Jumat sore itu, saya tiba di Stasiun Jurangmangu satu setengah jam menjelang berbuka puasa. Langit gelap menyisakan rintik hujan dan gegas orang-orang yang penuh harap agar mereka bisa sampai di rumah sebelum azan Magrib berkumandang.
Sebelum keluar peron stasiun saya memesan ojek daring. Pemesanan tak kunjung mendatangkan hasil. Aplikasi tidak bisa melacak keberadaan pengojek. Biasanya kalau hujan begitu memang susah mendapatkan ojek daring.
Saya membatalkan pesanan, kemudian mengulang order lagi. Tidak ada perbedaan dengan yang pertama. Kali ini saya membiarkan aplikasi ini mencari dalam waktu yang lama sambil memandangi induk dan dua anak kucing berwarna oranye sedang makan. Mereka makan dengan lahap kudapan yang diberikan oleh penumpang KRL yang baik hati. Setelah makanan itu habis, dua anak kucing itu belum cukup kenyang. Mereka langsung menyelendup ke bawah tubuh sang induk untuk mencari kehangatan dan air susu ibu.
Saya mengalihkan pandangan dari tiga satoan itu untuk kembali memandangi layar ponsel yang tidak menunjukkan hasil. Saya membatalkan pesanan lagi. Ini untuk kedua kalinya. Saya pikir saya harus pindah dari tempat itu. Barangkali di titik pemesanan yang lain, saya dengan mudah mendapatkan pengojek.
Saya keluar peron dengan menempelkan dompet digital di gerbang peron. Saya berjalan sebentar melewati terowongan yang di atasnya adalah jalan tol. Tak lama saya sudah sampai di titik pertemuan yang tepat di seberang mal. Yasalam…ternyata di sana banyak orang yang sedang menanti jemputan.
Dua kali gagal sebelumnya, saya melakukan pemesanan kembali. Kali ini saya memilih taksi daring. Pesanan masuk, tetapi respons pengemudi taksi tidak ada. Lama saya menunggu. Ada pergerakan darinya, namun ia melewati titik saya. Saya menelepon dan menurutnya tidak ada pesanan yang masuk. Aplikasi ojek daring sedang error. Akhirnya saya membatalkan pesanan, tetapi ditolak oleh peladen aplikasi. Lama sekali padahal jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Gerimis masih mengundang. Rintik-rintik. Itu yang sering orang bilang sebagai hujan yang bikin meriang.
Di sela menunggu pembatalan pesanan. Saya memesan kembali ojek motor. Pesanan masuk dan masih mencari pengendara yang ada. Tidak ada yang masuk. Saya berusaha membatalkan lagi. Karena sedang penuh, pembatalan belum bisa diproses. Jadi aplikasi masih mencari-cari pengendara motor.
Dalam posisi dua pesanan terkendala dan masih dalam proses, saya berusaha memesan untuk kelima kalinya. Dan ditolak. Sudah satu jam saya keluar dari pintu KRL belum juga mendapatkan ojek. Abang ojek pangkalan yang tadinya berlalu-lalang di depan saya, pas saya butuh mereka menghilang.
Jalan Kaki
Azan Magrib tinggal dua puluh menit lagi. Saya harus segera hijrah. Tidak boleh mendekam di satu tempat yang sama. Saya putuskan untuk jalan kaki. Jarak antara Stasiun Jurangmangu dan rumah kurang lebih sejauh 4,6 km. Kalau saya berjalan 10 menit per satu kilometer, berarti saya membutuhkan waktu sekitar 50 menit. Saya sudah memperkirakan, saya akan tiba di rumah menjelang Isya karena saya akan salat Magrib di tengah jalan.
Baiklah. Akhirnya saya mulai jalan kaki pada pukul 17.50. Aku menyalakan aplikasi Freeletics agar jarak dan waktu perjalanan ini tercatat. Memang sudah takdirnya saya harus berolahraga. Pagi tadi saya sudah berniat membawa baju olahraga. Itu tidak jadi karena tidak ada tas kecil yang biasa saya bawa berlari. Eh, takdir Allah jua yang membuat saya mau tidak mau harus berolahraga pada hari itu.
Manusia memang punya banyak rencana, Allah juga yang berkehendak. Saya memiliki banyak sekali hal yang ingin saya kerjakan pada sore sampai malam itu. Rencananya begitu. Utamanya bisa berbuka puasa dengan sakinah di rumah. Akhirnya jadi berantakan semua. Di sinilah saya merasa memang sudah selayaknya hidup itu selalu dibimbing oleh Allah agar senantiasa diberikan kemudahan, petunjuk supaya tidak tersesat, dan solusi atas setiap permasalahan. Serius, ini yang terbetik di dalam benak saya ketika sedang berjalan kaki ini.
Saat saya sudah berjalan sekitar 500 meter, azan Magrib meninggi di langit Bintaro. Alhamdulillah. Allahumma lakasumtu…Saya membuka bekal takjil yang saya dapatkan dari kantor. Isinya teh kotak, beberapa butir kurma, dan sebongkah roti bertabur meses. Saya menyeruput teh kotak itu. Insyaallah glikogennya cukup sebagai bekal buat jalan kaki.
Saya terus berjalan hingga sampai di suatu masjid di sebelah hotel. Namanya Masjid Baitul Kurnia. Tempat parkirnya luas. Masjidnya besar dan indah. Saya membuka jaket dan mengambil air wudu. Lalu salat bersama jemaah lain. Usai itu, saya mengambil air minum kemasan dengan tingkat kebasaan tinggi. Hebat, takmir dan munfiq-nya bisa menyediakan air jenis ini. Mabruk.
Setelah itu, saya kembali berjalan. Tersisa kira-kira 3 km. Saya mempercepat langkah kaki agar sampai rumah sebelum azan Isya. Keringat yang keluar tidak sebanyak pada saat lari. Baterai ponsel sudah mulai menipis.
Di depan sebuah ruko ada abang ojek daring yang sedang memarkirkan motornya di pinggir jalan. Saya teringat dengan kurma dan roti takjil yang ada di tas kecil. Saya langsung mengambil dan menyerahkan semuanya kepada abang ojek.
Betul sekali. Saya sampai rumah hampir menjelang salat Isya. Baterai tinggal 1%. Pas sekali. Saya langsung menghabiskan segelas teh tawar yang telah dihidangkan istri. Alhamdulillah. Selesai sudah. Sampai juga. Saya bisa berolahraga pada akhirnya walaupun tidak bisa berbuka puasa di rumah. Namun, ada sesuatu yang hilang. Deg!!!
Sudah Ikhlas
Tanda pengenal (nametag) saya hilang. Tanda pengenal itu digantung dengan tali (lanyard) Indonesia 2018 Asian Para Games warna merah muda dan biru. Selain nametag, di dalam tempat tanda pengenalnya ada dompet digital suatu bank untuk naik busway dan KRL dengan saldo masih banyak, tanda pengenal dosen PKN STAN, dan kartu magnetik sebagai alat keluar masuk kantor.
Saya baru menyadari kehilangan ini pada keesokan harinya, satu jam menjelang Zuhur. Saya mencari di tas dan di sudut-sudut rumah hasilnya nihil. Saya punya perkiraan dua tempat tanda pengenal itu jatuh. Pertama, di masjid, di tempat saya mengambil wudu atau pada saat saya salat Magrib. Kedua, pada waktu mengambil kue takjil dari dalam tas. Bisa jadi perbuatan itu membuat saya tak sengaja menjatuhkannya di sana, di depan jejeran ruko Kebayoran Arcade, Bintaro.
Perasaan yang muncul di awal adalah menyesal kenapa saya bisa menghilangkan benda-benda itu. Terbayang jalan panjang mengurus kartu magnetik dan nametag kantor. Menyesal dan menyesakkan dada. Dua itu yang memenuhi rongga dada.
Namun, lama-kelamaan saya berusaha menetralisasi dengan berpikir bahwa semuanya itu memang bukan milik saya. Semua yang melekat pada saya sejatinya bukan milik saya. Itu semua milik-Nya. Ikhlaskan saja. Jalani semua kerepotan mengurus ini dan itunya nanti. Pasrah. Itu saja. Namun, ikhtiar tetap dijalankan.
Pertama, mendatangi pos jaga satpam ruko Kebayoran Arcade untuk bertanya apakah mereka menemukan tanda pengenal itu. Barangkali ada yang menemukan nametag saya dan menyerahkan kepada petugas keamanan ruko. Cara ini kemudian saya tepis. Masak sih iya begitu?
Kedua, saya mendatangi masjid dan bertanya kepada marbotnya. Cara kedua ini yang saya tempuh. Saya keluar rumah sebelum Zuhur sekalian menjemput Kinan Fathiya Almanfaluthi di Pesantren Al-Kahfi, Cigombong, Bogor. Saya mampir salat Zuhur di Masjid Baitul Kurnia dan bertanya kepada dua takmir masjid. Mereka tidak melihat barang itu. Ya sudah, saya kemudian meminta tolong jika mereka menemukan nametag saya, mereka kiranya dapat menghubungi saya di Facebook.
Saya tambah pasrah. Sudah ikhlas itu semua hilang. Saya sudah tak memikirkan lagi. Tinggal menghubungi dan melaporkan kehilangan ini kepada Pak Rachman Sampurno sebagai Kepala Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal, tetapi itu nanti saja. Tak perlu buru-buru.
Rumus Kehidupan
Beberapa jam kemudian kami sudah menjemput Kinan. Kini kami menuju Citayam untuk bisa berbuka puasa di sana. Perjalanan pulang tidak sejauh perjalanan berangkat. Hanya setengahnya saja.
Kami sampai di rumah pada pukul 16.30. Saya mulai membuka ponsel dan aplikasi Whatsapp. Ada pesan dari nomor yang belum saya simpan di ponsel. Pesan itu masuk satu setengah jam yang lalu. Saya menjawabnya dengan salam dan kata “siap”.
Kemudian saya lihat ia mengirimkan sebuah foto yang ternyata adalah nametag saya. Allahuakbar!!! Ternyata ada yang menemukan tanda pengenal itu. Yang menghubungi saya adalah Bang Betet. Nama itu yang saya simpan secara otomatis dari aplikasi Whatsapp.
“Tadi pagi tukang sapu Bintaro nemuin di pinggir ruko jagaan saya, Pak Ustad,” kata Bang Betet. “Di depan ruko Kebayoran Arcade 2, Pak Ustad,” tambahnya.
Benar perkiraan saya. Nametag itu jatuh dari tas pada saat saya memberikan takjil kepada abang ojek di pinggir jalan, di depan ruko-ruko.
Kok Bang Betet ini tahu nomor saya? Saya pikir di zaman sekarang tidak ada yang tidak bisa dilacak melalui media sosial dan saya aktif di platform Facebook dan Instagram. Saya cek di Instagram memang Bang Betet ini berusaha menghubungi saya melalui berbagai kanal media sosial.
Wah, terima kasih banyak kepada penyapu jalanan Bintaro yang menemukannya dan Bang Betet yang telah berusaha keras menghubungi saya. Jazaakumullaahu khairan katsira. Insyaallah saya bisa masuk kantor dengan leluasa karena ada kartu magnetik itu.
Pelajaran yang bertubi-tubi datang kepada saya adalah soal sabar, ikhtiar, ikhlas, dan pasrah. Penjumlahan semua itu. Sabar menerima kabar, ikhtiar mencari jalan, ikhlas karena kita memang bukan pemilik sejati, dan pasrah kepada yang Maha Penolong dan Berkehendak. Sudah cukup, rumusnya itu saja.
Itu baru nametag. Belum soal kehidupan yang lain. Lalu? Ya, pecahkan dengan rumus itu lagi. Kalau soal kehidupan itu adalah tentangmu, saya harus bagaimana?
Saya menganguk-angguk.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
25 April 2022
Foto sekadar ilustrasi dengan latar belakang sebuah masjid.
Saya mengalami 2 kejadian yang mirip.
Kejadian pertama waktu kuliah. Saat kembali ke Jakarta sepulang mudik, saya naik bis Kuningan-Jakarta. Ternyata di Palimanan saya dioper bus, dan kardus bawaan saya dioper ke bis lain tanpa sepengetahuan saya.
Kejadian kedua saat flight Jakarta-Bengkulu beberapa tahun lalu. Tersadar saat pengambilan bagasi kurang 1 koper. Rupanya tertinggal saat check in di Jakarta.
Saat 2 kejadian itu reaksinya sama, yaitu pasrah sepasrah-pasrahnya dan berdoa dengan penuh kesungguhan.
Akhirnya happy ending, tepat di Terminal Pulogadung, bus kami berhasil menyusul bus yang membawa kardus saya. Masih utuh tanpa kurang suatu apa pun. Makanan kampung yang dibekalkan ibu, barang dagangan konsinyasi dari Fatahillah alhamdulillah lengkap.
Begitu juga nasib koper saya. Saat pulang ke Jakarta saya menyengaja ke counter kehilangan bagasi. Allah sebaik-baik pembuat rencana. Pandangan saya langsung tertuju ke sebuah koper diantara puluhan koper yang memenuhi ruangan. Ternyata benar, itu koper yang dicari. Isinya lengkap tidak berubah.
Saat momen-momen itulah saya merasakan buah dari kepasrahan total kepada Allah.
Izin berbagi ndan 🙏🏼
LikeLike