RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN


RIHLAH RIZA #35: CINCIN WARISAN SETAN

Kinan bertanya kepada Mbahnya, “Bapak pakai cincin apa?” Laki-laki tua yang sedang sakit itu sambil tertawa menjawab sekenanya, “Cincin warisan setan.” Ingatannya yang sudah mulai terbatas karena stroke mungkin hanya mampu mengaitkan benda itu dengan salah satu judul novel silat Wiro Sableng karangan Bastion Tito. Novel-novel yang pernah dijualnya sewaktu menjadi pedagang buku bekas.

Cincin dengan batu warna hijau dan ikatan besi yang disepuh dengan warna keemasan itu pemberian adik iparnya yang bekerja di Arab Saudi. Karena sakit, Bapak tak pernah memakainya lagi. Kemudian saya pakai beberapa bulan sewaktu bertugas sebagai petugas banding di Pengadilan Pajak. Teman satu tim saya protes. Menurutnya saya seperti om-om atau bapak-bapak kalau memakai cincin itu. Jadi semakin kelihatan tua. Di dalam benak mereka cincin itu hanya bisa dikaitkan pada satu sosok pelawak bernama: Tessy.

Sepertinya teman-teman saya se-Direktorat Keberatan dan Banding memang tak ada yang memakai cincin. Lalu saya tak memakainya lagi. Saya tak tahu apa nama batu yang menghiasi cincinnya. Bertahun-tahun kemudian, hari ini, saya tahu jenis batu itu. Batu pirus berwarna biru kehijau-hijauan. Sayang sekali, cincin itu hilang.

**

Entah di Tapaktuan, entah di Banda Aceh, bertubi-tubi ajakan teman-teman untuk pergi mengunjungi toko penjual batu akik atau mulia itu tidak membuatku tak bergeming. “Ngapain coba? Buang-buang waktu aja,” pikir saya. Waktu itu ada yang lebih menarik daripada sekadar melototin batu: snorkeling atau snorkelling. Mengapung dan menyelam sambil menikmati keindahan bawah laut menjadi kesenangan baru saya di Tapaktuan untuk mengisi hari-hari sepi saya. Melototin biota laut itu sesuatu.

Pembicaraan teman-teman di mes, di warung, dan di kantor kalau kumpul ya berkisar perbatuan. Bahkan mereka bikin grup facebook bernama Tapaktuan Stones. Mereka sudah melakukan ekspedisi ke sungai Trangon mencari batu-batu untuk bisa digosok. Ini benar-benar sebuah penggalian potensi (galpot). Tapi potensi batu. Menggali pakai beliung, mencungkil pakai linggis, dan memalu pakai palu bebatuan di sepanjang pinggiran sungai.

Gali potensi bebatuan. Insya Allah penerimaan pajak tercapai. Loh kok? Apa kaitannya? Ekspedisi Trangon II (Foto koleksi Dony Abdillah)

Air bening mengalir di sungai Trangon (Foto koleksi Dony Abdillah)


Hasil pencapaian 100% lebih :melet (Foto koleksi Dony Abdillah)

Aceh memang kaya dengan jenis bebatuan. Ini bisa dikarenakan struktur pembentukan pulau Sumatera di waktu dahulu kala dan keberadaan barisan Pegunungan Leuser. Salah satunya batu Giok Beutong yang menjadi primadona batu ada di Meulaboh. Dulu pernah ada perusahaan Cina yang melakukan kegiatan pertambangan. Perizinan yang mereka dapatkan hanya sebatas izin usaha pertambangan bahan galian C. Perusahaan itu membawa batu-batu sebesar gajah keluar dari Aceh dan mengekspornya ke luar negeri.

Masyarakat tak tahu apa yang perusahaan itu gali dan dapatkan di sana. Setelah sepuluh tahun berjalan, barulah masyarakat sadar batu macam mana pula yang perusahaan Cina itu incar. Ternyata batu giok yang sangat berharga. Akhirnya pemerintah daerah terkait bersama masyarakat menutup izin dan akses pertambangan itu. Entah berapa ribu ton batu giok yang hilang dan entah berapa pajak yang seharusnya dibayar lenyap karena kecurangan ini.

Teman-teman ini tak berputus asa mengajak saya. Dan tahu betul bagaimana ‘meracuni’ orang. Mereka seperti bandar narkoba—dalam arti yang positif. Kasih satu atau dua batu secara gratis lalu kalau sudah ‘nyandu’ dan ‘sakau’ tinggal beli sendiri saja. Terbukti sukses mereka jalankan operasi itu kepada saya sebagai TO (target operasi) mereka selama ini.

Enam batu yang sudah digosok disodorkan kepada saya oleh teman jurusita Seksi Penagihan bernama Rizaldy. Ia berdasarkan surat keputusan mutasi, pindah dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan ke KPP Pratama Meulaboh. Kantor barunya dekat dengan rumahnya. Sebagai hadiah perpisahan dengan saya, Pak Rizaldy meminta saya memilih dua dari enam batu itu.

Berdasarkan advokasi dan provokasi teman-teman, saya ambil dua batu yang terbaik. Jenis batu idocrase dan pancawarna. Lalu Mas Suardjono—Kepala Seksi Ekstensifikasi—memberi saya batu Giok Beutong terbaiknya. Seminggu kemudian batu idocrase yang susah saya jelaskan warnanya ini sudah saya ikatkan dengan ikatan perak. Beberapa minggu kemudian diajak sama teman ke salah satu pengrajin batu giok di Tapaktuan. Saya pun manut. Saya beli dengan sukarela tiga buah batu dan satu liontin Giok Beutong berbentuk simbol “love”.

Bang Rahmadi Kuncoro—Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I—lalu memberi saya sebuah batu mulia aquamarine warna hijau. Lalu saya juga ikut patungan membeli batu Lumut Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Seperti diketahui daerah itu menjadi terkenal setelah Presiden Amerika Serikat Barack Obama memasang cincin berbatu lumut Sungai Dareh di jari manis tangan kanannya. Kemudian saya pun mau saja ikut ekspedisi kedua Grup Tapaktuan Stones ke sungai Trangon. Tidak lama setelah itu, saya pun membeli batu zamrud dengan ikatan cincin perak untuk saya pasang di jari manis tangan kiri saya.

Semuanya menjadi serta merta. Sekarang mata saya selalu otomatis memindai tangan orang. Entah di televisi atau foto atau bertemu langsung. Apakah dia memakai cincin atau tidak? Cincinnya dihiasi dengan batu atau tidak? Batunya dari jenis batu akik atau batu mulia? Kalau dari batu akik maka batu akik jenis apa? Kalau batu mulia apakah itu zamrud, rubi, safir atau seperti apa? Kalau ke teman sendiri, pemindaian itu dilakukan dengan meminta cincinnya dicopot dari jemarinya untuk saya lihat dengan teliti kecermelangan batu dan detil ikatannya.

Semuanya menjadi serta merta. Saya jadi tahu macam-macam jenis batu walaupun masih sedikit pengetahuannya. Jadi tahu bagaimana batu itu disebut indah atau tidak. Jadi bertambah perhatian—walau masih sedikit—kepada teman facebook yang memamerkan batu jualan mereka. Pun ke tempat lapak batu dan cincin untuk sekadar melihat-lihat menjadi antusiasme baru. Maka saya baru sadar atas sesuatu yang dulu saya pertanyakan. Mengapa setiap lapak batu kaki lima selalu dikerumuni banyak orang? Ternyata batu akik dan batu mulia itu mempunyai pasar dan penggemarnya sendiri.

Antusiasme baru itu hampir sama dengan berkunjung ke toko buku. Tetapi tidak harus sampai berjam-jam. Secukupnya saja. Karena saya sadar, saya jangan sampai kena “sawan batu”. Istilah yang menunjuk kepada kegilaan terhadap batu. Seseorang bisa dikatakan mengalami penyakit gila nomor ke sekian ini jika ia sudah tidak memakai logika sehatnya dengan membeli batu mahal tanpa kecermatan dan kehati-hatian. Tentunya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Dan yang paling penting, memakai cincin itu bisa diniatkan untuk ibadah. Bukankah memakai cincin itu sunnah Rasulullah saw? Niatkan memakai cincin sebagai bentuk kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah saw. Entah dengan ikatan perak atau besi. Entah di jari tangan kanan atau pun di jari tangan kiri. Entah batu dari negeri Habasyah atau bukan.

Bisa berpahala dengan beberapa prasyarat tentunya. Pertama, ikatannya bukan emas, karena laki-laki diharamkan memakai cincin emas. Kedua, tidak diniatkan untuk pamer-pamer. Ketiga, tidak menimbulkan kesombongan. “Nih, gue punya zamrud. Ente punya ape? Halah cuma akik ini.” Satu titik kesombongan di hati sudah membuat kita tidak bisa mencium bau surga dalam jarak lima ratus tahun perjalanan. Sedangkan satu hari di akhirat sana sama seperti seribu tahun di bumi.

Keempat, ini yang teramat penting, jangan sampai memakai cincin menjadi jalan tergadaikannya akidah kita. Cincin itu bukan sarang makhluk gaib atau apa pun namanya. Apalagi menganggap bahwa cincin itu menjadi jalan terkabulkannya semua hasil kerja dan keinginan kita atau biasa disebut sebagai cincin bertuah. Makanya saya heran ketika ditanya berapa mahar cincin itu? Mahar? Mahar apaan? Ternyata saya baru tahu sebuah batu bisa bernilai tinggi jika ada “khadam”nya. Harga tinggi bukan untuk sebentuk cincin itu melainkan sebagai mahar untuk apa yang ada di dalamnya. Tapi sungguh kita tekor bandar kalau berlaku syirik dalam memakai cincin. Apalagi cincin warisan setan. Semoga kita dilindungi dari hal yang demikian.

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al Hadid 20)

Semuanya menjadi serta merta.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13 Mei 2015

Judul dari novel jadul cerita silat zaman dahulu kala karangan Bastion Tito: Wiro Sableng.

WAJAH YANG TERASING


WAJAH YANG TERASING

 

Wajah dan penampilan saya tidak bisa dipercaya oleh Wajib Pajak sehingga sempat “disekap” di sebuah ruangan tertutup sambil ditanya macam-macam oleh karyawan Wajib Pajak. Sedangkan karyawan yang lainnya mengonfirmasi kebenaran saya sebagai PNS di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Tiga.

    Waktu itu saya masih sebagai Jurusita Pajak Negara. Kebetulan sedang tidak memakai seragam Jurusita. Sedangkan teman saya yang lain—Jurusita senior—juga sedang memarkirkan mobilnya dan sengaja membiarkan saya sendiri belajar menghadapi Wajib Pajak.

    Yang menerima telepon dari Wajib Pajak adalah Kepala KPP sendiri. Dan ia kebetulan pas lagi tidak ingat dengan nama saya. Kebetulan pula atasan saya, Pak Mubari, Kepala Seksi Penagihan, sedang berada di depannya. Pak Kepala KPP bertanya kepada Pak Mubari apakah benar ada yang namanya Riza Almanfaluthi sebagai pegawai KPP PMA Tiga. Langsung saja Pak Mubari mengiyakan.

    Selamat. Saya bisa pulang juga pada akhirnya dengan tetap meminta kepada Wajib Pajak untuk mematuhi apa yang tersurat di dalam Surat Paksa dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Kalau tidak? “Mbuh.”

    Itu bertahun lampau. Kisaran 2004-an. Sekarang 2013. Pada akhirnya saya bergaul lagi dengan masalah penagihan setelah ada penugasan baru sebagai Kepala Seksi Penagihan di KPP Pratama Tapaktuan Oktober 2013 nanti. Tempat baru, teman-teman baru, jabatan baru, semua baru. Seperti biasa saya cuma bisa menyandarkan kepada Sang Maha Pengatur Segalanya. Agar pada saatnya nanti saya diberikan kekuatan untuk menjalankan amanah ini.

    Jadi ingat pada kalimat dalam sebuah buku yang ditulis oleh Anis Matta dalam bukunya yang berjudul: “Setiap Saat Bersama Allah”.

    Sering, tentu, kita bepergian dan bertemu dengan daerah baru atau orang baru. Lalu kita merasa terasing. Karena Rasulullah saw ingin agar kita kuat, maka beliau mengajarkan doa ini kepada kita: A’udzu bikalimatillaahitaammah min syarri maa kholaq. Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang Mahasempurna ini dari segala kejahatan yang ada (yang diciptakan-Nya). Hadits riwayat Muslim.

    Sekarang kudu belajar undang-undang penagihan pajak lagi. Belajar prosedur penagihannya, pemblokiran, penyitaan, ilmu komunikasi, ilmu negosiasi, dan banyak lagi lainnya. Untuk bisa dipelajari dari Direktorat Keberatan dan Banding (tempat kerja yang akan saya tinggalkan ini) dapat juga kiranya dibawa putusan-putusan Pengadilan Pajak tentang gugatan Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak karena adanya kesalahan prosedur penagihan.

Ohya tidak akan lupa baca-baca buku yang satu ini: Berbagi Kisah & Harapan: Untaian Kisah Perjuangan Penagihan Pajak. Buku yang kebetulan saya menjadi anggota tim redaksinya.

    Buku ini merupakan kumpulan 43 tulisan yang ditulis oleh para pegawai pajak dari seluruh pelosok tanah air yang sehari-harinya bergerak dan bergaul di dunia penagihan pajak. Buku ini bercerita tentang pengalaman-pengalaman mereka dalam melakukan penagihan pajak dan menghadapi banyak tipe orang yang susah ditagih utang pajaknya.

    Beberapa hari yang lalu saya sempat menanyakan tentang penyebaran bukunya kepada teman yang kebetulan tahu betul. Ternyata baru beberapa KPP yang kebagian dan dicetak sedikit karena terkendala dana. Padahal itu buku bagus buat “sharing” pengalaman ke sesama petugas di Seksi Penagihan. Semoga tak lama lagi buku ini bisa tersebar ke seluruh pegawai pajak di tanah air.

    Saya akan bawa buku ini ke Tapaktuan untuk bisa dibaca buat teman-teman Seksi Penagihan di sana. Saya juga akan belajar banyak kepada mereka: Mas Rachmad Fibrian (pelaksana di Seksi Penagihan KPP Pratama Tapaktuan), Mas Rizaldy, dan Mas Fahrul Hady (Jurusita). Semoga mereka bisa menerima saya sebagai muridnya.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Hitung mundur menuju Tapaktuan.

17:40 28 September 2013