JANGAN SEBATAS NIAT


JANGAN SEBATAS NIAT

Hari-hari ini saya sering ditanya oleh teman-teman dengan pertanyaan seperti ini: “Kapan berangkat? Daftarnya kapan? Sejak kapan nabung? Saya jawab semuanya. Namun kali ini saya ingin menjawab sedikit tentang dua pertanyaan terakhir itu. Tentunya dengan sebuah cerita.

Semua itu berawal sejak masuk kampus STAN tahun 1994. Sejak mengenal apa itu Islam yang tak sekadar sholat dan puasa saja. Semangat berislam tumbuh dengan penuh gelora. Yang pada suatu titik timbul adanya sebuah keinginan untuk bisa pergi haji. Tak cuma sebatas keinginan tapi sebuah kerinduan. Ya benar-benar rindu. Hingga kalau ada berita-berita tentang perjalanan haji di tv selalu saya tonton dengan semangat.

Bahkan hari Jumat selalu saya tunggu karena pada hari itu—di bulan-bulan menjelang dzulhijjah atau setelahnya—koran Republika, koran langganan di kosan, selalu ada lembaran khusus liputan haji. Foto-foto bangunan hitam dan masjidil haram selalu saya pandang lekat-lekat. Membuat saya tak sanggup untuk menahan air mata. Terburu-buru masuk kamar dan menguncinya, bersandar di pintu, jatuh terduduk sambil nangis habis-habisan. Saat itu saya benar-benar mohon pada Allah agar saya termasuk dari bagian orang-orang yang dipanggil untuk menjadi tamu-Nya. Tapi kapan? Duit dari mana? Pertanyaan yang saya sendiri tak tahu jawabannya.

Setelah itu, bertahun-tahun saya tetap terharu kalau ada liputan haji atau cerita dari saudara dan teman yang sudah pernah ke sana. Tetap dengan sebuah harap dan pertanyaan sama yang menggelayut setelahnya walau saya sudah kerja di kantor pajak. Ya, saya bahkan tak berani bermimpi untuk bisa punya mobil atau pergi haji.

Tapi Allah punya rencana lain. Modernisasi berefek adanya remunerasi. Tahun 2004 kantor saya mulai berubah mengikuti reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan. Saya mulai berani bermimpi apa saja. Punya ini punya itu. Dan terpenting adalah bisa naik haji.

Akhirnya tibalah Oktober 2006. Saat itu bulan-bulan menjelang lebaran. Bukannya uang tabungan yang ada di bank diambil untuk bekal pulang kampung tapi kami tekadkan diri uang itu untuk membuka tabungan haji. Karena saya yakin betul menabung adalah realisasi yang paling riil dari sebuah niat. Jadi tak sekadar berhenti di niat saja. Dan saya yakin betul kalau sudah menabung Allah akan memudahkan realisasi cita-cita pergi haji ini. Seringkali saya bertanya kepada orang yang berniat haji dengan pertanyaan ini, “sudah buka tabungan haji?” Ini lagi-lagi untuk memastikan bahwa jangan sekadar niat.

Ada cerita pula kalau ada orang yang memulai menabung haji dengan satu uang logaman seratus rupiah dan berhasil naik haji. Dengan demikian jangan pernah meremehkan sedikitnya uang yang ditabungan karena pergi haji itu bukan sekadar ada uang atau tidak ada uang. Namun semata-mata karena Allah telah berkehendak pada orang yang dikehendaki-Nya. Begitu banyak orang kaya namun tidak tergerak hatinya untuk pergi haji. Dan betapa banyak orang yang tidak mampu secara finansial tetapi tiba-tiba berangkat karena mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka.

Karenanya setiap bulan kami paksakan untuk menabung. Walau terkadang juga ada bulan yang bolong tidak menabung karena uangnya digunakan untuk keperluan yang lain. Sampai suatu ketika di bulan November 2009 kami mantapkan untuk melunasi dana setoran awal pergi haji yang waktu itu masih sebesar Rp20 juta per jamaah. Setelah menyetor dan mendaftarkan diri baru ketahuan kalau kami akan diberangkatkan di tahun 2011. Alhamdulillah tak perlu lama. Waktu dua tahun yang ada digunakan menabung lagi untuk melunasi dana biaya haji.

Tak sekadar niat dan menabung, saya dawamkan doa ini setiap habis sholat: “Allaahummaj’alna hajjan mabrura.” Ya Allah jadikan kami haji yang mabrur. Karena saya mendengar dari seorang ustadz ada yang membiasakan diri berdoa dengan doa itu dan dalam setahun doanya terkabul. Sedang saya Insya Allah dalam dua tahun. Amin.

Dengan rentang waktu hidup yang saya jalani selama ini maka kalau dikronologiskan seperti ini:
Lahir- 1994 : Hanya tahu haji sebatas bagian dari Rukun Islam.
Tahun 1994 : Mulai ada keinginan yang luar biasa. Cinta dan rindu mulai timbul.
Tahun 2006 : Mulai menabung (tepatnya Oktober 2006).
Tahun 2009 : Melunasi biaya awal dan mendaftarkan diri untuk dapat nomor porsi (tepatnya November 2009).
Tahun 2011 : Dijadwalkan berangkat Oktober 2011. Insya Allah.

Saya berdoa semoga para pembaca juga dapat dipanggil Allah menuju tanah suci Makkah Almukarromah dan Madinah Almunawarah. Nikmati pengalaman spiritual terhebat di sana. Dan semoga menjadi haji yang mabrur.

**

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11.45 – 14 Oktober 2011

DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT


DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

(Dimuat di Situs Kitsda)

Apresiasi perlu disematkan kepada semua pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang naskahnya terpilih dalam buku Berkah, Berbagi Kisah & Harapan, Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Karena tak semua mampu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam kepala dan menuangkannya dalam bentuk tulisan tentang apa yang setidaknya menjadi cita-cita bersama kita semua yakni menjadi pegawai DJP yang mempunyai integritas, profesionalitas, inovasi, dan mampu bekerja sama.

Pertanyaannya adalah apakah cukup sampai di situ? Seharusnya para penulis buku itu akan mampu berteriak tidak dengan lantang. Ya, karena capaian itu adalah baru capaian yang seharusnya disikapi dengan biasa saja. Tak perlu euforia karena terbuai dengan ucapan selamat bertubi-tubi.

Sejatinya dua hal yang akan menumpulkan pena dan mematikan sebuah kreativitas dalam kepenulisan adalah mabuk pujian dan cepat berpuas diri. Selayaknya pujian adalah obat atau multivitamin yang apabila diminum secara overdosis bukannya menyembuhkan tapi sebaliknya, bahkan ia akan menjadi racun.

Terjebak dalam pujian hanya akan membuat punggung terbungkuk-bungkuk ke tanah karena beban yang berat agar bisa menulis sebuah tulisan yang minimal sama dengan yang sudah diberikan penghargaan tersebut. Padahal tak selamanya penulis mampu dalam keadaan prima serta menghasilkan sebuah karya yang bagus. Pada akhirnya, karena terbebani ia tidak menulis dengan hati tapi menulis sesuai apa kata orang. Sejak saat itu matilah sebuah kreativitas.

Lalu bagaimana dengan berpuas diri? Sama saja. Kalau itu yang dilakukan cukuplah kita menjadi kutu anjing yang seharusnya dalam keadaan normal mampu untuk meloncat setinggi 2 meter tapi karena ia dimasukkan ke dalam kotak korek api selama dua pekan maka ia cuma akan bisa meloncat setinggi kotak korek api saja. Sungguh akan ada potensi luar biasa yang tercerabut dan lenyap. Mengerikan.

Maka momen Berkah bukan momen narsis sambil mematut-matut diri di cermin. Tapi titik awal agar mampu menulis lebih baik lagi, kontinyu, dan mencerahkan. Bagaimana caranya? Tiada hari tanpa pengamatan, mencerna dan menuliskannya dengan menggunakan otak kanan—otak yang menyukai kebebasan dan tidak suka yang berbau urut dan tata tertib—dan biarkan ia mengalir apa adanya, lalu menyuntingnya dengan menggunakan otak kiri. Selanjutnya terserah kita.

Publikasi pun menjadi titik penting lainnya. Karena siapa yang akan tercerahkan kalau apa yang Anda tulis tidak diketahui dan bukan untuk siapa-siapa? Koran, majalah, blog, forum diskusi internet, facebook bisa jadi tempat yang tepat untuk itu. Bahkan situs Kepegawaian DJP selayaknya pula menyediakan tautan terbuka untuk menyalurkan kreatifitas kepenulisan ini.

Berhenti? Lagi-lagi tidak! Selesai suatu urusan maka kerjalanlah urusan yang lain. Menulislah lagi. Jangan berhenti. Setelah itu tawadhu’lah, berrendahhatilah, karena di luar masih banyak penulis-penulis yang lebih hebat dan lebih jago. Pun, ada kredo nan elok dan tak akan pernah mati: di atas langit masih ada langit.

Ayuk, tetap Semangat menulis.

***

sekadar curahan hati malam mingguan

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13:12 11 November 2009