DI BAWAH NAUNGAN COLOSSEUM OF JAVA


DI BAWAH NAUNGAN COLOSSEUM OF JAVA

Subhanallah, waktu berjalan tiada berhenti. Tiada melambatkan waktunya sedikit pun. Meninggalkan segalanya. Dan sekarang sudah tanggal 3 Agustus 2014 saja. Meninggalkan tanggal 24 Juli 2014–sebagai saat terakhir saya menulis di Tapaktuan–di belakang. Sekarang saya berada di Semarang. Di sebuah masjid yang teduh, Masjid Agung Jawa Tengah. Tahun ini saya kembali mudik ke kota kelahiran istri. Untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat dan berziarah ke makam mertua.

Setelah menempuh ribuan kilometer dari Tapaktuan dan hanya beristirahat sehari semalam, maka dengan tekad dan niat yang diupayakan selurus mungkin saya berangkat mudik pada hari Ahad. Satu hari menjelang lebaran. Syukurnya Allah memudahkan segalanya. Perjalanan relatif dilancarkan. Hanya menemui sedikit kemacetan di Cijelag dan Jembatan Comal. Ya, untuk tahun ini kembali kami arungi medan laga jalur permudikan melalui jalur tengah. Via Cipularang keluar Gerbang Tol Purwakarta lalu tembus ke Situ Buleud, Wanayasa, Sumedang, Cijelag, Palimanan, Kanci, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal sampai ke Semarang.

Saya yang biasanya ‘ngantukkan’ ternyata mampu kuat mengendarai mobil sendiri tanpa istirahat tidur sampai Batang. Setelah di kota sebelah Pekalongan itu saya merasa capek dan harus berhenti. Sampai di rumah Semarang jam setengah empat pagi. Kalau ditotal maka kami telah menempuh jarak 558 KM dalam waktu 18,5 jam. Alhamdulillah kami  bisa salat Id di tempat. Padahal kami sudah tidak berharap dan tidak diupayakan dengan keras untuk segera tiba di Semarang. Mengingat kondisi jalan, situasi lebaran, dan hanya saya sendiri yang jadi supir.

Dan…sudah seminggu saja kami telah berada di Semarang. Saatnya kami meninggalkannya lagi. Kami harus kembali ke Jakarta. Masih ada waktu seminggu bagi saya berkumpul dengan keluarga sebelum saya kembali ke Tapaktuan. Di Semarang ini saya manfaatkan betul bersama dengan anak-anak. Terkadang berdua saja main dengan Kinan di Simpang Lima. Lalu berlima main di toko buku Gramedia. Terkadang bertiga saja dengan anak-anak laki. Contohnya saat salat di Masjid Agung Jawa Tengah ini. Saya, Mas Haqi, dan Mas Ayyasy saja. Kinan kemana? Kinan lagi asyik main dengan saudara-saudara sepantarannya di rumah. Ummu Haqi kemana? Lagi reuni dan silaturahmi ke teman lamanya sebelum besok Senin kembali ke Jakarta.

Ngomong-ngomong masalah main di toko buku itu. Aneh saja lebaran-lebaran malah main ke toko buku. Bukannya ke tempat wisata atau tempat kulineran. Tetapi kami senang-senang saja. Bagi saya buku-buku itu lebih menarik daripada baju baru, sedapnya masakan, suasana gembiranya rekreasi. Makanya saya dan anak-anak malah senang belanja buku. Dua buku inilah yang saya beli beberapa waktu yang lalu. Salah satunya sudah habis terbaca saat saya menulis catatan harian ini. Dua buku lama yang belum terbeli dan baru sekarang mampu termiliki.

image

Buku Karl May dan Felix Siauw yang terlambat dibeli dan terbaca.

Alhamdulillah, lagi-lagi banyak tahmid tertunaikan karena betapa banyak nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kami. Nikmat diberikan kemampuan untuk bisa berkunjung ke makam mertua di Magelang salah satunya dan nikmat lain berupa mencium tangan Kakek Buyut Mbah Rejo di Desa Wringin Putih.

image

Foto di atas adalah Mbah Buyut Mas Haqi, Mas Ayyasy, dan Kinan. Jadi ini pertemuan antara generasi pertama dengan generasi keempat. Sayang sekali generasi keduanya sudah tidak ada semua.

image

image

image

Foto selfie kami di Masjid Agung Jawa Tengah. Masjid terbesar di Jawa Tengah. Bukan sekadar masjid agung di Kota Semarang melainkan agung seprovinsi Jawa Tengah. Pantas disematkan kepada masjid ini karena kebesaran dan keindahannya. Bagi masyarakat Jawa Barat masjid semacam ini sudah biasa. Karena banyaknya masjid yang agung dan indah di provinsi dengan mayoritas penduduknya bersuku sunda ini. Ada Masjid Kubah Emas di Depok atau Masjid Azzikra (dulu bernama Masjid Muammar Qaddafy sebelum diprotes oleh Dewan Pemerintah Transisi Libya) dan Masjid Andalusia di Sentul. Walau masih kalah kebesarannya dengan Masjid Istiqlal di Jakarta. Tapi soal keindahan jangan ditanya. Ah, menginjakkan kaki di Masjid Agung Jawa Tengah ini seperti de javu saat kaki menginjakkan kaki di Masjid Syahdu bernama Masjid Azzikra.

Di Masjid Agung Jawa Tengah ini kami bertiga asyik dengan gadget-nya masing-masing. Saya asyik menuliskan cerita ini di aplikasi WordPress di telepon genggam. Berusaha menuntaskan apa yang harus dituntaskan sambil menunggu panggilan untuk menjemput Ummu Haqi. Bukankah sebuah tekad telah di-azzam-kan kalau seminggu minimal harus ada yang dituliskan. Inilah yang bisa saya persembahkan. Entah ada gunanya atau tidak bagi para pembaca. Namun bagi saya jelas ini adalah sebuah pahatan ingatan agar abadi dalam batu sejarah kami.

image

Sebagian ornamen eksterior penghias di Masjid Agung Jawa Tengah mengingatkan saya pada reruntuhan dinding colosseum di Roma.

Di bawah naungan dinding semacam colosseum–bolehlah saya menyebutnya demikian–tempat para gladiator bertarung mempertahankan nyawanya, dinding  colosseum yang bertuliskan ayat-ayat cinta Sang Mahakuasa, Colosseum of Java, tertulislah sebagian lembaran sejarah kami. Rumah ingatan kami. Di lebaran 1435 ini. Yang tak boleh terlupa. Karena dari sejarahlah kita lahir menjadi manusia-manusia yang tak mau mengulangi keburukan yang pernah ada. Saatnya kita melangkah. Itu saja. Mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘a’idzin walfaizin. Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyamana washiyamakum.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
3 Agustus 2014

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.