RIHLAH RIZA #29: UZLAH DI MENARA


RIHLAH RIZA #29: UZLAH DI MENARA

 

Kita sama melebur menghancur jumawa diri

Kita melebur di titik nol: puncak sunyi diri sendiri.

(Nanang Cahyadi, Kosong)

Ahad pagi, saat langit Tapaktuan masih kelabu, ketika laut di depan mess masih berwarna hitam, sewaktu jarum jam sudah menunjuk angka tujuh. Saya ikatkan dengan kencang tali sepatu olahraga yang jarang dipakai ini. Sambil jalan kaki mengisi hari libur, niatnya saya ingin pergi ke suatu tempat, bukit yang bernama Gunung Lampu.

Gunung Lampu ini tempat situs tapak kaki raksasa Tuan Tapa berada. Tapi saya tidak akan ke sana. Saya akan pergi ke puncak tertingginya. Tempat banyak menara. Menara yang sering dijadikan tempat bertengger elang laut setelah berburu mangsa. Waktu kunjungan pertama ke situs tapak raksasa itu bersama teman-teman dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh saya tidak sempat menaikinya.

Kali ini saya memang tekadkan untuk pergi ke sana. Untuk apa? Tentu sekadar melihat keindahan kota Tapaktuan dan samudra dari ketinggian. Bukan untuk menerjunkan diri dengan sebebas-bebasnya. Lalu judul headline macam mana pula di koran lokal sini bila yang terakhir terjadi? Lagi, Pegawai Pajak Stres Bunuh Diri. Na’udzubillaahimindzalik.

Jalan kaki dari mess menuju kaki bukit ini sudah cukup membuat berkeringat. Dari kaki bukit saya menyusuri jalan setapak yang sudah di semen. Sampai akhirnya menemukan sebuah persimpangan. Jalan setapak lurus akan menuntun kita ke jejak Tuan Tapa, sedangkan kalau ke kanan maka akan ke puncak Gunung Lampu. Perlu upaya keras lagi ketika menyusuri jalan setapak yang meninggi dengan kemiringan hampir 45 derajat ini.

Dedaunan kering memenuhi jalan setapak, pohon-pohon dengan daun yang menguning dan terbakar memenuhi ruang pandang. Sebagian pohon masih hidup dan hijau, tempat burung-burung entah apa namanya terbang bergerombol ketika saya berada di bawah melewati sarang mereka. Keberadaan saya mengusik mereka.

Di tengah perjalanan saya berhenti sejenak, duduk di anak tangga, dan memandang sekitar. Hening mendominasi. Sesekali terdengar kicauan burung dan debur ombak di bawah sana. Saya tidak cukup terlena dengan pemandangan yang ada. Akan banyak keindahan yang tersaji di atas sana. Tak seberapa lama kemudian saya sudah sampai di ujung anak tangga paling tinggi. Di sinilah tempatnya. Tapi saya tidak berhenti sampai di sini.

Saya menuju menara bercat putih setinggi kurang lebih 30 meter itu. Tapi ini tidak mudah karena harus menyusuri jalan setapak tanah dengan ilalang setinggi dada. Tak berapa lama, saya sudah berada di bawah menara. Di samping menara ada sebuah bangunan yang sudah rusak. Di atas bangunan tersebut berdiri menara lain yang sudah rusak dan berkarat.

Bukan menara itu yang ingin saya naiki. Tapi menara di atas kepala saya ini. Menara yang bercat putih. Seperti tempat tandon air di rumah-rumah namun untuk yang ini dalam ukuran raksasanya. Berdiri kokoh menjulang menusuk langit tapi belumlah setinggi menara BTS. Di pucuknya ada lampu stadion berwatt tinggi yang tak tahu apakah masih berfungsi atau tidak.

Saya kemudian menekadkan diri menaiki menara. Sepertinya tak perlu tinggi-tinggi dulu pada pengalaman pertama. Jadi saya cuma bisa sampai di bordes pertama saja. Bordes adalah tempat mengistirahatkan kaki sejenak ketika menaiki tangga. Mungkin ketinggiannya berkisar lima meter saja dari permukaan puncak Gunung Lampu. Tapi ini sudah membuat saya gamang. Karena terlihat betapa jauhnya permukaan laut dari atas sini.

Umur yang sudah tidak muda lagi, otak kiri yang mendominasi, suara guntur yang bersahut-sahutan, menahan langkah kaki menuju bordes berikutnya. Nyali saya kalah jauh dari Rika Adriana, gadis Pontianak, yang menaiki menara BTS setinggi 75 meter untuk melihat keindahan Bumi Laskar Pelangi di Gantung, Belitong. Padahal ketika di sekolah dasar pun, saya bersama teman bernama Rica masih bisa tidur-tiduran di puncak tertinggi menara PDAM Jatibarang. Menikmati matahari pagi dan melihat pemandangan Kali Cimanuk. Masih berani.

Papan besi bordes berukuran 50 cm x 100 cm dengan pegangan setinggi pinggang menahan saya jatuh ke bawah. Di sinilah saya berdiri dan lama memandang sekitar. Memerhatikan pelabuhan dari jauh, perahu di tengah laut, rumah-rumah di tengah kota, dan pantai di sebelah utara. Saya menunggu elang laut itu, yang ternyata tidak pernah datang.

Menuju puncak butuh keberanian dan tekad yang kuat. Tekad kuat mendorong orang untuk berani melangkah ke depan dan ini beda tipis dengan jumawa. Karakter terakhir akan menjerumuskan orang ke dalam jurang kehancuran. Karena semakin naik ke atas hambatannya semakin besar. Gravitasi, angin, kegamangan adalah contohnya. Sepertinya menuju ke atas pun harus bersama dengan yang lain. Tidak bisa sendiri, karena butuh orang yang senantiasa menguatkan kita untuk terus naik menggapai asa yang menggantung. Butuh pula orang yang berani menjadi tolok ukur ketika kita hanya bisa menjadi pengikut. Suatu saat kelak saya akan bersama teman untuk menuju puncak menara ini.

Langit masih kelabu. Ada hening yang menguasai di sini. Ini menenteramkan. Lalu setelah lama menatap keindahan alam dari atas ketinggian, saya putuskan untuk turun dan pulang. Uzlah (mengasingkan diri dari keramaian) ini harus segera diakhiri. Kantung bahagia saya sudah penuh. ‘Aid alQarni pernah bilang kalau aroma yang harum mewangi, makanan lezat, dan pemandangan yang membangkitkan pesona akan membawa penerangan dan kebahagiaan pada jiwa. Insya Allah.

Bagi mereka yang suntuk dengan rutinitas yang membosankan, keramaian yang melalaikan, mari pergi dari sana, menyepilah. Rihlahlah. Beruzlahlah. Pergilah ke tempat indah. Nikmati dan rasakan bahagia itu memenuhi aliran darah.

Sudilah kiranya, di akhir ini, saya seorang hamba bertanya kepada Tuan dan Nyonya, “Akan uzlah kemana setelah ini?”

 

Menara putih di atas Gunung Lampu yang gambarnya saya ambil beberapa waktu lalu. (Foto koleksi pribadi).

 

Ini jalan setapaknya (foto koleksi pribadi).

 

Lagi, jalan setapak itu (foto koleksi pribadi).

 

Pelabuhan Tapaktuan dari ketinggian di bordes pertama menara putih (Foto koleksi pribadi).

 

Sisi pantai di utara dilihat dari kejauhan (Foto koleksi pribadi).

 

Puncaknya masih jauh (Foto koleksi pribadi).

 

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 2 Maret 2014

JALAN SUNYI PARA PENYAIR


Jalan Sunyi Para Penyair

Saya mencintai puisi seperti saya mencintai diri saya sendiri. Seperti saya mencintai cahaya pagi, senja sore, purnama bulat, adzan maghrib di antara rel Bandung Purwakarta, air laut di pantai, biru, telor dadar, nasi jamblang, es podeng, senyum, mata indah, lesung pipit, google, gmail, dan gtalk.

Dari dulu hingga sekarang. Saat sajak dan puisi dibacakan di depan kelas, pada peringatan tujuh belas agustusan, perlombaan baca sajak, hingga pada doa-doa yang terpanjatkan di setiap acara formal ataupun informal.

Ketika saya diminta oleh ibu guru kesenian untuk menyanyi di depan kelas, saya memelas untuk tidak bernyanyi karena memang saya tidak bisa menyanyi. Saya menawarkan membaca puisi tanpa teks. Dia menerima. Saya bacakan sajak Chairil Anwar. Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang…

Itu di depan kelas namun adanya api unggun, dentingan gitar, jaket tebal, di atas panggung rakyat yang melingkar setengahnya saja ibarat colloseum adalah pasangan yang teramat cocok atas sebuah puisi dan sajak yang terbaca di suatu malam.

Dan piagam penghargaan serta sarung biasa menjadi suvenir atas tiap kemenangan waktu itu. Terakhir di tahun 2010. Terima kasih kepada yang telah memberikan baju batik hanya disebabkan saya menjadi pemulung kata-kata pada setiap acaranya. Padahal saya tak mengharapkan apapun.

Mungkin sebelumnya hanya jadi pembaca dan penikmat, namun semenjak sma (sekolah menengah atas, kini smu) kata-kata itu mulai dipulung dari pikiran sendiri. Walau tidak terdokumentasi dengan baik hingga kuliah bahkan sampai tahun 2002 akhir. Setelah itu barulah puisi atau sajak-sajak yang terserak dikumpulkan menjadi beberapa helai di ranting cemara.

Yang pasti semua puisi itu lahir dari kegelisahan jiwa atau pada saat romantisme menggila. Mewujud hanya untuk menjadi dua kata, dua kalimat, atau tanpa batas dengan spontanitas, dua menit, tiga menit, bahkan tiga jam-an lebih untuk membuatnya. Pagi, siang, sore, malam atau dinihari. Baik sepi maupun ramai. Implisit, samar dengan makna yang tersirat, penuh dengan konotasi. Tersirat menjadi puisi atau tersirat dengan materi isi menjadi sebuah sajak.

Maka Nanang Cahyadi menguraikan puisi itu menjadi: “apa yang dibocorkan puisi kepadamu? mungkin semacam rahasia yang disembunyikan di dalam kepala dan dada, di dalam rindu yang tak terkata…”

Karena puisi itu bersembunyi dalam kerumitan pemaknaan kata maka sesungguhnya penyair dan seluruh pemulung kata-kata itu—atau apapun namanya mereka—pun seringkali terjerembab dalam jalan setapak yang sunyi. Jalan yang dinikmati mereka sendiri. Tidak ada orang lain. Namun, kalaupun ada, orang itu datang dengan dahi mengerenyit sambil berkata: “maksudnya apa sih?”

Mendengar pertanyaan itu, mereka para penyair hanya bisa mendeklarasikan kalimat sakti Roland Barthez: “pengarang telah mati.” Semua makna diserahkan kepada pembaca. Apapun maknanya. Maka akan banyak tafsir yang muncul atas sebuah puisi. Bahkan kalimat maksudnya apa sih yang terlontar itu adalah salah satu tafsirnya. Tafsir dari ketidaktahuan. Jika penyair memaksakan diri untuk menjelaskan karyanya pada satu pemaknaan tunggal maka mengapa penyair tidak sekalian saja untuk berhenti membuat syair, puisi, atau sajak dan cukup dengan—mengutip Wildan Nugraha—membuat makalah serta mempresentasikannya.

Maka ketika semua itu diserahkan kepada pembacanya, saya—yang nyaman disebut pemulung kata-kata, bukan penyair—lebih mendefinisikan kembali tentang arti puisi itu. Bagi saya, ia adalah tempat menyembunyikan sesuatu. Terkadang dengan satu atau beberapa kata yang lugas dan jelas namun seringnya penuh makna. Saya merasa aman menyembunyikannya. Bahagia, marah, sedih, riang, tertawa, cinta, dan rindu. Yang pasti dan terakhir: puisi adalah tempat jiwa melabuhkan asa dan rasa.

Untuknya…

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03.59 18 Februari 2011

Tags: wildan nugraha, nanang cahyadi, roland barthes, pengarang telah mati, puisi, sajak, syair

diunggah pertama kali di:

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/02/18/jalan-sunyi-para-penyair/