50 Tahun Lalu Masyarakat Yogyakarta Gelisah Seperti Dikejar Hantu


Dengan adanya Peraturan Wali Kota yang diterbitkan baru-baru ini, warga Padang yang kedapatan tidak memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah pada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar wajib membayar denda Rp250 ribu. Puluhan tahun sebelumnya, di Yogyakarta, anjing yang kedapatan bepergian tidak memiliki atau membawa plumbir akan ditangkap. Jika tidak ditebus, dapat dibunuh.

Dari zaman kerajaan sampai modern sekarang, masyarakat sudah dikenakan berbagai jenis pajak seperti pajak tanah, pajak hasil bumi, pajak kepala, pajak sepeda, dan lain sebagainya. Bermacam-macam jenis pajak muncul karena adanya objek pajak baru atau dihapuskan karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.

Ada tiga jenis pajak yang pernah dikenakan kepada masyarakat Indonesia dan sekarang sudah tidak ada lagi.

 

  1. Pajak Sepeda

Dulu sepeda merupakan barang mewah. Pada zaman kolonial Belanda pajak ini sudah diterapkan. Ketika Jepang menguasai wilayah Indonesia, Jepang juga memungut pajak dari masyarakat.

Buku Jejak Pajak Indonesia Abad ke-7 Sampai 1966 mencatat, di bawah pendudukan Jepang, masyarakat Jakarta dikenakan pajak sepeda atas sepeda keluaran tahun 1945. Tarifnya sebesar 1 gulden dan 0,75 gulden. Pajak itu harus dibayar sebelum 1 Maret 1945. Jika dibayar lewat tanggal itu maka akan dikenakan denda sebesar 20% untuk setiap sepeda.

Mereka yang telah melunasi pajaknya diberikan lempengan logam yang ditempelkan pada kerangka sepeda sebagai bukti pembayaran. Peneng ini berguna untuk menghindari razia pajak sepeda yang dilakukan polisi.

Tentang razia ini buku berjudul Jelajah Sepeda Kompas, Melihat Indonesia dari Sepeda yang disunting oleh Ahmad Arif menggambarkan kegelisahan masyarakat Yogyakarta saat razia sepeda pada 1970-an.

Hingga tahun 1970-an beberapa pemerintah kota di Indonesia memungut pajak buat sepeda atau peneng atau yang di Jawa kadang disebut plumbir. Besaran peneng ini bervariasi, misalnya Pemerintah Kota Bandung memungut pajak sepeda sebesar Rp30 untuk setahun pada tahun 1969 (kompas, 22 Agustus 1969). Sedangkan di Yogyakarta besaran peneng pada tahun-tahun tersebut adalah Rp50 tiap sepeda per tahun. Walaupun jumlah tersebut kini terasa sangat kecil, namun, waktu itu dirasa cukup memberatkan. Seperti tergambarkan dalam berita di Kompas, 12 Febuari 1970, “Ribuan pelajar dan pegawai diwilajah Kotamadya Jogjakarta tiap pagi mengalami kegelisahan jang memuntjak. Mereka seperti dikedjar2 ‘hantu’ dan terpaksa memilih2 djalan lalulintas jang ‘aman’ dari gangguan.

Penagih pajak adalah petugas Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Keluarga (RK). Para petugas mendatangi setiap rumah untuk mengecek dan menagih Rp50 per sepeda.

Kini pajak sepeda sudah tidak ada lagi. Yang umum pada saat sekarang ini adalah pemungutan Pajak Pertambahan Nilai jika membeli sepeda di toko atau dengan pengenaan Bea Masuk ketika membeli sepeda lipat dari luar negeri semacam Brompton.

 

  1. Pajak Radio

Pajak Radio ini ditetapkan kepada pemilik radio berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 dan dipungut oleh pemerintah pusat mulai tanggal 5 Mei 1947. Berdasarkan data per akhir Desember 1946 dari Kantor Pos Telegram Telepon, terdapat 37.238 radio terdaftar di seluruh Jawa dan Madura. Jumlah pesawat radio di daerah lain tidak dapat diketahui.

Besarnya pajak yang harus dibayar oleh pemilik radio adalah sebesar Rp5,00 per bulan kemudian naik menjadi Rp7,50 per bulan sejak awal 1960.

Lalu pada 1968, pemungutannya diserahkan kepada pemerintah daerah dengan adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada 23 Mei 1997, akhirnya rezim pajak radio yang berlaku selama 50 tahun itu tidak diberlakukan lagi karena dianggap tidak strategis.

 

  1. Pajak Anjing

Pajak selain memiliki fungsi budgeter yang digunakan untuk memenuhi kas negara, juga memiliki fungsi mengatur. Untuk pajak anjing ini fungsi mengaturnya yang lebih melekat, yaitu untuk pemberantasan penyakit rabies atau hama anjing.

Setelah kemerdekaan, beberapa wilayah di Indonesia menerapkan jenis pajak ini. Seperti di Solo yang menerapkan tarif Rp5,00 per tahun sejak 1953. Jika tidak membayar denda itu maka akan dikenakan denda sebesar Rp100,00 atau kurungan tiga bulan.

Kotapraja Yogyakarta lebih dulu mengenakan pajak anjing, tepatnya pada 1952. Pada 1960, tarifnya menjadi Rp15,00 untuk anjing biasa dan Rp30,00 untuk anjing mewah. Tahun 1972 tarifnya berubah lagi menjadi Rp25,00 untuk seekor anjing biasa dan Rp50,00 untuk anjing mewah. Anjing yang menjadi objek pajak adalah anjing yang sudah berumur dua bulan ke atas atau sudah keluar gigi taringnya. Peraturan daerah yang dikeluarkan tahun 1960 dan 1972 ini masih bisa dilacak dan dilihat di internet.

Kepada pembayar pajak anjing akan diberikan peneng yang harus digantungkan di leher anjing. Apabila ada anjing yang kedapatan bepergian tidak memiliki atau membawa peneng akan ditangkap. Jika pemilik anjing mau menebusnya, maka si pemilik harus membayar pajak. Kalau tidak ada yang menebusnya selama tiga hari, maka anjing akan dibunuh atau digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan. Atau juga bisa dijual yang hasilnya untuk kas daerah.

Daerah terakhir yang menerapkan pajak anjing adalah Sumedang. Pada 1983 pemerintah Sumedang mengeluarkan beleid tentang pajak anjing. Besarnya pajak anjing sama untuk setiap jenisnya yaitu Rp200,00. Tidak memandang anjing itu jenis anjing biasa, mewah, lokal, ras, atau blasteran.

Sumedang memang memiliki riwayat tersendiri dengan anjing. Di wilayah itu, anjing sudah menjadi hama.  Ceritanya bisa dilacak dalam buku berjudul Maria van Engels, Menantu Habib Kwitang yang ditulis oleh Alwi Shahab.

Alwi menulis, hama anjing ini, seperti diberitakan harian Sin Po 5 Februari 1958, kadang-kadang lebih merusak dari hama tikus dan babi. Warga masyarakat yang hendak panen jagung kecele karena hasil panen mereka dirusak oleh satoan itu. Kebun jagung seluas dua hektar musnah hanya dalam waktu semalam.

“Ini tidak heran, karena seekor anjing dalam satu malamnya sanggup memakan 75 bonggol jagung. Harian ini memberitakan bahwa anjing-anjing yang menyerang kebun-kebun jagung petani berasal dari kampung-kampung karena pemiliknya sudah tidak sanggup lagi memberi makanan karena membumbungnya harga-harga.”

Waktu itu Indonesia di bawah Kabinet Djuanda yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya. Sekarang, sosoknya tercetak di lembaran uang kertas denominasi Rp50 ribu yang baru. Barangkali menyelip di lipatan dompet Anda saat ini.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
4 Juni 2020
Gambar dari wallpapercave.com

Advertisement

2 thoughts on “50 Tahun Lalu Masyarakat Yogyakarta Gelisah Seperti Dikejar Hantu

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.