Review Buku Sindrom Kursi Belakang: Tak Setetes Pun Air Mata


Beberapa waktu lalu, pembaca buku Sindrom Kursi Belakang sekaligus auditor dan senior saya di dunia perpajakan bernama Pak Ahmad Dahlan memberikan review, telaahan, dari hasil pembacaannya terhadap buku baru saya berjudul Sindrom Kursi Belakang. Saya meminta izin kepadanya untuk merekatkan telaahannya itu di blog saya ini. Alhamdulillaah diizinkan. Silakan dibaca dan semoga bisa bermanfaat.

**

“Dua jam perjalanan Bandung – Medan, dua jam pula saya berusaha sekuat kemampuan untuk tidak mengeluarkan air mata. Dan selama dua jam pula bendungan itu bobol. Begini rasanya meninggalkan anak istri tercinta.”

“Mereka (anak dan istri) menjadi bagian takdir dalam perjalanan saya di sana. Terutama di hari Ahad ketika hendak kembali bertugas ke Tapaktuan. Pada saat itu gravitasi bumi seolah-olah menjadi sepuluh kali lebih besar daripada biasanya. Berat sekali melangkah.”

Dua kutipan paragraf di atas, ditulis oleh dua laki-laki yang berbeda tetapi atas peristiwa yang serupa, yakni saat harus meninggalkan keluarga untuk berdinas ke tempat nun jauh. Keduanya merupakan ungkapan para suami yang sentimental. Sentimental terhadap keluarga tercintanya.

Namun ada yang membedakan dari keduanya. Laki-laki yang pertama mengungkapkan perasaannya itu dengan cara yang cengeng dan termehek-mehek. Sedangkan laki-laki yang kedua, dengan cara yang gagah dan elegan.

Baca: Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang

Laki-laki yang pertama adalah saya. Saya menuliskan kata hati pada saat berdinas di Medan mulai awal tahun 2010 itu di unggahan Facebook. Sementara laki-laki yang kedua adalah Riza Almanfaluthi. Riza menuliskannya di Prakata buku terbarunya yang berjudul Sindrom Kursi Belakang. Buku itu baru saja usai saya baca.

Buku keenam karya Riza Almanfaluthi ini merupakan kumpulan tulisan perjalanan saat Surat Keputusan dari instansinya, Direktorat Jenderal Pajak, menempatkannya ke salah satu kota di provinsi ujung barat Indonesia, Aceh, yakni Tapaktuan, pada tahun 2013.

Banyak memang buku yang merupakan kumpulan tulisan perjalanan penulisnya. Namun buku Sindrom Kursi Belakang tidak semerta-merta berasal dari tulisan yang berserak lalu diikat jadi sebuah buku. “Saya membaca kembali, menyusun ulang, serta memastikan konteksnya benar dan kronologis, tidak pula sebagai parade narsisme,” aku Riza dalam prakatanya.

Pengakuan penulis yang kini menjabat salah satu eselon empat di P2Humas Direktorat Jenderal pajak itu benar adanya. Membaca 38 judul tulisan (ditambah satu judul suplemen) di buku Sindrom Kursi Belakang, terasa benar membaca satu buku utuh. Urutan waktunya runtut. Dari keberangkatan saat awal penempatan hingga tahun ketiga (terakhir?) di kota yang dijuluki Kota Naga itu.

Dari tulisan yang satu ke tulisan yang lainnya, dijahit sehingga membentuk pola yang padu. Benang merah yang menjahitnya itu berupa beberapa kalimat. Terkadang hanya secuil kalimat. Sebuah cara yang cerdas yang membuat pembacanya tak hendak berhenti, walau hanya jeda sejenak.

Dalam setiap tulisan, selalu disisipi kutipan tokoh atau cuplikan sejarah yang sesuai konteks. Itu makin menahbiskan bahwa isi kepala penulisnya sarat dengan pengetahuan. Itu pula relevan dengan pengakuannya yang gemar membaca buku sedari kecil hingga saat terkini.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Ditempatkan di kota hampir ujung barat negeri, berjarak ribuan mil, ditempuh harus dengan mode transportasi berganti-ganti dengan waktu tempuh belasan jam, meninggalkan istri dan anak yang masih kecil-kecil, tak membuat penulis jadi berkeluh-kesah, merutuki takdir, bermalas-malasan, dan cengeng. Tak setetes pun air mata dalam tulisannya.

Dari tulisan-tulisannya menunjukkan, penulis pandai membingkai ulang (reframing) hal-hal pahit itu menjadi sesuatu yang manis. Bahkan mampu membuncahkan rasa syukur. Sejatinya dia tengah mewakili banyak kawan lain di DJP yang senasib, bahkan banyak yang lebih jauh dan pedalaman, yang tetap menjalaninya dengan ikhlas dan riang gembira.

Umpama dia dan kawan lainnya itu tahu ihwal kecengengan saya waktu ditempatkan di Medan kala itu, niscaya mereka akan menertawakan saya. Apatah lagi kalau saya sampai bermalas-malasan. Dan mereka tahu. Mereka akan tertawa terpingkal-pingkal.

Mudah-mudahan saya tidak menertawakan mereka yang (umpama ada) ditempatkan di home base tapi kerap menggerutu dan bermalas-malasan.

Dalam salah satu tulisannya, penulis mengutip perkataan Ilya Abu Madi dari bukunya ‘Aidh Abdullah al-Qarni:

“Wahai penggerutu yang selalu mengeluh tanpa alasan
Bayangkan apa yang akan terjadi jika engkau sakit
Bukankah engkau melihat duri dan mawar
Namun engkau tutup mata? Ataukah tetesan-tetesan embun
Apakah engkau melewatkannya?
Dia yang tidak memiliki keindahan
Tidak akan mampu melihat keindahan di semesta alam.”

Namun begitu, setegar tegarnya penulis, ia adalah manusia biasa yang punya harap. Harapan untuk kembali ditempatkan tak jauh dari keluarganya di Citayam, Bogor, setelah memasuki tahun ketiga di Tapaktuan.

“Keluarga sejatinya adalah baterai yang menghidupkan kembali semangat hidup. Ini yang seharusnya disadari oleh para pemilik kekuasaan agar mereka tidak perlu lama memisahkan anggota keluarga walau di balik alasan mulia: militansi untuk bangsa dan negara,” ungkap penulis.

“Semangat para pegawai yang selalu menyala yang untung juga organisasi. Pegawai bahagia yang untung juga organisasi. Untung rugi organisasi tidak bisa dihitung hanya dengan materi. Yang nonmateri bahkan punya daya ledak dan lesak dahsyat buat organisasi,” lanjutnya.

Baca: Kata Pengantar Buku Sindrom Kursi Belakang, Buah dari Surga Kecil

Buku ini layak dibaca oleh mereka yang berdinas jauh dari keluarga agar tetap bisa menjaga kewarasan. Buku ini wajib dibaca teman-teman yang ditempatkan tak jauh dari keluarga agar senantiasa melangitkan rasa syukur kepada Zat Yang Maha Tinggi. Buku ini kudu dibaca oleh para pengambil keputusan nun di atas sana agar selalu menyertakan akal sehat dan empati dalam setiap meneken kebijakan. Pun, buku ini pantas dibaca oleh siapa juga untuk menyuburkan ruhiah.

Penulis menutup cerita perjalanan dalam buku Sindrom Kursi Belakang ini dengan kalimat yang merupakan “kode keras” buat yang di atas sana: “Buatku, apalagi yang ditunggu? Pada Oktober 2016 ini, saya sudah tiga tahun lamanya di Tapaktuan, Kota Naga.”

Membaca penutup buku yang bertabur hikmah itu, saya jadi ingin juga menutup tulisan ini dengan: “Buatku, apalagi yang ditunggu. Pada Agustus 2023 ini, saya sudah enam tahun lebih lamanya ditempatkan di Kalibata, Jakarta.” Tapi urung. Takut ditertawakan oleh penulis dan mereka yang masih berdinas nun jauh entah di mana.

***

Ahmad Dahlan
Bojongsoang, Minggu 6 Agustus 2023
Pemesanan Buku Sindrom Kursi Belakang silakan klik tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

16 thoughts on “Review Buku Sindrom Kursi Belakang: Tak Setetes Pun Air Mata

Leave a reply to Riza Almanfaluthi Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.