Suatu ketika pada saat saya hendak mengajar kelas pelatihan menulis, seorang kawan mendatangi saya. Ia langsung mengucapkan terima kasih atas kiriman saya bertahun-tahun lalu. Kiriman berupa kopi Aceh itu kemudian dinikmati bersama-sama dengan kawan satu kantornya.
Katanya, ini dimulai pada saat saya mengeposkan konten di Facebook tentang kopi Aceh. Lalu ia turut berkomentar dan saya menanggapi. Kemudian singkat cerita terkirimlah kopi itu kepadanya. Mendengar ceritanya saya langsung terkejut karena saya benar-benar lupa telah mengirimkan kopi. Tentunya saya senang dikabarkan dengan kisahnya.
Saya langsung membayangkan di padang Mahsyar nanti, di waktu hari perhitungan, saya terkejut dengan adanya amal-amal kebaikan yang saya lupa telah melakukannya dan itu menolong saya di hari yang tidak ada pertolongan selain pertolongan Allah Swt.
Kemudian, tidak hanya itu, ceritanya memantik saya untuk segera menyelesaikan buku perjalanan saya selama di Tapaktuan, Aceh Selatan. Cerita perjalanan ini, saya pikir, tidak akan basi dan tidak dimaksudkan untuk menggurui. Ada kebestarian di balik di setiap cerita dan saya belajar kembali darinya.
Aceh dan penugasan tugas saya di sana mampu mengubah saya dan cara saya memandang dunia. Dunia itu tidak bekerja sesuai keinginan manusia. Ia memiliki aturannya sendiri. Terutama soal resah dan bahagia yang senantiasa singgah dalam setiap episode kehidupan saya di sana. Ada simpul yang bisa ditarik bahwa jangan pernah berhenti berharap ketika resah itu datang: ada cahaya di ujung terowongan. Jangan pula terlena saat ketenangan dan kebahagiaan dirasakan, sesungguhnya resah dan bahagia itu dipergilirkan.
Oleh karena itu, pembelajarannya ingin saya bagi dan berharap dapat bermanfaat sekali buat pembaca. Hasilnya saya sebar di media sosial, kebanyakan tersimpan di blog, dan pada akhirnya menjadi sebuah buku.
Buku ini hadir di era disrupsi penerbitan buku, sehingga buku ini tidak perlu lama antre terbit di penerbit arus utama dan akhirnya terbit di platform self-publishing. Namun, beban beralih, kendali mutu buku sekarang diletakkan di pundak penulis. Untuk itu, saya menjamin kepada pembaca, buku ini tidak sekadar mengumpulkan tulisan dan menyodorkannya mentah-mentah.
Saya membaca kembali, menyusun ulang, serta memastikan konteksnya benar dan kronologis, tidak pula sebagai parade narsisme. Ini yang saya jaga sekali. Saya ingat betul dengan perkataan Mas Wiyoso Hadi, anggota tim saya sekaligus guru kehidupan, bahwa mestinya buku yang kita buat memberikan nilai tambah untuk pembaca. Insyaallah, demikian adanya.
Karena berisi cerita perjalanan, buku ini saya bagi dalam tiga etape. Di setiap akhir etape, ada pit stop sebagai tempat rehat sejenak. Di sana, pembaca mendapatkan mata air kearifan dari setiap etape itu. Di bagian akhir buku, ada suplemen yang mengisahkan fragmen perjalanan hidup salah satu tokoh dalam buku ini.
Buku ini pun hadir di saat ChatGPT belum lama lahir pada 30 November 2022. ChatGPT adalah—jawaban ini yang mesin berikan pada saat saya menanyakan siapa dirinya—sebuah model bahasa alami yang dikembangkan oleh OpenAI yang didesain untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia menggunakan teks, mirip dengan percakapan antara dua orang. Basisnya adalah kecerdasan buatan.
Di awal-awal kemunculannya, ChatGPT terlihat bodoh, tetapi ia lama-kelamaan belajar dan semakin pintar sehingga membuat dunia was-was dengan kehadirannya. Ini karena soal ChatGPT atau kecerdasan buatan secara umum akan menggantikan peran manusia di segala bidang, termasuk peran penulis dan penerbit buku. Kita jadi mengenang peristiwa pada 33 tahun lalu, tepatnya akhir tahun 1990, ketika Deep Blue, mesin kecerdasan buatan milik IBM, mampu mengalahkan Grandmaster catur internasional Garry Kasparov.
Namun, saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh pemilik Alibaba sekaligus miliarder Jack Ma pada saat mengunjungi Yungu School, Hangzhou pada 3 April 2023. “Kita perlu menggunakan kecerdasan buatan untuk memecahkan masalah daripada dikendalikan oleh kecerdasan buatan. Meskipun kekuatan fisik dan mental manusia lebih rendah dibandingkan mesin, mesin hanya memiliki chip-core, sementara manusia memiliki hati,” kata Jack Ma. Buku ini saya tulis dengan hati. Sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh ChatGPT.
Buku ini selesai dan berada dalam genggaman para pembaca semata karena Allah Swt. menghendaki demikian. Alhamdulillah. Saya mengucapkan terima kasih kepada Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian, Direktorat Jenderal Pajak, Bapak Aim Nursalim Saleh, yang telah berkenan memberikan kata pengantar buku ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendorong saya untuk terus menulis buku dan mendoakan saya dengan doa terbaik mereka.
Pun, saya tidak bisa meninggalkan ucapan terima kasih tak terhingga kepada istri dan anak-anak saya sehingga saya bisa menyelesaikan buku ini: Ria Dewi Ambarwati, Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi, Muhammad Yahya Ayyasy Almanfaluthi, dan Kinan Fathiya Almanfaluthi. Mereka menjadi bagian takdir dalam perjalanan saya di sana. Terutama di hari Ahad ketika hendak kembali bertugas ke Tapaktuan. Pada saat itu gravitasi bumi seolah-olah menjadi sepuluh kali lebih besar daripada biasanya. Berat sekali melangkah.
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Dia. Selamat membaca.
Riza Almanfaluthi
Agustus 2023
- Pemesanan dan deskripsi buku Sindrom Kursi Belakang dapat dilihat pada tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi
- Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang dapat dibaca pada artikel ini.
- Daftar Isi dapat dilihat di sini.

8 thoughts on “Mesin Hanya Memiliki Chip, Manusia Memiliki Hati, Sebuah Prakata”