Ada satu poin krusial yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers tentang RAPBN 2018 beberapa waktu lalu, yakni langkah perbaikan perpajakan 2018. Di dalamnya, memuat tax holiday. Sebenarnya, seberapa efektifkah penerapan tax holiday selama ini? Jawaban atas pertanyaan ini penting untuk mendesain ulang kebijakan agar lebih berdampak positif di masa yang akan datang.
Investasi penting buat Indonesia terutama dalam peningkatan aktivitas ekonomi, yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sendiri gencar memberikan sinyal bahwa Indonesia ramah terhadap investasi. Beberapa potensi besar yang kita miliki terkait hal itu meliputi sumber daya alam melimpah, pasar domestik yang besar dan terus bertumbuh, bonus demografi dengan banyaknya tenaga kerja produktif pada 2025 dan 2035, serta dukungan peningkatan iklim investasi.
Pada dasarnya, ada faktor ekonomi dan nonekonomi yang memengaruhi para investor dalam menanamkan modalnya di suatu negara. Faktor ekonomi meliputi tingkat suku bunga, kebijakan perpajakan, regulasi perbankan, dan infrastruktur dasar (Santi, 2012). Untuk faktor kebijakan perpajakan sendiri, meliputi tarif pajak yang kompetitif atau insentif pajak.
Penerapan insentif pajak sudah dilakukan sejak 1967, yakni dengan memperkenalkan tax holiday melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pada 2011, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor PMK-130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Kemudian PMK-159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang mulai berlaku 16 Agustus 2015.
Kajian ini berjudul “Efektivitas Penerapan Pemberian Fasilitas Pembebasan Pajak Penghasilan Badan”, ditulis oleh Sara dan Ahmad Zaky Zamani pada 2016. Ruang lingkupnya berfokus pada aspek positif dan negatif penerapan dua beleid tersebut.
Beleid Pertama
PMK-130/PMK.011/2011 memberikan fasilitas kepada wajib pajak baru yang bergerak di industri pionir. Industri pionir sendiri didefinisikan sebagai industri yang memiliki keterkaitan luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Industri-industri itu meliputi industri logam dasar; industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik, yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; industri permesinan; industri di bidang sumber daya terbarukan; industri peralatan komunikasi; dan yang ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.
Selain kriteria di atas, syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak antara lain: harus mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi berwenang, paling sedikit satu triliun rupiah; menempatkan dana di perbankan Indonesia paling sedikit 10 persen dari total rencana penanaman modal, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; serta harus berstatus badan hukum Indonesia.
Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Jangka waktu pembebasannya paling lama 10 tahun pajak dan paling singkat 5 tahun pajak, terhitung sejak tahun pajak dimulainya produksi komersial. Setelah fasilitas pembebasan PPh berakhir, wajib pajak masih diberikan fasilitas berupa pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen selama 2 tahun pajak. Dengan pertimbangan lain, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas melebihi jangka waktu di atas.
Beleid Kedua
PMK-159/PMK.010/2015 menghapus PMK-130/PMK.011/2011. Beberapa hal baru diatur dalam kebijakan ini terutama mengenai besarnya pengurangan PPh Badan sebesar 10 persen sampai dengan 100 persen (tanpa ada tambahan pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen selama 2 tahun). Khusus untuk industri telekomunikasi, informasi, dan komunikasi dengan nilai investasi kurang dari satu triliun rupiah, besarnya pengurangan PPh Badan diberikan paling banyak sebesar 50 persen.
Penerima fasilitas merupakan wajib pajak baru dan industri pionir, dengan batasan nilai investasi minimal satu triliun rupiah. Khusus untuk industri telematika atau teknologi informasi dan komunikasi, minimal investasi Rp500 miliar dan memenuhi persyaratan memperkenalkan teknologi baru. Wajib pajak juga harus memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER).
Persyaratan menyampaikan uraian penelitian mengenai ketentuan tax sparing (pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan PPh di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan) dihapus dan ditambahkan persyaratan Surat Keterangan Fiskal (SKF). Wajib pajak juga harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2011.
Industri pionir yang dimaksud beleid ini adalah industri logam hulu; industri pengilangan minyak bumi; industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; industri permesinan yang menghasilkan mesin industri; industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri telekomunikasi, informasi, dan komunikasi; industri transportasi kelautan; industri pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus; dan/ atau infrastruktur ekonomi selain yang menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Jangka waktu fasilitas adalah 5 sampai dengan 15 tahun. Dengan diskresi Menteri Keuangan, fasilitas dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
Positif-Negatif
Dari hasil analisis terhadap pelaksanaan PMK-130/PMK.011/2011, kajian tersebut menyimpulkan penerapan tax holiday memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif berupa pembangunan infrastruktur dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sisi negatifnya, implementasi tax holiday kurang efektif karena hanya diikuti oleh 6 wajib pajak, sehingga efek terhadap laju investasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak signifikan. Tax holiday juga bukan faktor penentu utama yang mendorong para investor menanamkan modalnya.
Tax holiday dianggap kurang menarik oleh investor dibandingkan tax allowance. Karena tax holiday yang ditawarkan dalam PMK ini bersifat profit-based. Artinya, wajib pajak harus mengalami keuntungan terlebih dahulu agar dapat memperoleh fasilitas. Pada kenyataannya, banyak investor yang justru mengalami kerugian di tahun-tahun awal. Salah satu contoh tax allowance adalah penerapan Pasal 31A Undang-undang PPh, berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah investasi.
Kebijakan ini juga hanya terbatas pada investor yang memiliki modal besar sehingga segmennya dapat dikatakan sangat sempit. Di samping itu, fasilitas ini dapat memicu kompetisi pajak antarnegara yang merugikan (harmful tax competition). Penentuan saat dimulainya tax holiday juga kurang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak.
Hasil lain dari evaluasi terhadap PMK ini adalah masih lebarnya diskresi dan proses pemberian insentif dipandang kurang transparan. Selain itu, terdapat definisi yang perlu dirinci lebih jelas terutama mengenai teknologi baru dan investasi modal, perlunya peningkatan aktivitas pengawasan pascapemberian fasilitas, serta kurang kuatnya payung hukum tax holiday.
Sementara, analisis terhadap penerapan PMK-159/PMK.010/2015 menunjukkan, sampai dengan kajian tersebut disusun, belum ada wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan. Hal ini ditengarai karena pengetatan syarat pemberian tax holiday. Seperti adanya penghapusan ketentuan terkait tax sparing, penambahan syarat dan ketentuan (seperti DER dan SKF), serta penghapusan fasilitas pengurangan PPh terutang sebesar 50 persen.
Rekomendasi
Kajian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan dalam implementasi tax holiday di masa yang akan datang, antara lain:
Wajib pajak penerima fasilitas harus dipastikan melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Ditjen Pajak perlu melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala. Upaya ini akan terbantu jika ada penambahan klausul kepatuhan perpajakan lain, seperti kepatuhan pelaporan SPT baik PPh maupun PPN.
Rekomendasi lainnya berupa memperpendek otorisasi dan proses pemberian insentif pajak; memperkecil batasan jumlah investasi; dan membangun decision support system untuk menentukan batasan persentase maupun jangka waktu yang tepat pada jenis usaha tertentu, agar lebih terstandar dan sistematis; serta mengevaluasi dan mendesain ulang kebijakan insentif pajak. Alternatif insentif dalam bentuk selain tax holiday (misalnya tax allowance yang tepat sasaran) layak dipertimbangkan.
Selama ini, memang ada anggapan bahwa kebijakan tax holiday di Indonesia lebih menyerupai ‘gula-gula’ penarik minat investasi. Jika tak ada, selalu dirindu. Jika pun ada, tak selalu laku. Agar lebih diminati, pemanis itu perlu dikemas lebih menarik. Bahkan dapat ditambah kandungannya dengan multivitamin agar lebih menyehatkan. Dan yang paling penting adalah takarannya harus pas. Terlalu banyak ‘permen’ tentu tidak baik, bukan? [ •RA/ATR]
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Artikel tersebut telah dimuat di Intax Edisi 9 – 2017