HITAM DAN SERIBU PERAK


HITAM DAN SERIBU PERAK

Kalau kita sudah terlena oleh kenikmatan dunia maka nasehat bisa menjadi obat untuk menyadarkan kita kembali tentang kesejatian hidup di dunia. Nah, nasehat itu bisa datangnya dari siapa saja. Bisa manis ataupun pahit nasihat itu dirasa. Saya akan menceritakannya sedikit.

Di suatu siang yang amat terik, habis sholat dzuhur saya menyalami tetangga saya. Profesinya adalah tukang bangunan. Saat itu dia sedang mengerjakan pemlesteran dinding pagar masjid.

“Kang Asep, kerja siang hari begini kulitnya jadi hitam banget yah,” kata saya sambil melihat tangannya yang terbakar matahari tidak seperti biasanya

“Ia Pak, tapi enggak apa-apa sih. Lebih baik hitam di dunia
daripada hitam di akhirat.”

“Wah bagus…bagus,” puji saya tulus. Singkat tapi mantap. Benar loh, ini pernyataan yang luar biasa bagi saya di siang itu. Membuat saya berpikir tentang bekal apa yang harus saya persiapkan buat di sana. Memikirkan banyaknya dosa dan aib yang menumpuk dan menggelapkan hati saya. Pada akhirnya pernyataan Kang Asep membuat saya bisa introspeksi diri.

Itu indahnya sebuah nasihat.

Nah, selesai sudah cerita tentang nasihat ini. Tapi ada yang berkesan lagi di hari itu, di hari yang sama pada saat nasihat itu diberikan.

Baru saja tiba dari menjemput istri, saya tidak bersegera memasukkan motor ke dalam rumah. Tapi saya berteduh di bawah pohon rindang di seberang rumah. Kemudian saya melihat seorang pengamen muda dengan sebuah gitar yang talinya diselempangkan di bahunya sedang mengamen di rumah tetangga saya. Sebentar lagi giliran rumah saya didatanginya. Suaranya biasa saja. Lagu dan nada gitarnya tak selaras membentuk sebuah harmoni.

Tapi apapun yang terjadi saya memang sudah berniat untuk infak. Cuma seribu rupiah saja. Kata seorang ustadz dalam sebuah pengajian, “jangan membiarkan pengamen atau pengemis lewat dari rumah kita dengan tangan kosong, karena bisa jadi itu menjadi ladang amal dan awal dari banyaknya kebaikan yang akan datang kepada kita di hari itu.” Saya ingat betul nasihatnya.

Nah, pada saat ia menyumbangkan sebuah lagunya di depan rumah saya. Saya langsung memanggilnya dari seberang.

“A, di sini A!”

Ia kaget dari mana suara yang memanggilnya itu berasal. Tapi setelah ia tahu ia langsung menghampiri saya. Kemudian saya menyerahkan uang seribu rupiah itu.

“Terima kasih Pak Haji,” kata pengamen itu sambil tersenyum dan berlalu.

Saya surprise, ia memanggil saya dengan sebutan Pak Haji, mungkin karena saat itu saya sedang memakai kopiah, walaupun bukan warna putih. Bagi saya sebutan itu adalah sebuah do’a. Dan dalam hati, saya mengaminkan do’anya. Saya memang belum pergi ke Makkah, tapi saya senantiasa merindukan untuk datang tempat itu. Bisa jadi dari do’anya itu saya mampu untuk pergi ke sana. Allah yang berkehendak, seribu rupiah jadi wasilah untuk pergi naik haji. Amin. Siapa tahu bukan?

***

Siang Terik di Tengah Desember

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:11 19 Desember 2009

 

 

ADA CINTA DI KANTORKU


ADA CINTA DI KANTORKU
(Bedanya Kantor Lama dan Baru)

Hari ini tepat dua minggu sudah saya berada di kantor baru, KPP PMA Empat. Enak juga nih di sini. Beda banget dengan di KPP PMA Tiga. Perbedaannya adalah pertama masalah fasilitas untuk kemudahan kerja AR. Contohnya seperti mesin faksimili yang ada di ruangan saya, sepertinya setiap lantai ada masin tersebut. Telepon yang bisa keluar tanpa melalui operator dan bisa interlokal juga ada.
Pekerjaan sih tidak berubah tapi beban yang semula rada-rada banyak (ini pun karena ada PT Newmont Minahasa Raya) sekarang lumayan berkurang. Atau ini karena saya belum mengetahui detil bagaimana permasalahan di seksi saya. Lihat saja nanti lah… Saya cuma berusaha untuk bisa berbuat yang terbaik buat kantor ini.
Perbedaan yang kedua–ini yang membuat lebih hepi–adalah dekat sekali dengan masjid komplek Kalibata, Masjid Shalahuddin. Jelas ada banyak efek samping yang di dapat. Terutama masalah keikutsertaan sholat berjamaah yang lebih intensif lagi. Soale, speaker masjid benar-benar terdengar keras sekali dengan azannya yang berkumandang setiap waktu sholat tiba.
Yang ketiga, adanya fasilitas tenis meja–olahraga favorit saya selain bola basket–yang disediakan oleh kawan-kawan dari KPP BUMN yang masih satu gedung dengan kantor saya. So, setiap jum’at pagi Insya Allah saya akan bertekad untuk menguruskan badan dengan berolahraga. Kebetulan sekali ada teman-teman BUMN yang mengajak saya untuk ikut serta. Oke, saya niat olahraga lagi.
Yang keempat, berupa pekerjaan perekaman yang tidak lagi dilakukan oleh AR. Dulu, di kantor yang lama, AR melakukan perekaman lalu berkas dikembalikan lagi kepada Seksi Pelayanan melalui Seksi PDI. Tapi di sini, di kantor yang baru, pekerjaan perekaman dilakukan oleh Seksi PDI dan berkas tahun berjalan diarsipkan oleh AR.
Enak juga sih menurut saya. Karena sesungguhnya yang kami butuhkan adalah data-data SPT Masa dari WP-WP yang kita kelola. Dengan sistem yang dilakukan di KPP PMA Tiga menurut saya tidak efektif dalam melaksanakan tugas penting AR yakni melakukan pengawasan. Tapi sistem di KPP PMA Empat baru bisa berjalan efektif kalau semua WP sudah melaporkan SPTnya dengan e-spt. Soalnya kalau belum, yang ketiban enggak enaknya adalah kawan-kawan di Seksi PDI. Rekaman terus.
Lalu selain itu, bedanya lagi adalah di setiap lantai ada tempat rapat, sehingga tidak perlu lagi seperti di KPP PMA Tiga mengangkat-angkat kursi masuk ke ruangan Kepala Seksi ketika ada rapat interen mendadak. Di sana sudah disediakan meja besar dan kursi-kursinya. Menunjang sekali bukan.
Ya itulah kira-kira perbedaan antara kantor saya yang lama dengan yang dulu. Bukan berarti bahwa ini adalah pengungkapan sesuatu yang jelek, tapi memang setiap kantor selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Saya tidak bisa menafikan kelebihan-kelebihan yang saya dapatkan selama saya berkantor di sana selama 8 tahun 7 bulan dan 7 hari.
Kelemahan pun menjadi suatu yang tidak bisa dinafikan pula. Seperti penyedian fasilitas yang menjadi sorotan dari teman-teman AR baru yang sekarang menempati KPP PMA Tiga. Semula mereka yang bergelimang fasilitas memuaskan di kantor yang lama tiba-tiba dikejutkan dengan minimnya fasilitas yang diperoleh. Maka sudah barang tentu muncul suara-suara nyinyir, ketidakpuasan, dan tanpa bentuk yang memang sudah tidak dikumandangkan lagi oleh AR-AR lama pindah–karena sudah patah arang tentunya dengan kondisi yang ada. Itu saja.
Yang tak bisa dilupakan oleh saya adalah di sana ada pengalaman, ada cinta, memori indah, kebersamaan, kemesraan, pertemuan, perpisahan dan lain-lain. Dan untuk hal ini tiada yang dapat saya sampaikan kecuali ucapan terimakasih yang tiada terkira.
Satu hal terakhir, saya perlu bersyukur, kiranya Allah memberikan tempat yang terbaik buat saya. Pun saya berharap semoga Allah senantiasa memudahkan setiap permasalahan yang saya hadapai di kantor baru ini. Insya Allah.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
riza.almanfaluthi at yahoo.com
13:45 28 Juli 2006

IBU KEPALA SEKSI BISA, NENEK-NENEK PUN BISA, MENGAPA SAYA TAK BISA?


IBU KEPALA SEKSI BISA, NENEK-NENEK PUN BISA,
MENGAPA SAYA TAK BISA?

Sakit kepala yang tak tertahankan ini membuatku tidur lebih awal. Lalu terbangun di sepertiga malam terakhir tepatnya pukul setengah empat pagi, dan menyempatkan untuk sholat. Setengah jam kemudian sudah ada di belakang kemudi, memanaskan mobil dan siap-siap berangkat ke kantor.
What the…? Berangkat ke kantor jam empat pagi? Ada apa gerangan dikau? Ya, karena saya masih canggung untuk mengemudi dan dikhawatirkan ada apa-apa dengan mobil tua ini maka saya sempatkan untuk masuk kantor lebih awal.
Sekalian ini merupakan test case untuk menambah jam terbang mengemudi saya yang sudah terbiasa di jalanan komplek namun di jalan raya yang penuh dengan berbagai situasi ini merupakan pengalaman baru bagi saya.
Sebelumnya saya dihantui dengan berbagai kekhawatiran. Tebak apa coba? Betul, kekhawatiran takut menabrak mobil lain, orang, dan anak-anak. Apalagi kalau mogok di tengah jalan, di tengah kemacetan, dan di klakson dari belakang. Tidak bisa memutar. Tidak bisa parkir. Mengerem mendadak. Mengisi bensin di SPBU. Dan masih banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang membuat keberanian saya mengendur. Alhasil enam bulan mobil itu dibiarkan teronggok begitu saja. Ataupun kalau terpakai tentu bukan saya yang mengemudi, tapi orang lain.
Nah, kemarin-kemarin tetangga saya memakai mobil ini. Setelah dipakai ia lalu bilang:”mobilnya enggak mogok kok, bahkan enak malah.” Nah loh, saya yang punya, orang lain yang menikmati dan merasakan enaknya. Dari situlah saya mulai bertekad untuk bisa mengendarai sendiri dan merasakan seberapa enaknya sih mengendarai mobil ini.
Apalagi Ibu Kepala seksi saya sanggup pulang pergi ke kantor atau kemana-mana naik mobil. Bahkan nenek-nenek pun bisa—saat mengendarai motor dan melihat hal ini saya sampai terpesona dan terlongong-longong. Adalagi malah, anak di bawah usia 17 tahun sudah sanggup bawa angkot mengambil trayek Bojonggede-Depok malam hari.
Jadi, mereka saja sanggup berjuang di rimba belantara lalu lintas Jakarta, masak saya tidak bisa. Akhirnya saya memberanikan sendirian berkendara, dan untuk memulainya saya harus berangkat jam empat pagi. Agar saya tidak shock dan punya cukup waktu dan kesempatan untuk absen pagi.
Pukul empat pagi lebih sedikit akhirnya saya sudah berada di jalanan lengang. Saya berniat ke SPBU untuk mengisi bensin dulu berjaga-jaga kalau ada apa-apa. Lima kilometer dilalui SPBU sudah ada di depan saya. Saya belok, parkir di dekat mesin penyalur bensin, Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Saya matikan mobil, dan mengangkat panel rem tangan. Tapi….
Saudara-saudara, ternyata rem tangan saya masih pada tempatnya. Saya lupa menurunkannya saat parkir di depan rumah tadi. Walah…pantesan, mobil ini berat sekali, suaranya pun terdengar “ngeden”. Tidak apa-apa ini pengalaman bagi saya.
Saya grogi dan sedikit panik saat membuka tutup bensin. Mana nih kuncinya…? Maklum baru kali ini saya membeli bensin sendiri. Jadi, tidak familiar mana kunci pasnya. Sang penjaga dengan sabarnya menunggu saya mengutak-atik kunci. Akhirnya ketemu juga.
Beberapa menit kemudian sudah kembali di jalanan, dan sempat di-goblok-in (maaf) supir angkot karena posisi kendaraan saya di tengah-tengah. Padahal saya merasa sudah di pinggir kok. Tidak apa-apa, cool man…, santai. Anggap saja angin lalu.
Kota Depok saya lalui dengan aman. Saya tidak memaksakan diri masuk gigi lima. Bukan Karena tidak berani. Tapi karena sudah saya coba-coba kok tidak masuk-masuk. Ih….takut. Cukup gigi empat saja dah. Di klakson dari belakang oleh truk dengan lampu yang menyorot terang saya minggir ke kiri. Takut juga…
Suara Adzan sudah terdengar jauh sayupnya di belakang. Saya berencana sholat shubuh di Masjid Al-Shofwa Lenteng Agung (ikhwan Salafy pasti tahu keberadaan masjid ini). Dan saudara-saudara, ternyata saya sanggup satu kali belokan saja untuk parkir di sana. Mantap…Saya bersyukur rencana ini dimudahkan oleh Allah dan diberikan kesempatan untuk sholat berjamaah tanpa ketinggalan di masjid itu.
Pukul lima lebih empat menit waktu hape saya, saya kembali mengarungi jalanan sepi Jakarta. Stasiun Tanjung Barat aman saya lalui. Lalu masuk daerah Pasar Minggu. Jelas sudah kemacetan sudah ada di sana karena banyak pedagang yang berjualan di pinggir jalan dan metromini yang ngetem. Sempat mogok dan tidak bisa dinyalakan mesinnya, saya panik. “Wah kejadian lagi penyakitnya nih,”pikir saya. Tenang-tenang. Santai. Jangan panic. Saya matikan semua lampu. Saya buka kunci dan tekan gas. Grungggg…akhirnya bisa lagi.
Dua puluh menit di sana tidak membuat saya gelisah. Waktu absen masih jauh coy… Jalan Raya Pasar Minggu masih sepi. Lalu saya tidak membelok melalui Volvo tapi terus menuju ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan di pertigaan Duren Tiga, lampu merah sudah berwarna kuning, saya teruskan saja walaupun di ujung sana kendaraan sudah mulai bersiap-siap. Masih sempat juga ternyata.
Dekat komplek kantor, saya terlalu minggir ke kiri, sehingga terdengar bunyi gesekan antara karet ban dengan trotoar. Cuma lecet-lecet dikit.
Pintu gerbang kantor masih tertutup. Saya turun untuk membuka pagar dan palang besinya. Belum ada satu mobil pun ada di halaman parkir yang luas itu. Saya memarkirkan mobil di bagian belakang kantor dekat jalan keluar. Tidak di tengah, karena masih ada ketakutan menabrak mobil lain saat keluar dari tempat parkir.
Saya ambil sepatu dan tas saya. Tidak lupa untuk mengelap mobil dengan kanebo yang telah saya siapkan sebelumnya. Maklum mobil ini mau dilihat oleh teman yang ingin membelinya. Loh…baru dicoba kok sudah mau dijual aja…? Tidak apa-apa toh? Di beli ya syukur, uangnya bisa terpakai untuk yang lain. Tidak terjual ya syukur juga, bisa saya perbaiki lagi kerusakan-kerusakannya.
Sekarang tinggal memikirkan cara pulangnya, nih. Maklum Jakarta sore sangatlah macet. Apalagi kalau hari Jumat. Di tambah ada jalan tanjakan di perlintasan kereta Citayam yang masih menjadi kekhawatiran dan pertanyaan bagi saya, “bisa tidak saya menaklukannya?”. Di tengah ratusan motor dan puluhan angkot yang ngetem sembarangan di sana. Ketakutannya adalah ketidakmampuan saya untuk menyelaraskan kopling dan bukaan gas. Kalau benar-benar terjadi, mobil saya pasti mundur ke belakang dan…. Takut untuk membayangkannya.
Tapi biarlah. Yang akan terjadi nanti, terjadilah. Paling untuk antisipasi saya pulang jam sepuluh malam. Saat jalanan Jakarta sudah mulai lengang.  Namun pelajaran hari ini yang bisa dipetik adalah kekhawatiran dan ketakutan itu adalah cuma besar di angan-angan, pada saatnya ia nihil tiada berbekas. Jadi jangan pernah takut dengan semua itu. Perbanyak doa dan sholawat. Itu saja.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:19 02 Juni 2006

Antara Atik, Aisah, dan Jojok


Situs DSHNet di alamat http://10.254.60.60 selain banyak debatnya sehingga banyak menjulukinya sebagai situs Debat Sepanjang Hayat, pun begitu banyak kebaikan-kebaikan yang didapat di sana, seperti informasi dan berita tentang dunia Islam. Di sana tersedia pula ruang untuk berpartisipasi bagi pengunjungnya, seperti komentar pada setiap berita atau mengirim ucapan kepada sesama pengunjung lain.
Tak kalah menariknya di sana juga tersedia tempat bagi pengunjung untuk menuangkan buah pikirannya yakni di kolom Partispasi. Kolom ini selain berfungi sebagai tempat copy paste artikel dari luar juga bisa sebagai tempat untuk menumbuhkan kreativitas pengunjung untuk menulis.
Asalkan sesuai dengan misi yang dibawa oleh DSH, maka artikel dengan kualitas apapun bisa di muat di sana. Bisa jadi tempat ini adalah tempat terbaik untuk berlatih dalam menulis. Apalagi tidak ada kolom komentar sehingga dengan demikian ini tidak membuat kecut nyali pengunjung untuk menulis. Karena terkadang banyak dari kita yang pemula sebagai penulis langsung down di saat melihat komentar yang tak berkenan.
Kalau dilihat secara seksama maka sudah 72 halaman sejak tanggal 10 Januari 2003 ruang Partispasi ini dipenuhi dengan banyak artikel. Kalau di setiap halamannya berisi 20 artikel maka kalau ditotal sampai detik ini sudah ada artikel kurang lebih 1440 buah. Jumlah yang banyak sekali bukan…?
Tentunya kalau kita hitung karya yang ditulis dengan tangan sendiri jumlahnya tidak sebegitu banyaknya. Tapi saya terus terang sangat menghargai sekali artikel yang tidak sekadar copy paste. Walaupun cuma sekadar menumpahkan uneg-uneg belaka.
Dari sejumlah artikel itu saya melihat sangat banyak sekali artikel berbobot yang ditulis sendiri oleh para pengunjung entah dari segi temanya, pencerahannya, tata bahasanya, penuturannya, dan lainnya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya meluangkan waktu untuk menilai artikel-artikel bagus tersebut. Saya kira ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap mereka.
Penilaian ini bukan kritik terhadap tulisan. Hanya sebagai suatu ekspresi bahwa tulisan itu sangat bernas bagi saya, entah pada pilihan katanya atau makna yang cukup mendalam yang dibawa dalam tulisan tersebut (kiranya kalau kritik cukup private messenger atau email saja).
Satu pengecualian dan ini dikarenakan adalah ekspresi saya–maka saya tidak akan memberikan penilaian pada tulisan saya sendiri, karena sungguh akan sangat subyektif sekali.
Dan ini bukan berarti bahwa disaat saya memberikan penilaian kebagusan pada satu artikel saja, maka bukan berarti yang lainnya kurang bagus. Saya berpikir tidak ada yang tidak bagus dalam proses kreatif kepenulisan. Karena ini membutuhkan kerja keras dari penulis.
Sungguh saya salut kepada para pengunjung DSH semua yang telah mengekpresikan isi di kepalanya dalam bentuk tulisan tersebut. Sungguh setiap orang mempunyai penilaian sendiri dan berbeda dengan yang lainnya. Penilaian saya belumlah tentu sama dengan penilaian para pembaca. Dan yang terpenting “sesungguhnya penilaian paling utama adalah hanya penilaian Allah semata.”
Untuk lebih lengkapnya tentang penilaian saya dan teman-teman (saya libatkan mereka agar ada feedback bagus tidak hanya dari saya) terhadap banyak artikel di Partisipasi maka Anda dapat mengujungi alamat ini: http://10.254.60.60/dshforum/forum_posts.asp?TID=5837&PN=1
Dan untuk hari ini (Selasa, 09 Mei 2006), ada banyak tulisan bagus di sana. Saya menyeleksinya dan mendapatkan tiga artikel ini:
1. Ikhwan Makhluk Pencemburu (http://10.254.60.60/isi_partisipasi.asp?dsh=5128) oleh ATIK;
2. Nuwun Sewu Mbah (http://10.254.60.60/isi_partisipasi.asp?dsh=5127) oleh Aisha;
3. Dunia Masih Terlalu Indah (http://10.254.60.60/isi_partisipasi.asp?dsh=5121) oleh jo2k.

Penulis pertama dengan gaya hebohnya dan apalagi yang akan dialaminya membuat tulisan ini menjadi menarik dan up to date, apalagi ini menjadi sesuatu penegasan dari seseuatu yang tersirat, tersembunyi, dan tak tersentuh, ini dia:
“Pasalnya..dari lima diantara kami..dua diantaranya dah jadi ummahat berputra satu. Dan tiga sisanya..secara kebetulan akan menggenapkan setengah diennya bulan ini. Akhirnya..Murobbiyahku pun jadi ikutan heboh sharing masalah ini. Tentu full kekonyolan, ketidak mengertian dan pembelajaran awal-awal pernikahan.”
Anda-anda semua yang masih meragukannya, maka sudah saatnya meyakini kebenaran berita ini. Bersiap-siaplah banyak hati yang akan cemburu dan terluka (wah…wah…)
Artikel yang kedua, cerita nyata ini dituturkan dengan sangat apik sekali. Lancar, mengalir, tiada tersendat. Saya terus terang mengagumi—sekali lagi–cara bertuturnya.
Artikel yang ketiga, INI GUE BANJET, banyak kata-kata indah di sana.
So, saya harus memilih di antara ketiga ini. Dan Insya Allah saya putuskan Artikel Bagus hari ini adalah:

Nuwun Sewu Mbah (http://10.254.60.60/isi_partisipasi.asp?dsh=5127)
oleh Aisha;

Tetap menulis tetap semangat

Allohua’lam bishshowab.

KHALWAT: TIDAK SEKADAR MELIHAT SENJA


Friday, April 28, 2006 – KHALWAT: TIDAK SEKADAR MELIHAT SENJA

Bloggers tercinta, saya sudah menyusun barang satu atau dua paragraf untuk saya sampaikan kepada Anda semua tentang keinginan saya untuk menyepi dulu dari dunia kerja. Niatnya pakai bahasa yang mendayu-dayu, atau bahasa kerennya pengen nyastra gitu. Tapi apa lacur berjam-jam sudah saya lewati tetap dengan tiga paragraf itu. Akhirnya daripada niat itu tidak kesampaian dan ide saya menguap begitu saja, maka saya tulis saja langsung di sini. Tanpa basa-basi.
Ohya, maksud saya menyepi adalah saya kudu mengambil cuti yang sudah lama tidak saya ambil. Cuti ini cuti pribadi loh yah bukan cuti bersama. Walaupun sudah dikatakan sebagai cuti menurut saya cuti yang telah ditentukan oleh pemerintah itu terasa bukan seperti cuti gitu loh. Tetap saja terasa seperti libur panjang. Nah, kalau ambil cuti sendiri kan seperti gimana gitu. Ada nuansa sentuhan pribadinya. Kita yang menentukan, bukan mereka.
Nah, kembali pada masalah cuti tahunan, saya masih punya sisa 18 hari coy. Itu sudah dipotong dengan cuti bersama tahun 2005 dan tahun sekarang loh. Coba bayangkan, banyak sekali bukan…? Makanya rugi banget getu loh kalau cutinya tidak diambil.
Sisa cuti sebanyak itu pun seharusnya tidak sebanyak 18 hari kerja, bahkan bisa lebih karena kalau dihitung-hitung sedari tahun 1997–tahun dimana saya mulai masuk KPP PMA Tiga–banyak sekali cuti saya yang dipotong-potong karena dalam tahun berjalan tidak boleh sisa cutinya melebihi 24 hari kerja.
Dulu sering tidak cuti karena saya maniak kerja. Dan selalu saya simpan, simpan, dan simpan. Sekarang baru terasa sekali kalau tabungan cuti saya kini banyak manfaatnya. Waktu teman-teman di Bagian Umum melihat betapa saya masih banyak mempunyai sisa cuti, mereka terkejut banget. Hare gene, cutinya masih banyak…
Coba kenapa mereka terkejut. Ya menurut saya karena di kantor yang sudah bersistem moderen, hari libur atau cuti selalu dinanti oleh setiap pegawai. Karena dengan semua itu mereka bisa bersitirahat dengan tenang di rumah dan berkumpul dengan keluarganya masing-masing–pemikiran ini mungkin beda dengan Anda-Anda sekalian wahai para jomblo ….
Di sini tidak bisa terlambat dan pulang cepat. Masuk jam setengah delapan, berarti paling telat banget kudu berangkat dari rumah jam enam pagi. Pulang, teng, tepat jam lima. Sampai di rumah minimal jam enam sore. Benar-benar terasa sekali capeknya.
Inilah yang benar-benar saya rasakan sekarang. Capek lahir dan batin. Dan juga jenuh. Mungkin ini disebabkan tidak adanya lagi pekerjaan yang menumpuk dan menyita waktu saya sehari-hari. Sebagai pelariannya posting sana-sini. tapi ya tetap saja bosen dan jenuh. Apalagi–sekali lagi–capeknya itu loh kalau sampai di rumah–maklum rumah dipinggiran kota pinggiran Jakarta (mengerti kan maksudnya ). Perjalanannya pulang pergi harus ditempuh dengan menempuh 52 kilometer ditengah macet dan rusaknya jalanan Jakarta dan kota sekitarnya.
So…sepertinya pagi terasa cepat berganti dengan senja. Dan senja (Senja namamu selalu kusebut )pun terasa cepat berganti dengan pagi. Laksana tubuh yang tak sempat meluruhkan jerih. Berhari-hari saya merasa demikian. Kurang lebih sejak dua bulanan yang lalu. Puncaknya hari Rabu kemarin, saya menyodorkan secarik–eh bukan ding tujuh lembar–surat untuk ditandatangani Ibu Kepala Seksi yang saya hormati.
“Riza…kesini sebentar.” panggil beliau.
“Iya…bu,” dengan sigap saya menjauh dari kursi yang menemani saya dengan setianya berposting ria di DSHNet menuju ke ruangan beliau.
“Mau kemana cutinya, Za?” tanya beliau dengan lembut.
“Ndak kemana-mana bu. Saya di rumah saja. Saya mau berkhalwat dulu Bu…”
“Berkhalwat apaan tuh, Za.”
“Menjauhi keramaian dunia, menyepi, menyendiri. Seperti dulu Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul sering menyendiri di gua Hira’.” jelas saya panjang lebar.
“Oke lah kalau gitu.”
Langsung seketika beliau mengabulkan permohonan cuti saya.
So, mulai senin depan ini tanggal 01 Mei 2006 sampai dengan tanggal 03 Mei 2006, saya mau cuti, saya mau berkhalwat, menyendiri, menyepi, istirahat dari dunia kerja, dari dunia Ciblog, dari dunia fordis-fordisan entah di portal DJP atawa di DSHNet, atawa lagi di #madiun (untuk dunia ini saya sudah tidak merindukannya lagi seperti dulu ).
Saya pun akan beres-beres rumah, beriistirahat dan membaca sepuasnya, bercanda dengan para prajurit kecil, berlama-lama memadu rindu dengan shubuh di masjid, menikmati indahnya cahaya pagi, mengantar menjemput Sang Muta’akhir, menikmati keindahan dhuha, menikmati lengangnya jalanan kompleks rumah karena semua pada kerja, menikmati deru deram air sungai, menikmati matahari senja, dan lain sebagainya.
Dengan berkhalwat itu saya harap akan mendapatkan sesuatu yang baru–eits yang pasti bukan wangsit loh–visi dan misi baru, kesegaran, semangat kerja baru, semangat menebarkan kebaikan yang baru, semangat perdamaian yang baru, semangat itsar yang baru, semangat mencintai yang baru, semangat menulis yang baru, semangat baru untuk selalu meluruskan niat, dan semangat-semangat baru lainnya.
Ini harapan besar saya dari berkhalwat. Tentu ini tidak sekadar harapan, karena ini menjadi suatu cita. Cita menjadi yang lebih baik lagi. Cita menjadi sebaik-baik manusia. Itu saja. Selamat tinggal untuk tiga hari saja kawan….

dedaunan di ranting cemara
riza almanfaluthi
14:21 28 April 2006
jika kata adalah pedang…

WO AI NI


Thursday, April 13, 2006 – WO AI NI

Tanggal 13 April enam tahun yang lalu, dini hari, seorang perempuan berjuang sendirian antara hidup dan mati untuk melahirkan jabang bayinya yang pertama, di sebuah rumah sakit swasta milik gereja di Semarang. Berjam-jam tidak kunjung keluar walaupun sudah diberikan berbagai macam perangsang, akhirnya diputuskan proses persalinan itu dibantu dengan alat vakum. Allah masih memberikan kepadanya kesempatan untuk hidup dan mendidik anaknya.
Lalu kemana sang suami…? Ternyata ia masih ada di Jakarta. Ia sedang mengikuti hari terakhir Acara Pengenalan Kampus di sebuah perguruan tinggi khusus untuk Pegawai Negeri Sipil, yang wajib ia ikuti sebagai salah satu syarat mengikuti pembelajaran di kampus tersebut.
Malam harinya di saat ada api unggun di tengah lingkaran besar sebagai acara penutupan, hatinya merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang telah terjadi. Dan ia teringat akan istri tercintanya itu, sedang apakah gerangan…? Sudahkah perjuangan itu selesai? Ah, yang ia tahu cuma beberapa hari lagi dirinya akan mempunyai jabang bayi. Tapi saat ini ia tak kuasa untuk berbuat apapun, selain acaranya padat juga pada saat itu telepon genggam adalah masih barang langka dan bukanlah barang murah yang bisa ia miliki.
Setelah acara itu selesai, segera ia bergegas ke wartel, untuk menanyakan perkembangan sang istri kepada keluarga besarnya. Berita yang mengejutkan dan menggembirakan, bahwa ia telah menjadi seorang bapak dari seorang bayi laki-laki. Ah, ia tidak menyangka, umurnya pun baru 23 tahun. Benarkah ia kini telah menjadi seorang bapak…?
Petang keesokan harinya, setelah seharian mempersiapkan perbekalan, segera ia bergegas ke stasiun Jatinegara untuk mengejar kereta api terakhir menuju Semarang. Di tengah senja Jakarta, di tambah suasana mendung, lengkap sudah hiruk pikuk dan kemacetannya.
Persis saat ia menurunkan kakinya dari angkot, baru saja terdengar pengumuman bahwa kereta api akan siap untuk diberangkatkan. Segera dengan terburu-buru ia menuju ke loket, antri sebentar, lalu menyerahkan uang, menerima tiket dan uang kembalian, bersamaan itu terdengar peluti panjang, Pritttttttttttttttttttttt……………! Serta deram dari benda yang bergerak semakin cepat.
Semua yang melihat lelaki muda ini berlarian menuju pintu kereta yang masih terbuka itu, menyemangatinya untuk segera mengejar kereta dan meraih pegangan pintu. Cepat…!Cepat…! Huph…dengan satu lompatan panjang dan terakhir mampulah ia meraih besi itu. Meninggalkan tatapan dan senyuman banyak orang dibelakang, pula Jakarta yang kian pekat, malam.
Pfhhhh…ia menghela nafas, mengelap cairan yang membasahi dahinya. Dan angin yang menerobos dari jendela kereta mampu membantu mengeringkan lebih cepat bekas-bekas usaha kerasnya. Tak hanya itu, mampu membuatnya beristirahat panjang, tertidur, dan menganyam mimpi.
Pukul tiga pagi, kereta api itu akhirnya mengakhiri perjalanannya di Stasiun Tawang. Dengan diantar tukang becak, sang suami menuju rumah sakit yang letaknya tidak sampai satu kilometer dari stasiun. Semarang dini hari masih lelap dan belumlah menggeliat.
Halaman depan rumah sakit kecil itu sepi, yang ada hanyalah seorang lelaki berumur yang berjaga-jaga di pintu gerbang. Setelah berbasa-basi sebentar, sang suami mulai mengutarakan maksud kedatangannya untuk menjenguk istrinya yang baru melahirkan.
Tapi apa lacur, penjaga itu tidak memperbolehkannya masuk dikarenakan bukan waktunya untuk membesuk. Tapi setelah diketahui bahwa kedatangannya jauh-jauh dari Jakarta, penjaga itu akhirnya mengizinkan sang suami untuk menemui istrinya, itupun setelah berdiskusi sebentar dengan suster (berkerudung suster gereja). Namun tetap tidak diperbolehkan masuk ke kamar, dan hanya dipersilakan untuk menunggu di bangku panjang khas rumah sakit yang ada di ruang tunggu itu.
Tiba-tiba di saat ia sedang melihat-lihat suasana yang baru saja diakrabinya. Keluar dari kamar paling ujung, sesosok perempuan berjalan di sepanjang lorong. Tertatih-tatih. Perlahan. Dengan salah satu tangannya masih tetap berpegangan pada dinding.
Sosok yang amat dikenalnya setahun belakangan ini menyembulkan senyumnya kepada sang suami yang bersegera meraih tubuhnya dan menuntunnya pada bangku. Namun terlihat oleh sang suami kegelisahan pada wajah istrinya saat ia duduk. Jahitan yang masih baru, terasa mengganggu dan membuatnya tidak betah untuk duduk berlama-lama.
Melihat penderitaan istrinya, yang perlahan dan tertatih-tatih saat berjalan dan wajah masih berhias ringisan, membuat keteguhan sang suami goyah. Matanya mulai berkunang-kunang dan gelap, perutnya terasa mual dan ingin muntah. Ia segera berlari ke toilet dan menumpahkan semua yang ada diperutnya. Ah, kenapa ia bisa jadi begini…? Empati berlebihan atau ketidaktegaan…?
Beberapa menit kemudian…
“Di mana anak kita…?”tanya sang suami.
“Di ruangan khusus bayi, berkumpul dengan bayi yang lainnya,” jawab istrinya.
“Bisa dilihat sekarang, Dek?”
“Sepertinya tidak bisa, Mas. Soalnya sudah peraturan di sini, bayi bisa dikeluarkan kalau saatnya menyusui memakai ASI. Mungkin mas besok lagi kesini. Sekarang pulang saja dulu ke ibu. Istirahat dulu ya, Mas.”
“Ya, sudah kalau begitu. Tidak ketukar kan dengan yang lain?” sedikit cemas, apalagi di rumah sakit seperti ini.
“Insya Allah, tidak.”
“Maafkan Mas ya Dek…tidak bisa menemani Adek kemarin.” Sang istri mengangguk sambil tersenyum.
Pergilah sang suami menuju pintu dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dari istrinya. Tiba-tiba ia berbalik, “Dek…mirip siapa dia?”
“Mirip bapaknya.”

Malam pun pupus, kerana shubuh mulai bangun.
####

Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa memandang dengan kecintaan dan kerinduan pada wajah lelap anaknya itu. Berdoa agar ia menjadi anak yang shalih, dan tidak hanya itu, menjadi pejuang bagi addin-nya.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa introspeksi diri, betapa banyak waktu yang terbuang karena dunia, dan menyia-nyiakan golden age serta kebersamaan dengan anaknya yang sudah mulai tumbuh dengan segala keriangan dan kepolosannya.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa menyadari bahwa buah hatinya itu adalah asetnya yang paling berharga dan bukan beban. Pula ini adalah amanah yang tiada terkira hitungan bilangannya, bahkan senilai dengan jaminan dikeluarkan diri dari siksa api neraka.
Ah, ingatan enam tahun lalu, membuatnya senantiasa bersabar atas segala perilaku, menjawab sebisa mungkin segala tanya, dan untuk menjadi yang senantiasa dirindukan dan dicarinya saat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang. Walaupun tidak seaman dan seabadi perlindungan dan kasih sayang Allah.
Ah, ingatan enam tahun lalu membuatnya berusaha mencari apa yang diminta anaknya pada ibunya tadi pagi sebelum berangkat kantor. “Bu…hadiahnya buku ya Bu. Buku yang ada jamnya itu loh. Soalnya Iz mau belajar jam-jaman, Bu” pintanya.
Ah, ingatan enam tahun lalu membuatnya berusaha untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan setiap momen-momen penting anaknya—yang bisa jadi tidak bermakna buat yang lain—hanya agar kelak anaknya tahu betapa ia mencintai dirinya.
Ah, ingatan enam tahun lalu dan ingatan pagi ini, membuatnya ia teringat sepenggal ayat ini:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (AlKahfi:46)
Ah, ingatan enam tahun lalu dan pagi ini, membuat harapnya membuncah ke angkasa. Tidak hanya satu tapi berjuta harap untuk kebaikan diri dan anaknya pada SangPengabulHarap.
Ah, saat ini ia berkata: “aku mencintaimu, istriku…”
Dan ia pun berkata lagi: “aku mencintaimu, anakku…”

Whenever, Whereever


21.03.2006 – Whenever, Whereever

Terpikir tidak sih bahwa dosa-dosa yang telah dan sering kita lakukan begitu banyaknya sehingga tidak bisa dihitung. Mungkin dosa-dosa besar memang tidak kita lakukan (amit-amit yee, dan semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian), tapi dosa-dosa kecilnya itu loh. Yang sedikit demi sedikit, disadari atau memang sengaja dilakukan, tahu-tahu bertumpuk dan sudah setinggi gunung, sedalam samudra.

Mulai dari kedengkian kepada teman atau tetangga, dendam tiada berkesudahan, mulut yang tidak bisa diredam untuk tidak menyakiti hati orang lain, mencela, mengoleksi kata-kata hinaan, menggunakan mata, tangan, dan kaki kita untuk melakukan keburukan-keburukan kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Lalu terpikir tidak sih pada sedikitnya kebaikan yang telah kita lakukan karena kita susah sekali untuk membuat wajah kita enak dipandang mata dengan senyum yang terindah tersungging di wajah. Atau menyapa saudaranya dengan salam rahmat dan perdamaian padahal seringkali mulut terasa kaku dan kelu.

Pula karena kita tidak pernah mengikhlaskan hati untuk memaafkan, berinfak dengan harta yang kita punyai di waktu lapang atau sempit, mendoakan orang tua dan keluarga, mengasihi yang lebih muda, menghormati yang labih tua, persangkaan yang baik, menyingkirkan duri, dan berjuta-juta kebaikan lainnya.

Maka terpikir tidak sih ketika mizan kebaikan dan keburukan di pertontonkan kepada kita kelak, kita akan terkejut bahwa sejuta kebaikan yang pernah kita lakukan dan persangkakan menjadi pemberat timbangan ternyata nihil dan terangkat pada sisi lainnya karena lebih banyak keburukan yang kita lakukan. Dan kita akan diberikan kitabnya dari belakang, sehingga kita akan berteriak: “celakalah aku”.

Lalu kita hanya mengandalkan dan berharap pada rahmat Allah, syafaat Rasulullah, dan orang-orang yang mati berperang di jalan Allah? Itu pun dengan izin Allah yang seringkali kewajibanNya yang diperintahkan kepada kita diabaikan begitu saja di dunia. Penyesalan pun sia-sia.

Masya Allah, selagi belum terlambat, semasa nafas masih menghela, sesaat waktu yang kian cepat berlari, begitu banyak ladang kebajikan terhampar di depan kita. Tidak perlu yang besar-besar dengan memberikan banyak hadiah kepada teman dan berinfak dengan seluruh harta kita, jikalau engkau belum mampu untuk melakukannya. Tidak memulainya terlebih dahuku dengan berjihad berperang di jalan Allah, selagi di dalam hati kita masih saja punya cinta dunia dan takut mati.

Yang kecil, saat ini, begitu banyak kebaikan yang telah ranum dan siap untuk dipetik oleh kita. Meluruskan niat salah satu contohnya saja sudah membongkar perangkap syirik yang siap memenjarakan kita. Yang kecil, saat ini juga.

Atau seperti teman saya ini, kerana menyadari bahwa masih sedikitnya kebaikan yang ia lakukan dan betapa banyaknya sarana atau wasilah yang ia miliki. Ia tidak segan-segan untuk selalu membagi-bagikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Karena ia ingat:

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong[353] dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (Annisa:123)

Ia mengerti betul bahwa ketika ia membagi-bagikan kebaikan maka ada energi kebaikan yang ia akan dapatkan. Dan ia mengerti betul di kala keburukan yang ia sebarkan, maka ada energi keburukan yang akan memantul pada dirinya. Sehingga dengan ini ia akan berhati-hati dan berpikir dua kali untuk menyebarkan keburukan. Sehingga dengan ini pula ia bersegera dan bersemangat untuk melakukan kebaikan kerana pahalanya itu akan mengalir pada dirinya entah sampai kapan.

Maka contohlah ia yang selalu di setiap paginya, sesaat akan berangkat ke kantor, ia membersihkan jalan depan rumahnya dari segala sesuatu yang mengakibatkan orang lain sengsara, seperti batu-batu jalanan dan benda-benda tajam. Maka contohlah ia yang selalu membagi-bagikan peraturan perpajakan yang terbaru kepada para peserta milis yang membutuhkannya.

Contohlah ia—karena ketidakpunyaan yang dirasakannya—mengazamkan diri untuk tidak datang terlambat pada pertemuan di setiap pekannya, dan mengisi di tempat-tempat lain dengan hanya menaiki sepeda kayuh.

Contohlah ia yang berusaha untuk tetap memberikan senyuman yang terindah kepada istrinya setelah tiba di rumah walaupun di tengah lelah yang menghimpit kerana berdesak-desakan di atas kereta api sore hari. Contohlah ia yang tak pernah tega untuk mengucapkan kata-kata keras kepada anak-anaknya.

Contohlah ia yang tidak pernah memaki, menghina, ataupun mengeluarkan persangkaan buruk kepada saudara seimannya. Contohlah ia yang di dalam setiap doanya selalu meminta agar para tetangganya mendapatkan kebaikan dan rahmat dari Allah Yang Mahakaya. Contohlah ia yang tak pernah menuduh orang lain berbuat curang sebelum ia telah menunjukkan keempat jarinya pada dirinya sendiri lalu ia menasehatinya.

Ah…begitu banyak kebaikan yang bisa dilakukan teman-teman saya ini. Sungguh saya ingin meniru mereka, dengan menyebar banyak kebaikan. Kapan saja, di mana saja. Apa saya bisa? Mereka bisa, kenapa saya tidak?

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

masih saja seperti ini

10:45 21 Januari 2006