“Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa mempersatukan manusia,”
Nyi Londe.
Di suatu Ahad, jam enam lebih tiga puluh menit, Tapaktuan masih belum bangun. Dingin sisa malam masih terasa. Hawa hutan dan laut menyeruak menusuk indera penciuman. Sedikit orang berlalu-lalang di jalanan sepi. Beberapa tukang becak motor lewat dengan kencang mengantarkan orang menuju pasar dekat terminal.
Saya melangkahkan kaki menuju sebuah tempat satu-satunya deretan mural yang ada di Tapaktuan ini tergambar. Dekat Simpang Terapung. Di sebuah dinding beton yang berfungsi menahan dinding bukit agar tidak longsor dan sekaligus menjadi kanvas bagi gambar-gambar besar itu. Belum didapat informasi kapan dan oleh siapa mural ini dibangun.
Ada undakan bercat hijau dengan anak tiang klasik berwarna kuning yang menaik menuju jalan di atasnya dan berakhir di undakan paling ujung di sisi lain bukit. Tapi selama keberadaan saya di Tapaktuan, saya tidak pernah melihat ada orang melaluinya.
Mural ini menjadi ciri khas Tapaktuan. Walau tak sepanjang di Wall East Side Gallery, Berlin, Jerman, panjangnya mencapai lebih dari enam puluh meter dengan tujuh belas gambar naturalismenya. Aliran dalam seni lukis yang mencintai dan memuja alam dengan segala isi.
Diawali dengan teks yang ditulis besar-besar, Selamat Datang di Kota Naga. Kemudian pemandangan pelabuhan Tapaktuan yang dilihat dari atas Gunung Lampu. Dan masih banyak lagi mural lainnya yang menceritakan keseharian masyarakat Tapaktuan.
Tidak sekadar mengisi ruang kosong, mural di sini menyiratkan pesan-pesan dengan banyak makna daripada foto-foto para politikus di musim pemilu lalu. Dan memandangnya, saya jadi ingat sepenggal kalimat dalam novel Sang Pemimpi. Saat Kepala Sekolah, Julian Ichsan Balia berkata kepada tauke yang berusaha menyogok dirinya agar anaknya bisa masuk SMA, “Seperti Nicholas Beaurain digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu ‘kan kisah itu? Gairah Cinta di Hutan? Guy de Maupassant?”
Mural itu menggoda mata saya agar tak melepaskan pandangan saat melewatinya. Juga menggoda saya untuk menuliskannya. Tapi tak banyak kata-kata yang dapat diabadikan karena sebuah gambar saja lebih bermakna daripada ribuan kata-kata.
Gambar yang terekam dalam sebuah kamera yang sengaja saya bawa. Menjadi sebuah foto. Dan Amit Kalantri pernah bilang, “A photograph shouldn’t be just a picture, it should be a philosophy.”
Sebuah filosofi pernah diutarakan oleh Nyi Londe dalam akhir novel Tuan Tanah Kedawung. Saat Giran—di tengah derai hujan—menangis karena menyangka Ratna telah mengakhiri hidupnya dengan terjun dari atas tebing bersama anak yang pernah disakitinya, Girin.
Tapi Ratna ternyata tidak terjun dari tebing. Ia hidup dan datang menghampiri Giran yang terpaku. Giran memeluk Ratna dan Girin yang berusaha menjauh karena ia tidak tahu laki-laki asing itu adalah bapaknya.
“Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa mempersatukan manusia,” Kalimat ini keluar dari mulut tua pengasuh Giran, Nyi Londe. Dalam kehidupan nyata, sudah sebuah keharusan kasih dan sayang menjadi mural dalam jiwa. Jika tidak, dunia akan selalu penuh dengan peperangan. Tragedi.
Mural-mural Tapaktuan, mural-mural Giran, mural-mural kasih sayang.
Selamat datang…
Pelabuhan Tapaktuan dilihat dari ketinggian.
Tari Rapa’i Geleng.
Tari Seudati.
Pernikahan Adat.
Menyambut tamu dengan menyodorkan sirih.
Peudeung dan Reuncong.
Apakah ini Si Buta dari Gua Hantu? Soalnya ada monyet di pundaknya. Tuan Tapa?
Rumah Panggung.
Sang Naga.
Para pemetik pala di hutan.
Jangan pula dilupakan tentang kehidupan para nelayan.
Ini sepertinya botol minyak pala atau madu dengan dua nampan kue yang terpajang dalam sebuah etalase.
Religius.
Bertani dan berladang.
Gotong royong. Kerja…kerja…gajian.
Main layangan.
Ujung akhir mural. Tugu yang berbentuk tempat sirih itu.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Selamat hari pahlawan
10 November 2014