Menulis, Apatah Lagi Menulis Buku, Tidak Boleh Suka-Suka


Cinta dalam Sepotong Tempe adalah buku yang ditulis oleh 29 penulis yang tergabung dalam Komunitas Menulis Suka Suka (Koliska).

Saya memperoleh buku ini dari seorang teman saya yang menjadi penulis dalam buku itu. Dia yang memiliki nama pena Riri Syakira.

Saya membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan membaca 29 tulisan yang memiliki tema utama soal tempe itu. Tema yang sama menjadi tantangan tersendiri untuk para penulis menyajikan tulisannya dengan menarik.

Para penulis ini awalnya tergabung dalam suatu kelas menulis. Di akhir periode kelas, mereka bersepakat untuk membuat sebuah buku.

Banyak catatan yang mesti saya berikan terhadap buku tersebut. Namun, saya hendak memuji terlebih dahulu dengan beberapa cerpen yang ada di dalamnya.

Cerpen berjudul Sepotong Tempe di Tepi Alster yang ditulis oleh Mariskia Mahesvara ini adalah cerpen terbaik. Cerpen Mariskia ini enak dibaca walaupun sayang tanpa klimaks dan jalan ceritanya serba tanggung. Ada pertanyaan yang menggantung: “Ceritanya begitu saja?” Cerpen ini jadi seperti fragmen. Penggalan saja.

Pabrik Tempe Warisan Kakek beda lagi. Cerpen ini ditulis oleh Ananda Selviany. Saya merasa membaca cerpen Kompas. Sebuah cerita yang menyajikan pakem yang diinginkan oleh para pembaca seluruh dunia: ada bahagia di ujungnya.

Cerpen Ananda menengahkan kegamangan seorang Galang untuk meneruskan atau menutup pabrik tempe warisan kakeknya. Sampai kemudian Galang menemukan ide cemerlang untuk tetap bertahan. Ide itu bukan murni berasal dari Galang, melainkan dari para pegawai senior pabrik itu. Cerpennya memiliki plot seperti di film: nol, perjuangan memecah kebuntuan bersama-sama, dan sampai di titik puncak.

Konflik memang harus ada dalam sebuah cerpen. Ini pun saya temui di dalam cerpennya Rahel P berjudul Pahlawan Tempe. Juga pada cerpen yang ditulis oleh Dahnyl Fitri. Membaca cerpen milik Dahnyl berjudul I (Can’t) Hate Tempe, saya seperti membaca majalah cerpen tahun 90-an: Annida.

Nuansa Annida ini saya rasakan juga pada cerpennya Onet S Rahardjo berjudul Antara Aku, Kamu, dan Tempe serta cerpen yang ditulis oleh Reni Haerani Supriadi berjudul Harmonisasi Rasa Tempe Ramyeon. Selamat buat para penulis yang saya sebutkan di atas.

Saya perlu memberikan sedikit komentar pada satu cerpen yang berjudul Operasi Comblang Tempe dan ditulis oleh Aryanti Risnadewi. Selayaknya pembaca tidak terganggu dengan banyaknya catatan kaki. Aryanti sampai membuat 35 catatan kaki dalam cerpennya. Catatan kaki itu untuk menjelaskan banyak istilah dalam bahasa daerah, kekinian, atau ilmiah.

Aryanti barangkali berniat supaya cerpennya tidak menyesatkan pembaca. Namun malah menegaskan sebaliknya. Aryanti mestinya menggunakan bahasa dan istilah yang mudah dimengerti dalam tubuh cerpennya itu, sehingga mengurangi penggunaan catatan kaki. Penggunaan bahasa daerah tidak perlu diperbanyak di sana. Atau kalau memang wajib ada, mengapa Aryanti tidak sekalian saja membuat cerpen dalam bahasa daerah seperti rubrik Carpon (carita pondok) di koran Pikiran Rakyat?

Selain itu, ada PR besar dari buku Cinta dalam Sepotong Tempe ini. Awalnya saya pikir buku itu adalah kumpulan tulisan nonfiksi atau pengalaman nyata dari para penulis tentang tempe. Namun saya salah, ternyata dalam buku ini ada banyak tulisan fiksi atau cerpen. Saya melewatkan judul kecil di depan sampul buku itu yang ditulis di bagian paling atas: Antologi Cerpen.

Seharusnya para penulis, sebelum mengumpulkan tulisan, mendefinisikan kembali tentang karyanya: cerita nonfiksi atau cerpen. Dari berbagai literatur, cerpen adalah karya fiksi, karangan, atau khayalan penulis. Saya meyakini sekali, bahwa di dalam buku ini ada banyak kisah nyata (feature) yang ditulis. Maka itu, buku ini tak bisa menyemat sebagai buku antologi cerpen. Penulis dan editor mestinya memisahkan dua jenis karya literasi ini dalam buku yang berbeda.

Persoalan berikutnya dalam buku ini adalah begitu banyak salah ketik yang harusnya tidak ada dalam sebuah buku. Biasanya ada dua penyebab. Pertama, usai menulis karyanya, penulis tidak melakukan penyuntingan mandiri. Penulis menyerahkan karyanya bulat-bulat kepada editor untuk memperbaikinya.

Kedua, editor dan proofreader tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Faktor utama hal kedua ini lazimnya karena masa penyuntingan yang terlalu mepet dengan tenggat penerbitan buku.

Terakhir, muncul pertanyaan berikut: “Penerbit buku ini adalah Yayasan Ishlahul Ummah Adzimah atau Upread Publisher?” Nama penerbit di halaman kredit dan pengantar penerbit berbeda. Ini tentu membingungkan karena nama penerbit tentunya krusial dalam penerbitan sebagai bentuk pertanggungjawaban literasi.

Tentunya nama komunitas yang memiliki frasa “suka-suka” ini bukan berarti komunitas tersebut sah menerbitkan buku dengan asal atau sesukanya saja bukan? Kualitas tetap nomor satu agar tidak menjadi karya literasi yang kaleng-kaleng. Ke depan harus begitu.

Saya bukan H.B. Jassin, orang yang sering mengkritik karya sastra orang lain. Di masanya, antara tahun 1950—1980-an kritik sastra tumbuh subur. Sedikit cerita, kritikannya menjadi momok buat para penulis.

Kalau kita membaca buku Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1-3 yang dieditori oleh Pamusuk Eneste, maka kita akan mengetahui betapa para penulisnya itu menyoal tentang kritik sastra dan penolakan mereka dengan perasaan yang sangat manusiawi: marah. Ini menandakan bahwa pada zaman itu, kritik sastra hidup dan mengawal karya-karya para penulis.

Saya bukan H.B Jassin, yang menulis hanya untuk mengkritisi karya orang lain. Pula, kritik di masa sekarang, hanya membuat orang enggan untuk menulis lagi. Daripada membuat mereka seperti itu dan energi saya terbuang ke sana, saya lebih baik untuk terus menulis dan berkarya.

Sebagai pemungkas, berbagai catatan saya ini tentunya tidak memungkiri bahwa buku Cinta dalam Sepotong Tempe ini telah menyemarakkan dunia perbukuan tanah air. Saya senang sekali pastinya. Indonesia harus mampu memperbanyak penulis dan mengembangkan ekosistem perbukuan sesuai cita-cita yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan.

Satu lagi adalah buku ini mampu menggerakkan dan memotivasi saya untuk lebih berhasrat lagi dengan tempe. Sejak itu, saya makan tempe dengan lahap karena saya telah dijelali khasiat tempe dari buku itu.

Terima kasih.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 Maret 2023
Terima kasih banyak kepada Mbak Riri Syakira atas pembatas buku cantiknya itu

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.