Ini video lucu abis. Bikin ane ngakak di kereta sepulang dari ikutan workshop di Aston Bogor yang punya view menarik. Wajib ditonton. 🙂
RESEARCH IN [MOSES] MOTION
RESEARCH IN MOSES MOTION
Semalam saya bangun. Tepatnya menjelang tengah malam. Tidak tidur hingga dua jam ke depannya. Mengambil komputer. Menuju ke ruang tengah. Menyalakannya dan membiarkan layar putih kosong di depan saya hingga setengah jam lamanya.
Saya ditemani seekor kecoa yang satu kaki belakangnya lemah tak berdaya. Terseret-seret tubuhnya yang tetap mengilap walau tak pernah mandi seumur hidupnya. Sudah beberapa kali dia lagi-lagi memutar di depan saya–menyusuri tembok. Dia tak pernah mau jauh-jauh dari dinding. Mengapa? Jika ia terjungkal dan jatuh terlentang ia masih dengan mudahnya menggapai dinding itu untuk kembali tegak.
Terdengar suara berisik dari arah dapur. Ternyata si belang yang tak tahu diri sedang menjilati remah-remah makanan di atas piring kotor. Sebenarnya tidak ada celah buat dia masuk ke rumah ini. Kecuali satu hal: jendela di kamar atas terbuka. Ya, betul sekali. Dari sana ia masuk.
Saya pernah berbicara baik-baik dengannya untuk tidak masuk ke rumah ini. Kalau mau makanan lezat silakan untuk mempersiapkan kupingnya yang berpendengaran tajam itu bila ada panggilan dari saya. Bolehlah ia masuk. Eh, dasar kucing. Sudah dibilang baik-baik, dengan atau tanpa panggilan, ia tetap masuk. Ndableg… Ini karena ia—seumur hidupnya—tidak pernah makan bangku sekolahan. Kasihan.
Dan malam itu saya cuma bisa menulis beberapa paragraf seperti ini:
Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan anaknya menunggangi keledai seorang diri? Apa pula yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya seorang diri menunggangi hewan itu? Apa kemudian yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya dan anaknya menjadi dua beban berat di punggung hewan yang dikenal bodoh itu?
Tak bermuara sampai di situ. Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan hewan yang diciptakan di dunia sebagai tumpangan manusia itu dibiarkan sempurna melangkah dengan tegak tanpa beban berat di atasnya? Dan apa yang diterima oleh sang ayah yang bersama dengan anaknya menggotong keledai sehat wal afiat itu di punggung-punggung mereka bergantian?
Komentar tiada henti yang berujung dengan celaan. Ya, itulah nasib yang diterima mereka. Seperti nasib yang diterima oleh banyak orang yang berusaha untuk mewujudkan sesuatu yang berguna untuk orang lain, minimal untuk diri mereka sendiri.
Semula penduduk dusun itu tak pernah membayangkan mereka mendapatkan kelimpahan air setelah apa yang dilakukan oleh salah satu lelaki dari mereka. Sebelumnya mereka harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Lelaki itu dengan penuh ketekunan membuat lubang yang menembus dua bukit hanya untuk mengalirkan air dari mata air ke dusun. Sedikit demi sedikit usaha besar itu dikerjakan dengan diiringi rasa skeptis yang melanda para tetangganya. Cemoohan sudah barang tentu menjadi laku keseharian yang diterima. Setelah bertahun-tahun upaya itu dijalankan, setelah mereka melihat air yang begitu berharga membasahi persawahan mereka maka barulah penduduk dusun mengakui kerja lelaki itu. Syukurnya tidak ada azab yang menimpa mereka para pencemooh itu. Kebahagiaan menjadi milik mereka bersama.
Ini berbeda dengan para pengolok yang mengejek apa yang dilakukan Nuh di saat ia membuat sebuah perahu besar di tengah gurun. Laut jauh darinya. Maka silangan di dahi kepada Nuh menjadi sebuah tingkah dari para lawan ideologinya, pun dengan anaknya yang menjadi bagian mereka. Tak dinyana itulah akhir dari mereka. Bah raksasa menggilas semuanya. Menyisakan perahu yang membawa Nuh dan pengikutnya dari kalangan manusia dan faunanya.
Sejatinya ejekan itu hanyalah perantara turunnya ikab. Ada yang lebih dahsyat lagi: ketika syahwat menduakan Tuhan merajalela. Ini sekadar model dari berlabuhnya sebuah azab. Tanpa ada peringatan.
Namun Tuhan masih pemurah kepada bangsa Yahudi yang sering berbuat kerusakan di muka bumi walau banyak perintah-perintah-Nya didera pengkhianatan. Agar mereka taat dan ingat dengan perjanjian yang mereka buat, maka Tuhan mengangkat Bukit Thursina di atas kepala mereka. Benar-benar di atas kepala yang membuat mereka bergidik tentunya. Taati atau azab ini menimpa. Pun dengan itu, mereka tetap dengan karakter aslinya sebagai pembangkang tulen.
Berpuluh abad kemudian, karakter—mencela, mengejek, membangkang, tak bersyukur—itu seringkali mengemuka. Hatta di tengah banyak musibah yang menimpa bangsa ini. Di suatu saat ketika petinggi negeri ini berkutat menekan perusahaan asing untuk memenuhi keinginan pembagian yang lebih berpihak kepada lokal yang salah satunya adalah dengan memblokir segala konten yang berbau porno, maka bau-bau yahudi itu menjelma dengan salah satu kicauan ejekan seperti ini: “baru aja mencoba akses situs porno via laptop dgn jalur Telkom, lancar abiss!!!! Klo #RIM dtutup diskriminasi tu nmnya.”
*
Malam semakin larut. Komputer sudah saya tutup. Sejenak saya merenung. Dunia sudah renta. Hukuman Tuhan saat ini buat umat Muhammad masih belumlah seberapa dengan yang diterima Bani Israil pada saat itu sebagai bentuk pertaubatan dari penyembahan sapi atas perintah Samiri. “Sebagian dari kalian membunuhi sebagian yang lain.” Hingga Ia memerintahkan Musa untuk menghentikan penebusan dosa mereka itu saat statistik menunjukan angka tujuh puluh ribu jiwa.
Saya bergidik. Dan kecoa di depan saya itu masih terkapar, melonjak-lonjak untuk bangkit.
***
Riza Almanfaluthi
penulis dan blogger
dedaunan di ranting cemara
09.11 12 Januari 2011
FPI, ULIL, DANÂ MEREKA
FPI, ULIL, DAN MEREKA
Front Pembela Islam (FPI) teriak-teriak demo menuntut penutupan tempat maksiat tetapi belum tentu tempat maksiat itu segera ditutup. Tapi orang sekelas gubernur DKI Jakarta seperti Sutiyoso dengan hanya bermodal torehan tinta hitam di atas surat keputusannya, tempat maksiat sebesar apapun, sementereng apapun, dengan bekingan siapapun bisa ditutup dalam waktu semalam.
    Tanpa meremehkan apa yang telah dilakukan FPI dalam pemberantasan kemaksiatan di tanah air, fakta bahwa kekuasaan merupakan sarana paling efektif untuk merubah sesuatu adalah hal yang sulit terbantahkan. Maka banyak orang sangat ingin berkuasa, entah untuk merubah sesuatu ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.
    Ini yang dilakukan oleh salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdilla, setelah kalah dalam ajang perebutan kepemimpinan di Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu yang lalu. Ulil sepertinya nyaman diajak bergabung ke partai penguasa, Partai Demokrat pimpinan Anas Urbaningrum. Dan yang pasti Ulil tahu betul kalau dekat-dekat dengan partai penguasa ia akan memperoleh keuntungan. Minimal untuk menyebarkan ide-ide pluralismenya secara lebih luas.
    Terbukti, pada saat ada momen pengusiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ribka dan Rieke, dalam sebuah pertemuan di Banyuwangi yang dilakukan oleh ormas Islam salah satunya FPI, maka Ulil langsung berteriak kencang dan melakukan penggalangan opini untuk membubarkan musuh ideologi lamanya itu. Menurut dia, FPI adalah ormas yang sering melakukan kekerasan secara sistematis dalam setiap kegiatannya. Sehingga pewacanaan pembubaran FPI harus terus menerus digaungkan.
    Kini Ulil sudah punya tempat strategis agar suaranya bisa didengar lebih kencang lagi. Dulu mungkin hanya kalangan tertentu saja—baik kawan atau lawan—yang tahu begitu rupa tentang Ulil dan pemikirannya. Dengan bergabungnya dia dengan lingkaran kekuasaan dia dapat bebas dan mudah untuk semakin menggalang kekuatan melalui jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kiri dan liberalnya. Yang berarti pula Ulil semakin dekat dengan media yang akan sering menjadikannya narasumber. Ini semakin tidak mudah buat para pegiat Islam yang sering bertarung pemikiran dengannya.
    Maka bagi para muslim yang biasa bergerak dalam dunia pergerakan Islam, selayaknya untuk merapatkan barisan, konsisten dalam mewujudkan visi dan misinya, tak perlu berselisih dan saling melontarkan kecaman serta menuduh pergerakan Islam lainnya telah keluar dari garis perjuangan.
Tak perlu alergi dengan kekuasaan. Karena bila kekuasaan berada di tangan orang-orang yang sholeh tentunya kekuasaan itu diarahkan kepada perbaikan. Maka memperbanyak orang-orang sholeh dalam dan dekat dengan pusat kekuasaan menjadi sebuah kemestian.
Mereka yang telah berada dalam sistem kekuasaan itu diharapkan semakin bekerja lebih keras lagi dalam membumikan nilai-nilai Islam pada setiap kebijakan yang akan diambil, menunjukkan kebersihan dan kepeduliannya pada mustad’afin (orang-orang lemah). Mereka yang berada di luar sistem tentunya harus lebih dapat memberikan pencerahan kepada umat, membangun jaringan, mengalirkan semangat persatuan para qiyadah (pemimpin) setiap pergerakan kepada akar rumput dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya.
Maka jika itu benar terwujud, tak perlu khawatir FPI akan dibubarkan dan terserah Ulil mau ngomong apa.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
di tengah Paraguay kesulitan menjebol gawang Jepang
11.07 29 Juni 2010
THAGHUT ITU KECIL!!!
THAGHUT ITU KECIL!!!
Sebenarnya kisah ini sudah pernah saya baca, dulu, dulu sekali. Kisah tentang detik-detik menjelang digantungnya Sayyid Quthb. Dan pagi ini saya menemukannya kembali artikel tersebut saat saya sedang berselancar di dunia maya. Kali ini kesan yang saya tangkap begitu berbeda. Ada bening-bening kaca di mata saat membacanya lagi. Apatah lagi saat membaca apa yang diucapkan oleh Sayyid Quthb ketika ia menolak penawaran pengampunan dari rezim Mesir yang berkuasa saat itu.
Berikut saya kutip sebagian kisah itu.
Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar mendengarnya.
Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.
Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.
Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…” (Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari membawa pesan dari rejim thowaghit Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser, maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”.
Sayyid Qutb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa Beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.
Perwira itu berkata, dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…” Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang, “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!” *)
***
Ada yang selalu saya ingat dari sosok ayah saya saat bercerita tentang orang-orang besar. Ia selalu hafal kalimat-kalimat terkenal yang pernah diucapkan dari para tokoh itu, entah nasional atau dunia, dan ia mengucapkannya secara atraktif di hadapan kami para anak-anaknya sewaktu masih kecil. Itu amat mengesankan bagi saya. Yang sering ia ulang-ulang adalah ucapannya presiden pertama RI, IR. Soekarno. Sampai sekarang pun saya masih ingat walaupun tidak hafal perkataan tersebut. Yaitu tentang bagaimana nenek moyang kita yang berusaha mengusir penjajah Belanda dari tanah air Indonesia dengan mengucurkan keringat dan darah mereka.
Kali ini pun kiranya aku bergerak untuk mencontoh ayah saya. Ada kalimat yang amat mengharukan dan menggugah saya sehingga hampir-hampir saja saya menangis di depan komputer. “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”
Sungguh inilah natijah (buah) dari syahadatain, yang menolak setiap thoghut yang ingin menjadi setara dengan Pencipta dirinya. Inilah realisasi dari keimanan yang amat kuat hingga mampu merasakan dan mengatakan bahwa kehidupan dunia tidaklah sebanding dengan kehidupan akhirat yang abadi.
Bila saya ada dalam posisinya, bisa jadi saya akan mengiyakannya, mengaku bersalah, meminta maaf, serta langsung menandatangani surat itu sebelum sang pembawa surat selesai mengucapkan kalimatnya. Tentunya dengan alasan karena saya belum menikmati seluruh kehidupan dunia ini. Na’udzubillah.
Sungguh mudah mengucapkan dan mengajarkan materi-materi tarbiyah tentang Syahadatain dan Ma’rifatullah, tapi teramat berat dalam merealisasikannya karena di sana ada musuh abadi yang senantiasa mengintai dan menghalangi-halangi, setan dan hawa nafsu.
Bagi saya Syaikh Asysyahid Sayyid Quthb adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mampu merealisasikan nilai-nilai tarbiyah islamiyah dalam sebenar-benarnya kehidupannya. Maka dari akhir orang yang seperti itu mengapa masih banyak orang menghinakannya sedang ia terbukti mampu untuk menjual kehidupan dunianya dengan kehidupan akhiratnya sedang orang-orang yang berbicara sinis tentangnya belumlah teruji dengan pahit manisnya jihad fi sabilillah melawan thagut.
Sungguh ia akan dikenang dengan pemikirannya dan semangat jihadnya yang tak pernah mati. Bahkan orang sekelas Gamal Abdul–Nasser, Yusuf Kalla dan Hendropriyono pun tak akan mampu mematikannya. Ia mati tapi sesungguhnya ia tetaplah hidup.
Sungguh tidak ada jihad sebelum iman.
Allah Maha Besar! Thaghut itu kecil!
***
*) Kutipan kisah diambil dari sebuah situs internet.
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:47 30 Juli 2009
setelah sekian lama tidak menulis