Otaknya cemerlang, tetapi orang ini tidak suka sekolah. Nilai-nilainya buruk dan tak suka mengikuti pelajaran sekolah. Orang ini berpikir, di sekolah ia tidak bisa menjadi apa-apa. Ia keluar.
Kepala sekolahnya meramal, “Saat berusia 21 tahun, Richard bisa saja berada di penjara, tetapi bisa juga menjadi jutawan. Saya sama sekali tidak tahu yang mana.”
Soal sekolah yang tidak bisa membuat betah dan bahagia para murid sebenarnya sudah banyak yang membahas. Bahkan difilmkan juga.
Kurikulum sekolah dibuat hanya untuk memenuhi ruang kosong industri. Oleh karena itu, standar kelulusan dan kepintaran yang dijadikan patokan hanya itu-itu saja. Ini menafikan ada sisi lain di relung jiwa manusia yang juga membutuhkan asupan dan menolak kecerdasan lain manusia.
Sebenarnya sistem pendidikan dunia yang ada pada saat ini mengacu kepada sistem pendidikan dunia barat sejak revolusi industri pada abad 19. Sistem yang terbukti dapat membawa dunia sampai pada saat ini.
Ketika teknologi mampu memboyong manusia sampai ke luar angkasa, memakai kecerdasan buatan dalam keseharian, dan menuju kesejahteraan. Abaikan dulu pandemi Covid-19 yang menambah sekitar 60 juta orang di dunia masuk kategori miskin pada 2020 ini.
Namun, seiring dengan itu ada bahaya yang mengintai dalam sepi, abai, atau lebih tepatnya kepura-puraan. Di antaranya adalah kerusakan alam, pemusnahan manusia karena perang, krisis iklim, dan tingkat bunuh diri yang menaik dari tahun ke tahun.
Badan Kesehatan Dunia menunjukkan data, bunuh diri menduduki peringkat kedua penyebab kematian manusia berusia 15 sampai 29 tahun pada 2016.
Kembali kepada si Richard. Ketika keluar dari sekolah, ia tidak menjadi atlet profesional walaupun ia memang jago olahraga di sekolah sampai pernah menjadi kapten tim sepak bola dan kriket. Richard menemui sesuatu yang membuat dirinya bergairah. Sesuatu yang membuat ia menjadi dirinya sendiri dan merasa memiliki keahlian di situ: berdagang dan menjadi pengusaha.
Richard membuat perusahaan penjualan kaset lewat pos pada 1970 sampai kemudian berkembang dan merambah bisnis lainnya. Betul apa yang dikatakan kepala sekolahnya dulu. Pada umur 21 tahun ia sudah menjadi jutawan. Kini, ia sedang berkecimpung dalam bisnis perjalanan mengirimkan manusia ke luar angkasa.
Ketidaksukaan kepada sekolah sebenarnya karena Richard ternyata mengalami disleksia, gangguan yang menyebabkan ia menghadapi kesulitan serius dalam memahami matematika. Sekolah tidak mengerti kesulitan Richard. Sekolah hanya bisa membuat penilaian bahwa Richard hanyalah anak bodoh.
Sampai ia jadi pengusaha pun, Richard masih kesulitan membedakan antara pemasukan neto dan bruto. Di suatu rapat dewan direksi, direktur keuangannya menghampiri, menarik Richard ke pinggir, dan memberitahu perbedaannya.
“Richard, coba bayangkan seperti ini: jika kau pergi memancing dan melemparkan jala ke laut, semua hasil tangkapanmu di dalam jala adalah milikmu. Itulah keuntungan ‘neto’ milikmu. Sisanya yang tidak berhasil kautangkap adalah ‘bruto’.” Sejak saat itu Richard memahami perbedaannya.
Banyak kesuksesan yang diraih Richard membuatnya dianugerahi gelar kesatria pada 1999. Gelar Sir melengkapi namanya menjadi Sir Richard Charles Nicholas Branson, pemilik 360 perusahaan di bawah Virgin Group.
Cerita tersebut hanya satu dari sekian cerita yang menegasikan peran sekolah dalam membantu para murid menemukan elemennya. Ken Robinson dan Lou Aronica menulis cerita-cerita itu dalam buku terbitan pada 2015 dan berjudul Do It With Passion!: Kenali Bakatmu, Asah Kreativitasmu, dan Wujudkan Mimpimu.
Elemen itu adalah dunia yang membuat para murid mengejar dan mendapatkan gairah ketika melakukan sesuatu, melakukannya dengan senang hati dan penuh kecintaan. Ketika mereka menyelesaikannya mereka merasa mendapatkan pencapaian dan kepuasan pribadi yang tinggi. Tentunya mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa.
Matt Groening menemukan elemennya dalam menggambar. Matt tidak bodoh di pelajaran utamanya. Nilainya bagus-bagus, tetapi ia jenuh dengan semua itu. Kecuali pada satu pelajaran: menggambar. Ketika teman-teman yang lain diam dan gurunya terlihat bosan, Matt menggambar 30 gambar dalam setiap pertemuan dan menghabiskan banyak kertas sampai mereka meminta Matt berhenti.
“Rasanya tubuhku bergetar ketika menghasilkan sesuatu yang tadinya tidak ada,” katanya. Sekarang kita tahu, Matt Groening terkenal sebagai pembuat The Simpsons.
Ken menulis, elemen itu memiliki dua karateristik utama dan dua syarat untuk berada di dalamnya. Dua karakteristik itu adalah bakat dan gairah. Ketika kita merasakan kegairahan saat bermain catur atau menari, berarti catur dan tari adalah elemenmu.
Dua syarat memiliki elemen itu adalah sikap dan kesempatan. Kesempatan itu bisa ada di mana saja. Sekolah juga bisa menjadi sarana terbaik buat sebagian yang lain dalam menemukan elemen. Contohnya Paul Samuelson yang menemukan elemennya pada matematika hingga menjadi warga Amerika Serikat peraih nobel pertama di bidang ekonomi.
Namun, buat sebagian yang lain sekolah bukan tempat yang tepat karena status quo-nya. Sekolah menghambat para murid menemukan elemen karena standardisasi kurikulum, tes, dan kecerdasan.
Dari sanalah kemudian timbul pemahaman bahwa kecerdasan itu tidak seragam, tetapi beragam, dinamis, dan khas. Kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Tidak hanya soal hitung-menghitung.
Pesan Paul Samuelson tepat, “Jangan pernah meremehkan pentingnya menemukan bidang yang kita sukai sejak dini. Dengan begitu, kita yang tadinya tidak berprestasi akan berubah menjadi pejuang yang bahagia.”
Ketika waktu tidak berpihak kepada kita dalam menemukan elemen itu sejak dini karena menuruti arahan orang-orang yang kita cintai, tidak ada juga kata terlambat.
Kita mendengar nama penulis Paul Coelho. Orang tua Coelho ingin sekali anaknya menjadi pengacara. Coelho menolak. Oleh karena itu, orang tua Coelho berulang kali membawa Coelho remaja ke rumah sakit jiwa untuk diberikan terapi kejut listrik agar Coelho menanggalkan cita-citanya menjadi penulis.
Coelho bergeming. Coelho mengejar impiannya menjadi penulis. Ia menulis novel The Alchemist yang bukunya terjual lebih dari 40 juta di seluruh dunia.
Cerita orang menemukan elemen tidak di waktu kecil bahkan baru menemukan elemennya di saat tua sudah banyak. Penyebabnya beragam, bisa soal sekolah dan orang terdekat yang tidak mendukung.
Buku Ken Robinson dan Lou Aronica ini buku yang layak dibaca buat Anda yang ingin menemukan elemennya sekarang, pada saat mapan atau belum, muda atau tua, sekolah atau tidak. Karena kita berhak mendapatkan kebahagiaan itu sekarang juga.
Sudah saatnya orang tua tidak ikut terprovokasi melihat anaknya mendapat nilai jeblok di mata pelajaran matematika. “Bego juga, lu,” umpat orang tua kepada sang anak.
Karena bahagia anakmu tidak di sana. Karena itu bukan elemennya.
Sudahkah anakmu menemukan elemennya? Atau sudahkah engkau bertemu elemenmu sendiri?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Desember 2020