monolog: cinta


MONOLOG: CINTA

 

Di bangsal Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit itu terlihat beberapa pasien yang sedang ditangani oleh dokter dan para perawat. Satu di antaranya dalam keadaan kritis. Selang infus dan tabung oksigen serta kabel alat monitor detak jantung sudah terjulur kemana–mana dari tubuh nenek renta. Seorang wanita separoh baya berada di sampingnya. Tak jemu-jemu mencoba memperdengarkan kalimat talkin di telinga nenek itu.

Di sudut yang lain, seorang ibu muda dengan wajah yang tampak kelelahan berada di samping ranjang beroda. Mengelus-ngelus dengan penuh kasih sayang kaki sang anak berumur 10 tahunan yang sedang terbaring sakit dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Ia baru saja melepas lelah setelah sendirian ke sana ke mari mengurus pendaftaran masuk UGD dan persiapan rawat inap di rumah sakit itu.

Ada lagi seorang ibu yang berusaha menenangkan kondisi suaminya karena tangan suaminya selalu berusaha untuk melepaskan selang infus yang terpasang rapih itu di tangan yang satunya lagi. Mata ibu itu sembab karena kesedihan luar biasa melihat suaminya terkena stroke dan melumpuhkan sebelah anggota tubuhnya.

Yang baru datang adalah seorang laki-laki dengan membawa gelas berisi air hangat. Tubuhnya menggigil. Ia berjalan sempoyongan dan ingin segera berbaring di atas ranjang yang belum dipersiapkan sama sekali oleh perawat. Hampir tubuhnya jatuh ke tanah kalau saja tidak ada adik perempuan dan suaminya yang memegang kuat tangannya. Wajah perempuan itu lagi-lagi terlihat penuh kecemasan.

Berjam-jam setelahnya, ruangan UGD itu mulai sepi, karena telah tengah malam dan semua sudah tertangani dengan baik oleh para pekerja medis rumah sakit itu. Para pendamping pasien masih bertahan untuk tetap menjaga tubuh-tubuh yang tergeletak tiada berdaya.

Ada hal yang tampak terlihat kuat di wajah-wajah mereka. Wajah dengan penuh energi cinta yang terbalut kegalauan dan kesedihan yang bercampur aduk. Sebuah energi yang mampu membuat mereka bertahan duduk berjam-jam, berdiri berjam-jam, menangis tanpa henti hingga tidak ada lagi air mata yang keluar, tanpa peduli beban berat pikiran tentang berapa biaya yang harus dikeluarkan, mondar-mandir ke sana kemari tanpa memedulikan dirinya sendiri sudah makan atau istirahat, yang mampu berkata: “biarlah semua sakit ini aku tanggung daripada engkau yang sakit.”

Tidaklah mungkin seorang tanpa cinta mampu bertahan untuk menjaga tubuh-tubuh sakit itu dan mampu melakukan semuanya. Tidaklah mungkin. Dan saya—malam itu—ingin menjadi bagian dari mereka. Ingin belajar dari mereka. Untuk sosok tubuh yang tergeletak lemah dan tanpa kesadaran di samping saya. Seorang bapak yang telah membesarkan saya dan mampu menjadikan saya seperti hari ini.

Semoga cepat sembuh Bapak…

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

unit gawat darurat rumah sakit bhakti yudha depok

08.21 12 Maret 2011

[monolog]: rindu


[MONOLOG]: RINDU

 

Monolog kali ini adalah tentang #rindu. Coba apa yang dirindu dari SESEORANG kepada yang dicintainya? Balasan sms yang teramat dinanti, sapaannya mengawali sebuah obrolan, pertemuan yang diharapkannya.

Lalu apa yang dirasa? Jantung yang berdebar keras di luar normal, resah di kala kesendirian, persatuan yang dicita, geram pada waktu yang berjalan lambat di sebuah perpisahan dan pada waktu yang teramat cepat berlari di sebuah perjumpaan.

Tidak ada interval kecuali untuk tiga hal: memikirkannya, memikirkannya, dan memikirkannya. Ada cemas yang mendera dan ada cemburu yang menyala.

Orang dulu yang pertama sempat bilang: “Aku mencintai tiga hal yang dibenci orang, yakni aku mencintai kemiskinan, penyakit, dan kematian. Kematian menjadi pintu masuk berjumpa dengan YANG DIRINDU: ALLAH.

Orang dulu yang kedua sempat bilang juga: ” Sambutlah kedatangan kematian—kekasih yang datang pada saat dirindu dan dibutuhkan.

Benarlah ulama yang membuat bait-bait seperti ini:

jika cinta yang berkelana pada Sulma dan Laila bisa mencabut pemikiran dan kemampuan berpikir, lantas apa kira-kira kondisinya bagi dia yang hatinya berdenyut untuk kehidupan yang lebih mulia?

Orang dulu yang kedua adalah Mu’adz r.a. dan orang dulu yang pertama adalah Abu Darda. Dan SESEORANG di atas itu adalah aku sekarang.

Duh…bedanya. T_T

 

***

Riza Almanfaluthi

monolog KRL Pakuan Bogor Tanah Abang

dedaunan di ranting cemara

06.05 21 Februari 2011

 

 

jingga


jingga

 

sore ini tak ada jingga

yang ingin kau peluk

sampai bintang bertemu hujan

lalu kau menulis langit

dengan pena lidahmu:

    jingga itu adalah aku

bintang itu adalah kau

hujan itu adalah kita

usailah sudah deretan pesan yang dibawa burung

dan kau bawa pulang nanti

sembari mengharap detik arloji berhenti

sampai kau puas menikmati sunyi

    kita bersama melihat langit

    di atas bukit

    masing-masing memeluk lutut

    lalu kita temukan kembali dia

aku berbisik padamu: peluk erat jingga itu.

setelahnya kubungkus jingga

dan kutaruh di langit-langit rumah

tak perlu kau ke atas bukit lagi

aku cukup melihatmu bahagia

dari jauh…

 

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

citayam sore tanpa jingga, 18.08

30 Januari 2011

 

    

CINTA ITU BUTA


23.25

Membuka surel (surat elektronik) darinya itu membuatku tak mampu untuk tidak merasakan kegundahannya. Tentang sebuah asa atas cinta yang begitu membuncah. Atas sebuah rindu yang tak tertahankan kepada seseorang yang dicinta. Tapi sayangnya ada sebuah gunung tinggi menjulang yang tak mungkin ia singkirkan untuk dapat memiliki wanita idamannya. Wanita itu sudah bersuami.

“Kenapa tidak kau pilih yang lain?” tanyaku pada suatu kesempatan. “Engkau masih muda, kaya, berpendidikan, sudah kerja lagi?”

“Aku tak sanggup untuk tidak memikirkannya sampai saat ini, Za,” katanya resah.

Keresahan itu mewujud, tampak dari raut mukanya. Tak dapat disembunyikan. Aku hanya tersenyum-senyum sendiri seakan-akan mengenang masa lalu. Tapi pada akhirnya keresahan itu memuarakan dirinya pada gerimis dan hujan yang terasa indah. Sore dan senjanya. Malam dengan bulannya. Lagu-lagu India yang terasa romantis sekali. Apalagi dangdut. What the… pria metropolis penyuka dangdut?

Film India lebih disuka. Mulai dari Mohabbatein, Rab Ne Bana Di Jodi, hingga Kabhi Alvida Naa Kehna. Yang terakhir lebih disukanya karena temanya hampir persis dengan apa yang dialaminya. Bintang filmnya sama pula: Shah Rukh Khan. Ada yang tak berbeda dengan dua orang itu. Sama-sama penyuka gym dan punya sixpack. Aku cukup onepack saja. Mengejar yang limanya hanya sebuah obsesi.

Soundtrack film itu juga ada pada ipod-nya yang kulihat kemarin. Ngomong-ngomong tentang ipod, darinyalah pertama kali aku merasakan kualitas mp3 player yang memang luar biasa. Sehingga aku turut berusaha untuk memilikinya juga. Dia memang teman karibku. Aku boleh buta dan belajar darinya segala tentang Jakarta dan kehidupan siang malamnya. Tetapi tentang cinta, ia yang harus belajar padaku. Cinta itu memang buta. Hingga aku harus membuatnya tersadar pada realita. Menuntunnya ke tempat yang terang.

“Bagaimana kalau saya carikan? Pakai kerudung. Sholihah. Aktivis? Segera. Secepatnya,” desakku. Dia hanya menggeleng. Dengan headset yang tetap terpasang di telinganya. Lamat-lamat dari mulutnya terdengar petikan lirik-lirik india itu:

Dur jaake bhi mujhse

tum meri yaadon main rehna.

Kabhi alvida na kehna.

Halah… “Ngaji…! ngaji…!”teriakku. Aku meninggalkannya segera. Tak lama lagi dia akan menghubungi via gtalk. Hanya aku yang memang mampu untuk mendengarkannya. Semua keluh kesah itu. Aku memang pendengar yang baik. Apapun yang ia ceritakan dalam chatting itu, aku cuma bilang I see…I see. I am listening.

00.32

Aku masih memikirkan temanku ini. Apalagi pada saat ia memandangi foto wanita itu. Jangan bayangkan foto itu ada pada selembar kertas berwarna seperti zaman dahulu yang bisa diselipkan di sela-sela buku. Sekarang eranya sudah moderen. Semuanya sudah ada dalam genggaman. Pada handphone-nya.

Dulu harus meminta-minta untuk mendapatkan satu lembar saja. Itu pun dikasih atau diminta dengan sangat terpaksa. Tetapi sekarang cukup dengan diterima sebagai temannya. Maka foto-foto itu dengan mudah didapat. Facebook memang hebat. Ia menyentuh sisi terdalam sifat manusia. Ingin dikenal dan mengaktualisasikan dirinya.

“Seberapa cantik dia hingga kamu teramat kesengsem padanya?”

“Aku tak peduli Za masalah itu. Ada sesuatu yang unik pada dirinya.”

“Dia tahu kamu mencintainya?”

“Ya…”

“Dan…?”

“Dia membiarkanku seperti ini. Tak ada jawaban iya.”

Aku memahami dan menyetujui sikap wanita itu. Ah, teman. Lupakan saja ia.

06.30

Pagi ini dengan tetap mengingatnya.

Beberapa bulan setelah aku pindah kantor. Ia masih tetap sahabatku yang kukenal. Masih membujang. Masih dengan badan atletisnya tetapi dengan cerita yang lebih seru.

“Za, dia sudah bercerai,”serunya riang.

“Apa? Kamu yang menyebabkan semua ini?”

“Sebejat-bejatnya aku. Aku tak mau menjadi pemecah rumah tangga orang. Dia dicerai sama suaminya.”

“why…?” tanyaku sok londo.

Dia jawab pakai bahasa Inggris sampai aku terbengong-bengong. Entah karena apa yang diungkapkannya atau karena aku tak mengerti cas-cis-cusnya itu, aku hanya: I see…I see. Skor toeflnya memang jauh di atasku.

“Sekarang aku lagi nyetel lagunya Irwansyah Za, Kutunggu jandamu,” tulis dia lagi di chatroom.

Aku tulis Smiley Icon yang pake bacok-bacokkan itu.

“Pffhhhh…Bro, perawan banyak di luaran sana. Tetap saja kau pilih dia. Terserahlah…Pesen aku cuma satu: agamanya bro!.”

Yang tampil di layar kemudian adalah cuma ikon cengengesan.

*

Pagi ini aku masih menunggu undangan dari temanku itu. Yang entah kapan akan datang.

***

Riza Almanfaluthi

dengan seizinnya aku tulis cerita ini.

dedaunan di ranting cemara

08.24 22 Januari 2011

SITU CINTA


Situ Cinta

Cinta,
malam ini akan aku peluk engkau
dengan rindu yang telah menguning di hati
tanpa ada dengkul yang mencoba menghujat langit
kerana tak ada pelangi di gulitanya

Cinta,
cukup sekian kata yang berpeluh
dari aku yang mengukir lima hurufmu
di atas air situ
tanpa ada titik,koma, dan tanda seru

*

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
25 Juni 2009

Menikah Tanpa Cinta


13.01.2006 – Menikah Tanpa Cinta, Why Not?

Tak bisa dibayangkan pada zaman sekarang menikah tanpa pacaran terlebih dahulu. Dengan bersusah payah meniti dari waktu ke waktu—di samping pula banyaknya biaya yang dikeluarkan—untuk dapat mengetahui lebih dalam kepribadian masing-masing. Hingga saatnya pun tiada kata-kata yang terucap dari bibir mereka kecuali: I Love You.
Dengan semaian kalimat itu cinta semakin tumbuh, tumbuh, dan tumbuh sampai mereka terikat benar dalam suatu tali yang bernama pernikahan. Namun sebagiannya malah terjerumus dalam buaian dunia hingga batasan, aturan, dan kesucian pun ternoda. Bila perlu—entah karena tidak tahu atau disengaja—ada ruh yang terbentuk sebagai penghuni baru sang rahim layaknya inden sebuah mobil.
Malah yang lebih ekstrim, mereka memproklamirkan diri untuk tidak menikah, karena buat apa menikah kalau mereka sudah sama-sama cinta dan sudah sama-sama tahu tentang diri masing-masing, itu alasan utamanya.
Lalu tak bisa dibayangkan pula pada zaman sekarang menikah dengan gaya Siti Nurbaya yang tidak perlu ketemu dengan pasangannya, dijodohkan, ditanya mau atau tidak, lalu jadilah mereka mengucapkan perkataan yang berat hingga mengguncang ‘arsy.
Tak bisa dibayangkan lagi pada zaman sekarang yang semua ukurannya adalah kebendaan dan kedudukan, menikah tanpa cinta, tanpa rasa kasih sayang yang muncul tiba-tiba saat mendengar lagu-lagu melankolis, saat hujan rintik-rintik hingga menderas, saat berjalan di rel panjang lurus hingga ke ujung cakrawala, saat ombak menjilat jejak-jejak tapak kaki di tepian pantai pasir putih.
Lalu tak bisa dibayangkan lagi pada zaman sekarang yang hampir semua penghuninya memuja kemewahan, sebagian penghuninya yang lain menikah dengan bermodalkan azzam dan pencarian remah-remah rahmah Sang Kuasa.
Betulkah? Faktanya adalah sebaliknya. Saat ini semuanya tidak hanya bisa sekadar dibayangkan tapi bahkan bisa disaksikan, betapa banyak jiwa-jiwa memilih pasangannya dengan perjodohan bergaya Siti Nurbaya, tanpa pacaran, tanpa cinta, dan hanya bermodalkan kedekatannya pada Sang Pemilik Jiwa, tidak dengan bertumpuk-tumpuk hepeng dan emas permata.
Lalu setelahnya, bisakah tumbuh tunas-tunas cinta, menjadi pepohonan kasih sayang, berbuah kata-kata manis yang memerah, dengan dedaunan lebat penyejuk hati? Bisakah?
Lalu bisakah cinta itu tumbuh di saat belahan jiwanya tidak mempunyai kecantikan dan kegagahan dengan parameter barat? Tidak sekaya para emir pemilik ladang minyak? Ataupun tidak mempunyai catatan darah biru bangsawan Jawa, trah habaib, ataupun klan ternama? Bisakah?
Bisa. Karena para jiwa itu menyadari parameter mereka bukan duniawi. Parameter mereka adalah ukhrawi, yang tak bisa dinilai dengan segala isi bumi dan langit. Parameter mereka adalah keridhoanNya. Parameter mereka adalah addiin yang suci dan putih. Parameter mereka adalah kelangsungan penerus di jalan terjal, berliku, sepi, penuh onak dan duri, thoriqudda’wah.
Bisa, Karena para jiwa itu menyadari bahwa sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemilik segala cinta di alam semesta ini, yang membolak-balikkan hati, pemilik segala jiwa, pemilik segala rindu, mahakaya, mahamurni. Lalu mengapa ia tidak mengetuk-ngetuk pintu langit, meminta kepadaNya saat ia membutuhkan cinta itu tanpa menodai kesucian agama ini, kesucian diri, dan kesucian calon belahan jiwanya.
Bisa, jawab Anis Matta. Sudikah mendengar sedikit ceritanya pada kitab ”Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga”? (Pustaka Ummi, 2000) Inilah kisah indah itu.
Abdurrahman Ibn Al-Jauzy menceritakan dalam Shaed Al-Khathir kisah berikut ini: Abu Utsman Al-Naisaburi ditanya: ”amal apakah yang pernah anda lakukan dan paling anda harapkan pahalanya?”
Beliau menjawab, ”sejak usia muda keluargaku selalu berupaya mengawinkan aku. Tapi aku selalu menolak. Lalu suatu ketika, datanglah seorang wanita padaku dan berkata, ”Wahai Abu Utsman, sungguh aku mencintaimu. Aku memohon—atas nama Allah—agar sudilah kiranya engkau mengawiniku.” Maka akupun menemui orangtuanya, yang ternyata miskin dan melamarnya. Betapa gembiranya ia ketika aku mengawini puterinya.
Tapi, ketika wanita itu datang menemuiku—setelah akad, barulah aku tahu kalau ternyata matanya juling, wajahnya sangat jelek dan buruk. Tapi ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.
Begitulah kulalui 15 tahun dari hidupku bersamanya hingga akhir ia wafat. Maka tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain dari masa-masa 15 tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya, dan ketulusan cintanya.
Dan kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa. (p26-27).
Wahai saudaraku, jika tiba-tiba kesadaran itu muncul setelah membaca dan merenung, lalu mengapa takut untuk menikah? Mengapa takut tiada hari esok yang cerah tanpa “bondo”? Mengapa takut tiada martabat tertinggi sedangkan martabat itu bisa engkau rengkuh saat menjadi orang yang paling bertaqwa, bukan sekadar martabat dunia yang remeh temeh itu? Mengapa takut tidak ada cinta di antara kalian, wahai saudaraku?
Aku katakan saja untuk terakhir kalinya: ”Menikah tanpa cinta, why not?”

Ps. Untuk kawan-kawan di timur dan utara.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
kali banjir, Citayam 05:52 12 Januari 2006

http://10.9.4.215/blog/dedaunan