Ali terburu-buru keluar dari toilet lantai 5 Gedung Tempo dengan membawa ember dan alat pel. Wajahnya masih menunjukkan jejak-jejak air. Lelaki itu berencana untuk membersihkan musala berukuran 84 meter persegi yang letaknya disamping toilet. “Saya sudah lama kerja di sini,” kata petugas cleaning service gedung jangkung yang menonjolkan warna khas Tempo, merah dan terletak di Palmerah, Jakarta ini, Jumat (24/2/2017).
Membersihkan musala menjadi salah satu tugas Ali dan teman seprofesinya. Musala ini dinamakan dengan Ahmad Wahib, wartawan Tempo yang meninggal tertabrak motor pada tahun 1973, persis di depan kantor lama Tempo di Proyek Senen.
“Kalau waktu Magrib musala ini ramai dengan wartawan Tempo. Sebelum pulang mereka salat dulu,” kata Ali sambil sesekali mengibaskan rambutnya yang hitam berminyak. “Apalagi kalau bulan Ramadan. Ada kegiatan salat tarawih berjamaah dilanjutkan dengan kultum.” Ali sering mendengarkan kultum yang diisi oleh pencari warta Tempo sendiri.
Menurut Ali dulu ada kegiatan harian di musala ini seperti pembacaan kitab hadis Bukhari Muslim setiap bakda Asar. “Sekarang sudah tidak ada lagi,” kata pemuda beristri dengan dua anak ini. Sebabnya tak diketahui.
Para petinggi Tempo seperti Bambang Harymurti dan Toriq Hadad sering salat di sini. “Saya jarang melihat Goenawan Mohamad,” kata Ali sambil membereskan letak duduknya. Patut dimaklumi karena kantor penulis esai Catatan Pinggir itu bukan di gedung Tempo melainkan di Salihara.
Musala Ahmad Wahib berdiri seiring peresmian dan penggunaan Gedung Tempo yang bertingkat delapan ini pada akhir April 2015. Agar namanya tak hilang dari kesadaran memori para penghuni Gedung Tempo, musala yang berkarpet empuk dan berpendingin ruangan ini dilabeli Ahmad Wahib.
Ahmad Wahib menurut Douglas E. Ramage, Indonesianis lulusan University of South Carolina, memang dikenal sebagai sosok pemikir baru Islam yang revolusioner.
Sedang Selamet, salah seorang pengurus musala, mengatakan lain, “Ahmad Wahib adalah sosok yang penuh perhatian dengan Islam pada masa hidupnya. Ia juga aktif dalam kegiatan keagamaan di Tempo.”
Menurut pegawai bagian Personalia Tempo ini sebenarnya banyak sekali wartawan Tempo yang sudah naik haji dan juga dipanggil ustad. Merekalah yang mengisi kegiatan kultum usai tarawih. “Tapi mereka tidak senang menonjolkan diri,” ujar Selamet sambil tersenyum renyah.
Selamet tidak membantah bahwa kegiatan harian musala seperti pembacaan hadis setiap bakda asar tidak lagi dilakukan. “Itu semata karena kesibukan mereka yang tak terelakkan lagi,” tutupnya.
Sejak didirikan tahun 1971, Tempo sering disebut sebagai institusi sekuler oleh berbagai kalangan Islam. Tempo menyediakan banyak halaman untuk menyebarkan ide-ide ini. Sunudyantoro, wartawan Tempo, menegaskan bahwa kerja jurnalis memang merupakan kerja sekularisme.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
26 Februari 2017
Nice, kalau di KOMPAS gimana ya??
LikeLiked by 2 people
Nggak tau. 😊
LikeLike