DIVIDEN TERSELUBUNG


DIVIDEN TERSELUBUNG

Saya ditanya beberapa hal secara pribadi oleh pembaca blog ini tentang dividen terselubung. Daripada jawaban itu lenyap dan hanya bisa dinikmati sendiri oleh sang penanya alangkah lebih baiknya saya tulis masalah ini.

Definisi

    Namun perlu didefinisikan terlebih dahulu apa itu yang disebut dividen (bukan deviden loh yah…). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

/dividén/ n
Dag
1 bagian laba atau pendapatan perusahaan yg besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kpd para pemegang saham; 2 sejumlah uang yg berasal dr hasil keuntungan yg dibayarkan kpd pemegang saham sebuah perseroan;
akhir tahun
Dag dividen yg dideklarasikan sesudah laba bersih tahun yg bersangkutan ditentukan secara cermat; — ekstra
Dag pembayaran dividen tambahan di luar dividen tahunan, tetapi tidak merupakan kewajiban yg harus dilakukan; — saham
Dag dividen dl bentuk saham dr salah satu golongan saham sendiri pd perusahaan yg bersangkutan

Objek Pajak Penghasilan

Dividen termasuk objek Pajak Penghasilan (PPh). Di Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) tepatnya pada Pasal 4 ayat (1) huruf g disebutkan bahwa yang menjadi objek PPh adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Tapi ada pula yang bukan menjadi objek PPh sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah antara lain:

dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

  1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
  2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

     

Tarif PPh atas Dividen

  1. yang diterima oleh orang pribadi dikenakan tarif sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final sesuai Pasal 17 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010.
  2. Sebesar 15% untuk dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g.

 

Motif Utama

Motif utama orang atau badan untuk memberikan atau menerima dividen terselubung adalah agar tidak dikenakan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Seharusnya yang memberikan dividen wajib memotong penghasilan itu pada saat dibayar atau pada saat terutang. Dan yang menerima harus pasrah saat dividennya tidak diterima utuh karena harus dipotong pajak terlebih dahulu. Nah, agar tidak dikenakan PPh maka banyak Wajib Pajak menyiasatinya.

Jadi ada istilah dividen terselubung hanyalah karena adanya motif ekonomi seperti ini. Pemberian-pemberian atau insentif-insentif kepada pemegang saham yang secara substansi atau hakikatnya adalah dividen, namun tidak dicatat atau diakui sebagai dividen, inilah yang dimaksud sebagai dividen terselubung . Contoh macam-macam dividen terselubung ini dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

Antimotif

    Oleh karena itu agar tidak terjadi banyak yang menghindar dari pengenaan PPh ini, dalam UU PPh disebutkan bahwa dividen yang menjadi objek PPh adalah dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

  1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
  3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
  4. pembagian laba dalam bentuk saham;
  5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
  6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham‐saham oleh perseroan yang bersangkutan;
  7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun‐tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran_kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
  8. pembayaran sehubungan dengan tanda‐tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda‐tanda laba tersebut;
  9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
  10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
  11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
  12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

 

Hubungan Istimewa

    Apakah dividen terselubung itu berkaitan dengan hubungan istimewa? Kalau dilihat dari alur pembayarannya yang menuju kepada pemilik perusahaan maka dapat dikatakan berkaitan. Namun dilihat dari transaksinya maka bisa iya dan bisa pula tidak ada kaitannya.

Karena yang disebut adanya hubungan istimewa, salah satunya apabila Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain. Dividen yang diberikan kepada pemegang saham yang memiliki saham 10% dari total saham tidak ada kaitannya dengan masalah hubungan istimewa, karena kepemilikannya di bawah 25%.

 

Contoh-contoh Gampang Dividen Terselubung

PT Merdeka Setelahnya Sejahtera Adil (MSSA) dimiliki oleh
Ahmaad Bin Ladin dengan penyertaan 10% dari total keseluruhan saham. Sedangkan sebesar 30% dimiliki oleh PT
Durhaka Pada Orangtua Kualat (DPOK). Sebanyak 20% saham dimiliki oleh PT Beranak Pinak Dalam Kubur (BPDK). Sisanya
mayoritas dipegang oleh PT Banyak Anak Banyak Rezeki (BABR).

Dari komposisi kepemilikan saham tersebut, maka bagian laba yang diberikan kepada pemilik saham yang berpotensi untuk dikenakan PPh adalah Ahmaad Bin Ladin dan PT BPDK. Mengapa? Karena Ahmaad Bin Ladin adalah orang pribadi dan tak ada pengecualian pemotongan PPh atas dividen bagi orang pribadi serta PT BPDK karena memiliki saham di bawah 25%.

Pada
tahun 2010 PT MSSA memperoleh laba bersih sebesar Rp100 milyar. Pada dasarnya setiap keuntungan yang ada di dunia bisnis selalu bermuara pada dua hal yakni laba itu dibagikan kepada pemegang saham atau ditahan untuk penggunaan operasional perusahaan selanjutnya.

Pada saat laba itu dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen maka ada yang merupakan objek PPh Pasal 23, objek PPh Pasal 21, atau bahkan bukan objek PPh. Biasanya untuk memperbesar kepemilikan pada perusahaan maka pemegang saham menanam kembali uangnya sebagai tambahan modal. Silakan saja. Tidak ada masalah. It’s oke. No problemo.

Yang jadi masalah adalah untuk menghindari pajak, pemegang saham sepakat dengan direksi untuk mengalihkan dividen tersebut dengan menambah modal secara langsung tanpa ada pembagian dividen. Inilah yang dinamakan dividen terselubung.

Jadi misalnya PT MSSA di awal tahun 2010 modalnya Rp500 milyar, dengan laba ditahan Rp200 milyar. Di akhir tahun 2010 ada keuntungan Rp100 milyar. RUPS sepakat ada dividen buat pemegang saham sebesar Rp60 milyar, dan operasional perusahaan selanjutnya (laba ditahan) sebesar Rp40 milyar.

Siapa yang kena PPh? Tentu Ahmaad Bin Ladin yang dapat tambahan modal sebesar Rp6 milyar (Rp60 milyar x 10%) dan PT BPDK yang mendapat tambahan modal sebesar Rp12 milyar (Rp60 milyar x 20%). Ahmaad bin Ladin seharusnya dipotong PPh Pasal 21 oleh PT MMSA sebesar 10% dan PT BPDK dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Biasanya untuk menghindar pajak, maka PT MMSA tidak membagikan dividennya secara langsung tapi mengalihkannya sebagai penambah kepemilikan modal/saham sehingga dari kasus tersebut maka modal bertambah menjadi Rp560 milyar, laba ditahan sebesar Rp240milyar, dan dividen Rp 0 (tak ada dividen yang dibagikan). Tambahan modal Rp60 milyar inilah yang disebut dividen terselubung. Ini hanya contoh sederhana saja.

Contoh gampang lainnya adalah PT MSSA berniat menjual mobil dinas direkturnya seharga Rp1 milyar sesuai dengan harga pasar. Maklum mobil dinasnya adalah Ferrari. Untuk tahun 2011 mau diganti dengan Lamborghini. Karena yang membeli Ferrari bekas itu adalah pemegang sahamnya maka harganya dipatok oleh PT MSSA cuma sebesar Rp500 juta sahaja. Selisih Rp500 juta inilah yang disebut dividen terselubung. Tarifnya? Kalau pemegang sahamnya itu adalah orang pribadi (yang beli adalah Ahmmad Bin Ladin) dikenakan PPh Pasal 21 sebesar 10%, sedangkan jika badan usaha (PT BPDK)maka dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Contoh lainnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham PT MSSA memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar
Rp50 juta.
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya
dibayar sebesar Rp20 juta, jumlah sebesar
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi
tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30 juta dimaksud dianggap sebagai dividen.

Dalam praktek sering dijumpai pembayaran dividen seperti ini misalnya yakni dalam hal pemegang saham PT MSSA yang telah menyetor penuh modalnya dan
memberikan pinjaman kepada PT MSSA dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang
dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian
bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya
oleh perseroan yang bersangkutan.

Pemeriksa Pajak akan jeli melihat ini. Menjadikannya objek temuan. Lalu Penelaah Keberatan akan mempertahankan temuan pemeriksa. Dan Majelis Hakim akan memenangkan Terbanding (DJP). PT MSSA kalah total.

Tapi itu hanya transaksi sederhana. Ada yang lebih rumit lagi sehingga mengaburkan pandangan Pemeriksa Pajak, Penelaah Keberatan, serta Majelis Hakim. Yang pada intinya hanya untuk menghindar pengenaan PPh.

Ini sebuah korupsi? Kecurangan? Atau canggihnya tax planning Wajib Pajak? Anda yang bisa menjawabnya sendiri. Saya memilih yang kedua.

***

 

Maraji’:

  • Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tanggal 14 Juni 2010.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring

 

Tags: pajak penghasilan, pph pasal 23, dividen terselubung, majelis hakim, pengadilan pajak, tax planning, penelaah keberatan, pemeriksa pajak, ferrari, Lamborghini, hubungan istimewa.

 

 

dedaunan di ranting cemara

Riza Almanfaluthi

05.48 13 November 2010

pagi yang dingin

RESIKO PEMINDAHBUKUAN TELAT DIBUAT


RESIKO PEMINDAHBUKUAN TELAT DIBUAT

 

Di negeri antah berantah yang kondisinya sama dengan kondisi Republik Indonesia saat ini terdapat sebuah kisah. PT MERAPI GONJANG GANJING (untuk selanjutnya disingkat PTMMG) mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak. Alasannya karena pada saat pemeriksaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Tahun Pajak 2007, Pemeriksa Pajak tidak mengakui kredit pajak sebesar Rp250.000.000,00. Padahal Wajib Pajak merasa telah melakukan penyetoran PPh Pasal 21 pada masa pajak Januari s.d. Desember 2007. Mengapa?

Menurut Pemeriksa, kredit pajak sebesar itu tidak dapat dipertimbangkan karena berdasarkan bukti Surat Setoran Pajak (SSP) yang ada, nama yang tertera dalam SSP bukan nama PTMMG tapi nama perusahaan lain yaitu PT MENTAWAI TURUT BERDUKA (PTMTB). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan alamatnya pun salah.

Pada saat proses permohonan keberatan, bukti Pemindahbukuan (Pbk) yang disodorkan oleh Wajib Pajak—dalam hal ini Wajib Pajak telah mengakui terdapat kesalahan dalam pengisian SSP-nya sehingga mengajukan permohonan pemindahbukuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama—tidak juga diakui oleh Penelaah Keberatan Kantor Wilayah (Kanwil). Mengapa juga?

Menurut Penelaah Keberatan Kanwil, bukti Pbk tidak dapat dipertimbangkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 karena bukti Pbk itu baru ada setelah SKPKB PPh Pasal 21 terbit.

Dalam persidangan di depan Majelis Hakim, Wajib Pajak mengatakan bahwa sebenarnya pada saat proses pemeriksaan sudah diajukan permohonan pemindahbukuan namun bukti pemindahbukuan baru ada pada saat pemeriksaan sudah selesai.

Terbanding (dalam hal ini adalah DJP) menyanggah pernyataan Wajib Pajak tersebut dengan menguraikan kronologis sebagai berikut:

  • 29 Desember 2008: SKPKB PPh Pasal 21 terbit;
  • 18 Maret 2009: Wajib Pajak mengajukan permohonan pemindahbukuan;
  • 26 Maret 2009: Permohonan Keberatan Wajib Pajak diterima KPP Pratama;
  • 17 Mei 2009: Diterbitkan bukti Pbk oleh KPP Pratama yang tanggal berlakunya sama dengan tanggal terbit bukti Pbk tersebut;
  • 21 Desember 2009: Terbit surat keputusan keberatan;
  • 20 Maret 2010: Permohonan Banding Wajib Pajak diterima Pengadilan Pajak.

Dari kronologis tersebut Majelis Hakim menanyakan kepada Wajib Pajak pengajuan permohonan pemindahbukuan itu disampaikan sebelum pemeriksaan atau sesudah pemeriksaan. Wajib Pajak mengatakan sesudah dilakukannya pemeriksaan. Pada saat pemeriksaan baru sebatas omong-omong kepada Pemeriksa Pajak.

Dari keterangan yang dikumpulkan dalam persidangan baik dari Wajib Pajak dan Terbanding maka Majelis Hakim menilai bahwa penerbitan SKPKB tersebut sudah betul. Tidak ada sengketa dalam SKPKB itu. Karena sampai dengan diterbitkannya SKPKB, tidak ada SSP yang dianggap absah untuk dijadikan kredit pajak. Siapapun—dalam hal ini Pemeriksa Pajak—tidak akan berani untuk mengkreditkan SSP yang bukan milik Wajib Pajak terkecuali siap menanggung resiko dipenjara.

Terkecuali pula jika bukti Pbk diterbitkannya sebelum selesai pemeriksaan dan tidak diakui oleh Pemeriksa Pajak, maka hal ini lain soal. Berarti ada masalah dalam penerbitan SKPKB-nya. Ini baru ada sengketa.

Majelis Hakim pun menilai bahwa uang sebesar Rp250.000.000,00 milik Wajib Pajak itu masih tetap ada. Dan merupakan wewenang administrasi perpajakan—dalam hal ini adalah KPP Pratama—untuk memindahbukukan (baca: menyelamatkan) uang yang ada dalam bukti Pbk tersebut untuk pembayaran jenis pajak lainnya.

Selesai sudah kisah ini.

***

Tags: Permohonan Banding, keberatan, SKPKB, PPh Pasal 21, Pengadilan Pajak, Pemindahbukuan, surat keputusan keberatan, wajib pajak, majelis hakim, pemeriksa pajak, penelaah keberatan, terbanding, kpp pratama, kanwil, tata cara pengajuan permhonan banding, tata cara pengajuan keberatan.

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

01.28 6 November 2010

APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?


APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?

Pembaca sekalian dengan adanya penerapan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru, teman saya juga ada yang bertanya kepada saya mengenai transaksi yang dibuat pada bulan Maret 2010. Bagaimana dengan perlakuannya apakah masih menggunakan undang-undang lama atau harus memakai yang baru?

Karena konsekuensinya ketika memakai Undang-undang PPN yang baru maka faktur pajak atas transaksi yang terjadi di bulan Maret 2010 harus dibuat di bulan Maret 2010 semuanya dan tidak boleh dibuat sampai paling lambat akhir April 2010.

Terbukti pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajaknya karena atas transaksi bulan Maret 2010 ia buat faktur pajaknya di bulan April 2010. Takut kalau pelanggan teman saya itu ketika diperiksa oleh Pemeriksa Pajak akan dikoreksi karena dianggap sebagai faktur pajak cacat dan tidak dianggap sebagai kredit pajak.

Oleh karena itu teman saya meminta penjelasan kepada saya apakah atas transaksi bulan Maret 2010 masih bisa diterbitkan faktur pajak pada Bulan April 2010?

Oke, karena dia bertanya kepada saya, maka saya jawab pertanyaannya.

Bahwa Undang-undang PPN yang lama seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, antara lain mengatur:

Pasal 13 ayat (4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Aturan di bawahnya juga seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, antara lain mengatur:

Pasal 2 ayat (1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :

  1. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  5. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1a), bahwa Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
    1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
    2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

  2. Pasal II, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Maka berdasarkan ketentuan di atas saya menyimpulkan bahwa dikarenakan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010 maka sepanjang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terjadi pada bulan Maret 2010, Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:

  1. pada akhir bulan April 2010 dalam hal pembayaran diterima setelah bulan April 2010;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan April.

Tak selayaknya pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajak ini. Pemeriksa Pajak juga tidak sebego yang mereka kira. Mereka juga baca aturan ini. Tapi kekhawatiran ini patut dimaklumi juga agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.

Semoga bermanfaat artikel ini.

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

02.31 01 Mei 2010

citayam dinihari masih panas juga

tulisan ini didekasikan untuk teman saya dimaksud juga untuk masyarakat perpajakan indonesia

Pajak, PPN, UU PPN baru, UU PPN Lama, UU no.8 tahun 1983, uu PPN no.42 tahun 2009, uu ppnno. 18 tahun 2000, faktur pajak standard, faktur pajak standar, faktur pajak ppn, pajak masukan, pajak kelauran, pemeriksa pajak, auditor pajak, masa transisi, per.13/pj/2010, spt masa ppn, pajak pertambahan nilai,