Apakah engkau tahu trombon? Itu adalah alat musik tiup logam. Abbie Conant sanggup memainkan terompet besar itu dengan baik dan profesional.
Suatu ketika Munich Philharmonic Orchestra mengundangnya untuk sebuah audisi. Audisi pertama itu dilakukan secara buta. Maksudnya para pelamar memainkannya di balik tabir. Para Juri murni hanya mendengar dan menilai dari suara yang dihasilkan trombon tanpa melihat siapa yang memainkannya.
Dari 33 calon, Conant mendapat giliran ke-16. Ia memainkan Konzertino untuk Trombon karya Ferdinand David—sebuah karya yang sulit. Sempat terpeleset pada satu nada membuat Conant pesimis ia bisa diterima. Ia sudah merapikan kopornya untuk pulang. Tetapi ternyata para juri yang karena keahliannya seringkali menilai kepakaran dari beberapa bar saja sudah memutuskan untuk memulangkan 17 peserta yang tersisa. Direktur orkestra itu sendiri yang memutuskan mengakhiri audisi. Conant diminta untuk tetap berada di panggung.
Tabir dibuka dan para juri kecewa karena Abbie Conant adalah seorang perempuan. Trombon itu bukan dimainkan untuk seorang perempuan. Para juri masih berpikir Conant tidak akan lolos pada dua audisi terakhir. Tetapi sebaliknya, Conant tetap saja lulus.
**
Puasa ini sudah menginjak hari ketiga belas saja di Ramadan 1439 H ini. Aku bersyukur menjadi bagian dari orang-orang yang diberi kesempatan menjalaninya. Tentu dengan segenap kemampuan dan waktu yang kumiliki.
Waktu menjadi sesuatu yang benar-benar mahal. Waktu menjadi sempit. Banyak target yang ingin dicapai di bulan muktabar itu. Aku harus benar-benar bisa membagi waktu buat kerja, buka puasa bersama dengan keluarga, tarawih, olahraga, membaca buku, dan lari.
Dua aktivitas terakhir ini malah yang belum kulakukan kembali. Aku masih tersandera dengan buku lawasnya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden. Aku tak bisa berpaling ke buku yang lainnya sebelum buku yang terlanjur sudah kubaca sebagian itu terselesaikan.
Namun, beberapa hari terakhir ini, bersama dengan dua orang kawan yang lain aku baru saja menyelesaikan penjurian lomba menulis dalam rangka menyemarakkan Ramadan 1439 H. Alhamdulillah, kami berhasil merampungkan tugas itu dengan baik.
Sebelumnya, aku mengusulkan kepada panitia untuk menghapus nama-nama penulis yang tercantum dalam naskah yang dilombakan sebelum dikirimkan kepada kami.
Tujuannya satu hal agar kami bisa menilai seobjektif mungkin. Penulis pemula maupun mahir punya kesempatan yang sama untuk dinilai secara adil oleh kami. Kami murni melihat substansi naskah dan tidak melihat dari kebesaran nama yang disandang para penulis beken di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Beberapa hari setelah batas akhir pengumpulan naskah, kami telah mendapatkan delapan besar artikel yang benar-benar layak untuk kami diskusikan dan tentukan sebagai tiga terbaik.
Setelah berdiskusi jarak jauh dan lama, kami mendapatkan tiga terbaik itu. Kemudian kami menyetorkan nomor kepada panitia karena kami hanya mengetahui nomor dan judul naskahnya saja.
Tetapi panitia meminta kepada kami untuk menyetorkan tidak hanya tiga nomor agar kalau terdapat pemenang 1, 2, dan 3 adalah orang yang sama, bisa langsung ada alternatifnya. Peserta lomba memang diperkenankan untuk mengirimkan banyak artikel walaupun dalam ketentuannya satu peserta hanya memungkinkan mendapatkan satu gelar pemenang saja.
Kami meyakinkan panitia bahwa kami cukup menyerahkan tiga nomor terbaik itu saja, karena kalau dilihat dari gaya tulisannya kami yakin mereka adalah orang berbeda.
Setelah itu panitia memberikan nama-nama pemenangnya, pemilik nomor-nomor itu, kepada kami. Di saat itulah, kami baru mengetahui siapa pemenangnya. Hasilnya memang antara mengejutkan dan tidak mengejutkanku.
Mengejutkannya karena mereka menulis dengan gaya bahasa yang tidak biasanya mereka tulis dan kukenali. Atau sebenarnya aku yang benar-benar belum mengenal mereka?
Syukurnya kami tak seperti Direktur Munich Philharmonic Orchestra yang dalam dua detik pertama sanggup mengatakan “Itu yang kita butuhkan!” tapi kemudian meralatnya sekadar Conant adalah perempuan. “You know the problem, Abbie. We need a man for solo trombone,” katanya.
Tidak mengejutkannya ternyata tiga pemenang itu adalah mereka yang hari-hari dan malam-malamnya memang sudah bergelimang dengan kata-kata dan narasi. Tabik untuk kalian bertiga.
Kalau engkau tahu, dua pemenang itu perempuan. Dunia kepenulisan memang tidaklah seperti dunia orkestra yang masih mengalami diskriminasi hingga detik ini. Sedangkan cerita tentang Conant di atas terjadi pada 1981 lampau. Dua tahun setelah Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ditandatangani pada 1979 dan mulai berlaku sejak 1981.
Prestasi sebagus apapun yang dimiliki Conant tak berguna. Ia ditolak. Conant mengalihkan pertempurannya ke meja hijau. Uji nafas dan paru-paru dan uji di hadapan pakar trombon dilakukan. Conant tetap berhasil.
Butuh waktu 8 tahun memperjuangkan dirinya sebagai pemain trombon utama di orkestra tersebut. Dan ia butuh 5 tahun lagi agar gajinya disetarakan dengan gaji anggota orkestra laki-laki.
**
Bermandikan cahaya temaram di suatu panggung Conant memainkan Pond untuk Trombon dengan mata terpejam. Suara-suara berat, kadang melengking, dan sember keluar dari ujung terompetnya.
Sebagaimana saksofon, trombon yang ditiup ahli mampu memesona penggemarnya. Sangat magi. Seno menggambarkannya dengan: “mampu membuat, bukan pendengarnya, melainkan saksofon itu melayang-layang dan memainkan dirinya sendiri”.
Tiupan Conant tak beda dengan 40 tahun lampau. Dan sampai sekarang trombonis perempuan memang sedikit.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Mei 2018
Cerita lebih detil tentang Abbie Conant bisa dibaca pada bukunya Malcolm Gladwell berjudul Blink dan artikel William Osborne yang berjudul “You Sound Like A Ladies Orchestra” A Case History of Sexism Against Abbie Conant In the Munich Philharmonic.