DIPELUKMU, ADA SAYANG YANG ABADI


DIPELUKMU, ADA SAYANG YANG ABADI

 

HuG_by_1uno

 

Anak itu gagal mendapatkan bintang biru sebagai tiket ke Jakarta dalam ajang audisi Idola Cilik 2012. Tangis yang menyertainya tidak meluluhlantakkan hati seorang ibu untuk menghiburnya, untuk memeluknya. Yang ada adalah kemarahan dan kekesalan yang ditumpahkan pada sang anak. “Kamu sih…salah kostum.”

Sang suami kecewa terhadap perlakuan istri terhadap anak mereka. “Sudah…sudah! Sekarang tidak ada lagi acara libur-liburan di Bandung ini. Kita langsung pulang saja ke Jakarta,” kata sang suami. Acara senang-senang setelah audisi yang semula direncanakan itu gagal total hanya karena sang ibu salah menyikapi kegagalan sang anak. Salah yang berbuah luka.

Di waktu lain. Sebuah pesan masuk ke dalam perangkat selular seorang ayah. Dari anaknya yang tengah belajar di pesantren di suatu lembah antara Gunung Gede dan Gunung Salak. “Abi janji enggak akan marah kalau nilai merahnya banyak?” Sang ayah terdiam lalu membalas pesan pendek itu, “Kita lihat saja nanti.”

Saat liburan Idul Adha tiba, sang anak pulang ke rumah dan menyerahkan lembaran rapot sementaranya. Lebih dari tujuh mata pelajaran terbakar dengan warna merah menyala. Sang ayah menatap sang anak yang sudah ketakutan itu. Sang ayah merentangkan kedua belah tangannya lebar-lebar dan bilang, “Peluk Abi.”

Sang ayah tahu betul, di saat itu sang anak tak butuh ceramah apalagi amarah. Yang dibutuhkan adalah pelukan untuk menguatkan dan meneguhkannya. “Masih ada waktu. Ayo perbaiki,” cuma pesan itu yang terkatakan. Ada sayang yang abadi.

Di lain waktu, ia, seorang sahabat sangat karib, sudah bertekad untuk tak menceritakan apapun kesusahan dan derita kepada ayahnya, walau sudah tak tertanggungkan oleh dirinya. Apa sebab? Hanya semata-mata ayahnya pernah berkata, “pokoknya Papa tidak mau tahu urusanmu. Jangan buat Papa mati.” Tak ada komunikasi, apalagi pelukan yang menghangatkan dan membakar lara.

Pun seharusnya pelukan itu mendamaikan. Jika itu dilakukan tanpa hipokrasi. Maka adalah niscaya untuk para politikus yang berada di Senayan. Saat mereka melancarkan kekerasan verbal yang membuat gaduh negeri ini. Bagaimana tidak, kata-kata seperti “dicincang” mudah keluar dari mulut seorang Gus Choi saat mengomentari tingkah Sutan Bhatoegana yang dianggap melecehkan Gus Dur. Ayolah berpelukan.

Pelukan itu adalah hasrat memaafkan. Percaya tidak jika memaafkan orang yang bersalah itu melegakannya, sedangkan memaafkan orang yang tak bersalah itu melegakan kita? Pelukan itu mendamaikan dan perdamaian membutuhkan memaafkan.

Maka ingatkah Anda kapan pelukan terakhir itu hinggap dibahumu seperti hujan yang mengguyur kegersangan di awal musimnya? Atau ada amnesia yang menjelma karena Anda lupa kapan terakhir memeluknya?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Ri, aku semakin mencintaimu

12:42 06 Desember 2012

Sumber gambar dari sini.

SAYA DULU ADALAH ANDA SAAT INI


SAYA DULU ADALAH ANDA SAAT INI

 

Saya sibak tirai kamar hotel lantai 10 pagi ini. Gunung Salak terlihat jauh di sebelah selatan. Bangunan tinggi-tinggi banyak menjulang di kejauhan. Terselip di antaranya pemukiman padat. Khas Jakarta. Terlihat pula keramaian kendaraan bermotor tiada henti melewati jalan di bawah sana.

    Seringkali saya berlama-lama menyaksikan apa yang ada di balik tirai ini. Indah sekali menurut saya. Menginspirasi. Apalagi lanskap pada waktu malam hari. Kelap-kelip lampu gedung, motor, dan mobil. Tentu pula antriannya. Baik yang ada di tol maupun non-tol. Pemandangan biasa yang menjadi keseharian ibukota.

    Saya bersyukur mendapatkan kamar yang sedemikian rupa. Lebih bersyukur lagi saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti workshop pelatihan menulis yang diadakan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA), Direktorat Jenderal Pajak, selama tiga hari ini.

    Begitu banyak yang didapat. Bertemu dengan begitu banyak orang, dengan berbagai karakter dan asal. Dari barat Indonesia maupun timurnya. Begitu banyak talenta. Begitu banyak semangat membara untuk membuat Direktorat Jenderal Pajak menjadi lebih baik lagi melalui pena-pena yang tergores di atas kertas.

    Kini, saat saya menulis lembaran ini, matahari pagi memboroskan cahayanya hingga memenuhi ruangan kamar hotel. Amat saya rindukan atmosfer ini. Seperti saat saya shalat dhuha di saung tengah sawah bermandikan kirana surya beberapa tahun yang lampau.

    Seperti pula rindunya saya pada sesuatu yang bernama konsistensi dalam menulis. Untuk punya komitmen menulis apa saja di setiap hari.Hingga ide di kepala ini terkuras habis. Atau maut memutus segala kenikmatan.

    Sebenarnya inilah jawaban kepada teman-teman—baik peserta atau kawan di berbagai tempat di luar sana—yang mengeluhkan tentang ketidakmampuannya untuk menulis. Kok mereka mengeluh pada saya yah padahal saya bukan penulis buku, terkenal apalagi, saya cuma blogger yang berusaha untuk tetap menulis dan menulis.

C’mon beib…kamu bisa. Hapus semua mental block yang ada. Takkan terulang lagi keluar dari mulut kita kata-kata yang melemahkan kemauan kita untuk menulis. “Saya dulu adalah Anda saat ini,” begitulah kalimat saya yang terucap kepada mereka. “Anda cuma butuh konsistensi untuk menulis apa saja di setiap hari,” terang saya lagi.

Realitanya, sungguh saya senang dengan keluhan mereka. Itu adalah ungkapan hati dan benih dari sebuah kejernihan yang tak bisa dibohongi bahwa mereka ingin berkarya. Wow…Mereka ingin maju. Mereka ingin menghasilkan karya. Mereka ingin menelurkan buku. Mereka ingin ada sebuah keabadian yang akan dikenang oleh anak cucu.

Apapun niatan mereka, takkan berhasil jikalau mereka—setelah membaca tuntas artikel ini—tak segera ambil kertas, buka laptop, dan langsung menuliskan apa saja yang ada di benak mereka. Kawan, saat ini tulis apa saja yang kau rasa, derita, pikirkan, bayangkan. Semuanya. Dan saya selalu akan menunggu karyamu.

Sang baskara mulai meninggi.

***

 

Tags: kitsda, djp, tips menulis, blogger, workshop, pelatihan, gunung salak.

    

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

semua orang bisa menulis

06.40 04 Desember 2010

    

Termuat pertama kali di: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/04/saya-dulu-adalah-anda-saat-ini/

 

PERALATAN WAJIB DIBAWA UNTUK MUKHOYYAM


PERALATAN WAJIB DIBAWA UNTUK MUKHOYYAM

Ini adalah oleh-oleh dari mukhoyyam (berkemah) yang saya ikuti sejak tanggal 28 sampai dengan 31 Januari 2010. Tentang apa-apa yang harus dibawa oleh kita sebagai peserta mukhoyyam. Tentunya catatan ringan ini buat kita-kita para amatiran yang memang bukan pecinta alam sejati yang kesehariannya mereka sudah terbiasa bercengkrama dengan alam terbuka.

Yang pasti alat-alat ini adalah alat-alat yang mesti kita bawa, amat diperlukan, membuat kita mandiri, tidak merepotkan orang lain, tetapi juga bukan memindahkan isi rumah ke tempat kita mukhoyyam, dan agar kita bisa siap dalam kondisi apapun.

Kalau kita mengenal mukhoyyam maka kita mengenal adanya longmarch—acara yang wajib ada, oleh karenanya alat-alat yang kita bawa pun harus yang benar-benar diperlukan agar perjalanan bisa aman dan tidak mengganggu.

Berikut alat-alat tersebut dengan penjelasan ringan tentangnya.

  1. Tas ransel, pastikan yang talinya kuat. Tas khusus untuk naik gunung itu lebih baik tentunya.
  2. Tali pramuka, bisa juga untuk membuat bivak (tenda sederhana)
  3. Ponco, untuk melindungi kita dari hujan dan terpenting untuk membuat bivak.
  4. Pisau, yang lipat bisa juga, terpenting adalah mampu untuk menebas dan memotong kayu;
  5. Matras, penting banget buat alas bivak.
  6. Kantung sampah atau plastik yang lebar dan besar, penting buat mengantongi semua barang di dalam tas agar terlindung dari kebasahan.
  7. Sleeping Bag, penting banget agar tidak kedinginan ketika bermalam. Survey membuktikan peserta mukhoyyam yang melakukan longmarch dan sampai di basecamp pada malam hari mengalami kedinginan yang luar biasa terkecuali mereka yang memakai sleeping bag. Alhamdulillah, saya yang tidak persiapan dan tidak membawa ponco—jangan tiru saya—tidak mengalami kedinginan walaupun di tengah hujan dan mampu tidur lelap sampai bangun jam empat pagi dengan kondisi segar karena saya tidur di atas matras, mengganti baju basah dengan yang kering, lalu masuk ke dalam sleeping bag, dan ditutupi dengan kantong plastik besar.
  8. Sepatu khusus gunung, kalau tidak ada sepatu olah raga biasa saja, tapi pastikan telah tersol dengan kuat. Karena faktanya ada juga yang bawa sepatu pantovel—sepatu berhak buat kerja—untuk mukhoyyam. Ada yang sepatunya jebol pada saat longmarch, jadinya pakai sandal jepit. Pastinya payah banget. Makanya sampai rela membeli sepatu bootnya penduduk setempat yang berjualan air mineral di basecamp seharga Rp70.000,00 plus kaos kakinya. Bapak penjual air itu kuat juga yah jalan naik turun gunung tanpa pakai sepatu…
  9. Lampu Senter dan Baterai, ini penting bangeeeeet buat longmarch malam-malam dan jurit malam. Gak usaha ikut mukhoyyam kalau tak bawa alat ini. Ohya jangan lupakan baterai cadangannya.
  10. Pakaian perjalanan, untuk baju usahakan kaos yang berlengan panjang agar bisa melindungi lengan pada saat acara outbound dan longmarch. Sediakan 3 stel lengkap termasuk yang dipakai pada saat memulai mukhoyyam. Pastikan semua baju itu yang kuat dan nyaman dipakai. Jangan yang terlalu ketat.
  11. Botol air minum, kemasan ukuran 0,5 liter sudah cukup. Bagi saya membawa botol dengan ukuran yang lebih dari itu ternyata merepotkan. Refill-nya tersedia banyak di sana. Di Gunung Bunder (Bogor)—tempat utama mukhoyyam bagi para peserta dari Jabodetabek—dan sekitarnya berlimpah dengan air gunung. Dinginnya tak kalah dengan air yang ada di kulkas. Jadi tinggal minum saja air yang di sana.

    Kalau di Gunung Halimun bolehlah bawa yang lebih dari ukuran itu, karena di sana jarang ditemui aliran air gunung. Tapi jangan khawatir banyak juga penduduk sana yang sengaja naik ke Gunung Halimun untuk menjual air gunung mentah itu seharga Rp5000,00 dalam botol ukuran 0,5 liter.

    Ternyata ini yang membedakan. Kenapa pada saat saya ikut mukhoyyam di Kedung Badak tahun 2006 lebih menyengsarakan daripada di Gunung Bunder? Karena saya tidak punya air pada saat saya kehausan dan makanan pada saat saya kelaparan. Yang membuat saya cukup kuat adalah salah satunya dengan banyak minum air dan perut tidak kosong.

  12. Obat-obatan pribadi, biasanya saya membawa minyak tawon atau minyak kayu putih sebagai penghangat tubuh, obat merah, plester pembalut luka.
  13. Kantung plastik, bawa yang banyak sebagai tempat untuk menaruh buku, baju kotor, sandal jepit, atau barang yang tidak tahan air, seperti dompet atau handphone.
  14. Sarung, buat ganti baju di sana dan tentunya sholat.
  15. Jaket yang cukup untuk menghangatkan badan, ini dipakai pada saat bermalam saja. Bahkan pada saat longmarch tidak dipakai karena hanya akan menimbulkan badan cepat berkeringat dan cepat haus.
  16. Peralatan makan seperti sendok, gelas, dan piring. Cukup masing-masing satu saja dan berbahan plastik. Tentunya yang telah memenuhi standar kesehatan. Untuk memilih wadah plastik yang aman lihat artikel yang dulu pernah saya tulis di sini.
  17. Peralatan mandi, sebenarnya cukup dengan membawa sikat dan pasta gigi. Praktis karena di sana tak ada waktu untuk mandi terkecuali kita mencuri-curi waktu dan kesempatan.
  18. Kaos kaki dan cadangannya. Saya bawa dua ternyata yang dipakai tetap satu saja, karena semua acara dikondisikan selalu berakhir dengan kotor-kotor atau basah. Jadi sekalian tanggung pakai yang satu saja.
  19. Topi atau skebo agar kepala kita terlindung dari tetesan air hujan.
  20. Makanan, penting untuk longmarch seperti biskuit, kentang, buah-buahan, telor rebus, coklat dan susu kental manis yang berkalori tinggi atau madu lebih bagus.
  21. Sarung tangan untuk pelindung dan penahan dingin. Berguna pada saat outbound dan longmarch.
  22. Tongkat, ukuran satu meter sudah cukup sebagai teman dalam menaiki dan menuruni gunung dan bukit pada saat longmarch. Bisa dibuat langsung di tempat pada saat akan memulai longmarch.
  23. Peluit, penting banget sebagai alat komunikasi terutama saat tersesat dari rombongan.
  24. Alqur’an, penting sekali sebagai bekal ruhiyah.

Itu yang penting banget diukur dari kebutuhannya. Sebenarnya peralatan di atas memang untuk mukhoyyam yang disetting di mana semua logistiknya disediakan oleh panitia karena peserta diwajibkan membayar biaya mukhoyyam. Dengan demikian tak perlu membawa kompor dan tabung gas ukuran 3,5 kg, serta peralatan memasak.

Yang kebutuhannya tidak mendesak—tak perlu-perlu amat—tapi menambah kenyamanan pada saat muhoyyam adalah sandal. Sandal berguna pada saat waktu rehat untuk sholat, mengambil jatah makanan, mandi, cuci, kakus (MCK). Tinggalkan sandal jika Anda mau longmarch terkecuali Anda ingin berpayah-payah pada saat pendakian.

Lampu badai tidak perlu-perlu amat juga. Tidak ada alat ini mukhoyyam tetap jalan. Dan tentunya akan merepotkan dibawanya pada saat memulai longmarch. Alat tulis juga tak diperlukan sebenarnya, cuma ini diwajibkan oleh panitia sebagai alat pencegah rasa kantuk ketika acara taujih dimulai.

Itu saja yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa bermanfaat buat Anda yang mau mukhoyyam.

Semoga Allah menjadikan kita kader-kader militan untuk Allah, Rasulullah SAW, dan Islam.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09.40 02 Februari 2010