Suatu hari, tukang cukur rambut bernama Ramos seusai mencukur rambut Luis berkata, “Kau tahu tidak, Tuan Luis? Saya tidak percaya jika Tuhan itu ada.”
“Kenapa kau berkata begitu kawanku?” tanya Luis. Wajahnya menyiratkan keheranan.
“Mudah saja,” jawab Ramos. “Saat kita keluar, kita tahu bahwa Tuhan tidak ada. Dan jika Tuhan memang ada, katakan padaku mengapa begitu banyak orang yang tersakiti? Begitu banyak anak terlantar dan orang-orang sakit,” lanjut Ramos sembari membereskan peralatan cukurnya.
“Tuhan tidak ada kawanku. Karena jika dia ada, tidak ada penderitaaan. Tidak akan ada kesusahan di bumi. Saya tidak bisa mengerti bagaimana bisa kalau ada Tuhan, dia biarkan semua ini terjadi,” jelas Ramos.
Luis tertegun dengan penjelasan panjang lebar dari Ramos. Luis sempat ingin berkata-kata untuk membantahnya, namun urung. “Baiklah sampai bersua kembali,” ujar Luis.
“Nikmati harimu, Tuan Luis,” kata Ramos.
Luis keluar dari kios tukang cukur rambut. Kebetulan di saat keluar itu, Luis menjumpai seorang pemuda sedang berdiri di samping kios sedang mendengarkan musik dari earphone. Luis tersenyum.
Tak lama, Luis masuk kembali ke kios cukur rambut sambil menggandeng sang pemuda itu. Ramos bertanya-tanya mengapa Luis kembali masuk.
“Hai Ramos, apa kau tahu? Tidak ada tukang cukur itu,” kata Luis.
“Apa? Dan saya ini kamu panggil apa?” tanya Ramos.
“Tukang cukur itu tidak ada. Karena jika mereka ada, tidak akan ada rambut panjang seperti dia,” kata Luis. Ya, pemuda yang ditarik masuk oleh Luis ini memang berambut panjang ikal sampai sebahu.
“Tukang cukur rambut itu ada,” tegas Ramos, “masalahnya dia tidak datang kepadaku.” Sambil tangannya menunjuk pemuda itu.
Luis tersenyum.
“Tepat. Itulah maksudnya. Tuhan itu ada. Masalahnya banyak orang tidak mau datang menemui-Nya. Itulah sebabnya, kawanku, begitu banyak penderitaan dan kesusahan di dunia ini,” jelas Luis.
Ramos langsung kicep.
Video dengan adegan di atas viral pada Ramadan kali ini. Ia bisa menjadi permenungan kita. Apatah lagi di bulan baik seperti Ramadan yang sedang kita lalui bersama.
Ramadan saatnya kembali lagi mendekat dan menjumpai-Nya. Agar derajat takwa sebagai eulogi itu tersemat di ujung Ramadan lalu diimplementasikan di sebelas bulan berikutnya.
Dan nantikan saja setelahnya kemenangan akan datang. Bukankah Tuhan kita pernah berkata: “Inna lilmuttaqiina mafaaza.” Sesungguhnya untuk orang-orang yang bertakwa adalah kemenangan. Menang di dunia dan sesudahnya.
Lalu apakah dengan menjadi orang yang bertakwa itu kemudian ia tak menemui lagi penderitaan dan keperihan di dunia? Sejatinya Penderitaan dan keperihan itu adalah rivalitas dari kebahagiaan dan kesenangan. Sampai kapan pun dua hal yang bertolak belakang itu tetaplah akan ada. Kuncinya pada sikap penerimaan. Dan orang bertakwa jauh dari rasa cemas, takut, gelisah, sedih. Dengan itu ketika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur, ketika derita tiba ia berlaku sabar.
Bukankah begitu, Kang?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
17 Mei 2019
Foto dari Robin Feld