Hope. It is the only thing stronger than fear. A little hope is effective. A lot hope is dangerous. A spark is fine, as long as it’s contained. ~~~President Snow dalam The Hunger Games.
Setelah beberapa minggu meninggalkan Tapaktuan karena tugas, akhirnya Senin (31/5) kemarin bisa ngantor lagi. Ada yang patut saya syukuri dari perjalanan menuju Tapaktuan di hari Ahad kemarin itu.
Pertama, bisa naik pesawat dari Bandara Halim Perdanakusumah. Ini berarti saya tak perlu jauh-jauh ke Cengkareng. Berarti pula saya menghemat 2,5 jam. Waktu yang sangat berharga untuk bisa berlama-lama dengan Kinan dan umminya.
Biasanya saya berangkat jam 11 siang untuk penerbangan jam tiga sore. Naik Commuter Line dari Stasiun Citayam dan turun di Stasiun Pasar Minggu untuk naik Bus Damri menuju Bandara Soekarno Hatta.
Kali ini dengan pesawat Batik Air yang mulai bulan April 2015 bisa terbang dari Bandara Halim Perdanakusumah, saya berangkat dari rumah jam 01.30 siang. Kemudian naik Commuter Line di Stasiun Citayam dan turun di Stasiun Cawang lalu naik taksi menuju bandara. Cukup 15 menit saja. Pesawat terbang jam 15.45.
Ini pertama kali naik Batik Air. Tarifnya lebih mahal daripada Lion Air tapi lebih rendah daripada tarif terbawah Garuda. Diberi makanan lagi. Ada layar di setiap kursi penumpang buat menonton hiburan di sepanjang perjalanan. Bedanya dengan Garuda, maskapai ini tak sediakan headset buat mendengarkan suara dari layar. Makanya kalau mau dengerin kudu bawa sendiri alatnya. Dan saya tidak punya sama sekali.
Sampai di Bandara Kualanamu jam 17.45. Lebih cepat 15 menit dari jadwalnya. Saya harus menunggu travel selama dua jam. Travel itu yang akan membawa saya ke Tapaktuan. Perjalanan sepuluh jam penuh liku akan menghadang. Semoga tidak terlambat. Diharapkan jam enam pagi besok Senin itu saya sudah sampai di kota nan kecil ini.
Kesyukuran yang kedua adalah bisa tepat waktu sampai di Tapaktuan. Padahal di tengah perjalanan–sewaktu menjemput beberapa penumpang di Kota Medan–lampu mobil travel kami mati. Jelas berbahaya memaksakan mobil itu lanjut jalan tanpa ada sumber penerangan seperti itu.
Supir kami sigap dengan mengganti mobil travel dengan mobil lain yang kondisinya fit. Untungnya mati lampu itu ketahuan pas di kota, kalau saja matinya di tengah hutan tak tahulah apa yang akan terjadi. Karena kondisi darurat seperti itu kami baru berangkat dari Medan jam 22.30.
Supir travel langganan saya ini memang berpengalaman. Jam tiga pagi sudah sampai di Subulussalam–tiga jam sebelum Tapaktuan. Dengan waktu berangkat dari Medan yang terlambat, kedatangan di Subulussalam pada jam segitu berarti sampai di Tapaktuan tidak akan telat.
Supirnya lincah–untuk tidak mengatakan ngebut –dan paham kebutuhan para penumpangnya yang kebanyakan adalah orang pajak. Dia sempat bilang, kalau temannya yang satu profesi tak mau angkut orang pajak, orang KPPN, dan orang BRI. Karena stres. Kenapa stres? Karena para pegawai ketiga instansi itu mengejar absen pagi. Dia tidak tenang diburu-buru seperti itu. Ya iyalah, kita juga kagak maulah memilih supir-supir yang lelet.
Kita juga tetap pengennya selamat. Karena yang utama adalah selamat. Kita juga tak pernah bilang kepada mereka “ayo ngebut”. Kita cuma tanya kepada mereka, “Bisa tidak sampai di Tapaktuan jam enam pagi?” Biasanya mereka jawab, “Insya Allah bisa, kalau tidak ada halangan.” Barangkali bagi sebagian mereka pertanyaan biasa itu membuat tekanan batin. He he he. Paling maksimal kita cuma menegur mereka jikalau kelamaan istirahat di Bandar Baru (salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara) atau Subulussalam (kota di Provinsi Aceh) itu. Sudah itu saja.
Nah, kembali ke Tapaktuan dalam waktu dekat bulan puasa ini jadi kebayang rutinitas Ramadhan kelak. Ini Ramadhan yang kedua buat saya insya Allah. Saya berharap diperjumpakan dengan Ramadhan ini oleh karenanya saya berdoa: “Allahumma bariklana fi rajab, wa sya’ban, waballighna fi ramadhan.” Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami di Bulan Ramadhan. Karena kita tak pernah tahu apakah kita diberikan kesempatan hidup untuk ikut beribadah dan merasakan nikmatnya ibadah di bulan suci itu. Allah yang punya kuasa dan takdir.
Terbayang di benak saya, kami yang ada di mes, nanti akan buka puasa bersama, masak bareng, cari lauk buat berbuka dan sahur, salat tarawih di masjid favorit masing-masing, buka puasa bersama di kantor, buka bersama di pendopo bupati, perjalanan ke Banda Aceh untuk mengikuti acara di Kantor Wilayah DJP Aceh, lalu perjalanan mudik pagi-pagi dari Tapaktuan menuju Medan.
Ah, itu semua adalah apa yang saya rasakan di Ramadhan tahun lalu. Apakah akan terulang hal yang sama? Wallaahua’lam. Yang pasti, satu perasaan bahagia menyelimuti. Barangkali ini sejumput keberkahan yang muncul dari jutaan keberkahan Ramadhan.
Walau setidaknya ada yang kurang yakni saya tidak bisa berbuka puasa bareng dengan keluarga, tak bisa semeja makan dengan Ummu Kinan dan anak-anak saat azan Maghrib berkumandang. Diperkirakan dari awal puasa sampai menjelang lebaran saya masih ada di Tapaktuan.
Tapi saya masih berharap di bulan Ramadhan tahun ini, Allah kasih kesempatan kepada saya untuk bisa berpuasa dan berbuka puasa dengan orang-orang yang saya cintai itu. Harapan itu masih ada. Mintanya cuma kepada-Nya yang Mahakaya dan Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
So, buat teman-teman yang masih diberikan kesempatan yang luas untuk selalu berkumpul bersama keluarga, manfaatkan benar waktu di bulan Ramadhan untuk bisa merekatkan tali mahabbah (cinta) di bulan penuh berkah itu.
Ketika datang kembali ke Tapaktuan ini, perasaan saya adalah sekarang seperti sudah Ramadhan saja. Suasananya sudah kayak di bulan puasa. Padahal puasanya masih setengah bulan lagi. Ini cuma perasaan saya saja sih. Tapi yang pasti, yang seharusnya saya pikirkan adalah bagaimana semaksimal mungkin mempersiapkan kedatangan Ramadhan itu dengan sebaik-baiknya.
Bisa tidak kita di bulan Ramadhan nanti kita punya target ibadah dan mencapainya dengan pencapaian yang terbaik? Soalnya sayang banget kalau ibadah kita di bulan pelipatgandaan pahala amal itu biasa-biasa saja. Bahkan kita tidak minta sama Allah dengan sebaik-baik permintaan. Ini kesempatan terbaik buat kita minta agar kita dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Kalau mikir seperti itu saya jadi malu. Masih jauh ini amalan.
Ramadhan bagi saya adalah bulan penuh harapan. Harapan duniawi apatah lagi ukhrowi. Paket komplet. Harapan itu senantiasa bikin hidup. Bikin bergairah. Yang membuat saya mampu bertahan di pelosok ini. Karena bikin hidup dan bergairahlah, harapan selalu menjadi musuh para diktator dan penjajah. Mereka selalu mematikan harapan budak-budak terjajah mereka. Tak pernah harapan itu yang sedikit terberi membesar, karena bagi mereka harapan yang besar bisa berbahaya. Berbahaya karena akan membuat perlawanan yang pada akhirnya mendongkel para tiran dari singgasana keangkuhannya.
Harapanlah yang membuat jiwa para pejuang senantiasa hidup melebihi kapasitas fisik mereka. Harapanlah yang membuat para pejuang berjuang mencapai cita pembebasannya. Terbebas dari penghambaan kepada makhluk yang sama-sama masih bisa mati.
Kali ini, di Ramadhan yang sebentar lagi datang, harapan minimalis saya adalah bisa berbuka puasa bersama dengan keluarga. Harapan maksimalisnya adalah bisa berjumpa dengan wajah Allah. Inilah anugerah tertinggi buat orang-orang yang berpuasa.
Semoga kita semua yang berpuasa mendapatkannya. Salam.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 03 Januari 2015