Pak Bagong dengan salah satu lukisan hasil karyanya.
Di bawah bangunan pusat hiburan malam Kota Tua yang menghitam terbakar pada saat kerusuhan tahun 1998, Bagong Surono melumuri sketsa wajah Ahok di atas kanvas putih dengan cat warna kuning kecoklatan, Sabtu, 25 Februari lalu. Sementara tangannya lincah melukis foto Gubernur DKI Jakarta itu, rokok kretek yang ia jepit dengan bibirnya menyala merah.
Lukisan itu akan menjadi salah satu dari belasan lukisan foto yang dipajang di sepanjang dinding tembok bangunan di pinggir Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta, itu. Tokoh nasional atau artis adalah subyek sebagian besar lukisannya.
“Saya sering diminta melukis foto Soekarno dan Ahok,” kata Bagong. Ada juga lukisan foto Soeharto sambil memegang cerutu. Lukisan itu diletakkan persis di sebelah lukisan foto hitam putih Goenawan Mohamad, pemimpin media yang diberedel dua kali pada masa jayanya Soeharto. Namun, semua itu ternyata bukan lukisan terbaiknya. “Itu semua pesanan orang,” ujarnya.
Bagong mengatakan, lukisan terbaiknya adalah yang bukan pesanan orang. Dia lalu menunjukkan sebuah lukisan potret di atas kepalanya: Rhoma Irama, sang raja dangdut.
Rhoma Irama adalah idola Bagong. Sebab, menurut dia, Rhoma Irama mengukir prestasinya dari bawah. Apalagi Rhoma Irama selebriti pribumi. Bagong tidak menyukai pesohor-pesohor berwajah indo yang sering menghiasi layar televisinya. “Pokoknya enggak suka saja,” jawab Bagong saat ditanya alasannya.
Sketsa wajah Ahok sudah mulai tampak jelas kini. Mata Bagong harus berkali-kali melirik foto wajah Ahok yang tertempel di sudut kiri bawah kanvas agar sapuan catnya menyerupai ekspresi di dalam foto. Niatnya, Ahok akan dilukis sebagai master kungfu dengan gaya karikatur. Kepalanya besar dengan bagian badan dan kaki kecil. Badan Ahok yang bertelanjang dada akan ditonjolkan dengan perut six pack-nya.
Bagong memang sudah lama melakoni pekerjaannya sebagai pelukis foto. Setelah keluar dari pabrik di Tangerang karena gaji yang tidak mencukupi, lelaki kelahiran Cilacap 43 tahun lalu ini menguatkan tekad untuk menjadi pelukis jalanan sejak 2004. Sebab, ia merasa memiliki bakat itu sejak SMP.
Sebagai pelukis jalanan, Bagong sudah merasa cukup senang kalau dalam sebulan ada empat sampai enam orderan melukis. Itu sudah mencukupi kebutuhannya dan bisa pulang kampung ke Cilacap menemui istri dan dua anaknya.
“Yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika lukisan yang dipesan tidak diambil oleh pemesan,” ujar Bagong. Maka, tutur Bagong, lukisan itu ia simpan saja di kamar kosnya. Karena bisa saja pemesan mengambil lukisan itu bertahun-tahun kemudian.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Kota Tua dan Tjitajam, 28 Februari 2017