader Digest.
Kisah ini juga ada dalam buku Dale Carnegie yang berjudul How to Win Friends and Influence People. Karena banyak menangkap imajinasi dan hati orang di seluruh dunia, kisah ini diterjemahkan dan dicetak ulang berkali-kali dan masih beredar sampai saat ini.
Father Forgets merupakan pengakuan seorang ayah atas kelakuan kesehariannya yang buruk kepada anaknya sendiri. Menggugah perasaan ketulusan kita sebagai orang tua.
Carnegie menyelipkan kisah ini dalam bukunya yang membicarakan tentang bagaimana seorang pemimpin itu seharusnya memimpin. Menurutnya, kepemimpinan itu adalah sebuah keahlian. Dan agar berhasil maka pemimpin antara lain harus seimbang antara waktu dan keluarga.
Pemimpin itu harus membuang perasaan tergesa-gesanya dan seakan-akan tidak memiliki waktu sama sekali. Karena jika perasaan itu mendominasi maka streslah yang akan tercipta. Menurut Carnegie, hubungan dengan keluarga juga adalah sumberdaya yang akan melindungi dan memperkaya kualitas hidup pemimpin.
Tak heran, berdamai dengan waktu dan menciptakan kedekatan dan hubungan baik dengan keluarga itu adalah sebuah keharusan buat seorang pemimpin.
Lee Iacocca memerintahkan kepada stafnya untuk segera menghubungkan telepon kepadanya jika yang menelepon itu adalah anak-anaknya. Siapa Lee Iacocca? Ia memulai karirnya di Ford sebagai mekanik sampai menjadi CEO. Tapi akhirnya dipecat oleh Henry Ford, pemilik Ford, karena takut tersaingi. Lee lalu bergabung dan menjadi Presiden Direktur Chrysler –saingan Ford—dan membawa pabrik mobil itu lolos dari jurang kebangkrutan dan memperoleh laba penjualan yang sangat besar.
Salah satu dari sembilan prinsip sukses CEO Virgin Group, Richard Banson, adalah mendahulukan keluarga dan kelompok setia. Lou Gerstner, mantan CEO IBM pernah bilang begini, “Anda harus membedakan peran-peran Anda, dalam bisnis, di masyarakat, dan dalam keluarga.” Sebenarnya banyak sekali pemikiran dari orang-orang sukses yang menempatkan keluarga pada posisi prioritas.
Sekarang, dalam rangka memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap Wajib Pajak yang akan mengajukan amnesti pajak, jam kerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak telah ditambah. Dengan pengaturan jadwal, pegawai masuk di hari Sabtu mulai jam delapan pagi sampai jam dua siang. Kemudian di hari Minggu, sampai dengan jam 12 siang saja.
Kita adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang paling adaptif. Dengan waktu bersama keluarga yang semakin berkurang, maka kita berusaha menyesuaikan diri agar pertemuan dengan keluarga itu semakin berkualitas. Agar kita selalu mawas diri bahwa keluargalah yang menyokong kita selama ini sehingga kita menjadi seperti saat ini. Agar kita tidak menjadi orang tua yang lupa, apalagi ayah yang lupa. Sembari itu kita lihat bagaimana kisah Father Forgets itu menyentuh kita. Begini kisahnya:
Dengar anakku. Aku mengatakan ini saat kamu sedang tidur nyenyak, setelah tanganmu tertekuk di bawah pipimu dan rambut pirang ikalmu menempel di dahimu yang basah. Aku mengendap-endap masuk ke kamarmu sendirian. Hanya beberapa menit yang lalu, waktu aku duduk membaca koran di perpustakaan, tiba-tiba gelombang rasa sesal menghampiriku. Dengan rasa bersalah aku datang ke sisi tempat tidurmu.
Ada hal-hal yang kupikirkan, Nak. Aku sudah membuatmu kecewa. Aku memarahimu waktu kamu berpakaian akan berangkat ke sekolah karena kamu hanya sedikit mengusap wajahmu dengan handuk. Aku menghukummu karena kamu tidak membersihkan sepatumu. Aku membentakmu waktu kamu membuang sesuatu ke lantai.
Waktu sarapan aku juga menemukan kesalahan, kamu menjatuhkan sesuatu. Kamu langsung menelan makananmu. Kamu menaruh sikumu di atas meja. Kamu mengoleskan mentega terlalu banyak di atas rotimu. Dan ketika waktu bermain tiba dan aku harus berangkat mengejar kereta, kamu berpaling dan melambaikan tangan dan berkata, “Sampai jumpa ayah!” dan aku mengerenyitkan dahi lalu menjawab, “Ayo pulang!”
Lalu itu terjadi lagi di sore hari. Aku memata-matai kamu, sedang berjongkok dan bermain kelereng. Ada lubang di stocking-mu. Aku mempermalukan kamu di depan teman-temanmu dengan memaksa kamu kembali ke rumah. Stocking itu mahal—jadi kalau kamu membelinya kamu harus berhati-hati memakainya. Bayangkan itu Nak, bayangkan kata-kata semacam itu keluar dari mulut seorang ayah!
Ingatkah kamu bagaimana kamu mendatangiku dengan raut muka kuyu dan dengan pandangan mata yang terluka? Aku mengingatnya saat sedang membaca di perpustakaan. Waktu itu aku melongok dan mengalihkan pandangan mataku dari koran yang sedang kubaca, karena tidak sabar melihat kamu yang berdiri terdiam di ambang pintu, aku membentak, “Apa sih maumu?”
Kamu tidak mengatakan apa-apa, tetapi segera berlari menyongsongku, dan lengan-lengan kecilmu memelukku erat dengan rasa sayang yang begitu besar yang telah Tuhan semaikan dalam hatimu, yang bahkan tidak dapat sirna karena kamu diabaikan. Lalu kamu berlalu, menaiki tangga.
Anakku, tidak lama setelah itu koran yang kupegang terjatuh dan tanganku gemetar hebat dan ketakutan yang luar biasa menyerangku. Kebiasaan apa yang sudah merajaiku ini? Kebiasaan mencari-cari kesalahan, kebiasaan mencerca, itulah pemberianku karena kamu hanya seorang anak laki-laki kecil. Bukan karena aku tidak mencintaimu; itu karena aku menuntut terlalu banyak. Aku mengukur kamu dengan ukuran orang dewasa.
Padahal ada banyak hal yang baik yang dalam dirimu. Hatimu yang tulus seindah fajar pagi di balik bukit. Kamu menunjukkan dengan pelukan dan ciuman spontan yang kamu berikan untukku malam ini. Tidak ada hal lain yang lebih berarti bagiku malam ini, Nak. Aku datang ke sisi tempat tidurmu dalam gelap, dan aku berlutut, malu!
Aku melakukan pengakuan kesalahan yang buruk, aku tahu kamu akan lebih mengerti kalau aku menjelaskannya waktu kamu bangun. Tetapi besok aku akan menjadi ayah yang sebenarnya. Aku akan bersahabat denganmu, menderita saat menderita, dan tertawa saat kamu tertawa. Aku akan menggigit lidahku jika ada kata-kata tak sabar yang ingin kukeluarkan: “Ia hanyalah seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang masih kecil.”
Aku takut aku telah menganggap kamu sebagai laki-laki dewasa. Tapi kini Nak, aku melihatmu meringkuk letih di bawah selimutmu, aku bisa melihat kamu masih sangat kecil. Baru saja kemarin kamu masih digendong oleh ibumu, dan kepalamu tersandar di atas bahunya. Aku sudah menuntutmu terlalu banyak Nak, terlalu banyak.
*
Di akhir Maret tahun depan, ketika Allah mengizinkan kita mencapai target itu, kita tahu—di sepanjang Sabtu dan Minggu yang dilalui—ada banyak ayah yang senantiasa belajar untuk tidak lupa.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
ayah tiga orang anak
13 Agustus 2016
Catatan: Kisah Father Forgets di atas saya kutip utuh dari buku yang berjudul: “Bagaimana Memimpin Diri Sendiri dan Orang Lain untuk Meraih Posisi Puncak.” yang ditulis oleh Dale Carnegie, Penerbit: Progresif Books, Penerjemah: Lani.