Mevrouw dindaku, kisah kepahlawanan ini datang dari sebuah masyarakat lokal di Jepang. Di sebuah desa bernama Kito, distrik Naka, prefektur Tokushima. Penduduk Kito secara bersama-sama memutuskan untuk tidak mati konyol dan mengorbankan diri untuk proyek bendungan baru yang akan menenggelamkan desa.
Seperti biasa, karena daerah-daerah lain menyerah terhadap kehendak pusat, maka pemerintah pusat pun dalam merencanakan bendungan di Kito juga tidak mengadakan musyawarah dengan penduduk di sana. Dan mereka terkejut ketika warga Kito mengatakan tidak. Penduduk Kito bahkan tidak mau melakukan perundingan dengan pemerintah pusat.
Perjuangan itu berlangsung selama 25 tahun. Ini mendapatkan perhatian nasional dan mendorong diadakannya suatu dialog nasional tentang gagalnya pembangunan proyek bendungan di masa lalu dan biaya pembangunan ekonomi yang tidak punya rasa kasihan. Akhirnya pada Juni 1997, pemerintah mengumumkan pembatalan pembangunan bendungan di Kito.
Di situlah penduduk Kito telah membangkitkan sebuah kesadaran nasional yang baru bahwa sungai adalah wujud alam yang hidup, yang secara organik menghubungkan daerah pengunungan, dan laut, serta masyarakat yang berdampingan dengannya. Satu hal yang disadari oleh banyak aktivis lingkungan hidup, bendungan itu merusak hutan.
Mevrouw, cerita itu saya baca dari sebuah buku yang ditulis oleh David C. Korten berjudul The Post Corporate World: Life After Capitalism. Korten dalam buku itu menyebut Vandana Shiva, seorang ahli fisika, filsuf, dan feminis dari India yang bukunya sempat saya baca. Terkait juga dengan bagaimana Shiva menceritakan kepahlawanan para perempuan dalam menjaga hutan.
Buku Shiva itu berjudul Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India. Bagi perempuan yang tinggal di perbukitan, sumber makanan berasal dari hutan. Musnahnya hutan dan air jelas-jelas adalah sebuah masalah perjuangan hidup bagi para perempuan. Perempuan di pegunungan Himalaya itu menentang kegiatan kehutanan komersial karena merusak hutan dan sumber air mereka.
Maka ketika ada 300 pohon yang sudah dilelang dan akan ditebang, penduduk desa pergi ke hutan dengan memukuli genderang. Mereka akan memeluk pohon dan tidak membiarkannya ditebang. Gerakan memeluk pohon itu berhasil memundurkan para penebang. Walau tidak berhasil, para penebang mendapatkan konsesi untuk menebang di tempat lain.
Maka ketika mereka berpindah tempat, para perempuan desa itu pun kembali melakukan gerakan tersebut dan menuju lokasi penebangan yang berpindah-pindah. Bahkan walaupun hutan itu dijaga polisi agar penduduk tidak mendekat tapi mereka selalu terlambat, karena di setiap pohon yang akan mereka tebang ada tiga orang yang sedang memeluk pohon-pohon itu.
Polisi menyerah melihat kebulatan tekad dan kesadaran masyarakat. Sebuah kesadaran dari para perempuan yang tidak muncul dalam sekejap melainkan telah lama dibina bertahun-tahun dari kearifan lokal. Apalagi ketika puisi Ghanshyam Raturi pun menjadi mars perjuangan mereka: “Peluklah pohon-pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan, kekayaan bukit-bukit kita, selamatkan mereka dari penjarahan.”
Ingin Menjadi Apa?
Mevrouw dindaku, tahun 2016 telah dilewati bersama oleh seluruh amtenar Direktorat Jenderal Pajak. Sambil merasakan ‘pedihnya’ pemotongan tunjangan kinerja karena tidak mampu memenuhi target di tahun sebelumnya. Tapi kerja tidak berhenti sampai di situ, ada beban di punggung yang bertambah ketika tuntutan menyelamatkan APBN menyeruak.
Setelah kerja keras selama setahun itu, bolehlah kita berlibur Mevrouw. Mevrouw tentu ingat, di Baturraden, Purwokerto, ada air terjun yang tiada habis-habisnya mengalirkan air. Entah dari mana air itu berasal. Pertanyaan itu ternyata terjawab. Hutanlah yang mampu melakukan semua itu dan ini berarti kita adalah bangsa yang kaya, Mevrouw.
Bagaimana tidak? Di hunian kita masing-masing air begitu kita jaga alirannya. Jangan sampai terbuang percuma, karena air itu berarti uang dan uang. Entah dari aliran PDAM atau dari air yang disedot dari tanah dengan mesin pompa bertenaga listrik. Ini berarti setiap kwh-nya tentu sangat bernilai uang. Lalu kita bayangkan air terjun di alam bebas itu mengalir saja terbuang dan kita nilai setiap meter kubiknya berapa. Sebegitu kayanya kita. Ini yang perlu kita jaga selalu, Mevrouw.
Sekarang Januari 2017 sedang kita jalani, Mevrouw. Awal tahun ini menjadi batu penjuru (milestone) untuk menetapkan apa yang akan kita lakukan. Dengan strategi dan banyak rencana yang akan kita realisasikan. Tiga pertanyaan menggelayut di benak kita. Kita ingin menjadi apa, ingin melakukan apa, dan ingin memiliki apa. Lalu kita berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Sembari menyerahkan segala ikhtiar itu kepada Yang Maha Kuasa dengan banyak doa terpanjatkan.
Pun, di bulan Januari ini ada sebuah hari yang perlu kita ingat bersama, Mevrouw. Setiap tanggal 10 Januari dunia memperingati Hari Sejuta Pohon. Nilai pohon itulah yang sangat berharga buat keberlangsungan hidup. Tegakan hutan berdaun jarum itu mampu menyerap 60% air hujan, sedangkan pohon yang berdaun lebar mampu menyerap 80%-nya. Ujungnya kesejahteraan buat manusia. Inilah jawaban itu. Hutan menjaga kita. Sepatutnya pula kita menjaga hutan.
Syukurnya di APBN kita ada anggaran untuk perlindungan lingkungan hidup. Total yang disediakan adalah 11,9 triliun rupiah. Dari anggaran itu 9 triliun rupiah di antaranya disediakan dari pajak yang dikumpulkan kita, Mevrouw.
Kita jadi sadar bahwa ketika kita mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk pajak maka kita berusaha untuk menjadi pejuang yang menyelamatkan hutan dan lingkungan kita. Ini peran kita. Kita menjadi Kito, menjadi para pemeluk pohon. Yang harus disadari dari hati lalu mewujud kepada gerak untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Abrakadabra! Pertanyaan “kita ingin menjadi apa” telah kita temukan jawabannya. Kini, meminjam Bakdi Sumanto, yang baru di tahun baru itu adalah hati yang harus kita perbaharui sendiri. Betul begitu, Mevrouw?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
16 Januari 2017
Artikel ini telah dimuat pertama kali di Majalah Internal DJP Intax edisi perdana.