Apa yang membuat sebuah konten menjadi viral di media sosial? Viral dalam lingkup organisasi sendiri, nasional, atau bahkan global. Viral itu berarti konten yang kita buat dibicarakan banyak akun media sosial.
Buku bagus berjudul 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas menjelaskan bagaimana caranya menjadi terkenal dan menjawab pertanyaan di atas. Jawabannya satu, yakni konten itu memberikan manfaat kepada pengguna media sosial. Media sosial yang kita kelola menyediakan konten yang memberi solusi dari berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Tentu, buku ini tidak hanya menjelaskan soal di atas saja. Garis besarnya, buku ini memberi perhatian penuh bagaimana sebuah tim dalam organisasi mengelola media sosialnya dengan baik. Apalagi di tengah banyaknya pimpinan organisasi yang belum memahami urgensi pengelolaan media sosial.
Soal yang terakhir itu, penulis buku ini Hariqo Wibawa Satria menghidangkan satu bab khusus dengan judul 37 Manfaat Medsos dan Website untuk Organisasi. Hariqo memahami, referensi tentang pengelolaan media sosial sudah banyak ditulis, namun masih sedikit yang mengangkat tema terkait pengelolaan tim media sosial. Buku Hariqo hadir untuk ini. Selain juga untuk meningkatkan kreativitas dan kolaborasi antarpengguna media sosial demi kepentingan nasional.
Kita jadi ingat saat Presiden Republik Indonesia membuka festival kreatif IdeaFest 2018 di Jakarta lebih dari setahun lalu tepatnya pada 26 Oktober 2018. Jokowi mengajak para pembuat konten kreatif, industri, dan pemerintah untuk melanjutkan kolaborasi. Karena menurutnya, kolaborasi adalah modal untuk memenangkan kompetisi di era Revolusi Industri 4.0 dan bersaing dengan negara lain.
Direktorat Jenderal Pajak dengan empat kanal media sosialnya di Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube menyadari itu. Empat kanal itu masing-masing memiliki kekuatannya sendiri-sendiri. Akun Instagram @DitjenPajakRI memiliki 152.105 followers, akun Twitter @DitjenPajakRI memiliki 135.806 followers, akun Facebook Direktorat Jenderal Pajak memiliki 225.037 fans, dan akun Youtube Direktorat Jenderal Pajak memiliki 13.115 subscribers. Tidak hanya itu, DJP juga memiliki akun media sosial dari 595 instansi vertikal dan unit pelaksana teknis.
Itu modal besar bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mempengaruhi dunia dengan berbagai konten, khususnya memberikan kesadaran tentang membayar pajak kepada masyarakat. Oleh karenanya, institusi ini harus serius mengelola media sosialnya dengan benar. Sudah pada jalur yang tepat, peraturan tentang pengelolaan jejaring sosial di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sedang digodok pada akhir tahun ini.
Aturan ini menekankan pada kerja tim dalam pengelolaan media sosial. Patutlah kalau buku Hariqo ini selaras dengan itu. Buku Hariqo memberikan wawasan tentang tahapan pembentukan tim media sosial, tip-tip bagi ketua tim media sosial, ratusan tip membuat konten yang dapat meningkatkan keterlibatan warganet, cara memonitor kinerja media sosial, dan menjaga kesehatan tim media sosial. Mengapa perlu?
Bermain atau bekerja terlalu lama dengan media sosial itu berbahaya. Hariqo mengutip Taylor Loren menuliskan beberapa gejala fisik dan mental yang harus diwaspadai seperti kecemasan, perasaan lesu, low mood, sulit berkonsentrasi, kreativitas berkurang, keletihan, sakit kepala, gangguan pencernaan, tekanan darah tinggi, kesulitan tidur, peningkatan kerentanan terhadap pilek dan flu, serta ketegangan otot dan nyeri di salah satu bagian tubuh. Taylor menyarankan beberapa tip mengatasinya, antara lain dengan unfollow akun-akun yang membuat tidak nyaman.
Selain itu, salah satu yang menarik dalam buku ini adalah cerita tentang BMKG menghapus konten karena salah dalam menggunakan emoji. Akun Twitter @infoBMKG menggunakan emoji yang tidak pantas saat mengabarkan tsunami di Palu dan Donggala.
Cuitan BMKG diakhiri dengan emoji berbentuk kepala bulat berkacamata hitam. BMKG menghapus cuitan itu kemudian membuat redaksi baru yang diakhiri emoji lain berupa telapak tangan yang saling bertangkup setelah kalimat “Tetap tenang”.
Emoji kepala bulat berkacamata hitam biasanya digunakan untuk menunjukkan perasaan santai, dingin, ekspresi percaya diri, riang, gembira, atau sesuatu yang sangat baik. Tentu emoji ini tidak pas diikutsertakan dalam kabar musibah. Dalam redaksi terakhirnya, emoji telapak tangan yang saling bertangkup pun memiliki arti minta tolong, terima kasih, atau berdoa.
Emoji memiliki tafsir yang bermacam-macam. Hariqo menyarankan untuk tidak menggunakan emoji ketika menyampaikan pesan dalam suasana duka, belasungkawa atas kematian, dan bencana alam.
Hariqo mengutip Mehak Anwar yang menulis artikel berjudul 5 Times You Should Never, Ever Use an Emoji. Lima waktu yang tidak diperkenankan menggunakan emoji adalah pada saat memutuskan cinta, mengekspresikan duka dan belasungkawa atas kematian seseorang, menanggapi sebuah rahasia, berkomunikasi dengan bos atau atasan lainnya, dan ketika kita mewakili institusi resmi.
Institusi memang harus seimbang antara berhati-hati dalam mengunggah konten dan membebaskan kreativitas tim pengelola dalam bermedia sosial. Jika terjadi kesalahan, tim harus dapat bergerak cepat menangani kesalahan itu agar tidak menghancurkan reputasi institusi.
Kesalahan bisa terjadi, antara lain karena tim media sosial hanya memiliki satu gawai untuk mengelola media sosial institusi. Itu pun milik pribadi. Organisasi tidak menyediakan gawai khusus untuk mengelola akun media sosialnya.
Sampai di sini, hendaknya institusi pengelola media sosial menyadari bahwa mengelola tim media sosial tidak sekadar mengelola manusia, melainkan juga mengelola pemenuhan kebutuhan tim media sosial dari sisi peralatan yang dibutuhkan oleh tim untuk dapat bekerja secara optimal. Sudahkah?
Apakah Anda menjadi bagian dari tim pengelola media sosial? Baca buku ini. (RZ/DRM)
***
Penulis: Riza Almanfaluthi
Editor : Dwi Ratih Mutiarasari
Artikel ini ditulis untuk dan pertama kali dimuat di Majalah Elektronik Internal Direktorat Jenderal Pajak Intax Edisi Keenam Tahun 2019.