Jarang nelayan yang berani ke pulau satunya lagi. Apa sebab?
Pulau Dua itu terletak di Samudra Hindia. Tepatnya masuk wilayah kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Dinamakan Pulau Dua karena ada dua pulau kembar yang tak berpenghuni dan terpencil. Salah satu pulau di antaranya adalah pemakaman, katanya jarang nelayan yang berani ke sana. Jadi pulau lainnya itu yang kami kunjungi buat snorkeling dan saya punya misi khusus ke pulau ini.
Pulau tropis ini kecil. Keliling lingkarannya hanya 800 meter lebih. Jarak Pulau Dua dari daratan utama Sumatera sekitar 2 kilometer dengan waktu tempuh 10 menit memakai perahu nelayan yang kami sewa. Tidak banyak orang tahu dan berwisata di pulau ini. Hanya orang-orang yang paham saja yang datang ke pulau itu.
Dalam legenda masyarakat Aceh Selatan, ada naga betina yang panik dan lari tanpa tujuan lalu menabrak pulau besar sehingga menjadi dua. Itulah kemudian disebut Pulau Dua. Naga betina panik dan ketakutan karena melihat pasangannya sang naga jantan hancur setelah berduel dengan Tuan Tapa.
Pulau Dua.
Ini pulau kecil yang kami kunjungi bertanda panah merah. Pulau sebelahnya adalah pulau yang ada kuburannya.
Persiapan berangkat.
Kami berangkat jam delapan pagi dari Tapaktuan berombongan sebanyak 19 orang. Butuh waktu satu jam untuk sampai di pinggiran laut tempat kami menyeberang. Letaknya dekat jembatan dan berada di jaIan akses Tapaktuan-Subulussalam. Tempat ini bukan pelabuhan melainkan tempat sampan nelayan berlabuh. Sebuah pinggiran pantai yang luas tetapi mobil tak bisa masuk karena jembatannya tak bisa dilalui karena rusak.
Pinggiran pantai ini dipenuhi gubuk-gubuk tempat nelayan memperbaiki jala. Ada satu warung kecil di sana. Perahu-perahu nelayan juga banyak. Salah satunya akan mengantarkan kami ke salah satu pulau di Pulau Dua.
Airnya jernih berwarna hijau toska di dekat pantai namun berwarna biru gelap ketika berada di tengahnya. Saya sungguh menikmati perjalanan menaiki perahu nelayan yang panjangnya enam meter itu. Berada di bagian belakang perahu saya memandang dari kejauhan pantai tempat pemberangkatan kami. Di sana masih ada teman-teman saya yang akan diangkut perahu pada rit yang kedua.
Dari jauh, Pulau Dua terbentang di depan mata. Angin berhembus menerpa wajah. Dahan pohon nyiur melambai-lambai seakan menyapa kami. Pohon bakau pun ada, saling merapat di salah satu sisi pantai.
Tidak lama kami sudah sampai di sana. Saya menginjakkan kai pertama kali ke pulau ini. Menginjakkan kaki di pasir putihnya yang lembut nian ini. Pantai Tapaktuan dan bahkan Pantai Lampuuk Banda Aceh kalah lembut.
Perahu balik lagi ke daratan utama Sumatera. Kami turun dan menurunkan banyak barang terutama air minum dalam botol sebanyak tiga kardus. Tidak ada warung tentunya di sini jadi kami harus menyiapkan perbekalan sebanyak mungkin.
Lalu kami bergerak dari titik pendaratan menuju lokasi yang terbaik. Di sebuah tempat yang teduh di bawah pohon kelapa dan ketapang yang lebat daunnya. Kami nantinya sampai sore dan hanya sampai di tepian pantai ini. Tidak akan pernah masuk ke dalam lebatnya hutan. Paling jauh kami berkeliling melalui tepian pantai. Apalagi saya yang insya Allah akan menjajal lari mengelilingi pulau sejauh 10 kilometer. Itulah misi khusus saya ini.
Teman-teman yang lain sudah mempersiapkan diri buat snorkeling. Life vest dan snorkel sudah disiapkan mereka. Sedangkan saya? Saya pemanasan Dynamic Warmup Pro Freeletics. Sebelumnya, dari mes pajak saya sudah mempersiapkan diri perlengkapan sebaik mungkin antara lain topi Kodim 107 Aceh Selatan , jam Garmin, kaos manset, kaos Reebok berwarna kuning, celana lari Reebok, dan celana baselayer Tiento.
Bersiap-siap lari.
Sepatu? Tidak saya pakai. Dan yang tidak saya lupa adalah minyak kelapa buatan sendiri yang saya lumuri ke punggung telapak tangan dan wajah saya. Minyak kelapa ini efektif sebagai sunblock.
Selagi teman-teman saya sudah menceburkan diri mereka ke air laut, saya mulai lari pada pukul 10.30. GPS Garmin dan sinyal telepon berfungsi penuh. Barangkali karena pulau ini masih dekat dengan daratan.
Beberapa pohon tumbang yang sudah lama mati, semak, dan pohon bakau menghalangi lintasan lari. Ada yang masih bisa dilompati dan ada juga yang saya harus memutarinya karena ujung batang pohon mati ini menjorok ke laut.
Ternyata tepian pantai pulai ini tidak semua mulus dengan pasir putih nan lembut seperti di titik star. Terkadang saya harus melewati batu-batu kecil pecahan karang sehingga saya harus berlari pelan melewatinya. Inilah pentingnya memakai sepatu lari dalam kondisi apa pun.
Terkadang juga saya harus berlari di bawah pepohonan rindang. Terkadang juga harus berlari di tepian pantai yang airnya sudah setinggi lutut. Ini yang membuat saya harus mengurangi kecepatan lari dan bahkan terseok-seok berjalan di atas air. Sudah jelas ini mengurangi pace lari saya. Tapi ini benar-benar lari trail.
Dengan kondisi lintasan seperti ini saya sudah tidak memikirkan pace. Yang saya pikirkan adalah bagaimana menyelesaikan jarak 10 kilometer. Sempat pula saya memikirkan untuk berhenti saja. Itu ada di dua kali putaran. Tapi akhirnya tetap lanjut untuk berlari. Saya tidak perlu memikirkan kondisi lintasan, nikmati saja lari dan pemandangan indah pulau ini.
Alhamdulillah, masih bertahan sampai putaran kelima. Di putaran keenam saya terpeleset saat menginjak batang kayu mati. Syukurnya hanya sedikit luka di tangan. Tapi masih bisa terus. Putaran selanjutnya batang kayu itu sudah saya ingat untuk dilompati saja. Tidak untuk diinjak.
Di putaran ketujuh, ada rombongan kecil datang dari daratan. Mereka memakai perahu SAR. Salah seorang dari mereka memakai kaos Freeletics. Wah, saya ternyata punya teman Freeletics juga di Aceh Selatan ini.
Sepintas saya melihat Garmin, pace lari saya berada di angka 8:30 menit/km. Ini bukan pace biasa saya. Ini pace siput, tapi tak mengapa. Saya tetap menjaganya di angka itu. Masih belum berasa haus, ngos-ngosan, dan capek.
Akhirnya 10 kali putaran bisa saya tempuh. Pada saat itulah saya mulai mengambil air minum. Masih dua kali putaran lagi nih. Insya Allah masih bisa bertahan. Siang sudah mulai menyengat. Kaos manset dan topi berfungsi efektif menghalangi sinar matahari siang yang membakar. Akhirnya tepat di putaran 12, saya berhenti di titik star yang sekaligus jadi titik finis. Pas 10 Km. Done! Finish! Mission Accomplished!
Barangkali—namanya juga barangkali—sayalah yang pertama melakukan trail run 10K di Pulau Dua ini. Apa yang saya rasakan selama lari trail ini? Sebuah rasa kebebasan dan kepuasan karena bisa berlari di tengah alam terbuka yang tidak dibatasi oleh jalanan aspal. Bisa lari-lari di tepian pantai. Bisa berlari di tengah ombak yang berusaha menenggelamkan kaki-kaki saya. Bisa lari di sebuah pulau tropis kecil yang jarang orang bisa mendapatkan kesempatan istimewa ini. Apalagi orang Jakarta. Hahaha…



Ternyata lari trail saya ini sampai menghabiskan waktu hampir satu setengah jam. Tepatnya 1:24:35. Pace-nya 8:27 menit/km. Lumayanlah.
Selesai lari pas waktunya makan siang. Kami makan nasi bungkus dengan lauk ikan yang diantar oleh nelayan barusan. Enak sekali pas makan lagi lapar dan lelah-lelahnya. Waktu pagi saya sarapan singkong rebus, tauge rebus, dan telur ceplok, sekarang tak apalah saya makan nasi. Saya butuh asupan karbohidrat segera soalnya.
Setelah makan siang saya snorkeling sendirian. Teman-teman sudah selesai dari tadi. Setelah itu saya salat zuhur dan ngobrol kesana kemari dengan teman-teman sambil menikmati sejuknya angin yang bertiup sepoi-sepoi. Bahkan saya sampai tertidur di atas pasir putih sebagai tilamnya dan daun-daun pepohonan sebagai atapnya.
Jam setengah empat kami bersiap-siap ke daratan. Perahu sudah akan menjemput. Tidak lupa kami mengumpulkan sampah yang berserakan. Kami tidak mau sampah mengotori pulau kecil ini.
Kami bergerak ke titik pendaratan semula. Di sanalah saya bertemu dengan pemakai kaos Freeletics itu yang ternyata kami satu grup Facebook di Freeletics Jakarta. Namanya Rizki Buna, Komandan Kompi kesatuan Brimob Trumon, berasal dari Palembang, dan kakaknya ternyata lulusan STAN juga.
Kami tidak pernah bertemu sebelumnya dan kami dipertemukan pada saat yang tepat. Di sebuah pulau kecil, di sebuah pertemuan yang tidak direncanakan. Memang takdirnya begitu. Sesama anggota Freeletics kami pun berfoto bersama.
Saya dan Rizki Buna.
Rizki Buna ini di Pulau Dua ini mau diving dan menembak ikan dengan panah bersama kawan-kawan dari Polres dan Tim SAR Aceh Selatan. Hasil ikan tangkapannya dibakar dan dimakan ramai-ramai. Ketika perahu nelayan itu tiba, saya pamitan kepada Rizki. Lain kali kita berjumpa lagi.
Akhirnya kami menyeberang kembali ke daratan Sumatera. Saya masih menempati bagian belakang perahu sambil memandangi Pulau Dua yang lama-kelamaan semakin menjauh. Sebuah pengalaman luar biasa bisa singgah di pulau itu dan bisa lari-larian di sana. Sebuah kenangan indah sebelum saya meninggalkan Aceh Selatan. Insya Allah.
Lalu setelah ini lari di mana lagi?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
27 Februari 2016