Muslim menangis © dawn.com
Betapa banyak dari kita bercita-cita dan berusaha untuk traveling ke seantero dunia, ke tempat yang belum pernah dikunjungi, indah, dan menarik hati. Dengan segala cara dilakukan sampai menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya yang banyak. Tubuh menjadi sehat dan segar, tetapi ada yang seringkali kita lupakan, kalbu kita—sembari berwisata itu—dibiarkan rongsok. Pria ini tidaklah demikian.
Tsabit Albanani adalah murid Anas bin Malik. Doktor Shalih Alsyamrani, seorang dosen fikih di Universitas Ummul Qura, Arab Saudi melalui akun twitternya pernah mengatakan tentang ulama ini, “Dahulu Tsabit al Banani apabila melihat sahabat Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia langsung mengambil tangan Anas dan menciumnya sembari mengatakan tangan inilah yang dulu pernah menyentuh tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Nama lengkapnya Tsabit bin Aslam al-Banani (Abu Muhammad al-Bashri). Tinggal di Bashrah, Iraq. Seorang ulama besar hadis yang periwayatannya menurut banyak ulama dikatakan “tsiqah”. Ulama yang banyak menangis sehingga dikatakan matanya buta sebelah.
Suatu hari—sebagaimana diceritakan dalam kitab Siyaathul Qulub, yang ditulis oleh Dr. Aidh bin Abdullah bin Aidh Ali Majdu Alqarni—beberapa orang mengajak Tsabit Albanani untuk berekreasi. Mereka berkata, ” Kami akan mengajakmu berekreasi ke taman-taman di Khurrasan untuk melihat pemandangan yang hijau dan air yang mengalir. Mudah-mudahan setelah engkau melihat pemandangan yang hijau lagi menyegarkan, sebelah matamu yang tidak dapat berfungsi dapat melihat kembali.”
Lalu mereka pun membawanya ke Khurrasan sehingga ia dapat melihat taman-taman yang indah dan air yang mengalir di sana. Namun, setiap ia melihat kebun, ia menangis karena teringat akan surga dan setiap melihat taman, ia menangis karena teringat akan surga pula.
Ketika ia kembali ke Bashrah, mereka bertanya kepadanya: “Bagaimanakah kesanmu terhadap rekreasi yang telah kita lakukan?” Tsabit Albanani menjawab: “Demi Allah, tiada yang mengagumkanku dalam semua perjalanan ini, selain seorang nenek yang kulihat sedang mengerjakan dua rakaat sunah duha.”
Aidh Alqarni mengatakan, “Betapa mengagumkan engkau, wahai Tsabit AlBanani.” Ya, benar. Di saat orang memandang segala keindahan itu sebagai sebuah masterpiece penciptaan, maka Tsabit Albanani memandangnya bagaikan alas kaki, tanah, atau debu yang tiada berguna dan tidak bisa dibandingkan dengan segala keindahan surga yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, atau dibayangkan oleh manusia di muka bumi.
Seringkali kita terpuruk dan merasa gagal meraih segala pencapaian di dunia ini. Titel, jabatan, dan kekayaan bahkan wanita adalah tujuan dari pengejaran dan segala pencapaian itu. Oleh karenanya tak henti-hentinya kita harus berkaca kepada orang dari masa lalu agar bisa mengambil pelajaran bagaimana mereka memandang dunia ini. Semata, agar kita tidak teperdaya. Dunia ini cuma sesaat, akhirat adalah abadi. Dan layak sekali kita belajar kepada tabi’in ini.
Titel, jabatan, kekayaan, dan wanita pun tak seberapanya jika kita tidak bisa mencapainya di dunia ini. Semua fana walau kita akan merasa senang dengan semua itu ketika mendapatkannya. Ada yang lebih abadi. Dan di sanalah seharusnya tempat kita kembali. Kembali kepada Allah swt. Penguasa yang sebenarnya, pemilik hukum, dan pembuat perhitungan yang paling cepat.
Kuncinya: taat kepada Allah dan Rasulnya. Sudah cukup itu saja.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
6 Februari 2015
http://bersamadakwah.net/2015/02/pria-ini-banyak-menangis-saat-traveling-apa-yang-ditangisi/