HAJJAH INUL DARATISTA


Pada tanggal 13 Desember 2007, Inul Daratista, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya, pergi meninggalkan tanah air untuk menunaikan ibadah haji. Bersama sang suami tercinta, Adam Suseno, tentunya. Suatu saat saya membayangkan adanya dialog imajiner antara saya dan penyanyi tersebut pasca kepulangannya dari tanah suci. Saya berharap mendapatkan cerita perjalanan spiritual yang menggedor itu darinya.
Riza : Assalaamu’alaikum Mbak Inul, apa kabar?
Inul : Alhamdulillah baik Mas Riza.
Riza : Wah, saya bersyukur Mbak bisa naik haji nih. Kayaknya Mbak Inul punya panggilan baru sekarang. Boleh dong saya panggil dengan sebutan Hajjah Inul Daratista, atau ibu Hajjah gitu…?
Inul : Ndak perlu Mas. Panggil saya sebagaimana biasanya saja. Haji itu ibadah kok, bukan status. Dan enggak lucu kan kalau di atas panggung nantinya, dipanggil begini: “Selanjutnya, kita tampilkan Ibu Hajjah Inul Daraaaatistaaaaaa…!”
Riza : Raja danggut kita kan biasa disebut bang haji tuh Mbak.
Inul : Beliau-beliau, saya-saya.
Riza : Mbak masih sakit hati yah dengan peristiwa dulu?
(Bang haji Rhoma Irama ‘mengharamkan’ lagu-lagunya dinyanyikan oleh Inul, alasannya ia telah menjual erotisme dalam musik dangdut yang telah diperjuangkan oleh Bang Haji dalam tiga dekade terakhir untuk menjadi musik kelas atas yang disegani oleh siapapun. Pen.)
Inul : Ndak juga.
Riza : Okelah Mbak. Berkenaan dengan ibadah haji yang telah dilaksanakan oleh Mbak Inul, tentunya Mbak Inul punya nih pengalaman spiritual yang bisa dibagi kepada saya. Apa saja tuh Mbak?
Inul : Yah tentunya, ini merupakan pengalaman pertama bagi saya datang ke tanah suci, berkumpul dengan jutaan umat Islam, melakukan ibadah sekhusyuk mungkin, dan saya selalu menangis kalau melihat bangunan Ka’bah itu. Saya panjatkan doa kepada Allah. Agar Allah memberikan kepada saya kehidupan yang tenteram, dunia dan akhirat. Juga agar setelah berhaji ini saya dapat momongan. Ya iyalah sudah 10 tahun menikah dengan Mas Adam belum juga dikaruniai anak. Kalau Mas Adam doanya agar keutuhan rumah tangga kami senantiasa terjaga. Itu saja sih. Kalau pengalaman yang aneh-aneh, saya tidak mengalaminya. Alhamdulillah lancar-lancar saja.
Riza : Insya Allah jadi haji mabrur. Tapi begini Mbak Inul, Mbak di saat melaksanakan manasik haji ataupun pada saat di sana tentunya sering mendapatkan taushiyah dari para ustadz dan pembimbing haji agar senantiasa berharap ibadah hajinya tidak sia-sia dan tentunya menjadi haji mabrur, haji yang diterima Allah swt. Di sana tidak terlepas adanya pengharapan terhadap yang berhaji agar terjadi perubahan. Tidak hanya sekadar perubahan status—dengan penyebutan haji atau hajjah—dan fisik—dengan selalu memakai sorban atau peci putih, tetapi perubahan diri. Itu yang paling penting. Seperti perubahan perilaku, perangai, dan sikap yang lebih baik daripada sebelum berangkat haji. Juga perubahan pada sistem penilaian dan pandangan hidup seseorang terhadap dunia dan akhiratnya. Itu sebenarnya yang saya harapkan pada Mbak Inul ini. Berubah intinya.
Inul : Mas Riza, haji mabrur tentunya adalah harapan saya. Sebenarnya perubahan apa yang sampeyan maksudkan itu? Kalau perubahan ke arah lebih baik seperti memakai jilbab, menutup aurat, itu sebenarnya saya inginkan juga. Tapi enggak lucu juga kan mas kalau saya pakai jilbab tapi masih goyang-goyang kayak begitu. Yah, saat ini saya ingin tetap menjadi Inul seperti dulu, apa adanya. Dan bukankah dengan beribadah haji ini merupakan upaya paripurna kita dalam melaksanakan Rukun Islam itu. Saya sudah syahadat, sudah sholat, sudah puasa, sudah bayar zakat, sudah haji. Lengkap dong…
Riza : Betul sekali yang Mbak katakan itu, tetapi bukankah pula rukun Islam itu adalah dasar Islam, dan bukan totalitas Islam? Ibaratnya begini Mbak, rumah Mbak yang ada di Pondok Indah ini, tentunya punya pondasi yang kuat untuk menopang bangunan kokoh dan mewah di atasnya. Pondasi inilah dasar-dasarnya, dan sudah barang tentu Mbak Inul bikin rumah ndak mau pondasinya doang. Harus ada bangunan di atasnya. Begitulah Islam, yang merupakan bangunan yang tegak di atas lima dasar tersebut. Bagaimanapun pentingnya dasar-dasar ini, tetapi bukan berarti menghapuskan fungsi bangunan. Karena itu penegasan pentingnya dasar-dasar ini harus dibarengi dengan penegasan bahwa ia hanyalah sebagai dasar, dan dasar ini harus tegak bersama bangunannya.
Inul : Iya sih saya paham. Saya sudah lengkap menjalankan rukun Islam tapi belum tentu mencerminkan sebuah totalitas saya dalam berislam. Saya sudah bisa menangkap intinya, Mas Riza. Dan sepertinya saya sudah menduga pertanyaan lanjutan dari Mas Riza. Nanti ujung-ujungnya Mas Riza akan mempertanyakan di pihak mana saya akan berdiri setelah saya beribadah haji ini. Masih tetap di pihak yang menyetujui diundangkannya segera rancangan undang-undang antipornografi atau berdiri di seberangnya? Atau tegas-tegasnya nanti Mas Riza akan bertanya saya akan masih ngebor atau tidak bukan? Jawabannya adalah selama masyarakat masih menyenangi saya, ya saya akan tetap manggung dengan ciri khas saya yang dulu mas. Tidak neko-neko kok Mas Riza.
Riza : Mbak persis banget menduga apa yang saya pikirkan. Apa yang Mbak katakan itu berarti nantinya akan mengulangi lagi perdebatan dulu antara yang pro dan kontra dengan apa yang Mbak lakukan. Saya tidak akan rewind permasalahan itu. Semua sudah jelas, kiranya Mbak dan saya berdiri di mana. Tetapi ada yang bisa saya simpulkan sedikit dari pembicaraan kita sampai di sini Mbak. Bahwa kesakralan suatu kegiatan dan tempat tidak menjamin adanya sebuah revolusi kita dalam berislam. Janji Allah sudah pasti ditepati, tetapi semuanya itu kembali lagi kepada manusianya itu sendiri. Seperti berita para seleb kita yang sampai menikah di depan ka’bah tetapi pernikahannya tetap hancur berantakan. Atau berbondong-bondong ke tanah suci tetapi tanpa membawa sedikitpun sisa-sisa kebaikan yang bisa diberikan kepada sesama.
Inul : Wah Mas Riza sama saja dengan menuduh, menyamakan saya dengan para seleb itu. Sampeyan enggak berhak menilai loh Mas Riza.
Riza : Waduh maaf beribu maaf Mbak, maaf tiada terkira kalau Mbak merasa tersinggung. Saya tidak bermaksud demikian. Saya ini tetap Riza seperti yang Mbak Inul dan Mas Adam kenal dulu. Apalagi saya belum berhaji, Mbak sudah. Dan saya yakin saya bicara demikian bukan berarti saya lebih baik daripada Mbak Inul. Mbak Inul banyak infaknya daripada saya. Itu sudah jelas. Tapi saya tentu sebagai orang awam ingin sekali Mbak Inul menjadi haji yang mabrur. Haji mabrur itu bukan sekadar tempelan status dan keinginan belaka tapi di sana ada konsekuensi-konsekuensi yang kudu ditanggungnya berupa perubahan itu.
Akal pendek saya berpikir bahwa pada dasarnya haji itu adalah merupakan media utama yang menggedor sisi-sisi kesadaran kita sebagai makhlukNya. Selama berhari-hari selalu menangis ingat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Tentunya ada sebuah tekad yang muncul bahwa saya harus menjadi lebih baik dan tidak akan melakukan kesalahan itu lagi.
Juga akal pendek saya mengatakan pula bahwa haji pun adalah madrasah utama untuk menghancurkan virus-virus yang disebar ke tengah-tengah umat. Virus kolonialisme, nasionalisme keblinger, pengkultusan, harta, jabatan, kekuasaan, setan timur dan setan barat. Haji juga salah satu pembebasan dari segala kenistaan syaithani, menuju kesertaan Arrahman, Zat Yang Mahakasih. Jadi wajar saja saya berharap banyak kepada Mbak Inul.
Inul : Eit, …nanti ujungnya ke patung saya itu ya mas?
Riza : Sedikit tepat sih Mbak.
Inul : Bukan saya yang buat dan saya tidak memintanya Mas Riza.
Riza : Kalau tidak ada restu pasti tidak mungkin dong Mbak. Dengar-dengar Mbak sendiri lah yang menyumbang. Dan kayaknya Mbak enjoy saja tuh. Malah sempat akan meresmikannya kalau tidak diprotes sama salah satu ormas di Jakarta ini. Bukankah patung itu adalah bibit awal dari sebuah pengkultusan diri?
Inul : Seharusnya Mas Riza jangan terlalu berharap banyak pada saya. Saya cuma Inul, loh. Seharusnya Mas Riza berharap pada aparat dan pejabat pemerintahan, serta anggota DPR dan DPRD yang berhaji ke sana agar mereka pun meninggalkan perilaku koruptifnya. Berharap banyak kepada mereka karena merekalah yang punya kekuatan dan kekuasaan untuk mengubah perilaku dan budaya buruk yang ada di masyarakat.
Riza : Wah sudah barang tentu saya berharap juga Mbak. Ada hak yang akan saya tuntut kepada mereka nantinya. Kepada Mbak Inul juga saya akan melakukan hal yang sama. Karena sesungguhnya Mbak Inul ini adalah sosok figur publik. Sosok yang didengar dan dilihat oleh semua lapisan masyarakat baik oleh bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, adek-adek, kakek-kakek, nenek-nenek, om-om, tante-tente, dan semuanya. Karena Mbak ini seleb maka dibuatlah patungnya oleh penggemar Mbak. Kocok-kocoknya Mbak Inul dapat mereka terima daripada omongan berbusa-busa para ustadz kampung. Saya optimis perubahan yang Mbak Inul lakukan akan menjadi titik awal timbulnya sebuah kesadaran besar pada diri masyarakat.
Inul : Lalu bagaimana kelanjutan Inul Vizta, bisnis saya di Kelapa Gading dan cita-cita saya mendirikan supermarket di Pasuruan?
Riza : Ah, orang tua kita selalu bilang Mbak, rezeki itu tidak akan pergi kemana.
Inul : Sampeyan kok sampai segitunya sama saya?
Riza : Segitunya bagaimana Mbak?
Inul : Segitunya sampai bikin saya pengen menangis.
Riza : Waduh Mbak, tolong jangan adukan saya ke Gus Dur dan Gus Mus, mertua Ulil Absar Abdilla itu.
Inul : Ya enggaklah, masa urusan segini saja sampai bawa-bawa mantan presiden segala.
Riza : Begini Mbak, kalau pengen nangisnya karena terharu, ya saya bersyukur. Di hati Mbak setidaknya ada benih-benih kebaikan untuk berubah. Tapi kalau bukan itu, ya saya minta maaf lagi. Pada dasarnya saya enggak ingin Mbak Inul ini masuk dalam sindiran yang terkesan hanya guyon anak-anak belaka tentang predikat haji.
Misalnya jipat turi akronim dari kaji mlumpat kethune keri. Ungkapan asosiatif dalam bahasa Jawa seperti itu bisa berarti seorang yang sudah naik haji tiba-tiba meloncat ke jalur tingkah laku lain dengan menanggalkan kesucian hati dan pikiran yang disimbolkan kethu atau kopiah putih. Atau, dalam ungkapan yang mengandung sarkasme, pak kaji nyolong dhendheng yang berkonotasi ada perilaku seorang haji yang mencuri hal-hal berbau busuk seperti daging yang sudah dikeringkan menjadi dhendheng.
Semua tergantung pada Mbak Inul semua. Yang benar itu sudah jelas, yang salah itu juga sudah jelas. Mau revolusi atau evolusi dalam pemahaman, terserah pada Mbak? Tinggal masalah waktu saja kok. Itu saja sih Mbak. Terlalu banyak bicara membuat tampak jelas kebodohan saya.
Tetapi yang terpenting selamat buat Mbak Inul dan Mas Adam atas telah selesainya menunaikan ibadah haji. Semoga menjadi haji mabrur. Saya tetap menunggu perubahan itu Mbak.
Inul : Sama-sama, terimakasih mas Riza atas semuanya. Ya kita tunggu sajalah nanti. Semoga saja ada perubahan seperti Mas Riza inginkan.
Riza : Jangan karena saya Mbak, saya ini bukan siapa-siapa. Semuanya karena Allah saja hendaknya. Tapi tentu saya yang akan bersyukur sekali dengan perubahan itu dan harus yang menjadi pertama untuk mengucapkan selamat kepada Mbak Inul.

Semuanya ternyata hanya imajiner.
Allohua’lam bishshowab.

Maraji’:
1. Alqur’anul Kariim;
2. Said Hawwa, Al-Islam Jilid 1, Cetakan Ketiga, Al-I’tishom Cahaya Umat, Jakarta, Agustus 2004;
3. Kholid Anwar, Haji, Ritual Korupsi, http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/01/opi04.htm ;
4. Beberapa pemberitaan tentang Inul.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:40 17 Desember 2007

RINDU TAK BERBALAS


Menunaikan ibadah haji adalah sebuah amal untuk memenuhi panggilan khusus dari Allah swt. Hanya orang-orang yang terpilih saja yang bisa menunaikannya. Ada begitu banyak muslim yang berpunya dari segi harta dan fisik tetapi tidak ada sedikitpun gerak dalam hati untuk memenuhi seruan-Nya. Ada banyak macam alasan yang biasa diperdengarkan. Mulai dari kesibukan mengurus penghidupan yang tiada habisnya, anak-anak yang masih kecil, sampai yang memang tidak punya niat sama sekali untuk pergi ke tanah suci.
Namun seringkali kita jumpai betapa banyak muslim yang begitu merindukan mengumandangkan teriakan “labbaik allohumma labbaik” dan merindukan tetesan-tetesan airmata jatuh dalam pemenuhan keharuan melihat rumah Allah tetapi Allah belum juga memanggilnya, karena ada sesuatu dan lain hal yang tidak bisa diketahui oleh para hamba-Nya. Entah karena ketidakmampuan dalam masalah finansial hingga fisik yang tidak mampu.
Contoh terdekat adalah Ustadz Fahruddin yang biasa mengisi pengajian malam ahad di masjid kami, Masjid Al-Ikhwan. Beliau ini berencana untuk pergi haji di tahun ini. Dulu ia pernah menapaktilasi kewajiban itu dua kali dalam jangka waktu sepuluh tahun. Dan ini untuk yang ketiga kalinya. Alhamdulillah, untuk masalah ongkos naik haji ia tidak perlu memikirkannya. Karena ada salah seorang muridnya yang bersimpati dengan beliau dan berniat untuk membiayai seluruh biaya perjalanan itu. Tetapi hanya untuk beliau saja sedangkan istrinya tidak diikutkan.
Mendapatkan rezeki yang besar tersebut maka bersiap-siaplah beliau untuk menempuhi seluruh rangkaian ritual haji yang akan benar-benar menguras fisiknya. Dan ia didaulat sebagai pimpinan rombongan karena dianggap sudah berpengalaman. Beliau juga meminta doa kepada jama’ah Masjid Al-Ikhwan agar Allah memberikan kekuatan pada dirinya. Sebaliknya kami pun meminta pada beliau agar mendoakan kami untuk bisa berangkat haji sebagai perwujudan pemenuhan kesempurnaan rukun Islam.
Tapi apa yang terjadi, ternyata Allah berkehendak lain. Tiga minggu sebelum keberangkatannya, ia mengalami kecelakaan. Sepulang dari acara muhasabah dan qiyammullail, kemungkinan karena kecapaian dan mengantuk, ia tidak melihat ada sebuah polisi tidur di ujung jalanan yang menurun dan menikung. Terjatuhlah ia sehingga tempurung lututnya retak, parah.
Agar ia bisa tetap menunaikan ibadah haji, selain pengobatan modern dengan pemasangan pen beliau juga berobat secara tradisional kepada ahli pengobatan patah tulang di daerahnya. Dengan senantiasa berharap dan berdoa semoga Allah mempercepat kesembuhannya. Pada saat walimatussafar yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, beliau masih tetap tidak bisa berdiri dan masih duduk di atas kursi roda. Itu pun sebenarnya beliau tidak boleh bepergian terlebih dahulu karena masih dalam perawatan di klinik patah tulang tersebut. Tetapi beliau bersikeras untuk tetap menghadiri acara itu agar bisa didoakan oleh banyak orang di rumahnya. Selesai acara, beliau langsung dibawa kembali ke klinik.
Waktu pun terus bergulir, dan Allah tetap berkehendak pada setiap hamba-Nya. Allah masih memperlambat proses penyembuhannya. Dua hasil pengujian test kesehatan dari pihak Pemerintah Kabupaten Bogor dan pihak klinik sendiri masih menyatakan bahwa fisik beliau tidak mampu untuk melaksanakan ibadah haji walaupun di atas kursi roda. Saat ini beliau masih diharuskan dalam proses penyembuhan total. Air mata kesedihan pun jatuh dari pelupuk matanya. Oh, kesedihan dan kerinduan yang pupus menjadi satu, bercampur aduk dengan upaya kerasnya untuk menerima semua itu dengan ikhlas.
Pelajaran yang senantiasa kami terima dari beliau di pengajian malam ahad adalah: “pada saat manusia diterpa dengan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya sesungguhnya manusia tidak bisa melihat hikmah yang tersembunyi dengan segera, dan manusia cuma bisa mengeluh.”
Dan ada kisah yang biasa beliau ungkapkan kepada kami.
Seorang petani sayur biasa pergi ke pasar dini hari sebelum adzan shubuh berkumandang bersama dengan teman-teman seprofesinya dengan menggunakan pick-up sewaan. Untuk itu ia harus tepat waktu berkumpul di tempat yang telah ditentukan yaitu di perempatan jalan kampung. Bila ada yang terlambat datang terpaksa harus ditinggalkan. Karena keramaian pasar tidak sampai berlangsung lama, mereka harus bisa menjualnya segera agar laku dan tidak busuk.
Dini hari itu, di saat ia sudah bersiap-siap untuk berangkat pergi ke pasar, ia tidak menjumpai pikulan kayunya yang biasa ia pakai untuk menggotong dua keranjang besar berisi sayur-sayuran segar itu. Ia mencari-carinya. Lama sudah. Waktu pun cepat sekali berputar. Hatinya bergejolak, marah. Ia bangunkan seisi rumah dan menyuruh mereka mencari kayu pikulannya. Beberapa saat kemudian diketahui bahwa pikulannya itu disembunyikan di belakang rumahnya oleh dua anaknya yang masih kecil. Mereka lupa untuk menaruhnya kembali saat menggunakannya sebagai alat bermain mereka.
Dengan masih menggerutu dan gumpalan amarah yang belum bisa terhapuskan di dadanya segera ia bergegas pergi ke tempat pertemuan. Dan benar sangkaannya, di sana tidak ada siapa-siapa, ia terlambat, ia sudah ditinggalkan teman-temannya. Terpaksa ia harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh. Ia susuri jalan-jalan pintas yang ada untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu dengan gerutuan yang semakin bertambah serta kejengkelan kepada seluruh penghuni rumahnya. Dagangannya bakalan tidak laku.
Sesampainya di tujuan dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya dan pasar sudah terang benderang karena sinar matahari pagi, ia terkejut dengan banyaknya orang yang berkerumun di lapak-lapak khusus sayur mayur. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Ia tambah heran lagi saat salah seorang dari mereka yang dikenalnya berteriak, “ia masih hidup!”
Setelah itu barulah ia tahu ada berita mengejutkan buatnya. Seluruh temannya yang naik pick-up tadi pagi tewas karena mobil yang ditumpanginya jatuh ke jurang. Ia jatuh terduduk. Ia lemas lunglai mendengar berita itu. Ia terkejut sedemikian rupa. Kalau saja pikulannya tidak disembunyikan oleh anaknya, kalau saja ia datang tepat waktu, dan kalau saja…
Ah, ia baru menyadari ada hikmah yang tersembunyi dari peristiwa keterlambatannya itu setelah sekian lama ia bergumul dengan kemarahan dan kejengkelan. Setelah ia menggerutu dengan banyak gerutuan. Ah, ia merasa kini sudah saatnya meminta maaf dan berterima kasih kepada istri dan anak-anaknya. Ah, yang terpenting kini ia baru ingat ada Allah yang mengatur segalanya…
***
Ustadz kami kini dalam ujian yang diberikan Allah. Ini sebagai tanda kecintaan Allah pada hamba yang dicintai-Nya. Allah telah berkehendak sedemikian rupa untuk tidak memberangkatkannya ke tanah suci, untuk tidak menziarahi makam nabi tercinta, untuk tidak melaksananakan shalat yang empat puluh, untuk tidak memutari Ka’bah melawan arah jarum jam, untuk tidak qiyamullail di masjidil haram, untuk tidak berseru labbaik allohumma labbaik, dan untuk tidak wukuf di Arafah. Memang tidak. Tidak di tahun ini. Insya Allah tahun depan.
Tentu kami yakin ada hikmah yang tersembunyi buat guru kami itu. Dan kami senantiasa berharap semoga Allah memberikan kesabaran dan keikhlasan padanya.
Ya ustadz, bersabarlah. Dan semoga lulus.

rindu kami ini Ya Allah
rindu tak tertahankan
rindu kami ini Ya Allah
rindu tak tergoyahkan
rindu kami ini Ya Allah
rindu bermuara
rindu kami ini Ya Allah
tasbih hajat kami
kiranya
bila Engkau menerima rindu ini?
panggillah kami…
labbaik allohumma labbaik

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
ke-301, lantai tiga kalibata.
10:09 13 Desember 2007
https://dirantingcemara.wordpress.com

BIODATA PERNIKAHAN


Bagi para pemuda ataupun pemudi yang konsisten memegang teguh agamanya di zaman seperti ini, pacaran dengan lawan jenis sebelum menikah adalah sesuatu yang amat dijauhinya. Mereka tahu, bagaimana akan mendapatkan sesuatu yang berkah dan maslahat dalam kehidupan rumah tangganya, bagaimana akan mendapatkan generasi rabbani yang kuat dan menjadi pilar penegak sebuah peradaban Islam yang baru, jika segalanya diawali dengan sesuatu yang tidak baik dan diridhai oleh Allah.
Oleh karena itu dalam mencari pasangan hidupnya mereka menempuh jalur yang sudah dianggap kuno oleh masyarakat moderen sekarang ini. Yaitu yang pertama, orang tua mencarikan jodoh dan menikahkan anak perempuannya. Yang kedua, orang tua aktif mencarikan suami bagi anak perempuannya. Yang ketiga, diproses pernikahannya oleh orang-orang yang sholeh. Yang keempat, mencari sendiri jodohnya. Yang kelima, wanita menawarkan dirinya kepada laki-laki yang sholeh. Yang terakhir ini bukanlah aib atau cela. Yang penting teknisnya dilakukan dengan jalan yang bijak dan sesuai dengan fitrah wantia.
Kelima cara menjadi jodoh tersebut tentu tetap berada dalam koridor yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW yaitu tidak boleh ada paksaan dan keterpaksaan, serta memenuhi kriteria penilaian dari hartanya, kecantikannya, keturunannya, atau agamanya. Mendapatkan pasangan yang memenuhi semuanya patut disyukuri, sedangkan bila tidak, cukuplah dengan memenuhi kriteria terakhir yaitu pasangan yang mempunyai pemahaman baik terhadap agama ini. Sungguh, ketiga yang pertama tidak akan berarti saat biduk rumah tangga itu dikayuh. Ketaatan dan keshalehan pasanganlah yang senantiasa diharapkan dan dirindu di setiap waktunya. Pilihan terakhir itulah yang kata Rasulullah akan membuat selamat.
Di sini tidaklah akan saya uraikan panjang lebar tentang persiapan mendetil sebuah pernikahan. Karena Anda, para pembaca, dapat mengetahuinya secara lengkap dari banyak buku yang dijual di pasaran, dengan sebuah tema besar: CARA MEMBENTUK RUMAH TANGGA ISLAMI.
Di sini saya akan mengetengahkan salah satu tahap yang dianggap remeh dalam cara mencari jodoh yang diproses oleh orang-orang yang shaleh atau yang dipercayainya. Yaitu tahapan membuat biodata diri. Tahapan ini diperlukan sebagai langkah pertama untuk mengenal calon pasangan hidupnya. Upaya ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang seringkali diajukan oleh para pemuja sistem pacaran pranikah.
Bagaimana bisa tahu tentang baik atau buruknya si dia? Ya, biodata ini adalah satu jawabannya. “Belum cukup!” jawab mereka. Ya, masih ada proses lebih dekat secara syar’i tentang pengenalan lebih jauh ini. Yaitu melalui proses mencari informasi dari pihak-pihak yang mengenal lebih dekat dengan calon pasangan ataupun melalui proses nadzar (melihat dengan seksama dan teliti). Lalu bisa dilanjutkan dengan berbicara, dan berdialog menyangkut berbagai macam konsep atau persepsi tentang kehidupan (proses ini dikenal sebagai proses ta’aruf). Tentu perbincangan ini dalam konteks yang syar’i yaitu tidak berdua-duaan dan senantiasa memakai hijab (tabir atau pembatas).
“Belum cukup!” jawab mereka lagi. Ya, sudah cukup, mau mengenal lebih dekat lagi, sila untuk menikah terlebih dahulu. Insya Allah, Allah senantiasa menolong para hamba-Nya yang akan menyempurnakan separuh din-nya ini.
Lalu bagaimana agar biodata ini setidaknya cukup memberikan gambaran yang sejujurnya dari masing-masing pasangan? Jawabannya adalah senantiasa memegang manhaj pertengahan.Tidak ada yang dikurang-kurangkan, dan tidak ada yang dilebih-lebihkan.
Detilnya adalah sebagai berikut:
1. Ungkapkan identitas Anda sejelas-jelasnya;
2. Ungkapkan cita-cita Anda setelah menikah padanya;
3. Jujur, tidak ada fakta yang disembunyikan tentang pekerjaan dan penghasilan anda, keluarga dan orang tua serta informasi yang dianggap perlu dan seringkali menjadi pertimbangan penting yaitu masalah penyakit yang pernah dan sedang diderita;
4. Tidak sedikit seperti informasi di Kartu Tanda Penduduk (seringkali saya jumpai yang sedemikian rupa);
5. Tidak perlu terlalu detil seperti company profile. (Belum pernah saya jumpai dan semoga tidak ada yang perlu saya jumpai karena sudah cukup dengan company profile Wajib pajak);

Berikut contoh minimal biodata yang setidaknya dapat digunakan untuk mengawali langkah baik dalam beragama ini. Karena betapa banyak yang masih saja bertanya bagaimana cara membuat biodata yang tepat. Sebenarnya kalau mereka mau bersusah payah sedikit membuat biodata ini tidak akan memerlukan waktu yang lama. . Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa ada isian-isian yang tidak berhubungan dengan dirinya dan sebenarnya dia tidak mempermasalahkannya—misal tentang isian suku dan pekerjaan orang tua—tetapi sungguh perlu diketahui oleh semuanya bahwa biodata ini peruntukkannya tidak hanya untuk konsumsi pasangannya semata, tetapi juga sebagai bahan informasi yang bisa diberikan kepada keluarga masing-masing. Minimal sebagai bahan pertimbangan di pihak keluarga masing-masing.

BIODATA SAYA
(Di samping daftar isian berikut akan diberikan penjelasan seperlunya)

1. Nama : (Cukup jelas)
2. Tempat/tanggal lahir : (Cukup jelas)
3. Agama : Kudu Islam
4. Jenis kelamin : Penting untuk ditulis dan diketahui
5. Suku : Sebutkan dengan jelas, Asmatkah, Dayak, Jawa, atau Sunda?
6. Status Perkawinan : Belum menikah, sudah menikah, atau berstatus duda/janda
7. Pekerjaan : (Cukup jelas)
8. Jabatan pekerjaan : Diisi jika ada
9. Penghasilan per bulan : Penting untuk ditulis dan diketahui
10. Riwayat pendidikan : Mulai sekolah dasar hingga pendidikan terakhir
11. Riwayat organisasi : (Cukup jelas)
12. Nama orang tua kandung : (Cukup jelas)
13. Nama orang tua angkat : Diisi jika ada
14. Alamat orang tua : (Cukup jelas)
15. Pekerjaan orang tua : (Cukup jelas)
16. Anak ke/dari : (Cukup jelas)
17. Nama-nama saudara : (Cukup jelas)
18. Hobi/kesenangan : Tulis yang memang kita sukai. Jika tidak ada, ya tidak perlu ditulis.
19. Perilaku baik : Sebutkan perilaku baik yang paling menonjol. Tidak untuk ‘ujub (narsis). Contoh: baik hati, tidak suka marah,tidak sombong, suka menolong, hemat tapi tidak pelit, ringan tangan membantu sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.
20. Perilaku buruk : Sebutkan perilaku buruk yang paling menonjol. Ini kebalikan dari contoh perilaku baik seperti yang telah disebutkan di atas. Semisal: ngambekan, lelet, pemarah, dan lain-lainnya. Tetapi jangan membuka aib masa lalu yang sudah ditutupi oleh Allah dan memang tidak perlu untuk diketahui.
21. Penyakit : Ditulis jika ada penyakit berat atau menahun. Penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan yang dijual di warung-warung tidak perlu untuk ditulis. Seperti panu, kadas, kurap, batuk, pusing-pusing terkecuali memang penyakit itu berat. Ungkapkan juga kapan penyakit itu diderita, sudah atau sedang dialami.
22. Penggambaran fisik : Sebenarnya dengan melihat foto yang dilampirkan dalam biodata ini sudah mencukupi. Tetapi tidaklah mengapa untuk diungkapkan terutama masalah tinggi dan berat badan. Agar calon pasangan tidak meraba-raba seberapa ideal sosok calon pasangannya.
23. Tujuan menikah : Ungkapkan sejujurnya. Tidak perlu berbunga-bunga dan sewajarnya saja. Bagi saya ungkapan yang wajar dan sederhana adalah seperti ini: “untuk bisa menjaga diri saya.”
24. Keinginan setelah menikah : Utarakan keinginan terpendam Anda bahwa setelah menikah itu apa yang Anda inginkan pada pasangan anda. Semisal, ingin jadi ibu rumah tangga saja, tidak boleh ada televisi di rumah, senantiasa berdakwah, masalah keuangan dipegang oleh istri, tetap melanjutkan kuliah, ingin berumah tangga ala rasulullah, dan masih banyak lagi contoh-contoh keinginan yang lainnya. Ini sebenarnya awal dari sebuah memo of understanding secara singkat dan tertulis sebelum pembicaraan lebih lanjut mengenai itu pada saat ta’aruf.
25. Kriteria pasangan : Ini diisi jika yang mau menikah belum tahu siapa calon pasangannya dan memasrahkan semuanya pada orang-orang yang dipercayainya seperti murabbi misalnya untuk mencarikan sesuai keinginannya. Jika sudah tahu, isian ini tidak perlu dibuat. Ataupun tidak perlu mengisinya dikarenakan ia sudah siap untuk menerima siapa saja yang ditawarkan oleh murabbinya itu.
Boleh-boleh saja menginginkan calon pasangan yang mempunyai kriteria yang diinginkannya misalnya kriteria fisik, seperti cantik. Tetapi adalah hak bagi wanita juga menginginkan untuk mencari pasangan yang gantengnya tidak ketulungan. Lagi-lagi saya cuma mengingatkan menilai dari agamanya itu lebih selamat.
Keinginan seperti calon suami bisa baca alqur’an, hafal 30 juz, hafal hadits, bisa menjadi imam sholat untuk dirinya dan keluarganya, yang sholih atau sholihah, lulusan pesantren, bisa baca kitab kuning, aktivis pergerakan, ahlulmasjid, akhlaknya baik, tidak pemarah dan lain sebagainya tidaklah mengapa ditulis. Tetapi cukuplah dengan pemahaman bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini kecuali Rasulullah SAW, sudah dapat menjadi batasan bahwa ketika ada calon pasangan yang ada tanda-tanda keshalehan pada dirinya dan memenuhi kriteria itu walaupun cuma satu, ia dapat menerimanya dengan baik dan tidak bisa untuk ditolak.

Demikian detil singkat dari sebuah biodata pernikahan ini. Allohua’lam bishshowab, hanya Allah-lah yang mengetahui segalanya, dan hanya Dia-lah yang maha berkehendak. Catatan kecil ini saya persembahkan kepada para jomblo yang sholih atau sholihah untuk memulai sunnah yang mulia ini.

Sungguh Islam itu adalah agama yang mudah bagi umatnya. Sungguh Islam mengajarkan kepada kita batasan-batasan dalam pergaulan para pemuda dan pemudinya. Ada sebuah nilai keberkahan yang didapat pada orang-orang yang memulai kebaikan tersebut dengan kebaikan pula. Memulai proses menikah dengan sesuatu yang baik, sesuatu yang diridhai Allah, tidak pacaran, dan masih tetap menjaga hijabnya. Insya Allah catatan kecil ini bermanfaat untuk memulai semua itu. Tinggal memperkuat doa semoga Allah memudahkan langkah kita dalam menempuh sunnahnya, dan mempercepatnya.

Bila ada kekurangan, mohon untuk dimaafkan dengan maaf tiada terkira dari Anda untuk saya, para pembaca.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
catatan yang ke-300
09:42 27 Nopember 2007

Surat Terbuka Untuk Ikhwah


Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabaarokaatuh.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Semoga Allah senantiasa memberikan dan menetapkan hidayah kepada kita semua. Semoga salam dan shalawat senantiasa tercurah kepada junjungan nabi kita Sayyidina Muhammad Saw.
Ikhwatifillah yang saya cintai karena Allah izinkan saya menulis untuk antum semua peserta forum tarbiyah di sini tentang sebuah kegundahan yang menggumpal dalam dada saya. Sebuah perenungan yang saya bawa sampai ke rumah dan yang membuat saya tidak bisa tidur tadi malam. Sebuah perenungan tentang apa yang telah saya perbuat untuk menyiarkan dakwah ini kepada sekitar dan terutama sekali kepada para peserta forum DSHNet. Ada dua poin sebenarnya yaitu gundah dan renung.
Saya utarakan kegundahan saya dulu yang pertama. Kemarin tepatnya hari senin tanggal 19 Nopember 2007, sekitar pukul 16.45 WIB di forum dakwah ada sebuah postingan yang judulnya adalah kurang lebih demikian Syiah dan Sunni Sama-sama bersihnya. Yang memosting saya lupa tapi saya tahu pasti tentang berapa IP Address-nya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Batu. Kalau mendengar nama KPP ini maka yang telah berkecimpung lama di forum dakwah akan mengetahui ada saudara kita yang senantiasa membenci dakwah kita.tidak perlu disebutkan namanya di sini.
Saya memang selalu mencermati setiap postingan dari KPP batu sebagai bentuk pengawasan saya. Dan biasanya ketika ada sindiran-sindiran (dan celaan) darinya saya langsung melakukan tindakan untuk menonaktifkannya tanpa peringatan terlebih dahulu. Karena sudah berapa kali peringatan itu diberikan tetapi tidak pernah digubris oleh saudara kita itu—Semoga Allah memberikan kelembutan padanya. Dalam satu saat ia bisa mengganti nick beberapa kali untuk bisa bergabung kembali di forum. Dan saya melakukan apa yang sudah menjadi tugas saya. Tinggal siapa yang paling kuat sabarnya antara saya dengan dia saja.
Yang paling sering dilontarkan adalah tentang masalah gugatan terhadap moderator, politik, dan syiah. Terutama tentang syiah kurang lebihnya demikian: “Sudah tahu sesat tapi masih saja mengagung-agungkan para pemimpinnya.” Kali ini, sore kemarin itu, ia memosting satu paragraf saja sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Sunni dan Syiah adalah muslim. Mereka ini disatukan oleh kalimat Laa Ilaha Illallah dan Muhammadun rasulullah. Ini adalah prinsip aqidah di mana Sunni dan syiah sepakat dengannya. Adapun perbedaan yang ada di antara keduanya adalah pada tema-tema yang mungkin didekatkan (taqrib). (Dzikrayaat laa Mudzakiraat hal 345-346)
Lalu apa yang terjadi teman-teman, banyak sekali dari ikhwah kita yang reaktif dengan mengajukan berbagai pertanyaan dan hampir-hampir mengarah gugatan kepada apa yang diposting dan pemosting. Sampai sang pemosting itu pun mengajukan pertanyaan balik kepada yang memprotes: “memang ada yang salah yah dari pernyataan ini?”
Saya memahami tentang kegundahan kita sebagai ahlussunnah terhadap penyebaran pemikiran Syiah oleh Ridha yang menghujat para sahabat yang mulia di forum dakwah. Hingga langsung merespon cepat tentang adanya penyamaan ini. Saya tidak menyalahkan teman-teman. Itu suatu kewajaran.
Tetapi karena saya sudah tahu terlebih dahulu siapa yang memosting saya berhati-hati untuk berkomentar. Apakah ini adalah suatu penegasan yang disampaikan dari dua kalangan yaitu syiah atau dari seorang yang tahu tentang syiah, pembenci syiah, atau pembenci dakwah kita dan cuma untuk mengetes nanti selanjutnya mencela siapa yang mengeluarkan perkataan itu?
Dan saya memilih yang terakhir karena melihat IP address-nya tersebut. Ada beberapa tanggapan yang masuk, kurang lebih sekitar tujuh tanggapan. Terakhir adalah pertanyaan yang diajukan oleh sang pemosting ini seperti yang telah saya sebutkan di atas. Lalu saya langsung memotong diskusi tersebut dan “membuang”nya ke forum komunikasi para moderator.
Ikhwatifillah, saya dengan keras berpikir di mana saya pernah dengar dan baca tentang sebuah buku yang bernama Dzikrayaat laa Mudzakiraat. Dan saya yakin saya belum pernah memilikinya. Saya sering mendengarnya dari saudara Salafy kita yang sering menyebut-nyebut buku itu sebagai bahan perbantahan. Saya ambil sebuah buku di atas meja saya, bukunya Farid Nu’man, Al Ikhwanul Muslimun, Anugerah Allah yang terzalimi, saya baca referensinya. Tidak ada buku tersebut sebagai referensinya. Lalu saya ambil bukunya Abduh Zulfidar Akaha yang berjudul Siapa Teroris Siapa Khawarij, tidak ada pula di sana.
Saya bertanya-tanya apakah Syaikh Al-Qaradhawy yang mengatakan demikian atau siapa? Kalaupun mengatakan demikian hujjah apa yang bisa disampaikan? Ikhwatifillah, pertanyaan itu menggelayuti benak saya dan membuat saya gundah hingga dalam perjalanan pulang saya ke rumah. Dan saya bertekad untuk mencari referensi tersebut di internet.
Namun pelan-pelan kegundahan itu tersingkir dengan sebuah perenungan yang menghunjam saya dari seorang muda namun mempunyai tsaqofah yang luas, akh brazkie sebagai berikut (dengan perubahan sedikit pada tata bahasa):
Sekarang saya lagi memaksa diri saya untuk membaca apa yang seharusnya saya baca. Karena gerakan dakwah kita sudah memasuki mihwar muassasi dan mempersiapkan dirinya ke mihwar daulah, saya memaksa diri membaca bahan bacaan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan mihwar saat ini, yaitu buku yang berhubungan dengan Politik-Keamanan-Ekonomi-Bisnis.
Ini untuk mempersiapkan diri kita untuk menjadi “qiyadah” di masa kita nanti, sebab,keraguan orang-orangumum itu seputar mampukah kita orang-orang masjid mengelola negara ini, tanpa mengorbankan kesolehan mereka, atau toleran terhadap pluralitas bangsa ini?
Kalau buku-buku yang menjawab seputar salafy dan sebagainya, saya hanya berpikir itu hanya reaktif belaka, tahap yang paling jauh yang bisa bermanfaat untuk kita adalah menambah khazanah tsaqofah kita mengenai mereka. namun hendaknya kita tidak terjebak dan menjadikan itu sebagai referensi utama bagi proses belajar kita, sebab bagaimanapun persoalan yang lebih besar sedang menanti kita, ketimbang persoalan kecil semacam tingkah polah harokah lain khususon salafy.
Sekedar saran ya ikhwati…
Apa yang dikatakan oleh Akh Brazkie ini benar, seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy katakan dalam Kitab Fiqhul Ikhtilaf:
Di antara hal yang seringkali menyeret orang ke dalam kancah perselisihan dan menjauhkannya dari persatuan ialah kekosongan jiwa mereka dari cita-cita dan persoalan-persoalan besar. Bila jiwa kosong dari cita-cita dan persoalan-persoalan besar maka terjadilah pertarungan mempertentangkan masalah-masalah kecil.
Sebagaimana istri saya yang sering mengingatkan saya tentang perkataan seorang ustadz kampung namun punya kafaah yang mumpuni pada kekinian: “…karena mereka tidak punya mimpi besar.”
Wahai Saudaraku antum telah memberikan perkataan yang besar bagi diri saya. Sebuah perenungan yang membuat saya berpikir apa yang telah saya lakukan untuk dakwah ini. Apa yang telah saya berikan adalah sesuatu yang besar untuk forum diskusi DSH? Yang membuat semua orang mempunyai pemikiran yang luas bagaimana untuk membangun negeri ini dengan lebih baik lagi? Untuk dapat memikirkan saudara-saudaranya di bumi Allah yang masih tertindas. Untuk dapat memikirkan pengembangan kreatifitas dalam dakwah hingga semua merasa nyaman dengan dakwah ini. Hingga semua orang bersama-sama dengan dakwah ini.
Ya Allah ya Rabb, jawaban saya adalah BELUM. Saya masih terlalu sedikit berbuat atau bahkan belum berbuat sama sekali hingga terjebak pada permasalahan khilafiah di forum dakwah (maaf tanpa sama sekali mengecilkan ilmu-ilmu itu) namun ketika setiap hari saya (untuk tidak mengatakan kita) berkecimpung pada sesuatu yang diulang-ulang setiap harinya dan tanpa ada sebuah ide-ide segar yang muncul demi perkembangan Islam, maka sungguh saya dapat katakan bahwa saya telah terjebak pada pertentangan masalah-masalah kecil.
Perenungan ini pun membuat saya berpikir ulang bahwa niat saya mencari referensi sedapat mungkin tentang buku Dzikrayaat laa Mudzakiraat adalah cuma untuk gagah-gagahan, sekadar dianggap sebagai orang yang berilmu, reaktif hanya untuk membalas sebuah aksi, dan lagi-lagi terjebak pada pertentangan masalah-masalah yang tak kunjung habisnya padahal ada sebuah kerja besar yang harus senantiasa kita lakukan yaitu sebuah pembinaan. Bagaimana mau membina sedangkan bekal itu kosong karena otak tidak diberikan hak untuk menuntaskan dahaga ilmunya dan otak hanya dipenuhi oleh pikiran untuk menjawab tuduhan, berkelit, dan membalas. Masya Allah.
Sungguh Akh Brazkie dan teman-teman sekalian. Perenungan itu saya bawa pulang ke rumah. Sampai jelang tidur pun saya masih bertanya-tanya bisakah saya keluar dari jebakan ini? (Saya sampai meyakini tentang perkataan ustadz Andi Harsono bahwa saya sesungguhnya sedang dalam kehilangan orientasi dakwah). Istri saya sudah pernah bilang sejak lama, “belilah dan bacalah kembali buku-buku tarbiyah.”
Ya, sedikit solusi ini bisa untuk memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas. Insya Allah.
Ikhwatifillah, malam pun jelang, saatnya untuk beristirahat. Maka tidurlah saya untuk memberikan hak pada jasadiyah saya. Lalu jam setengah dua malam istri saya membangunkan saya, menyuruh saya mengambil wudhu dan shalat. Rupanya istri saya belumlah tidur, ada tugas yang masih dikerjakannya.
Setelah shalat, saya pun berdiri dan beranjak ke lemari buku. Dari sana saya ambil Risalah Pergerakan Hasan Al-Banna jilid 1 dan saya mencari apakah ada perkataan tentang syiah, untuk menuntaskan kepenasaran saya. Dengan berusaha menebak-nebak arti sesungguhnya dari Dzikrayaat laa Mudzakiraat itu dan mencocokkannya dengan daftar isi dari buku Risalah Pergerakan itu saya mencari tentang syiah. Kali saja ada judul subbab yang isinya sama sesuai dengan keterbatasan kosakata saya terhadap Bahasa Arab. Dan hasilnya tidak ada.
Lalu mata saya terantuk ke sebuah buku yang berjudul: Umar Tilmisani: Mursyid ‘Am Ketiga Ikhwanul Muslimin. Soalnya siang sebelumnya melalui private messenger ada yang meminta saya tentang biografi beliau dan Alhamdulillah saya dapatkan di internet dan saya upload melalui sticky topic di forum dakwah.
Saya buka buku tersebut di halaman belakang dan saya cuma menemukan katalog buku yang telah diterbitkan oleh penerbit buku tersebut. Tidak ada referensi di sana. Lalu saya coba buka halaman-halaman depan yang memuat judul buku aslinya, siapa penulisnya, dan cetakan ke berapa.
Ikhwatifillah, apa yang saya lihat? Ternyata buku yang saya pegang ini adalah buku terjemahan dari sebuah buku yang berjudul: Umar Tilmisani: Dzikrayaat laa Mudzakiraat.
Subhanallah, Walhamdulillah, Wallahu akbar. Saya ternyata tidak hanya menemukannya tapi juga memiliki buku tersebut. Ini adalah semata-mata taufik Allah SWT. (terimakasih untuk Ustadz Andi Harsono yang telah memberikan sebuah istilah yang baru bagi saya bila mengalami hal yang seperti ini).
Saya buka subbab tentang perselisihan Sunni-Syiah, dan betul saya menemukan sebuah paragraph yang sama persis dengan apa yang disampaikan oleh pemosting dari KPP Batu tersebut. Perkataan tersebut adalah perkataan Imam Syahid Hasan Albanna. Agar saya punya pemahaman yang utuh terhadap perkataan tersebut maka saya baca paragraph lanjutannya (maaf untuk saat ini saya belum bisa menuliskannya karena keterbatasan waktu saya, Insya Allah di lain waktu). Dan Wallahi saya mendapatkan pemahaman dan penyikapan yang terbaik dalam perselisihan sunni dan syiah.
Ikhwatifillah, saya langsung pada malam itu mengirimkan pesan singkat pada saudara-saudara saya, Akh Isa Yulistiawan, Akh Andi Harsono, dan Akh Azzam, yang saya anggap sebagai orang-orang yang mumpuni dan paham tentang perselisihan ini. Tentang kegembiraan saya menemukan buku ini. Maaf tiada terkira, saya adalah orang yang sangat reaktif apabila mendapatkan kebahagiaan dan tak mau menyembunyikan kebahagiaan saya ini untuk sendiri.
Akh Isa Yulistiawan memberikan balasan demikian: “Antum hebat amat akh, sampai di rumah masih memikirkan dshforum. He..he…he…” Sungguh Mas Isa, pujian itu hanya untuk Allah semata, dan di dalam hati malah saya berpikir akankah saya terjebak dalam mempertentangkan permasalahan-permasahan. Saya malu dan senatiasa terngiang-ngiang dengan perkataan Akh Brazkie. Apakah ini adalah dalam rangka berbuat apa yang seharusnya saya perbuat? Apakah ini adalah dalam rangka merealisasikan ide-ide besar dakwah kita? Apakah ini adalah investasi untuk menjadi qiyadah di masa depan?
Sungguh akh, kegembiraan itu berlalu dengan seiring helaan nafas yang selalu terdengar di setiap saat. Kegembiraan itu tertutupi dengan sebuah beban berat yang ada dipunggung. Tertutupi dengan sebuah perenungan. Hingga wajah ini tiada tampak berserinya.
Allah ya rabbi, ampunilah saya atas segala kelalaian saya.
Ikhwatifillah ada beberapa kesimpulan yang ingin saya kemukakan di sini untuk diri saya dan untuk ikhwatifillah bila ini berguna untuk antum semua:
1. Camkan baik-baik nasehat Akh Brazkie ini, deeply. Jazakallah akh Brazkie.
2. Perbanyaklah membaca buku-buku dasar tarbiyah. Temukan kedalamannya juga di sana dan temukan hikmahnya di sana. Temukan pula ide-ide besar di sana.
3. Insya Allah dengan senantiasa membaca itu, kita pun tidak ikut terjebak dan larut dalam sebuah pertanyaan yang diajukan oleh yang membenci jalan dakwah kita ini.
4. Perbanyaklah muhasabah sehingga ingat betapa amal kita belumlah mampu untuk membuat Allah ridha terhadap kita.
Ikhwatifillah, maaf tiada terkira. Maafkanlah saya yang mudahnya untuk berkeluh kesah kepada antum semua yang saya yakini antum semua punya amanah dakwah yang amat berat di punggung antum semua.
Nasehatilah saya jika terlalai. Saya butuh cambuk nasehat antum mendera di punggung pemikiran dan amal saya. Agar mudah raga ini berpacu dengan waktu dan terengah-engah meraih ridhanya Allah. Ada debu, keringat, dan darah di sana…
Semoga Allah memberikan kepada saya sebuah keikhlasan. Semoga tidak ada niat di hati saya untuk pamer kata-kata indah di sini. Semoga tidak ada syirik kecil yang tersembunyi.
Semoga Allah mengampuni saya dan kita semua. Dan mengumpulkan kita di surga-Nya Allah. Amin.

Dari saudaramu, Alfaqir, yang bodoh
Riza Almanfaluthi
09:26 20 Nopember 2007

PERSELISIHAN SUNNI-SYIAH
Satu waktu kami bertanya kepada Imam Syahid sejauh mana perselisihan yang ada di antara Sunni dan Syi’ah. Rupanya beliau melarang kami masuk terlalu jauh ke dalam persoalan pelik ini. Menurut beliau, persoalan seperti ini tidak pantas mengambil waktu yang banyak dari kaum muslimim karena mereka, seperti yang bisa kita lihat sendiri, gampang terperangkap ke dalam ruang perpecahan dan api perselisihan yang selalu disulut musuh-musuh Islam.
Kami berkata kepada Imam Syahid: “Kami tidak menanyakan hal ini karena alasan fanatisme atau dengan maksud memperluas perbedaan yang ada di kalangan kaum muslimin. Kami menanyakannya semata-mata karena dorongan ilmu pengetahuan sebab persoalan ini telah tercatat di dalam buku-buku yang jumlahnya sulit dihitung. Masalahnya kami tidak punya waktu untuk mengkaji seluruh buku-buku tersebut.”
Imam Syahid menjawab: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Sunni dan Syiah adalah muslim. Mereka ini disatukan oleh kalimat Laa Ilaha Illallah dan Muhammadun rasulullah. Ini adalah prinsip aqidah di mana Sunni dan syiah sepakat dengannya. Adapun perbedaan yang ada di antara keduanya adalah pada tema-tema yang mungkin didekatkan (taqrib).
Kami bertanya: “Apa saja contohnya?”
Beliau menjawab: “Syiah adalah sebuah aliran yang dalam bahasa perbandingan mirip empat mazhab yang ada pada kelompok Sunni. Aliran Syi’ah Imamiyah, umpamanya, berpendapat bahwa masalah imamah (kepemimpinan) adalah sebuah prinsip islam yang harus diwujudkan. Mereka hanya mau berperang bersama pemimpin yang mereka tunggu (Imam Muntadzar) karena menurut mereka Imam adalah pengawal syri’at, pendapatnya adalah kata putus dan taat kepadanya adalah keharusan tanpa syarat. Ada juga beberapa hal yang diperdebatkan bisa dihilangkan, seperti nikah mut’ah dan poligami, sebagaimana yang ada pada sebagian kelompok Syi’ah. Persoalan-persoalan seperti ini, dan sejenisnya, tak layak dijadikan pemicu munculnya permusuhan antara Sunni dan Syi’ah. Kedua kelompok ini, selama beberapa ratus tahun, pernah hidup rukun. Kalau pun ada perbedaan maka hal ini muncul dalam bentuk tulisan-tulisan. Para imam Syi’ah sendiri turut berperan serta dalam memperkaya khazanah perpustakaan Islam. Dan sampai kini hasil-hasil karya pengetahuan tersebut masih menghiasi rak-rak perpustakaan dalam jumlah cukup banyak.” Demikianlah pendapat Imam Syahid.
Sekiranya konflik Iraq-Iran memang seperti yang diduga banyak orang, maka saya akan membahasnya lebih panjang. Tapi secara keagamaan, kita sebaiknya menghindarkan diri dari permasalahan yang hanya makin mempertajam garis perbedaan yang ada antara Sunni dan Syi’ah. Perbedaan yang makin parah inilah sesungguhnya yang diinginkan para musuh Islam.
Karena itu kita tidak pantas mempertajam masalah ini. Kita ingin cuaca menjadi jernih kembali dan persoalan dikembalikan ke pangkalnya. Mudah-mudahaan dengan cara ini kedua belah pihak bisa menjelaskan sudut pandangannya masing-masing secara adil. Kami menilai cukup sampai di sini pembahasan tentang perbedaan Sunni dan Syi’ah. Kami melakukan ini semata didorong semangat ingin mencontoh metoda Imam Syahid yang selalu berusaha menepis perselisihan yang ada di atnara kamu muslimin.
Kutipan dalam buku: Umar Tilmisani: Bukan Sekadar Kenangan, hal. 345-346. Terjemahan buku Umar Tilmisani : Dzikrayaat laa Mudzakiraat.

GALAU VLADIMIR DONOMAKH


Vladimir Donomakh, seorang muallaf Rusia lagi semangat-semangatnya untuk menekuni dan mendalami syari’at Islam, agama yang dipeluknya tiga bulan lalu. Ia sering bertanya apa saja kepada imam masjid kota Toronto dan para imigran muslim lainnya. Ia bertanya tentang bagaimana tatacara sholat yang baik, tentang haji—sebuah perjalanan spiritual yang diidam-idamkannya, tentang puasa di bulan ramadhan, zakat dan masih banyak yang lainnya.
Tidak sekadar bertanya, setiap ada amalan baik yang dianjurkan dalam agama mulia itu dan ia tahu walaupun sedikit ia langsung mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Ia tahu ia harus beribadah sebanyak mungkin untuk menutupi kesia-siaan hidup 30 tahun yang ia lalui tanpa adanya sebuah kebenaran.
Tidak hanya dengan ilmu syariat yang ia pelajari, ilmu hati pun ia tekuni. Bagaimana ia harus belajar untuk mengendalikan lisan dan hatinya agar tidak terkotori oleh titik-titik dosa. Malam-malamnya ia lalui dengan tahajjud dan tangisannya kepada Allah. Mengharapkan dan merindukan surga-Nya dan takut akan neraka-Nya.
Ia tahu—dari hasil konsultasinya dengan saudara-saudara seiman lainnya—bahwa rasa harap dan takut ini merupakan dorongan yang sangat penting untuk melakukan berbagai amal shalih dan menjauhi berbagai keburukan. Dan ia tahu, ia harus tetap menjaga keseimbangan keduanya dalam hati dirinya.
Rasa takutnya tidak boleh terlalu dominan sehingga menimbulkan rasa putus asa dari rahmat Allah yang merupakan karakter orang-orang kafir belaka. Sebaliknya rasa harap tidak boleh terlalu dominan sehingga menimbulkan rasa aman dari balasan (siksa) Allah yang merupakan karakter utama dari orang-oang yang merugi.
Ia tahu betapa Alqur’an sarat penggambaran berbagai bentuk janji berupa kenikmatan abadi surga bagi orang-orang yang beriman dan ancaman kedahsyatan siksa neraka bagi manusia-manusia yang tidak mengimaninya. Berkenaan dengan kenikmatan akhirat dan siksanya, tidak hanya berhenti sampai di situ saja tetapi juga meliputi janji dan harapan yang berkaitan dengan kebaikan dunia.
Inilah yang ia pahami betul tentang kesempurnaan Islam dalam membahas kenikmatan dunia dan akhirat karena sebelum masuk Islam ia mencari kebenarannya pada ajaran Yahudi dan Nasrani. Pada ajaran Yahudi balasan yang didapat bagi orang-orang yang taat dan tidak taat secara umum bersifat material murni duniawi dan hampir tidak ada yang bersifat moral dan ukhrawi.
Sedangkan dalam ajaran Nasrani menawarkan kebalikannya yaitu bersifat spiritual dan hampir tidak ada balasan lain yang bersifat material, psikologis, sosial dan yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Sedangkan di ajaran barunya ini ia menemukan—sebagaimana dibaca dalam Alqur’an dan kitab-kitab hadits terjemahan yang ia pinjam dari sahabatnya—bahwa balasan dalam Islam sangat beragam dan menyeluruh, yaitu meliputi balasan-balasan duniawi dan ukhrawi, spiritual dan material, individu dan sosial, psikologis dan moral, baik dalam aspek dan ganjarannya.
Maka dari semua yang ia pelajari itu ia mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa seseorang hamba Allah hanya mempunyai tugas di bumi ini untuk beribadah kepada Allah. Agar diterima ibadahnya itu maka harus dengan niat ikhlas karena-Nya. Bila dinilai ikhlas Allah akan memberikan kepadanya ganjaran pahala atau kebaikan langsung di dunia. Bila tidak adalah sebaliknya ancaman dan murka Allah di dunia atau di akhirat.
Maka beribadahlah Vladimir Donomakh dengan seikhlas-ikhlasnya untuk Allah semata agar ia mendapatkan ganjaran spiritual berupa keridhaan Allah kepada dirinya dan pemberian pahala, kebaikan yang tak ternilai seperti keindahan surgawi, ganjaran duniawi seperti pelipatgandaan harta karena ia dermawan dan sering menginfakkan sebagian hartanya. Dan ia meninggalkan semua larangan Allah karena ia takut murka-nya.
Tiba-tiba di suatu saat, di inbox emailnya, ia mendapatkan sebuah peringatan keras dari beberapa teman satu halaqoh tarbiyahnya yang kebanyakan dari Arab Saudi, Mesir Sudan dan Yaman, yang mengatakan bahwa semua pelaksanaan ibadah dan penjauhan segala larangannya itu sia-sia belaka karena tidak semata mengharap ridha-Nya Allah ta’ala. Teman-temannya tahu itu karena ia sering bercerita tentang kekagumannya pada agama ini dan tata cara ibadahnya.
Membaca peringatan keras dari temannya ia shock, risau, galau, terkejut, dan merasa bingung. Serta khawatir pula bahwa ibadah yang ia lakukan sia-sia belaka. Ia tidak mau mengulangi kesia-siaan yang ia lakukan selama masa jahiliyahnya itu. Maka ia siapkan sebuah pertanyaan dengan tanda tanya besar yang akan ia ajukan kepada ulama yang ia tahu kapasitasnya sebagai ulama dunia.
Bolehkah saya, Muhammad Usammah atau Vladimir Donomakh, melakukan sebuah amal dengan prinsip beramal karena mengharap pahala Allah atau karena takut siksa-Nya?
***
Para pembaca yang budiman, jujur, baik hati, dan tidak sombong, jikalau Anda diberikan pertanyaan seperti ini jawaban apa yang bisa Anda berikan untuk menghilangkan kegalauannya? Sebagai teman dekat dan peduli terhadap Vladimir Donomakh Anda akan segera mencari referensi-referensi yang ada atau bertanya kepada ajengan-ajengan (ulama) yang memang dikenal luas karena keilmuannya.
Dan bisa jadi jawabannya akan seperti ini:
Ada dua kelompok yang menentang prinsip beramal seperti itu, yaitu kelompok filosuf dan kelompok sufi.
Kelompok filosuf moralis dan idealis ini menyerukan pelaksanaan kewajiban karena kewajiban itu sendiri, tanpa memandang hasil-hasilnya, baik bermanfaat atau tidak, tanpa melihat iming-iming atau ancaman. Mereka mengecam akhlak agama karena ia mengaitkan pelaksanaan kewajiban dengan kemanfaatan, sekalipun berupa kemanfaatan ukhrawi. Alasannya adalah bila mengharap semua itu akan memecah belah manusia, akrena kemanfaatannya merugikan orang lain.
Sedangkan kelompok sufi berlebihan menentang orang yang melakukan amal perbuatan dan meninggalkan keburukan atau menaati Allah karena mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya atau karena mengharap sorga-Nya dan takut akan neraka-Nya. Mereka berkata, janganlah kamu menjadi hamba yang buruk; jika takut ia beramal, dan jangan pula menjadi seperti kuli yang buruk jika tidak diberi upah tidak mau bekerja. Kaum sufi melihat sebuah kecacatan dalam cintanya pada Allah bagi manusia yang beriman dengan mengharap surga dan neraka-Nya. Manusia ini adalah manusia yang egois.
Para pembaca sekalian Anda pasti pernah mendengar bait syair terkenal dari Rabi’ah al ‘Adawiyah berikut ini:

mereka semua beribadah karena takut neraka
menganggap keselamatan darinya keberuntungan besar
atau masuk surge kemudian mereguk kenikmatan dan minum jahe
bagiku tak ada bagian di surge dan neraka
aku tidak mengharap balasan bagi cintaku
Titik tolak dua kelompok ini berbeda, kelompok pertama bertolak dari keduniawian semata sedangkan kelompok kedua titik tolaknya adalah keagamaan.
Bantahan untuk kelompok pertama ini adalah sebagai berikut:
1. mengabaikan tabiat manusia dan kecenderungannya kepada sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan bagi manusia cepat atau lambat , di dunia ataupun di akhirat.
2. Mendapatkan keuntungan merupakan bagian dari komposisi fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Tetapi hendaknya keuntungan yang diharapkan oleh orang yang melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan itu di atas manfaat material, individual, dan duniawi yaitu ridha-Nya Allah. JIka Allah ridha kepada Vladimir Donomakh karena ia ikhlas mengerjakan amal kebaikan maka Allah akan memberikan kepadanya kebaikan yang lebih banyak lagi dunia dan akhirat.
3. Kebanyakan manusia untuk bisa bergerak dan beramal masih memerlukan dorongan atau ancaman.
Demikian untuk kelompok yang pertama.

Sedangkan bantahan untuk kelompok sufi, sebagian ulama kaum muslimin menganggap bahwa ungkapan tersebut sebagai kebodohan. Karena tidak ada salahnya jika seseorang beribadah kepada Allah karena mengharap pahala-Nya dan takut akan siksa-Nya. Para ulama tersebut berhujjah (argumen) dengan ihwal para nabi, rasul dan orang-orang saleh yang mendapatkan pujian Allah dalam Alqur’an karena rasa takut mereka terhadap neraka dan pengharapan mereka akan surga.

Alqur’an dan sunnah sarat dengan pujian kepada para hamba-Nya dan wali-Nya yang meminta surga dan meminta perlindungan dari neraka. Karena saking banyaknya dan keterbatasan tempat saya tidak bisa memberikan contohnya di sini. Para pembaca bisa membaca kitab-kitab hadits terkenal atau seperti kitab Riyadhus Shalihin yang ditulis oleh Imam Nawawi atau Kitab Targhib wa Tarhib Imam Al-Mundziri dan akan menemukan banyak sekali contohnya.

Banyak lagi hadits-hadits yang menyatakan: “Barangsiapa melakukan ini atau itu maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” Ini semua adalah dorongan untuk mendapatkannya dan agar hal tersebut menjadi motivasi beramal. Karena itu, bagaimana mungkin beramal untuk mendapatkan semua itu dianggap cacat, padahal Rasulullah sendiri mengajurkannya.

Allah senang dimintai, bahkan Dia marah kepada orang yang tidak pernah meminta kepada-Nya, sedangkan permintaan yang paling besar ialah surga dan permintaan perlindungan yang paling besar adalah neraka. Jika hati sepi dari mengingat surga dan neraka maka ini akan melemahkan tekad dan tidak kuat motivasinya.

Seandainya hal ini tidak dianjurkan oleh Pembuat Syari’at niscaya Dia tidak akan menjelaskan gambaran surga dan neraka kepada para hamba-Nya secara rinci agar mereka segera beramal dan menjauhi larangan. Dan selebihnya diberikan gambaran globalnya agar manusia rindu kepada surga dan mendorong manusia untuk mendapatkanya.
Ibnul Qayyim berpendapat moderat di tengah-tengah kaum sufi dan ulama yang membantah kaum sufi tersebut. Pendapatnya kurang lebih demikian (saya sampai harus membacanya berulang kali dan pelan-pelan untuk bisa mendapatkan hakikat dari perkataan ulama besar ini):
Bahwa kita senantiasa mengharap surga-Nya Allah sebagai balasan dari amal-amal baik yang kita lakukan dan sebagai rahmat Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Surga itu tidak semata-mata buah-buahan, pepohonan, sungai-sungai susu dan madu, bidadari, dan istana-istana gemerlap. Surga itu pun berarti sebuah kenikmatan yang tiada tara, kenikmatan yang luas, terbesar, dan sempurna.
Yang di antara kenikmatan tersebut adalah memandang pada yang telah menciptakan diri manusia dan seluruh makhluk itu sendiri, yaitu Allah swt. Memandang dengan penuh cinta, ketakjuban dan melupakan semua kenikmatan yang tengah mereka nikmati. Demikian pula neraka. Siksaan berupa tidak melihat Allah, siksaan berupa murka-Nya, dan dijauhkan dari-Nya adalah lebih berat ketimbang jilatan api yang membakar jasad mereka.
Kalau saya bahasakan dengan yang bahasa lebih sederhana adalah sebagai berikut: untuk orang sufi realisasi cinta yang hakiki adalah melihat Allah SWT dan itu adalah sebuah kenikmatan. Itu adalah surga. Lalu mengapa menolak surga dengan mengatakan tidak ada bagiannya di surga. Kalau demikian ia menolak untuk melihat yang dicintanya. Sedangkan bagi yang menyanggah kaum sufi dikatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kenikmatan surga berupa makan dan buah-buahan atau semua yang telah digambarkan Allah dalam Alqur’an tidak seberapa nilainya bila dibandingkan dengan nikmat memandang wajah Allah Yang Maha Mulia.
Demikian.
Setelah mendapat jawaban ini Anda perlu dengan pelan tapi jelas dan gamblang menjelaskan semuanya ini Vladimir Donomakh. Insya Allah ia akan memahaminya dengan baik. Tak mengapa ia beramal untuk mengharapkankan surga-Nya, pahala Allah, kebaikan di dunia dan akhirat sebagaimana yang telah di janjikan-Nya atau karena takut dengan siksa-Nya asalkan satu hal saja asal ia ikhlas karena Allah ta’ala.
Vladimir Donomakh, malam itu ia tak lagi galau, ia tidur nyenyak setelah mendapatkan jawaban ini dari Anda.
Allohua’lam bishshowab.

Catatan kecil:
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah niat ikhlas karena Allah tapi ia juga ingin disebut sebagai dermawan, syahid, dan ‘ulama, maka sesungguhnya ini adalah riya (sudah tercampur dengan kesyirikan). Maka amalnya tertolak. Sudah jelas bahwa pujian manusia itu adalah bukan janji kebaikan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beramal.
Imam Asysyahid Hasan Al Banna berkata:
“Yang kami kehendaki dengan ikhlas adalah bahwa seseorang al-akh muslim dalam setiap kata-kata , aktivitas, dan jihadnya, semua harus dimaksudkan semata-mata untuk mencari ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, dan kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi.”

Maraji’:
Pembagian kelompok antara filosuf dan sufi itu berasal dari Kitab: Seleksi Hadits-hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib: Menganjurkan Amal Kebaikan dan Memperingatkan Amal Keburukan, Al-Imam Al-Mundziri, Jilid 1. Diseleksi, diulas, diteliti derajat haditsnya oleh: Dr. Yusuf Qaradhawy, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Robbani Press, September 1996.
Maraji’ yang kedua adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Jilid 2, Intermedia, Maret 1998.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di rangting cemara
12:59 14 Nopember 2007

MENGELUHKU TENTANG HUJAN


Pagi itu cuaca mendung, langit hitam tidak membiarkan mentari pagi memberikan secercah sinarnya pada bumi. Saya sudah berpikir bahwa biasanya kalau Citayam sudah gelap, berarti di Jakarta juga sama akan turun hujan. Dan saya melihat ke langit utara, betul sama gelapnya. Saya sudah menyiapkan mantel yang kugantungkan di buntut motorku. Saya tidak ingin kehujanan masuk ke kantor seperti dulu saat saya meremehkan alam dengan mengatakan, “ah, paling hujannya sebentar.”
Saya sudah terlambat lima menit dari kebiasaan berangkatku setiap paginya. Apalagi tangki motorku kosong, maka saya harus mampir dulu ke kios penjual bensin untuk mengisi bensin barang satu atau dua liter. Sudah barang tentu ini akan memperlambat perjalanan lagi. Ditambah kalau benar-benar hujan dengan ban sudah hampir gundul dan jalanan Jakarta yang tidak bisa diprediksikan kemacetannya saya tidak akan bisa melajukan kendaraan dengan cepat. Hati saya sudah deg-degan. Khawatir terlambat.
Dan betul tidak lama kemudian, hujan turun walaupun baru rintik-rintiknya. Saya harus menepi untuk memakai mantel hujan. Ini pun memakan waktu. Setelah selesai memakainya, saya pun kembali melanjutkan perjalanan ke kantor. Saya baru teringat bahwa walaupun saya memakai mantel tapi mantel ini belumlah mampu untuk menahan air hujan yang amat deras masuk membasahi pakaian saya. Kalau gerimis-gerimis saja sih Insya Allah mantel itu mampu melindungi saya dari kebasahan.
Dengan situasi seperti itu saya memasrahkan diri pada Allah dan cuma bisa berdoa pada-Nya, “Ya Allah, kalaulah engkau menghendaki bahwa pagi ini hujan, turunkanlah hujan. Namun sampaikanlah aku ke tempat tujuan tepat waktu, tidak terlambat, dan janganlah membuat pakaianku basah kuyup.” Saya tidak meminta-Nya untuk tidak menurunkan hujan, karena saya pikir hujan adalah rahmat Allah yang sangat dibutuhkan buat masyarakat yang air sumurnya tidak bisa dipompa karena sudah kering kerontang.
Sambil tetap fokus, berhati-hati mengendarai motor saya ini, dan memikirkan hal lain, tidak terasa perjalanan saya sudah sampai di Tanjung Barat. Saya baru sadar kalau saya sendiri yang memakai mantel hujan. Saya baru sadar juga kalau cuaca tidak semendung di Citayam. Tercetuslah dari mulut saya, ”Ya Allah kok tidak jadi turun hujan, kenapa enggak sekalian saja menurunkan hujannya. Saya kan sudah berhenti dan capek-capek pakai mantel hujan.” Saudara-saudara, saya ngedumel, mengeluh, dan kecewa pada-Nya hanya gara-gara saya sudah terlanjur memakai mantel hujan dan ternyata tidak jadi hujan.
Tidak lama kemudian saya tersadar dari kekhilafan saya. Saya ini harusnya sadar bahwa doa saya ternyata telah benar-benar dikabulkan Allah. Ya betul, doa saya benar-benar dikabulkan-Nya karena saya masih punya waktu yang cukup untuk sampai ke kantor dan yang paling penting lagi baju saya tidak kehujanan.
Saya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan saya ini, “dasar manusia, lupa kalau doanya dikabulkan, lupa kalau sudah diberi nikmat banyak, lupa pada yang memberi, bisanya cuma mengeluh doang. Oh my God, sungguh terlalu Anda.”
Sejenak saya merenung. Saya mengakui kelalaian saya, dan saya cuma bisa berharap Allah mengampuni saya dan memasukkan saya ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.
Seorang penyair Arab berkata:
betapa seringnya kita meminta kepada Allah
bila kita dirundung penderitaan
tapi kita segera melupakan-Nya, begitu derita itu hilang
bila berada di lautan, kita memohon agar Dia menyelamatkan kapal kita
bila kita kembali mendarat dengan selamat, ktia mengingkari-Nya
kita terbang di langit dengan aman dan nyaman
dan kita tidak jatuh karena pelindung kita adalah Allah.

Seorang teman menasehati saya ketika saya berjumpa dengannya saat menanti kumandang iqamat sholat Ashar dan menceritakan padanya tentang kebahagiaan saya di bulan ramadhan, dengan sebuah nasehat: “banyak-banyaklah bersyukur.”
Nasehat biasa dan pendek-pendek saja tapi subhanallah menghunjam sekali di hati saya hingga Ashar itu seperti Ashar di ramadhan lalu. Indah nian…
Teman, dan Anda para pembaca sekalian, ajaklah saya menjadi bagian dari Anda, bagian dari orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat-Nya. Ajaklah saya selalu.
***

Syair di atas bisa dibaca pula di: Don’t be Sad: Cara Hidup Positif Tanpa Pernah Sedih & Frustasi, Dr. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni, MA, hal. 473, Edisi Revisi, Maghfirah Pustaka

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
lantai tiga kalibata
09:49 pagi 26 Oktober 2007

KUHADIAHI DIA DENGAN CIUMAN GANASKU


Di saat pulang kerja, atau pulang dari mana saja, atau di saat apapun, dan di saat kerinduan saya merayap ke sekujur tubuh pada anak-anak saya, maka seringkali saya meminta pada anak-anak saya untuk berkumpul setelah mereka mencium tangan saya.
“Haqi, Ayyasy ke sini! Abi bawa hadiah nih,” teriakku kepada mereka berdua. Mereka kalau sudah mendengar kata ‘hadiah’ girangnya bukan main.
“Hadiah apaan Bi?” tanya si bungsu, Ayyasy, yang biasanya paling antusias. Iya, dia yang paling duluan merebut kantong plastik hitam yang biasa tergantung di stang motorku kalau saya pulang dari kantor. Kayaknya dia seneng banget kalau ada saja yang dibawaku.
Kali ini tidak ada kantong plastik hitam itu. “Hadiahnya adalah cium abi dong,” jawabku. Serempak mereka berdua berkata, “yahhhh….” Walaupun demikian mereka tetap menciumku. Caranya adalah saya menyodorkan pipi kanan saya kepada mereka lalu mereka mencium pipi saya itu. Lalu menyodorkan pipi kiri saya dan mereka melakukan hal yang sama. Terakhir saya akan mencium bibir mereka masing-masing. Tapi, sejak Haqi sudah kelas dua, Ia sudah tidak mau lagi dicium bibirnya oleh saya. Geli kali…Untuk Ayyasy kuhadiahi dia dengan bonus ciuman ganasku pada pipinya, karena pipinya yang tembem itu loh, menggemaskan.
Di saat saya memberikan hadiah yang sebenarnya kepada mereka atau membawa oleh-oleh untuk mereka, maka seringkali saya meminta kepada mereka untuk menciumku. Setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Dan tidak lupa pula saya selalu menanyakan sesuatu kepada mereka setelah kami saling berciuman, “Haqi, Ayyasy, sayang Abi enggak? Mereka akan menjawab serempak: “sayang.” Terkadang si Haqi menyeletuk dengan jawaban ini: “Enggak sayang.”
“Bener nih? Kalau enggak sayang Abi tak akan kasih uang jajan loh,” tanyaku. Dan biasanya Haqi akan menjawab: “Eh iya…iya Haqi sayang Abi.” Saya cuma tersenyum mendengar jawabannya itu.
Lagi-lagi setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Saya merasakan setidaknya ini menjadi pelipur dari ketidakdekatan kami secara kuantitas karena saya harus berangkat kerja sebelum mereka bangun tidur dan pulang ke rumah saat maghrib telah menjelang.
Ciuman untuk mereka menurut saya adalah hadiah immaterial terbaik dari saya untuk mereka. Sebenarnya tidak hanya ciuman bisa kita berikan kepada mereka sebagai hadiah immaterial-nya, bisa pula berupa pujian, dekapan, membacakan buku cerita, main game bersama, mendongeng, menjawab segala pertanyaannya, atau ke masjid bersama-sama.
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya menjalin kedekatan jiwa dengan anak melalui sentuhan kasih-sayang. Rasulullah Saw. biasa mencium putri dan cucunya. Bahkan terkadang Rasulullah Saw. turun sejenak dari mimbar untuk mencium cucunya Al-Hasan dan Al-Husain yang datang berlari kepadanya. Rasulullah Saw. juga pernah menggendong Umamah—cucunya dari Zainab binti Rasulullah Saw.—sedangkan beliau melakukan shalat.
Ciuman untuk mereka menurut saya, mengutip dari Muhammad Fauzil Adhim, adalah upaya kecil saya untuk bisa belajar—sekali lagi saya dalam proses belajar—menerapkan positive parenting. Apaan tuh? Intinya sih bagaimana menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita. Memangnya kita selama ini tidak baik kepada mereka? Memangnya ada orang tua yang jahat pada anaknya? Wuiihhh…di dunia yang sudah seperti daun kelor ini karena saking tidak ada batasnya, sudah sering kita mendengar kekejaman dan kebuasan yang dilakukan orang tua pada anak-anaknya. Tak perlu saya ceritakan di sini, cukup Anda, para pembaca, membaca dan mendengar dari media massa dan elektronik di setiap harinya.
Ciuman untuk mereka bisa juga menjadi sebuah kiat mengatasi kerewelan anak sebagaimana telah saya baca sebuah ceritanya dari Ibu Yana di Karet Kuningan, Setiabudi Jakarta Selatan berikut ini:
Saya kadang dibikin repot sama anak kedua saya, Himmah. Ia agak lain dari kakak dan adiknya. Mungkin karena ia anak tengah. Kata orang, anak tengah selalu ingin tampil beda. Bedanya, Himmah lebih bawel bin rewel dari kakak dan adiknya. Karena kerewelannya, sejak bayi hingga sekarang berusia empat tahun, Himmah tidak pernah jatuh dari tempat tidur. Tiap kali bangun tidur, ia selalu memberikan pengumuman. Bunyinya sederhana, tapi kencangnya luar biasa. “Huwaaaaaaaa!!!!”
Di usia empat tahun ini, saya seperti sudah terbiasa dengan Himmah. Ada kiat khusus buatnya, terutama kalau lagi rewel. Kalau rewelnya hampir mencapai maksimal, saya langsung memeluknya. Saya cium pipinya yang kiri, kemudian yang kanan. Setelah itu, saya cium juga dahinya. Setelah selesai, saya bilang sama Himmah, “Mah, Umi sudah cium kamu. Sekarang, kamu cium Umi, ya!” Nah, kalau Himmah mau membalas ciuman saya maka ia bisa menghentikan rewelnya untuk beberapa saat. Mana mungkin bisa nyium sambil rewel. Saya yakin, kerewelannya berbanding lurus dengan posisinya di tengah. Dan, cara itu memang efektif. Ngiri, kali!
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya agar Allah senantiasa mengekalkan rasa kasih sayang dari hati saya, sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: Suatu saat Rasulullah saw mencium cucunya. Seorang pembesar bernama Aqra’ bin Habis At-Tamimi melihatnya, lalu berkomentar, ”Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kucium.” Rasulullah saw lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih, ”Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang dari hatimu!”
Yah, sekali lagi ciuman adalah penuntasan kerinduan saya kepada mereka. Walaupun bagi orang lain bisa jadi hal itu merupakan hal yang biasa dan sepele, bagi saya, ia adalah hal yang amat luar biasa dan berkesan bagi saya.
Dan ungkapan sayang mereka ibarat alunan seruling yang mengalun meritmis di sela-sela bukit-bukit dan lembah-lembah di tatar Pasundan. Indah dan menghanyutkan.
Pembaca, ciumlah anak-anakmu, rasakan kebahagiaan itu sebagaimana kebahagiaan yang saya rasakan. Semoga keindahan itu pun akan dirasa…

Maraji’:
1. Dan Anak Kita Penulis: Tim Buah HatiSumber: alhikmah.com, Senin, 28 Oktober 2002;
2. Promoting Attachment (Mohammad Fauzil Adhim), keluargamuslim.com, Kamis, 23 Januari 2003;
3. Kiat Mengatasi Anak Rewel, Ummigroup, Rabu, 25 September 2002

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
03:35 24 Oktober 2007

SEKEHENDAKMU, UMMI!


Sore itu, dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, menyusuri jalan rindang penuh rerimbunan pohon, di jalan setapak Kampus Universitas Indonesia.
“Alhamdulillah, Ummi bersyukur punya suami kayak Abi,” bisiknya meningkahi deru motor.
“Syukurnya kenapa?”tanyaku penasaran. Maklum pembicaraan ini seumur-umur baru terdengar.
“Jangan geer yah…”tegasnya padaku.
“Insya Allah enggak.”
“Syukurnya Abi tidak banyak menuntut macam-macam. Kayak menghalangi Ummi untuk dibina dan membina.”
“Ah masak?”
“Betul kok…”
“Emang ada contoh yang menghalangi istrinya untuk itu?” tanyaku lagi. “Banyak,” jawabnya sambil menyebut nama salah seorang dari ustadz kami.
“Sebenarnya satu saja bagi Abi untuk membiarkan Ummi tetap menjalani apa yang Ummi kehendaki. Itu ‘kan komitmen awal kita sebelum menikah bukan? Masak lupa sih?”
“Terus apa lagi?” tanyaku lagi tentang kesyukuran dia memilikiku.
“Ummi enggak masak, Abi tidak marah.”
“Karena dalam biodata Ummi ‘kan sudah jelas ditulis tidak bisa masak, ya Abi pasrah saja. Nrimo apa adanya. He…he…he….”
“Ada lagi?” tanyaku.
“Cukup itu saja dulu.”
“Kayaknya banyak deh yang harus Ummi banggakan dari diri Abi ini,” kataku.
“Iya sebanding pula dengan kelemahan yang ada pada diri Abi,” tukasnya.
“He…he…he…tahu saja Ummi sih…” jawabku sambil tersenyum.
***
Pembicaraan di atas motor tadi adalah sarana paling efektif yang sering kami lakukan untuk bisa saling memahami. Di atas motorlah, di sepanjang perjalanan pulang, kami membicarakan apa saja yang bisa kami bicarakan sampai tuntas untuk membunuh rasa jenuh saat melintasi jalanan dengan rute yang sama dari hari ke hari. Tapi terkadang kami sibuk dengan pikirannya masing-masing, terutama kalau dalam perjalanan pergi ke kantor di pagi hari. Sehingga bisa jadi tanpa sepatah katapun saling terucap. Tidak mengapa.
Ada pertanyaan buat kami, mengapa pembicaraan itu tidak dilakukan ketika sampai di rumah ketika kita semua sudah dalam keadaan tubuh yang segar dan sedang istirahat? Jawabannya adalah bahkan kalau di rumah sepertinya kami tidak bisa berkomunikasi dengan efektif karena selalu diganggu oleh anak-anak dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Sehingga seringkali kami memanfaatkan waktu yang ada di manapun berada untuk berkomunikasi dengan efektif. Dan di atas motor itu adalah salah satu cara terbaik bagi kami walapun terkadang dengan suara yang harus dikeraskan karena sering ditingkahi oleh deru kendaraan yang lain.
Dalam majalah Safina No. 1/ Th II Maret 2004 ditulis tentang pentingnya komunikasi buat pasangan suami istri.
Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga Islam adalah komunikasi dan dialog yang intensif dan sehat antara suami istri. Pada saat ini tidak jarang terjadi adanya sumbatan komunikasi diantara pasangan suami istri. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal itu, misalnya kesibukan kerja, terlampau letih dan lain-lain. Bahkan karena begitu sibuk dan letihnya, ada pasangan bertatap mukapun tidak sempat. Sebagai akibatnya, tentu saja mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan komunikasi satu dengan lainnya.
Komunikasi yang hambar biasanya mengakibatkan hubungan kemesraan menjadi berkurang. Bahkan tidak jarang menimbulkan ketegangan dan terjadilah perselisihan, kalau sudah begini suami istri akan mengalami penderitaan. Sangat disayangkan apabila hubungan yang hambar ini terjadi pada keluarga muslim yang dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah. Diperlukan pengertian yang mendalam dari kedua pasangan agar komunikasi dapat berjalan secara kontinyu.
Tidak ada yang menjamin bahwa saat kita sudah merasa sekufu, satu agama, sama-sama ngaji, sama-sama aktifis dakwah, setara, sama, cocok, dan percaya seolah-olah semua urusan rumah tangga akan beres. Padahal, banyak pasangan gagal meneruskan bahtera rumah tangga mereka karena kurang peduli dengan urusan komunikasi seperti ini.
Dengan komunikasi di atas motor itulah saya bisa tahu apa yang diinginkan oleh istri saya, bagaimana perasaan saya pada saat itu terhadapnya atau sebaliknya. Dan adanya keterbukaan yang terjalin pada saat itu tanpa ada yang ditutup-tutupi. Hingga terbentuknya rasa kerinduan di hati saat ia tidak membonceng di belakang saya karena ia pulang duluan.
Saya senantiasa berharap komunikasi yang senantiasa kami jalankan di setiap harinya, dengan cara kami sendiri itu, bisa menyadarkan kami betapa komunikasi itu sangatlah penting untuk bisa saling memahami. Dengan pemahaman itulah saya harapkan dia bisa mengerti apa yang aku kehendaki dari dirinya dan sebaliknya, hingga saya bisa berkata pada dirinya: “Sekehendakmu saja, Ummi!”

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
01:59 09 Oktober 2007

KARENA SA’D BERDOA


Suatu hari salah seorang sahabat Rasulullah, Sa’d bin Abi Waqqash, berkata pada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, doakan saya agar saya menjadi orang yang senantiasa dikabulkan doanya oleh Allah.” Lalu Rasulullah berkata: “Wahai Sa’d, Perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya.”
Dan Allah mengabulkan doa Rasulullah SAW. Sepeninggal Rasulullah, saat Sa’d menjadi Gubernur Kufah di Irak pada masa pemerintahan Umar bin Khatthab ia diadukan oleh warganya kepada Khalifah yang berada di Madinah. Dengan sebuah pengaduan bahwa ia tidak beres saat menjadi imam sholat mereka.
Sahabat Umar tidak serta merta mempercayai pengaduan itu, karena ia tahu benar tentang kemuliaan akhlak Sa’d. Ia mengutus beberapa sahabat terpercayanya untuk mengecek kebenaran laporan tersebut. Berangkatlah beberapa sahabat dari Madinah menuju Kufah. Sampai di sana mereka langsung bekerja melakukan investigasi dengan mendatangi masjid-masjid yang ada di Kufah.
Para ahlul masjid saat ditanya tentang Sa’d maka mereka menjawab bahwa Sa’d adalah orang yang adil dan mereka senantiasa mendoakan kebaikan untuk Sa’d. Hampir semua masjid di kota Kufah berpendapat yang sama tentang Sa’d. Terkecuali satu masjid yang berbeda dan salah satu jama’ahnya berdiri dan berkata:
“Tentang Sa’d, Wallahi, dia adalah orang yang tidak adil, tidak merata dalam pembagian ghanimah, dan tidak pernah pergi bersama pasukannya.”
Mendengar perkataan orang tersebut, Sa’d langsung berdiri dan berkata: “Ya Allah, jikalau orang ini berbicara secara dusta, riya’ dan ingin pamer, maka panjangkanlah umurnya, kekalkanlah kefakirannya, dan tetapkanlah atas dia fitnah.”
Seorang perawi meriwayatkan ia melihat orang yang didoakan oleh Sa’d itu betapa panjang umurnya. Alisnya menjulur hingga menutupi kedua matanya karena tua rentanya. Pekerjaan orang itu hanya menghadang para gadis di jalan-jalan kota Kufah, seraya menggoda mereka, dan berucap: “aku adalah orang yang tidak tahu diri karena do’a Sa’d.”
Subhanallah, Sa’d menjadi orang yang senantiasa dikabulkan doanya oleh Allah SWT. Karena ia makan dari makanan yang halal. Maka salah satu syarat agar doa kita senantiasa dikabulkan oleh Allah adalah demikian.
Pernah merasa betapa banyak doa yang kita panjatkan tetapi tak satu pun jua yang terkabul? Ini bisa menjadi sarana muhasabah bagi kita sendiri, bahwa ternyata: “makanan yang halal—baik dzat dan cara memperolehnya—menjadi tolok ukur diterimanya doa dan seluruh ibadah kita”, kata Imam Ibnu Katsir. Begitu pula sebaliknya.
Sebuah perenungan memerangkap kesenyapan dan menjadikannya lebih senyap karena saya sedang berfikir: “Akankah saya seperti Sa’d? Semoga apa yang selalu Allah kabulkan kepada saya bukanlah sebuah pembiaran. Ampunilah aku ya Allah.”
***
“Seorang laki-laki yang telah berkelana jauh dengan rambutnya yang kusut masai dan pakaian yang penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit sambil berdo’a; ‘Ya Allah, ya Allah’, sedang makanannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan dibesarkan dengan makanan haram, bagaimana Allah akan mengabulkan do’anya itu”. (HR Muslim).
“Janganlah salah seorang dari kamu mengatakan; ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, rahmatilah aku jika Engkau menghendaki’, tetap hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu.” (HR. Abu Dawud).

Maraji:
1. Cambuk Hati, ‘Aidh Al Qorni
2. Makanan Haram, Ummu Fathin, Republika, 19 Mei 2006

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:35 02 Oktober 2007

MUMPUNG DIA DEKAT


Saya ingin jadi orang baik. Saya ingin jadi tetangga yang baik buat tetangga-tetangga saya. Saya ingin agar Allah tidak memberikan beban yang sungguh tidak sanggup saya untuk memikulnya. Saya ingin menjadi bagian dari golongan orang-orang yang senantiasa ikhlas, bisa menjaga lidahnya dari perkataan-perkataan buruk dan menyakitkan.
Saya ingin agar Allah memberikan saya pandangan yang jelas agar tampak kebenaran itu adalah kebenaran dan kebatilan itu adalah kebatilan. Pun saya ingin agar Allah memberikan saya hati yang sensitif terhadap kebenaran, mata yang mudah menangis, dan kekuatan untuk bangun di tengah malam. Meminta pada-Nya, mengadu pada-Nya, untuk menuntaskan segala hajat dan permasalahan dunia dan akhirat saya.
Saya ingin agar Allah memberikan saya kesehatan, juga kepada istri dan anak-anak saya. Agar Allah memberikan hidayah-Nya kepada bapak saya. Agar Allah melapangkan kubur ibu saya. Dan mengampuni mereka, serta mengasihi mereka sebagaimana mereka mengasihi saya di waktu kecil.
Saya ingin agar Allah memberikanku kekayaan yang berkah lalu menjadikan saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya. Saya ingin Allah menjadikan anak-anak saya sholeh, pintar, dan cerdas. Dan menjadikan mereka pejuang-pejuang agama-Nya.
Saya ingin agar Allah menetapkan saya untuk tetap komitmen di jalan “menyeru” ini. Juga agar Allah senantiasa memberikan bimbingan kepada para pendukung dakwah di manapun mereka. Agar cahaya Islam ini tetap benderang di segala penjuru.
Saya ingin agar Allah tidak menimpakan malapetaka dan bala kepada saya dan keluarga saya. Dan saya ingin agar khadimat saya mau lagi untuk tinggal bersama kami selama bertahun-tahun ke depan. Dan semoga Allah senantiasa memudahkan kehidupan saya dan keluarga di tahun-tahun mendatang.
Dan saya selalu berharap Allah mematikan saya dalam syahid. Selamat dunia dan akhirat. Serta berkumpul dengan istri, anak-anak, dan keluarga serta orang-orang yang beriman lainnya di Jannah Firdaus-Nya.
***
Semua yang saya ungkapkan di atas itu adalah sebagian kecil dari permintaan saya kepada Allah Yang Maha Pengabul Permintaan dalam setiap panjatan doa dan keluh kesah saya. Karena saya merasa sebagai manusia yang tidak punya apa-apa, miskin, dan lemah, maka kepada siapa lagi saya harus meminta segalanya baik yang besar maupun remeh temeh terkecuali kepada-Nya. Dia Yang Maha Kaya dan Maha Pemilik Segala. Mumpung Dia dekat dengan saya, dan mumpung saya masih bertemu ramadhan tahun ini.
Dari awal ramadhan sampai hari ini, saya sudah tiga kali mendengar dari para penceramah di masjid komplek saya, Masjid Al-Ikhwan, berbicara tentang Allah yang lagi dekat dengan kita yang berpuasa. Saya kok sepertinya baru merasa mendapatkan sesuatu tema yang baru dan belum sekalipun diketahui oleh saya. Apa karena dulu hati saya masih tertutup sehingga tidak bisa peka mendengar segala bentuk kebaikan atau pas kebetulan saja hati saya ini, di ramadhan ini, lagi sensitif-sensitifnya sehingga baru dirasakan ngeh oleh saya.
Kata para ustadz itu, dari rangkaian ayat sebanyak lima ayat di surat Al-Baqarah yaitu tepatnya di ayat 183 sampai dengan 187 yang berbicara tentang puasa, tiba-tiba terselip ayat 186 yang berbicara tentang penegasan Allah bahwa diri-Nya itu dekat. Coba kita simak dulu ayatnya yah:
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Maka dapat diartikan bahwa di ramadhan inilah Allah menegaskan bahwa Allah itu dekat, tidak jauh, tanpa hijab dari hamba-hambanya yang berdoa, yang meminta apa saja kepada-Nya, asal kitanya ini senantiasa memenuhi perintah-Nya dan beriman pada-Nya. Tuh kan, ada syarat yang harus dipenuhi dulu sebelum Dia mengabulkan permintaan kita.
Ini berarti-intinya-kita harus berupaya dulu. Kita berdoa setelah usaha, ikhtiar, dan kerja keras karena menurut Abdurrahman Muhayar, doa dalam pengertian yang sebenarnya bukan hanya sekadar wujud ketakberdayaan yang memaksa seseorang merengek kepada Allah SWT.
Tapi menurut saya senantiasa kita –saya dan Anda—berdoa kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun saja. Agar kita tidak dianggap sebagai orang yang sombong karena tidak pernah meminta pada-Nya. Memang kita orang yang kuat apa? Kita orang yang tidak punya kebutuhan apa? Atau semuanya kita bisa upayakan dengan usaha kita sendiri? Ah, sungguh terlalu…
Di ramadhan ini dengan kedekatan-Nya itu, dengan tanpa hijab-Nya itu, maka sudah selayaknya saya—yang dengan tertatih-tatih mendekati-Nya di luar ramadhan, tapi merasa kurang optimal hasilnya ini—bergembira dan bertekad untuk tidak melewatkan waktu tanpa berdoa pada-Nya, bertekad untuk meminta segala hajat saya. Begitu pula Anda teman-teman. Mumpung Dia dekat.
Kita merasakan ketenangan ba’da ramadhan tahun lalu sampai hari ini, bisa jadi, Insya Allah, karena Allah mengabulkan doa kita yang dipanjatkan saat ramadhan lalu. Kita bisa menyelesaikan tugas akhir kuliah, mempunyai kendaraan, rumah yang sederhana, anak-anak sehat, suami atau istri semakin sholih dan sholihah, pekerjaan kantor bisa diselesaikan dengan baik, tidak ada masalah dengan tetangga, punya anak lagi, tidak pernah terlambat masuk kantor dan gaji tidak dipotong absen, kalaupun dipotong itupun cuma sedikit sekali, semakin banyak berinfak, semakin rajin ke masjid, bicara yang secukupnya, selalu antusias mendengarkan nasehat kebaikan bisa jadi semua itu karena Allah mengabulkan doa kita.
Ya, cukuplah itu menjadi nasehat bagi diri saya sendiri. Maka mumpung kita lagi berpuasa, Dia dekat, berdoalah, berdoa apa saja. Berdoa demi kebaikan dunia dan akhirat kita. Setelah itu kita tinggal menikmati semuanya itu. Insya Allah.
***

* Doa adalah otak ibadah. (HR Ibn Hibban dan at-Tirmidzi).
* Doa adalah senjata orang yang beriman, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi. (HR al-Hakim)

Maraji’:
1. Alqur’an Mulia;
2. Abdurrahman Muhayar, Berdoa, Republika, 11 Mei 2006

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
07:12 27 September 2007