Banyak sekali penggoda buat para pelari. Entah sebelum atau pada saat lari.
Sebelum lari pagi engkau biasanya digoda oleh rintik hujan yang syahdu, nikmatnya rebahan, dan pikiran ingin rehat sebentar dari rutinitas lari. Namun, ketika engkau mampu mengalahkan semuanya itu, selesai sudah semuanya. Larimu akan kaujalani dengan bahagia.
Pada saat lari lain lagi godaan yang akan memperlambat laju larimu. Tukang bubur ayam, bubur kacang ijo, atau seblak sering juga menggoda.
Dengan kepala sedikit menunduk kau akan sering menemukan paku, baut, sepatu yang cuma sebelah, atau juga uang koin. Mulai 100 perak, 500 perak, 1000 perak atau apalah gitu. Ada bimbang yang muncul, itu uang receh, tetapi lama kelamaan akan jadi bukit. Betul, kan?
Pepatah nenek moyang kita yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara itu benar adanya. Aku yakin kalau uang sereceh itu bisa kauabaikan, namun kalau sudah lebih besar itu apa benar akan kauacuhkan? Ingat tujuan kita buat lari, bukan buat cari recehan, iya enggak?
Nah, pada Jumat pagi itu, aku lari dari Stasiun Cawang sampai kantor. Sekira satu kilometer menjelang finis, di Jalan Jend. Gatot Subroto itu, di jalanan yang basah dan sudah mulai ramai, di tengah pasukan pengawalan pejabat dari mana yang berjejer di sepanjang jalan, aku menemukan uang.
Ini tidak receh. Sepuluh ribu, Bro. Aku lewati saja, tuh. Eh, tapi belum juga lima langkah lari, aku balik lagi dan mengambil uang 10.000 yang tenggelam dalam genangan air itu. Basah tak mengapa, nanti juga kering sendiri.
Sekarang, aku bertanya kepadamu. Apa hal menarik yang pernah kautemukan pada saat lari? Jika kau menemukan uang, berapa nilai terbesar uang yang kautemukan itu? Pernahkah kau mengambilnya?
Salam sehat semuanya.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
6 Februari 2021