Pada malam Jumat Legi, 29 April 2021 rumah saya kedatangan dua orang pemuda belasan tahun. Dua orang kakak beradik bernama Syauqi dan Faqih.
Muhammad Zaid Faqihudin adalah nama lengkap pemuda yang disebut terakhir ini. Duduk di kelas 11 dan mondok di pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Takhassus, Cinagara, Bogor.
Faqih sudah hafal 30 juz. Saat ini sedang dalam proses muraja’ah hafalan 30 juz-nya. Kalau ia bisa konsisten ia akan naik ke level mutqin atau hafalannya kuat atau di luar kepala.
Di masa pandemi, ia belajar dari rumahnya di Pabuaran, Bojonggede, Bogor. Dengan pembelajaran jarak jauh itu ia membutuhkan alat untuk bisa menunjang belajar. Sayangnya alat berupa telepon genggam yang mendukung itu terbatas. Faqih harus bergantian dengan telepon genggam milik orang tuanya. Belum lagi soal kuota yang sering habis.
Sebuah pesan masuk ke aplikasi percakapan WhatsApp saya pada Jumat pekan lalu berisi permohonan dari orang tua Faqih tentang kebutuhan telepon dengan spesifikasi RAM 4 Gb ROM 64 Gb seharga dua jutaan produk Shenzhen, Cina.
Pesan itu saya teruskan ke dua grup saja. Mumpung di bulan Ramadan ini para shaimin sangat mudah tersentuh untuk bersegera dalam bersedekah.
Satu grup besar yang berisi kumpulan para pengurus masjid pajak di seluruh Indonesia merespons dengan cepat ditambah inisiatif dari “Menteri Sosial Dehepe” Bu Sulistyowati Ningsih.
Ia pun menyebar ke beberapa grup saja, sehingga terkumpul dana yang melebihi kebutuhan. “Kalo bisa belikan yang 3 juta, why not?” katanya. Lebih awet, masa pakainya lebih panjang, dan pahala terus mengalir buat para donatur. Masya Allah.
Singkat cerita, anak saya Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi langsung mencari telepon pintar sesuai dengan dana yang terkumpul melalui pasar daring. Dapat. Transfer. Kirim. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. Spesifikasinya tinggi RAM 6 Gb ROM 128 Gb buatan perusahaan yang dimiliki chaebol besar negeri ginseng.
Masih ada sisa uang. Rencananya untuk dibelikan kuota selama beberapa bulan. Semoga bisa.
Setelah berkali-kali merencanakan pertemuan dan gagal akhirnya bisa disepakati malam Jumat ini bertemu. Salah satu contoh kegagalan pertemuan itu karena Faqih diminta mendadak untuk bisa menjadi imam salat tarawih di malam Nuzul Al-Qur’an di musala dekat rumahnya. Dengan pesan khusus: membaca juz 28 atau 29.
Persis sepekan setelah orang tuanya mengirimkan permohonan itu, telepon genggam baru ini sudah di tangannya. Saya berpesan kepadanya untuk memanfaatkan alat ini dengan sebaik-baiknya. “Doakan para donatur, semoga Allah memberikan banyak keberkahan kepada mereka dan dilancarkan rezekinya,” pinta saya kepada Faqih.
Ramadan ini Faqih sudah tidak perlu khawatir soal keterbatasan dalam menyetorkan hafalan kepada gurunya. Insya Allah. Semoga Faqih kelak menjadi penghafal Al-Qur’an yang mutqin.
Untuk para donatur, cukup janji Allah saja: “Bagi mereka pahala yang banyak.”
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
30 April 2021