
Aku berdiri di ujung dermaga kayu yang menjorok ke laut, di suatu hari yang akan usai, di pulau kecil bernama Liukang Loe, Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Langit mulai kelabu dengan semburat merah tertinggal di sebelah barat. Baru saja matahari mengusaikan jenakanya mengintip bentala dari daun-daun pohon kelapa.
Sore itu permukaan segara tidak berombak, hanya riak-riak kecil. Sedang tiada angin laut di Pulau Liukang Loe yang hanya memiliki dua dusun: Ta’buntuleng dan Pasilohe.
Awalnya aku mengira kalau nama Liukang sendiri diadopsi dari Bahasa Cina. Barangkali ada orang-orang perantauan dari Cina di masa lalu terdampar di sana dan mendirikan perkampungan di pulau itu.
Ternyata Liukang berarti “dikelilingi”. Sedangkan “Loe” berarti banyak. Jadi bisa diartikan sebagai tempat yang dikelilingi banyak air.
Dermaga kayu yang sedang kujejaki ini berada di Dusun Ta’buntuleng, di sisi utara pulau. Sedangkan Pasilohe ada di sisi tenggara. Tinggi ujung dermaga sekitar tiga meter dari permukaan laut.
Di suatu detik kemudian, muratal Syaikh Alghamidi mengalun dari menara masjid, bangunan paling tinggi di sana. Suaranya mulai menjelajah samudra. Ia menjadi satu-satunya bunyi yang menggema memenuhi semesta, memecah kesunyian, dan membuatku merinding. Magis nian.
Dengan tepi pantai berpasir halus putih dan air yang jernih, ini menjadi sebuah kombinasi sempurna untuk menikmati senja dan kesendirian yang hakiki. Semestinya.
Tetapi untuk mendapatkan semua itu tak mudah. Menuju ke sana kami harus naik mobil dari Makassar selama enam jam menuju Pantai Bira. Lalu menyeberangi lautan dengan menggunakan perahu motor tempel selama kurang lebih 15 menit.
Ada dua puluh orang yang akan menuju ke pulau batu karang dan berbukit itu. Kami menggunakan dua perahu motor. Setiap perahu motor hanya diisi oleh 4 orang penumpang tidak termasuk nakhoda. Jadi sisanya kemana?
Kami naik perahu karet berbentuk seperti pisang dengan pijakan tempat meletakkan kaki di setiap sisinya, biasa disebut banana boat. Di ujungnya ada tali yang diikatkan ke perahu motor.
Setiap banana boat dinaiki oleh enam orang saja. Sebelum berangkat kami harus memakai baju pelampung berwarna oranye yang sudah disediakan. Ini peralatan wajib buat para penyeberang.
Aku duduk di bagian paling belakang banana boat. Aku ingat-ingat, aku pernah menaiki perahu semacam ini sewaktu di Pantai Anyer, 14 tahun yang telah lewat. Aku terjungkal pada saat itu karena memang sengaja dijungkalkan oleh pengemudi perahu motornya. Hiburannya memang semacam itu.
Untuk kali ini, Pak Andrianto Kurniawan, teman seperjalananku, mewanti-wanti kepada pengemudi perahu motor agar tak menjungkirbalikkan banana boat kami. Kami datang ke Pulau Liukang Loe tidak untuk itu.
Apalagi kebanyakan yang ikut menyeberang adalah perempuan. Tiga perempuan dan tiga laki-laki di atas banana boat kami. Bahkan di banana boat yang lain, semua penumpangnya perempuan. Sungguh berani.
Saat perahu dan banana boat itu membelah laut dan menyecerkan buih-buih putih di belakang, aku merasakan sensasi luar biasa dengan percikan air asin yang mengiringi perjalanan kami. Apalagi buatku yang berada di posisiku sekarang.
Momen ini membuatku teringat pada saat menyeberang ke Pulau Dua, Bakongan, Aceh Selatan beberapa tahun lampau. Bedanya waktu itu kami menaiki perahu kayu menuju pulau tak berpenghuni itu.

Tidak lama kemudian kakiku menyentuh pasir putih Pantai Liukang Loe. Pantai di Dusun Ta’buntuleng yang menghadap Pantai Bira ini sepi. Hanya terlihat beberapa lelaki sedang bercengkerama di bibir pantai. Beberapa wanita paruh baya sedang “midang” (leyeh-leyeh) di atas dipan depan rumah.
Sambil mengucapkan kata permisi kepada mereka, kami langsung menuju ke dermaga kayu untuk melihat-lihat kejernihan laut dan menikmati senja yang akan segera tuntas.


Aku beruntung bisa datang di Pulau Liukang Loe pada bulan September karena pada bulan Agustus sampai akhir tahun merupakan periode musim timur. Pada periode ini Pulau Liukang Loe lebih bersih dan perairannya sangat jernih dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Ini bulan-bulan terbaik untuk melakukan pelancongan ke sana.
Dermaga kayu itu sebenarnya selain menjadi tempat bersandar perahu saat air pasang, juga menuju susunan papan kayu yang lebih kecil lagi dan mengarah ke tempat penangkaran penyu berbentuk bangunan rumah yang berada di atas laut.
“Sudah tidak ada lagi penyunya,” kata pemuda setempat bernama Syarif Prandika yang kutemui di ujung dermaga. Kujabat tangan pemuda berkulit hitam itu ketika aku memperkenalkan diri. “Di sana sekarang hanya ada lobster,” ujarnya lagi.
Menurut Syarif, masyarakat di sini dianggap mengeksploitasi penyu. “Padahal pelarangan itu hanya bentuk kedengkian mereka kepada kami karena berhasil mendatangkan banyak wisatawan ke sini,” kata Syarif tanpa menerangkan “mereka” itu siapa.
Ujung-ujung pembicaraan itu ternyata dia pernah singgah di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Waktu itu ia mengantar temannya yang pernah sama-sama bekerja di negeri jiran, Brunei Darussalam.



Menikmati kesenyapan dan keindahan pulau, aku tergerak untuk menginap semalam atau dua malam di pulau ini, sekadar menikmati malam dan menyusuri pantai-pantainya. “Ada guest house yang bisa disewa,” kata Syarif.
“Tenang, kalau menginap di sini nanti kita bakar-bakar ikan. Gratis,” tambahnya sambil menunjukkan hasil tangkapan ikan yang baru diterima dari kawannya. Tawaran yang elok. Barangkali penawaran itu tersaji karena aku berasal dari daerah Indramayu.
Syarif juga menerangkan kepadaku cara teman-temannya menangkap ikan. Mereka menyelam sambil membawa senjata sejenis harpun kecil. Ini jelas lebih baik daripada menggunakan bom ikan dan sianida. Cara merusak yang pernah dilakukan oleh masyarakat di sana, tetapi sudah ditinggalkan karena munculnya kesadaran bahwa penggunaan itu akan lebih banyak merugikan mereka. Terutama rusaknya terumbu karang yang menjadi daya tarik wisata bahari.

“Apakah aku bisa mengelilingi pulau ini dengan jalan kaki?” tanyaku. Aku membayangkan aku bisa berlari mengelilingi pulau, sama sewaktu aku berada di Pulau Dua.
“Tidak karena tak semua pulau ini pantai. Ada bagian karang tajamnya,” kata Syarif. Di pulau ini memang hanya sedikit hamparan pasir putih, sebagian besarnya adalah batu karang.
Mas Agie Sugiha dan teman-teman perjalananku yang lain memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk mengambil gambar. Apalagi buat Mas Agie Sugiha yang sebentar lagi akan meninggalkan Sulawesi Selatan untuk pindah ke tempat kerjanya yang baru di Bogor.
Kukatakan kepada mereka dengan nada seperti Muhammad Bahaudin Walad berkata kepada Sultan Seljuk Kaykubad, “Nikmatilah senja ini selagi sempat.”


Waktu memang sekutu paling karib dengan takdir yang akan menjemput. Tak dirasakan kami, gelap telah terbit. Ekor senja benar-benar tinggal ujungnya saja. Kami segera meninggalkan Pulau Liukang Loe pada saat azan Magrib telah usai.
Aku menaiki banana boat untuk kembali ke Pantai Bira. Posisiku masih sama, di bagian belakang. Posisi yang membuatku leluasa memandang Pantai Ta’buntuleng yang semakin menjauh. Di atas menara masjid sudah ada Bulan dan Venus yang bercahaya putih.
Mencandra Liukang Loe dengan aroma lautnya membuatku terkenang akan Aceh Selatan dan segala pernak-pernik yang ada di sana. Tetapi ini belumlah selesai, besok ada lagi yang lebih mirip. Dan akan aku ceritakan kepadamu jika aku sempat: Apparalang.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
7 Oktober 2018.
Ah, laut. Membayangkannya selalu membuat ada haru dan khidmat yang cerap ke dalam dadaku.
LikeLike
mantap.
LikeLike