
Sosok teguh hati menyigi kesehatan dari gang sempit, pasar, sampai diskotek. Ini soal kerja kemanusiaan yang butuh napas panjang.
Perempuan itu keluar dari rumahnya yang berada di gang sempit persis ketika saya datang pada Sabtu, 9 November 2019. Ia kemudian menyilakan saya masuk ke ruang tamunya yang kecil. Ada sofa di sana dan karpet berwarna merah terhampar di lantai. Saya memilih duduk di atas karpet. Kipas yang tergantung di plafon rumah berputar dengan kecepatan normal. Sudah cukup untuk menyejukkan ruangan tak seberapa besar itu.
“Silakan diminum, Mas,” katanya. Perempuan itu, Margareta Sofyana, 47 tahun, menghidangkan segelas teh hangat yang tak elok untuk ditampik. Pagi menjelang siang itu ia tampak sederhana. Tubuhnya berbalut pakaian yang rapat mulai dari kepala sampai kaki. Wajahnya selalu dihiasi dengan senyum. Senantiasa semringah.
Buat warga Kampung Jawa, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat ini, Rita—panggilan Margareta—dikenal sebagai ibu rumah tangga yang aktif di bidang kesehatan masyarakat. Selain sebagai Kader Posyandu, ia adalah Kader TBC, Kader Paliatif Yayasan Kanker Indonesia, Kader Jiwa, Kader Jumantik (juru pemantau jentik), dan Kader IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).
Perempuan yang hanya lulus SMP ini dikenal juga sebagai pendamping dalam pengobatan pasien kanker dan TBC. Rita gigih mengajak masyarakat di lingkungannya untuk menjaga kesehatan dan berobat jika sakit atau melakukan pemeriksaan kanker sejak dini. Apabila ada kabar orang sakit, ia ‘gatal’ untuk mendatanginya dan mengajak mereka berobat ke puskesmas.
“Kesadaran masyarakat untuk hidup sehat masih kurang,” kata Rita dengan nada prihatin. “Ada yang tidak mau berobat karena sudah capek dengan penyakitnya atau tidak ada orang yang mendampingi.” Mendengar alasan itu, biasanya Rita kemudian menawarkan pendampingan kepada mereka untuk berobat sampai mereka benar-benar sembuh tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Sejak 2013, Rita sudah mendampingi ratusan orang yang membutuhkan pendampingan. Upayanya itu dilakukan dengan cara mengantar mereka saat berobat ke puskesmas atau dirawat di rumah sakit, mengurus asuransi dan administrasi pasien, serta memantau mereka saat menelan obat.
Rita yang memiliki tiga orang anak ini menceritakan pengalamannya sewaktu mendampingi Suryohadi, 20 tahun, yang diduga mengidap penyakit TBC. Saat itu Rita kaget melihat kondisi Suryohadi yang kurus dan hanya bisa tergeletak di tempat tidurnya.
Ketiadaan biaya adalah alasan utama sang ibu untuk tidak mengobati Suryohadi. Melihat itu, Rita langsung bergerak. Ia menghubungi pihak puskesmas dan meminta tim dokter dan perawat untuk mendatangi rumah Suryohadi.
Tim dokter pergi ke rumah Suryohadi kemudian melakukan pemeriksaan dan meminta Suryohadi datang ke puskesmas agar bisa dirontgen. Dari hasil pemeriksaan itu, dokter memastikan Suryohadi terkena TBC. Suryohadi harus menjalani pengobatan secara rutin dalam jangka waktu enam bulan dengan menelan obat yang tidak boleh putus diminum.
Bersama suaminya, Hardiana Utama, Rita mengunjungi Suryohadi selama dua bulan dan memastikan pemuda itu meminum obatnya secara rutin. Dalam dua bulan itu, Suryohadi sudah menunjukkan perkembangan yang bagus karena sudah bisa duduk. Bahkan pihak puskesmas telah memastikan kemajuannya. “Sekarang Suryohadi sudah sembuh total. Dulu kurus banget, sekarang gagah dan ganteng,” kata Rita dengan logat Betawinya yang kental.
Tiba-tiba, di tengah pembicaraan, telepon genggam Rita yang berada di atas sofa berbunyi. Rita kemudian berbicara dengan orang di ujung telepon. Tidak lama ia berbicara. Menurutnya, orang yang menghubunginya barusan meminta Rita untuk mengirim video kegiatan senam yang sempat direkam Rita tadi pagi.
Memang, setiap Sabtu pagi ada kegiatan senam yang diadakan di lingkungannya. Pesertanya adalah ibu-ibu. Rita rajin mengikutinya sebagai wujud gerakan hidup sehat. “Mereka meminta saya untuk mencarikan instruktur senam,” tutur Rita.
Rita sudah 30 tahun mengontrak rumah dan tinggal di Rawasari sejak menikah dengan Hardiana pada 1989. Dengan bersuamikan teknisi di perusahaan swasta Rita hidup sederhana, namun mampu menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Kini dua orang putrinya sudah bekerja. Putra bungsunya yang berumur 18 tahun sedang menempuh pendidikan kepolisian di SPN Lido.
Sebelum menjadi kader kesehatan Rita memang dikenal sebagai orang yang suka membantu. Pada 2007, ia menjadi Kader Posyandu dan membantu menangani balita. Kemudian kejadian pada 2010-lah yang membuatnya berkomitmen melakukan pendampingan kepada pasien.
Saat itu, adik ipar Rita bernama Imam Solehudin divonis mengidap TBC tulang. Tubuhnya kurus dan bungkuk. Tulang punggungnya sudah keropos. Imam sudah tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Tak tahan dengan penderitaan Imam, Rita kemudian bertekad mengurusnya. Ia mendampingi Imam berobat di RS Persahabatan, mengurus Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), sampai mendampingi Imam dioperasi sebanyak tiga kali.
“Delapan besi stainless dipasang di tubuhnya. Sekarang sudah sehat. Segar,” ucap Rita dengan semangat. “Kata dokter yang menangani, Imam termasuk dua orang yang bisa selamat dari total lima penderita TBC tulang. Tiga orang lainnya lewat.”
Sejak itu Rita bertekad untuk membantu lebih banyak orang. Ia ingin orang-orang terdekat dan di lingkungannya bisa hidup sehat. Rita tidak menghendaki ada orang yang benar-benar membutuhkan bantuan, namun tidak ada yang menolongnya. Tekad Rita semakin besar ketika pada 2013, ia diajak Kader PKK Kelurahan untuk mengikuti pelatihan kesehatan dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
Rita tentu senang mendapatkan kesempatan itu. Hardiana mengizinkannya untuk mengikuti pelatihan selama seminggu. Rita mendapatkan ilmu tentang penyakit, kesehatan, dan keperawatan di sana. Selepas mengikuti pelatihan, ia mempraktikkan ilmu yang telah didapatnya kepada diri sendiri, keluarga dan tetangga terdekat. Sekaligus memberikan penyuluhan kesehatan secara langsung kepada masyarakat terutama terkait TBC dan kanker mulai dari pencegahan hingga pengobatannya. Tak tanggung-tanggung ia sambangi pasar dan diskotek, remaja hingga lansia.
Dari pendampingan itu Rita mendapatkan kepuasan batin tersendiri. Kepuasan yang menurut Rita tidak bisa dinilai dengan apa pun. Apalagi kalau pasien yang didampinginya sembuh total. Rita menyadari, pendampingan itu bermanfaat buat pasien karena menurutnya, orang sakit itu senantiasa membutuhkan dorongan untuk sembuh. Terutama sekali dari keluarga terdekatnya. “Saya harus pura-pura tegar di depan pasien saya walaupun sebagai manusia saya juga sedih melihat penderitaan mereka,” kata Rita dengan mata memerah.
Rita juga mengalami penolakan saat menawarkan pendampingan berobat kepada orang yang sakit. Ia bahkan dicurigai akan meminta imbalan kepada keluarga pasien atau mendapatkan materi dari puskesmas atas pemberian jasanya. Rita tetap teguh hati, “Saya tidak akan memaksa. Nanti kalau sakitnya sudah parah pada akhirnya mau berobat ke puskesmas,” tutur Rita pelan.
Menyebut puskesmas, Rita tidak bisa menafikan mereka sebagai pihak yang telah mendukungnya selama ini dan menjadi mitra terbaiknya. Pihak puskesmas juga memberikan banyak informasi tentang warga yang sedang membutuhkan pendampingan. Rita menyambut dengan sukacita informasi itu.
Pihak keluarga terutama suaminya juga memberikan dukungan total kepada Rita. Hardiana selalu mendorong dan menasihati Rita untuk senantiasa ikhlas dalam membantu orang lain. Di lingkungannya, Hardiana adalah Ketua RT.04 RW.08 dan dikenal sebagai pribadi yang baik dan selalu berpikir positif.
Pernah pada saat mereka sahur, pintu rumah Rita diketuk orang. Sewaktu pintu dibuka, tampak laki-laki dengan wajah dan pakaian berlumuran darah. Cairan merah segar keluar dari mulutnya. Laki-laki itu meminta Rita untuk mengantarnya ke rumah sakit. Rita menyanggupi. Rita meminta izin kepada suaminya dan Hardiana langsung menghentikan makan sahurnya untuk mengantar Rita.
Rita tiba-tiba menghentikan ceritanya. Ia menatap keluar pintu yang sedari tadi terbuka dan menggelontorkan hawa ke dalam rumah. Laki-laki muda dengan rambut setengah plontos berdiri di depan pagar rumah Rita. Rita mengenalkan Nursam kepada saya. Nursam adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Rita mendampingi Nursam saat menjalani pengobatan sampai dengan saat ini.
Terjadi obrolan singkat antara Rita dan Nursam. Rita kemudian mencari dompetnya dan memberikan uang kepada Nursam. “Ini buat sebulan ya, Nur. Jangan buat beli rokok. Awas!” seru Rita sambil tertawa kepada Nursam. Menurut Rita, di lingkungannya terdapat delapan orang penderita ODMK. Sebagai Kader Jiwa, Rita selalu memantau perkembangan mereka dari waktu ke waktu.
Rita memang ingin dirinya berguna dan hidupnya tidak sia-sia buat masyarakat, Membantu orang lain adalah jalan hidupnya walaupun hanya dalam bentuk tenaga pendampingan dan bukan dengan materi yang banyak. Untuk melakukan semua itu ia tidak meminta imbalan apa pun kepada masyarakat. Baginya, balasan yang diberikan Allah Swt. sudah cukup. Apalagi ia memandang telah banyak sekali karunia yang diterimanya.
Rita merasa semua apa yang diinginkan dan diminta kepada Tuhannya selalu terkabul. “Saya pengen anak saya jadi sarjana, alhamdulillah itu terkabul. Saya pengen anak saya jadi orang yang benar-benar berguna seperti jadi polisi, akhirnya terkabul. Sekali tes, langsung lulus,” jelas Rita.
Mampu membayar kontrakan rumah setiap bulan, diberikan kesehatan dan anak-anak yang baik, serta bisa menguliahkan mereka adalah banyak hal yang amat disyukuri oleh Rita. “Kalau menolong orang dengan sungguh-sungguh jangan mikir untung. Rezeki mah pasti ngikut,” pungkas Rita dengan nada serius.
Terdengar salam dari luar rumah. Anak keduanya yang bernama Ara baru pulang dari tempatnya bekerja di Kemayoran. Wajah Ara khas masyarakat timur Indonesia. Ya, maklum saja, kakek Ara berasal dari Rote, Nusa Tenggara Timur.
Kedatangan Ara menjadi pemungkas pertemuan kami. Persis azan Zuhur berkumandang memenuhi langit Rawasari yang mulai terik. Sebelum saya mohon diri dan meninggalkan rumah Rita, ia mengajak saya berkeliling.




Rita akrab dengan warga sekitar dan menyempatkan diri mengobrol dengan mereka. Ia menyapa Wa Enong dan Bu Saneh yang sedang duduk-duduk di sudut gang. Tak ada pembicaraan lain kecuali Rita menanyakan tentang data kependudukan yang mesti diurus mereka berdua di kelurahan. Kami juga bertemu dengan salah satu pasien yang pernah Rita dampingi. Namanya Barji. “Masih diminum obatnya, kan?” tanya Rita dengan penuh perhatian kepada laki-laki bercelana pendek itu. Barji mengangguk.
Keakraban dan kepedulian Rita dengan sekitarnya menunjukkan ia ada untuk masyarakat, utamanya menghadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis.
Rawasari semakin siang dengan suhu 32 derajat Celcius. Setelah mengambil jaket yang tertinggal di rumah Rita, saya pamit, meninggalkan rumah kecil itu dan sepeda motor butut yang teronggok di depannya. Papan kecil tergantung di bodi motor, bertuliskan: Ojek Diana Expres. Tanda kebersahajaan keluarga Rita.
**
Rita adalah satu dari 21 nominator Ibu Ibukota Awards 2019. Mereka hadir dan menjadi bagian masyarakat ibu kota Jakarta dengan aksi hidup baik mereka masing-masing. Ikuti cerita #AksiHidupBaik lainnya di akun Youtube dan Instagram @ibu.ibukota.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 13 November 2019