ELEGI 1: PADA PANDANGAN PERTAMA


ELEGI  1: PADA PANDANGAN PERTAMA

Pertanyaan dari seorang sahabat ketika bertamu itu membuat saya berpikir keras, “apa yang paling berkesan selama di tanah suci yang bisa dijadikan pelajaran buat kami?” Pertanyaan ini terus terang menyentak dan membuat saya terdiam. Menjawabnya pun jadi lama, karena saya harus berpikir dulu. Ada beberapa kemungkinan, ini dikarenakan memang tidak ada yang luar biasa di sana atau semuanya luar biasa sehingga sulit menemukan yang paling luar biasa.

Pertanyaan ini pun sejenis dengan pertanyaan seperti ini, “apa yang paling membuat kamu emosional di sana?” Seringkali saya mendengar banyak cerita dari orang, keluarga, dan teman saat pertama kali melihat Kakbah. Tidak ada yang tidak menangis. Tidak ada yang tidak emosional. Tidak ada yang tidak terharu.

Tapi sungguh saya tidak emosional melihat bangunan hitam itu pertama kali dengan nyata di depan mata. Tak ada air mata yang jatuh. Dan saya tidak bisa berpura-pura untuk menangis sesenggukan karena jama’ah yang lain dalam satu rombongan sudah pada menangis.  Saya sampai berkata dalam hati, “hatiku telah mati ya Allah?”

Memasuki Masjidil Haram pertama kali dengan do’a (25/10) melalui pintu Raja Malik ‘Abdul ‘Aziz, masih dengan dua lembar pakaian ihram, rambut masih gondrong, melihat Kakbah pertama kali, lalu menuju sudut Hajar Aswad untuk memulai thawaf umrah sebagai rangkaian pertama dari haji Tamattu’. Di belakang saya ada istri dan sepasang kakek nenek yang mengikuti kami karena terpisah dari rombongan.

“Bismillahi Allahu Akbar…!” seru saya serasa mengangkat tangan kanan memulai thawaf. Saya membaca semua doa dan dzikir yang saya hafal. Dan tentu do’a Robbana Atina ketika melewati Rukun Yamani sampai Rukun Hajar aswad. Bukankah begitu sunnahnya? Bagaimana dengan sunnah Raml? Berlari-lari kecil tiga  putaran pertama thawaf? Tidak bisa dilakukan karena terlalu padatnya pelataran utama Masjidil Haram.

“Banyak dosa membuat hati saya mati,” lagi-lagi saya berpikir demikian. Memikirkan banyaknya dosa, aib, maksiat, tidak diampuninya semua itu, dan tidak diterimanya amal-amal saya malah membuat saya luruh. Dan pada putaran kedua itulah tak ada yang bisa ditahan oleh mata. Semuanya keluar. Deras. Dan pada saat itulah saya tahu antara titik harap dan takut pada-Nya.

*Suasana Thawaf pada tanggal 26 Oktober 2011, saat pertama kali kami datang.

 

Itu yang paling emosional? Tidak. Kalau saya bisa urutkan adalah pada saat wukuf di Arafah, pada saat thawaf wada, dan pada saat ziarah yang terakhir kali di makam nabi saw.

Seperti diketahui bersama kalau Islam telah memerintahkan kepada yang mampu untuk berhaji dan haji adalah wukuf di Arafah. Kami berwukuf di dalam tenda yang telah dipersiapkan. Sudah suci dari hadas kecil dan besar sejak jam 11 karena sebentar lagi pelaksanaan khutbah wukuf dan shalat jama  takdim dhuhur dan asar.

*Suasana pagi tanggal 9 Dzulhijjah 1432 di Arafah.

Mental sudah saya siapkan untuk waktu wajib wukuf itu yaitu sejak tergelincirnya matahari sampai matahari tenggelam. Pun karena waktu wukuf adalah salah satu hari yang terbaik di dunia. Yaitu hari di mana Allah paling banyak membebaskan hamba dari neraka. Saat di mana Allah mendekat. Pun tertawa.. Saat Ia membanggakan kepada para malaikat orang-orang yang bermunajat pada-Nya di hari itu serta berfirman, “apa yang mereka kehendaki.” Piye jal?

*Jama’ah haji dari negara lain yang berdo’a di luar pagar tenda pada waktu ashar.

Apalagi terasa sekali bagi saya kalau waktu itu seakan-akan waktu yang paling mahal yang pernah dirasa. Waktu yang mungkin hanya dijumpai sekali dalam seumur hidup saja adanya. Waktu yang terasa pendek untuk do’a, talbiyah, Istighfar, tahlil, dan shalawat.

Seperti yang sudah pernah saya katakan sebelumnya kalau waktu wukuf itu pun bagi saya seakan-akan waktu terakhir di mana besok akan dihukum mati. Ibaratnya seperti kedatangan malaikat maut yang bilang: “Za, besok pagi kamu mati!” Maka detik itu langsung tobat, langsung minta ampun, berdo’a yang macam-macam untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Teks khutbah wukuf yang dibacakan oleh Ketua Kloter 65 bagi saya terasa indah, seperti pukulan untuk menyadarkan sanubari bahwa masih adanya banyak kesalahan pada diri, serta menghanyutkan dengan do’a-do’a muhasabah panjangnya.

*Suasana sore di Arafah.

Apalagi menjelang maghrib, saya benar-benar harus meyakinkan diri bahwa tidak ada yang tertinggal dari do’a-do’a itu. Do’a untuk diri, istri, anak-anak, keluarga, teman-teman, tanah air, dan kejayaan umat Islam. Semoga tetesan air mata itu menjadi saksi buat kami.

***

Bersambung ke Elegi 2

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

masih mencari

10:02 19 Desember 2011

Tags: menara abraj al bait, abraj al bait tower, bin dawood super soter, makkah, arafah, wukuf, masjid nabawi, masjidil haram, madinah, muhammad, Abu Bakar Ashshidiq, Umar bin Khaththab, raudhah, askar

 

 

Tak Kutinggalkan Foto Kita Berdua di Jabal Rahmah


Tak Kutinggalkan Foto Kita Berdua di Jabal Rahmah

Di tanah suci macam-macam saja kebiasaan jama’ah haji Indonesia ini. Salah satunya kebiasaan bersandar di tembok atau tiang masjid di tanah air yang ternyata terbawa sampai ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

    Di Masjid Nabawi tampak mencolok wajah melayu, bertubuh kecil, memakai baju batik yang berleha-leha di tiang-tiang masjid sambil menunggu waktu shalat. Ini masih mending karena jama’ah Masjid Nabawi tidaklah sebanyak Masjidil Haram. Kalau di Masjidil Haram kebiasaan itu akan merugikan jama’ah haji sendiri. Mengapa?

Harga shaf di Masjidil Haram sangatlah mahal. Paha yang dilipat bersila menandakan masih adanya tempat yang leluasa untuk bisa diselipi oleh orang lain. Dan itu dimanfaatkan betul oeh jamaah dari negara lain yang tanpa basa-basi meminta kita untuk bergeser walaupun sudah tahu bahwa shaf sudah penuh.

Nah, jamaah haji kita kalau dekat tiang seharusnya duduk merapat tiang agar tidak bisa digeser oleh orang, tetapi karena kebiasaan bersandar itu jadi menyebabkan terlihat mencolok space yang kosong. Mau tidak mau seharusnya dia yang dapat tempat yang nyaman untuk duduk malah disingkirkan oleh jama’ah haji yang melihat adanya ruang yang kosong itu. Karena orang Indonesia orangnya santun, tak enakan, dan ngalahan maka ia pun terpaksa duduk dengan melipat kaki ke dada.

Ada lagi yang lain. Saya pernah menjumpai ibu-ibu jamaah haji Indonesia yang mendekati petugas kebersihan Masjidil Haram dan memohon-mohon dengan sangat sambil mengangkat jari telunjuk menandakan angka satu dan menunjuk-nunjuk kain pel. Artinya ibu-ibu itu meminta kepada Petugas Kebersihan satu helai kain pel. Untuk apa sih? Saya juga tidak tahu. Mungkin buat bahan cerita di tanah air, “nih kain pel asli dari Makkah buat membersihkan Masjidil haram. Asli.” Klenik? Tidak tahu juga. Hanya Allah yang tahu.

Orang Indonesia saja yang demikian? Tidaklah. Jama’ah haji Pakistan seringkali menggerak-gerakkan jari-jari mereka seperti menulis ketika habis shalat di lantai Masjidil Haram. Entah apa yang ditulis. Mungkin nama mereka agar bisa datang lagi ke Mekkah. Apalagi waktu di Jabal Rahmah, Padang Arafah. Suatu tempat pertemuan Nabi Adam dengan Siti Hawa. Kalau jamaah haji yang lain pakai spidol, mereka tidak. Cukup dengan menggunakan jari tangan mereka.

*Jurus Tulisan Tanpa Bayangan?

Selain itu di Jabal Rahmah ini banyak sekali foto-foto yang bertebaran. Foto sendiri atau foto berdua. Katanya kalau meninggalkan foto di sini atau menulis di batu-batunya bisa dipanggil lagi untuk berkunjung ke tempat itu atau jodohnya awet.

  • Salah satu foto yang saya temukan. Ada nama di balik foto itu.

  • Lembaran foto lainnya. Ada nama mereka berdua di balik foto itu.

Karena melihat kebiasaan itu, maka seringkali para askar atau penjaga yang bertugas di Jabal Rahmah menegur dan melarang mereka untuk melakukan hal tersebut. Karena tidak pernah ada syari’atnya untuk itu. Syukurnya kami pun tidak melakukan itu. Berdoa di sana pun tidak.

Di sekitar tugu yang berada di puncak Jabal Rahmah tampak terlihat dijaga ketat sekali oleh para askar. Para askar yang berbaju gamis, berjenggot panjang, dan bersurban itu senantiasa berteriak serta menasehati para peziarah untuk tidak menyentuh tugu dan berdoa menghadap tugu persis, tetapi diminta oleh mereka untuk menghadap kiblat. Kalau tidak dijaga, maka tugu Jabal rahmah rawan jadi tempat shalat, thawaf, dan dicoret-coret.

Kalau yang berziarahnya itu terlihat bermuka melayu maka yang dihadapkan adalah askar dari Malaysia. Kalau orang Afrika maka askar yang ditugaskan adalah askar yang berkulit hitam dan mampu berbahasa orang Afrika. Jadi para askar yang bertugas di sana dari berbagai macam bangsa pula.

*Tampak para askar sedang menjaga tugu di puncak Jabal Rahmah

Ada lagi yang menarik. Seringkali kita melihat kalau di sekeliling tembok Kakbah itu banyak sekali orang yang menyapu kopiah, peci, surban, sajadah, baju mereka ke tembok Kakbah. Awalnya saya menduga, semua barang itu nanti akan jadi barang kenang-kenangan dan tidak akan pernah dicuci karena bekas kena batu dinding Kakbah. Mungkin bagi sebagian orang iya. Kemudian saya berbaik sangka kalau mereka itu sebenarnya memang hanya ingin mengetahui wangi Kakbah itu seperti apa.

Karena ternyata, sebelum shalat jama’ah dimulai, dinding Kakbah yang steril dari manusia karena dijaga ketat para polisi itu, selalu diberi minyak wangi oleh petugas khusus. Begitu pula dengan hajar aswadnya. Nah itu yang diperebutkan oleh seluruh jama’ah di dekat Kakbah ketika imam selesai salam bahkan sebelum imam selesai mengucapkan salam pertamanya. Saat pertama itulah kopiah, peci, surban, sajadah, baju menyapu bersih wangi parfum Kakbah.

Jadi siapa bilang kalau hajar aswad itu selalu wangi. Wanginya itu wangi sebelum dicium oleh puluhan ribu orang. Baru tercium wangi kalau Anda jadi yang pertama mencium hajar aswad. Tentu itu butuh pengorbanan yang luar biasa. Mau?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

selalu berdoa untuk pertemuan itu

22.41 15 Desember 2011

Tags: hajar aswad, jabal rahmah, jurus tulisan tanpa bayangan, jurus, Kakbah, masjidil haram, masjid nabawi, mekkah, makkah, mecca, macca, medinah, madinah, kota nabi

SELALU ADA SENJA DI LAUT MERAH


SELALU ADA SENJA DI LAUT MERAH

    Ada waktu senggang yang kami manfaatkan setelah ritual wajib haji telah tertunaikan yaitu rihlah ke berbagai tempat di Makkah dan sekitarnya. Yang akan sedikit saya ceritakan kali ini adalah Masjid Terapung di Jeddah. Sebenarnya bukan terapung begitu saja, tetapi masjid ini didirikan dengan tiang pancang pondasinya yang tertancap persis di pinggir Laut Merah. Sehingga ketika Laut Merah sedang pasang airnya maka masjid ini dikelilingi air dan seakan-akan mengapung di atas air laut.

    Kami berangkat dari pondokan di Makkah jam dua siang melalui jalan lama Mekkah Jeddah. Karena katanya kalau melalui jalan baru nanti akan melewati pos pemeriksaan dan urusan akan ribet. Jarak Mekkah Jeddah melalui jalan lama sekitar 85-an kilometer.

Dalam perjalanan kami mampir dulu ke peternakan unta. Foto-foto bersama unta dan seumur hidup baru kali itu bisa mencium unta yang baunya “prengus” karena sejak lahirnya ia tak pernah mandi. Lalu beli satu botol susu unta murni yang nantinya akan saya sesali. Hu…hu…hu…

Ketua Rombongan sudah bilang untuk tidak langsung meminum susu itu. Dan itu sudah saya turuti. Karena bagi yang tidak cocok dengan susu murni seperti itu walaupun terasa gurih dan enak, isi perut bisa keluar semua.

    Sampai di Masjid Terapung, kalau tidak salah sudah hampir jam 4. Shalat ashar di sana lalu menikmati pemandangan yang ada sambil menunggu maghrib tiba. Benar-benar tepat singgah di sana sewaktu sore. Tersajikan sebuah pesona alam yang sungguh indah dipandang mata.

    Lengkungan kubah dan tiangnya, menara tinggi menjulang, angin yang menderu kencang, Laut Merah dengan ombak kecilnya, langit hitam, dan matahari senja yang hendak turun ke peraduan membuat hati saya tergetar. Subhanallah indahnya.

*Suasana senja di Masjid Terapung

*Pemandangan lain di sekitar Masjid Terapung

    Saya tak dapat menggambarkan lagi apa yang saya rasakan di sana. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang didapat saat menikmati semuanya itu. Hasrat untuk memainkan kata-kata mulai timbul. Tapi sungguh hanya cuma terlintas dalam hati. Dan tak dapat tertuliskan sampai kemarin. Jika boleh, inilah huruf-huruf yang bisa terangkai hari ini.

    selalu saja ada senja di setiap sudut

    pun di laut merah

    jika angin yang menerpa dan cahayanya melukis di wajahmu

    akankah ada ufuk hanya untukku

    langit hitam takkan menjadikanku hitam

    tapi serinai siluetmu

menerobos kelalimanku

aku menjadi putih di merah hatimu.

**

Aduh biyunggg…tobaat…Cuma kata-kata itu yang bisa tertangkap. Banyak foto indah yang bisa dibuat. Tapi tak bisa saya unduh di sini. Paling di facebook. Insya Allah. Lihat saja di sana. Hanya sedikit ini.

  • Selalu ada senja di setiap sudut

    

    *Salah satu sudut Masjid Terapung

    

  • Di mana-mana ada senja. Bolehkah aku gunting dan kulipat engkau di sakuku?

Setelah foto-foto, kami menikmati jagung bakar yang dijaja di sana. Penjualnya bisa memikat hati para pengunjung yang mayoritas orang Indonesia dengan sedikit kepintarannya berbahasa Indonesia. “Lima real…! Lima Real…!” Satu biji setara Rp12.500,00.

Setelah makan jagung bakar yang dibeli dan nasi kotak yang disediakan oleh Ketua Rombongan, adzan maghrib berkumandang. Saya mengambil air wudhu di toilet Masjid. Jangan bayangkan seperti di Masjidil Haram yang berlimpah air dan banyak WC serta krannya, di Masjid Terapung sarananya minim, kami harus antri panjang untuk sekadar mengambil air wudhu.

Ada yang membuat hati saya bergetar kembali. Bacaan imamnya itu indah sekali. Walaupun di saat maghrib itu penuh dengan jamaah namun saya membayangkan jika tidak di musim haji. Imam yang sudah sepuh itu memimpin segelintir jamaah di suatu maghrib, di tepi laut merah. Syahdu. Berasa seperti shalat maghrib atau shubuh di sebuah desa di pegunungan atau di puncak Bogor. Tiba-tiba saya membayangkan saya punya pesawat jet, maka sabtu atau minggu pergi dari tanah air untuk sekadar shalat maghrib di sana. Mustahil? Insya Allah tidak.

Setelah shalat maghrib, perjalanan rihlah dilanjutkan ke Masjid Qishosh, melewati air mancur setinggi 100 meter lebih, melewati pula makam Siti Hawa, dan berakhir di pusat perbelanjaan Corniche Commercial Centre, Balad. Beli apa di sana? Beli unta-untaan made in China buat Kinan dan keponakan. Unta-untaan itu kalau ditepuk langsung nyanyi: “Ya Thoybah…ya Thoybah…”. Di Jeddah, di Makkah, dan di Madinah harganya sama, 15 Real.

Tidak lama setelah itu kami pulang. Sampai di pondokan jam 11 malam. Dan berakhir sudah rihlah di hari itu.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

mana senjamu?

17.51 11 Desember 2011

Tags: hajj 2011, mekkah, madinah, jeddah, corniche commercial centre, siti hawa, masjid terapung,

LANGIT BIRU DI SIANG MAKKAH


LANGIT BIRU DI SIANG MAKKAH

Senin (5/12) dini hari, bus rombongan dari Bandara Soekarno Hatta menuju asrama haji Bekasi itu melewati jalan tol yang sudah sepi. Lampu papan iklan yang besar-besar di pinggir jalan itu dengan beraneka produk yang ditawarkan telah memastikan saya bahwa saya sudah benar-benar kembali ke negeri tercinta. Saya seperti kembali dari sebuah keterasingan menuju peradaban.

    Bagaimana tidak, 40 hari lamanya saya tak pernah tahu sama sekali tentang kondisi tanah air. Tak pernah buka internet, buka email, baca koran, atau nonton televisi. Kalau yang terakhir bisa saya lakukan selama 9 hari terakhir di Madinah tetapi pada kanal televisi kabel berbahasa arab dan Inggris yang memberitakan seputar tanah Arab dan Eropa.

    Dalam hari-hari itu saya merasa benar-benar hanya terkoneksi dengan langit. Berusaha menghapus sisi-sisi kelam apa yang ada pada diri dan untuk semata-mata mencari ridha Sang Penguasa Langit dan Bumi. Bahasa sederhananya adalah di sana itu untuk ibadah, ibadah, dan ibadah. Lalu sampai pada suatu titik semua yang saya lakukan itu—dengan segala kekurangan yang ada—bisa diterima oleh-Nya tanpa riya dan sum’ah.

    Lebih dari 40 hari pula saya tidak menulis. Menulis tentang apapun. Tak ada buku diari yang penuh dengan coretan seperti catatan harian para pengelana Barat itu. Tak ada. Semuanya hanya saya rekam dengan mata lalu disimpan di otak. Dan yang saya rasakan sekarang adalah betapa kapasitas otak ini sudah tak bisa lagi untuk menahan beban mati ini. Harus segera dikeluarkan. Maka malam ini kembalilah saya menulis.

    Menulis begitu banyak pengalaman yang ada. Saking banyaknya yang menarik, baru, dan ingin saya ceritakan itu membuat saya bingung untuk memulai dari mana. Tetapi yang pasti akan ada yang tertulis—insya Allah—walau tidak sistematis seperti cerita haji di blog-blog yang lain. Saya hanya menulis yang saya sedang suka, hampir lupa, dan harus segera dituliskan. Ada sebuah harap cerita yang tertulis ini bisa bermanfaat buat yang lain. Jika tidak? Anda tahu apa yang harus Anda lakukan.

    Sebuah permohonan maaf dari saya jika ada email yang belum sempat saya balas, pertanyaan konsultasi yang belum terjawab, blog yang tak ada tanda-tanda kehidupan selama hari-hari itu, notifikasi facebook yang terabaikan, permintaan pertemanan yang tiada respon, dan segalanya. Semoga maaf ini bisa diterima. Seperti langit biru di atas Makkah yang menerima semua yang tertuju padanya. Banyak doa, harap, dan menara.

*Babul Malik Abdul Aziz—16 November 2011

    Lalu kapan mulai berceritanya? Nantilah. Ini sudah jam 2 pagi. Waktunya untuk tidur. Tidurlah…

***

Riza Almanfaluthi

bukan di bangunan hitam itu kita dipertemukan

dedaunan di ranting cemara

02.00 10 Desember 2011

JANGAN SEBATAS NIAT


JANGAN SEBATAS NIAT

Hari-hari ini saya sering ditanya oleh teman-teman dengan pertanyaan seperti ini: “Kapan berangkat? Daftarnya kapan? Sejak kapan nabung? Saya jawab semuanya. Namun kali ini saya ingin menjawab sedikit tentang dua pertanyaan terakhir itu. Tentunya dengan sebuah cerita.

Semua itu berawal sejak masuk kampus STAN tahun 1994. Sejak mengenal apa itu Islam yang tak sekadar sholat dan puasa saja. Semangat berislam tumbuh dengan penuh gelora. Yang pada suatu titik timbul adanya sebuah keinginan untuk bisa pergi haji. Tak cuma sebatas keinginan tapi sebuah kerinduan. Ya benar-benar rindu. Hingga kalau ada berita-berita tentang perjalanan haji di tv selalu saya tonton dengan semangat.

Bahkan hari Jumat selalu saya tunggu karena pada hari itu—di bulan-bulan menjelang dzulhijjah atau setelahnya—koran Republika, koran langganan di kosan, selalu ada lembaran khusus liputan haji. Foto-foto bangunan hitam dan masjidil haram selalu saya pandang lekat-lekat. Membuat saya tak sanggup untuk menahan air mata. Terburu-buru masuk kamar dan menguncinya, bersandar di pintu, jatuh terduduk sambil nangis habis-habisan. Saat itu saya benar-benar mohon pada Allah agar saya termasuk dari bagian orang-orang yang dipanggil untuk menjadi tamu-Nya. Tapi kapan? Duit dari mana? Pertanyaan yang saya sendiri tak tahu jawabannya.

Setelah itu, bertahun-tahun saya tetap terharu kalau ada liputan haji atau cerita dari saudara dan teman yang sudah pernah ke sana. Tetap dengan sebuah harap dan pertanyaan sama yang menggelayut setelahnya walau saya sudah kerja di kantor pajak. Ya, saya bahkan tak berani bermimpi untuk bisa punya mobil atau pergi haji.

Tapi Allah punya rencana lain. Modernisasi berefek adanya remunerasi. Tahun 2004 kantor saya mulai berubah mengikuti reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan. Saya mulai berani bermimpi apa saja. Punya ini punya itu. Dan terpenting adalah bisa naik haji.

Akhirnya tibalah Oktober 2006. Saat itu bulan-bulan menjelang lebaran. Bukannya uang tabungan yang ada di bank diambil untuk bekal pulang kampung tapi kami tekadkan diri uang itu untuk membuka tabungan haji. Karena saya yakin betul menabung adalah realisasi yang paling riil dari sebuah niat. Jadi tak sekadar berhenti di niat saja. Dan saya yakin betul kalau sudah menabung Allah akan memudahkan realisasi cita-cita pergi haji ini. Seringkali saya bertanya kepada orang yang berniat haji dengan pertanyaan ini, “sudah buka tabungan haji?” Ini lagi-lagi untuk memastikan bahwa jangan sekadar niat.

Ada cerita pula kalau ada orang yang memulai menabung haji dengan satu uang logaman seratus rupiah dan berhasil naik haji. Dengan demikian jangan pernah meremehkan sedikitnya uang yang ditabungan karena pergi haji itu bukan sekadar ada uang atau tidak ada uang. Namun semata-mata karena Allah telah berkehendak pada orang yang dikehendaki-Nya. Begitu banyak orang kaya namun tidak tergerak hatinya untuk pergi haji. Dan betapa banyak orang yang tidak mampu secara finansial tetapi tiba-tiba berangkat karena mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka.

Karenanya setiap bulan kami paksakan untuk menabung. Walau terkadang juga ada bulan yang bolong tidak menabung karena uangnya digunakan untuk keperluan yang lain. Sampai suatu ketika di bulan November 2009 kami mantapkan untuk melunasi dana setoran awal pergi haji yang waktu itu masih sebesar Rp20 juta per jamaah. Setelah menyetor dan mendaftarkan diri baru ketahuan kalau kami akan diberangkatkan di tahun 2011. Alhamdulillah tak perlu lama. Waktu dua tahun yang ada digunakan menabung lagi untuk melunasi dana biaya haji.

Tak sekadar niat dan menabung, saya dawamkan doa ini setiap habis sholat: “Allaahummaj’alna hajjan mabrura.” Ya Allah jadikan kami haji yang mabrur. Karena saya mendengar dari seorang ustadz ada yang membiasakan diri berdoa dengan doa itu dan dalam setahun doanya terkabul. Sedang saya Insya Allah dalam dua tahun. Amin.

Dengan rentang waktu hidup yang saya jalani selama ini maka kalau dikronologiskan seperti ini:
Lahir- 1994 : Hanya tahu haji sebatas bagian dari Rukun Islam.
Tahun 1994 : Mulai ada keinginan yang luar biasa. Cinta dan rindu mulai timbul.
Tahun 2006 : Mulai menabung (tepatnya Oktober 2006).
Tahun 2009 : Melunasi biaya awal dan mendaftarkan diri untuk dapat nomor porsi (tepatnya November 2009).
Tahun 2011 : Dijadwalkan berangkat Oktober 2011. Insya Allah.

Saya berdoa semoga para pembaca juga dapat dipanggil Allah menuju tanah suci Makkah Almukarromah dan Madinah Almunawarah. Nikmati pengalaman spiritual terhebat di sana. Dan semoga menjadi haji yang mabrur.

**

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11.45 – 14 Oktober 2011

HITAM DAN SERIBU PERAK


HITAM DAN SERIBU PERAK

Kalau kita sudah terlena oleh kenikmatan dunia maka nasehat bisa menjadi obat untuk menyadarkan kita kembali tentang kesejatian hidup di dunia. Nah, nasehat itu bisa datangnya dari siapa saja. Bisa manis ataupun pahit nasihat itu dirasa. Saya akan menceritakannya sedikit.

Di suatu siang yang amat terik, habis sholat dzuhur saya menyalami tetangga saya. Profesinya adalah tukang bangunan. Saat itu dia sedang mengerjakan pemlesteran dinding pagar masjid.

“Kang Asep, kerja siang hari begini kulitnya jadi hitam banget yah,” kata saya sambil melihat tangannya yang terbakar matahari tidak seperti biasanya

“Ia Pak, tapi enggak apa-apa sih. Lebih baik hitam di dunia
daripada hitam di akhirat.”

“Wah bagus…bagus,” puji saya tulus. Singkat tapi mantap. Benar loh, ini pernyataan yang luar biasa bagi saya di siang itu. Membuat saya berpikir tentang bekal apa yang harus saya persiapkan buat di sana. Memikirkan banyaknya dosa dan aib yang menumpuk dan menggelapkan hati saya. Pada akhirnya pernyataan Kang Asep membuat saya bisa introspeksi diri.

Itu indahnya sebuah nasihat.

Nah, selesai sudah cerita tentang nasihat ini. Tapi ada yang berkesan lagi di hari itu, di hari yang sama pada saat nasihat itu diberikan.

Baru saja tiba dari menjemput istri, saya tidak bersegera memasukkan motor ke dalam rumah. Tapi saya berteduh di bawah pohon rindang di seberang rumah. Kemudian saya melihat seorang pengamen muda dengan sebuah gitar yang talinya diselempangkan di bahunya sedang mengamen di rumah tetangga saya. Sebentar lagi giliran rumah saya didatanginya. Suaranya biasa saja. Lagu dan nada gitarnya tak selaras membentuk sebuah harmoni.

Tapi apapun yang terjadi saya memang sudah berniat untuk infak. Cuma seribu rupiah saja. Kata seorang ustadz dalam sebuah pengajian, “jangan membiarkan pengamen atau pengemis lewat dari rumah kita dengan tangan kosong, karena bisa jadi itu menjadi ladang amal dan awal dari banyaknya kebaikan yang akan datang kepada kita di hari itu.” Saya ingat betul nasihatnya.

Nah, pada saat ia menyumbangkan sebuah lagunya di depan rumah saya. Saya langsung memanggilnya dari seberang.

“A, di sini A!”

Ia kaget dari mana suara yang memanggilnya itu berasal. Tapi setelah ia tahu ia langsung menghampiri saya. Kemudian saya menyerahkan uang seribu rupiah itu.

“Terima kasih Pak Haji,” kata pengamen itu sambil tersenyum dan berlalu.

Saya surprise, ia memanggil saya dengan sebutan Pak Haji, mungkin karena saat itu saya sedang memakai kopiah, walaupun bukan warna putih. Bagi saya sebutan itu adalah sebuah do’a. Dan dalam hati, saya mengaminkan do’anya. Saya memang belum pergi ke Makkah, tapi saya senantiasa merindukan untuk datang tempat itu. Bisa jadi dari do’anya itu saya mampu untuk pergi ke sana. Allah yang berkehendak, seribu rupiah jadi wasilah untuk pergi naik haji. Amin. Siapa tahu bukan?

***

Siang Terik di Tengah Desember

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:11 19 Desember 2009

 

 

TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (2)


TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (2)

===TAHAP KEDUA===

Selesai? Ya, pendaftaran tahap awal sudah selesai. Kita akan melangkah ke pendaftaran tahap kedua. Sebelumnya kita harus ke bank terlebih dahulu untuk mendapatkan nomor porsi. Tentunya saya pergi keesokan harinya. Apa yang perlu dipersiapkan untuk mendapatkan nomor porsi itu?

Bank Muamalat Indonesia Cabang Bogor mensyaratkan dokumen yang harus dibawa, yakni:

  1. Fotokopi Buku tabungan dengan asli yang akan kita perlihatkan;
  2. SPPH asli untuk Bank;
  3. Fotokopi KTP 1 lembar;
  4. Fotokopi KK.

Saya akui pelayanannya untuk tahun ini bagus. Dibandingkan dengan pelayanan yang didapat oleh teman saya setahun lalu dikarekan petugasnya masih gatek dengan aplikasi SISKOHAT-nya. Alhamdulillah, tak lama kemudian saya sudah mendapatkan nomor porsi yang tertera di formulir Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebanyak empat rangkap itu. Ini berarti uang pendaftaran awal sudah ditransfer ke rekening Menteri Agama. Tentunya petugasnya belum tahu kami berangkat untuk tahun kapan. Ternyata yang tahu dan menentukan keberangkatan itu dari Kandepag Kabupaten Bogor.

Segera setelah dari bank saya pergi ke Kandepag Kabupaten Bogor. Sampai di sana pukul setengah satu siang. Saya sudah mempersiapkan semua dokumen yang harus saya bawa untuk pendaftaran tahap kedua ini. Apa saja? Ini dia:

Dokumen tahap kedua sebagai berikut:

  1. BPIH asli tiga lembar, satunya milik kita sebagai arsip yang tak boleh hilang;
  2. Fotokopi SPPH;
  3. Fotokopi KTP;
  4. Fotokopi KK;
  5. Fotokopi Surat/Akta Nikah;
  6. Fotokopi Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah;
  7. Fotokopi Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan (asli diserahkan juga ke petugas);
  8. Fotokopi Surat Keterangan Sehat (asli diserahkan juga ke petugas).

    Fotokopi tersebut masing-masing sebanyak empat lembar.

Tetapi malang tak tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Saya disuruh pulang saja oleh petugasnya untuk kembali hari jum’at, senin, atau selasa. Karena hari rabu dan kamis diperuntukkan khusus untuk mengurus dokumen jama’ah haji yang akan berangkat tahun ini.

Mengapa baru diberitahu sekarang? Seharusnya kemarin pada saat penyelesaian foto diberitahu agar kami tak bolak-balik ke kantor ini. Yah…sedikit kecewa dengan birokrasi saya terpaksa pulang padahal cuma untuk mengecek lengkap atau tidak berkas kami ini. Saya yakin tidak makan waktu lima belas menit. Oke saya akan datang hari jum’atnya.

Pada hari jum’atnya, ruangan di seksi tersebut sedikit lengang tetapi di pintunya sudah dipasang pemberitahuan bahwa pelayanan pendaftaran tidak bisa dilayani karena Siskohatnya lagi bermasalah. Tetapi nyatanya saya lihat ada beberapa tamu yang sedang dilayani.

Tanpa banyak bicara saya menyerahkan dokumen itu yang saya yakini lengkap sekali. Dan betul petugasnya tanpa banyak bicara menelitinya dan menyatakan berkas saya sudah lengkap. Sama petugasnya diberitahu kita akan berangkat tahun kapan.

Dokumen tiga rangkap diserahkan kepada petugasnya. Satur angkap lagi untuk saya sebagai arsip. Yang terpenting ada dua dokumen asli ada pada kita yaitu SPPH dan BPIH lembar calon jema’ah haji. Jangan sampai hilang. Simpan yang baik. Kalau bisa Anda pindai dengan mesin scanner sebagai dokumen softcopy.

Lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Tidak ada, terkecuali berdoa dan menunggu. Dan tentunya yang ini:

  1. Menabung lagi supaya bisa melunasi ongkos naik haji (ONH) yang telah ditetapkan;
  2. Pada bulan Mei tahun pemberangkatan misalnya tahun 2011 kita harus pergi ke Kandepag Kabupaten Bogor karena biasanya pengumuman calon jama’ah haji yang berangkat sudah keluar.
  3. Bulan Juni tahun 2011 biasanya kita ditelepon untuk melunasi BPIH;
  4. Setelah lunas biasanya pula kita akan dipanggil untuk melakukan sesi pengurusan passport hijau khusus haji ke kantor imigrasi. Tak ada biaya dalam pengurusan ini karena sudah ada dalam komponen biaya yang telah kita bayarkan. Bagi yang sudah punya passport tak perlu ikut sesi ini cukup lampirkan dan menyerahkan fotokopi passport-nya kepada Kandepag kabupaten Bogor.
  5. Belajar fikih haji dan ikut manasiknya. Itu saja.

Wuih…capek deh. Demikian yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat buat Anda semua.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:52 26 Oktober 2009

TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (1)


TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR

===TAHAP AWAL===

Pembaca, saya coba cari di Google dengan kata kunci sebagaimana judul tulisan ini, hasilnya nihil. Saya coba juga membuka laman Departemen Agama Republik Indonesia hasilnya sama. Singgah di laman Kabupaten Bogor sama juga. Apatah lagi Kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor juga tak punya laman sama sekali di internet.

Akhirnya saya tahu secara langsung prosedur pendaftaran haji itu dengan melakukannya sendiri berbekal sedikit informasi dari bank tempat saya menabung haji. Saya ingin membagi pengalaman ini kepada pembaca agar ketika ingin mendaftar haji sudah tahu apa yang harus dipersiapkan. Entah persiapan dokumen yang harus dibawa, jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan mental tentunya karena kita akan berhadapan dengan gunung rintangan yang bernama birokrasi.

Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya dari Kabupaten Bogor yang ingin menunaikan haji ke tanah suci. Bisa jadi prosedur pendaftaran haji di setiap daerah berbeda-beda. Saya mendengarnya demikian dari berbagai orang yang sudah pernah mengalaminya. Kata mereka prsoedurnya tidaklah serumit di Kabupaten Bogor. Wallahua’lam bishshowab.

Yang harus dipersiapkan oleh Pembaca ketika ingin mendaftar haji dan pergi haji tentunya adalah niat yang lurus bahwa saya ini pergi haji adalah semata-mata hanya karena Allah. Bukan untuk piknik, berdagang, mencari gelar haji, penaikan status, dipandang masyarakat, dan lain-lainnya. Niat yang lurus ini akan membuat kita pasrah pada-Nya. Ketika ada niat-niat yang sudah mulai melenceng segera luruskan saja dan minta ampun pada Allah.

Yang kedua adalah perbanyak do’a dan shalawat. Loh kok prosedur kayak ginian aja butuh ini sih? Tentu sangat dibutuhkan, karena seperti yang sudah saya bilang di awal kita akan menghadapi gunungan birokrasi yang akan menguji kesabaran kita. Dengan perbanyak do’a dan sholawat kita berharap pada Allah agar IA memudahkan semuanya.

Yang ketiga persiapkan waktu dengan secermat mungkin. Karena tidak bisa sehari atau dua hari untuk menuntaskan semua ini. Karena banyak dokumen yang harus dipersiapkan. Bagi yang berkantor kalau bisa coba minta cuti atau izin kerja setengah hari untuk mengurus pendaftaran ini.

Yang keempat selalu berangkat lebih pagi untuk mendapatkan pelayanan yang lebih awal di kantor apapun. Entah di Kantor Kepala Desa, Puskesmas, ataupun di Kantor Departemen Agama (selanjutnya disingkat Kandepag) Kabupatan Bogor. Karena kalau Anda datangnya sudah terlalu siang—yang sebenarnya menurut kita masih waktunya jam kerja—siap-siap saja Anda akan disuruh pulang dan datang kembali keesokan harinya.

Pembaca, setahu saya kalau kita ingin mendaftar haji harus sudah ada tabungan Rp20 juta dulu di bank lalu datang ke Kandepag dengan cukup membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Ternyata masih banyak yang harus kita bawa.

Baik dokumen apa saja yang harus dipersiapkan dan ktia bawa untuk pendaftaran Haji di Kandepag Kabupaten Bogor?

Ada dua tahap. Tahap awal dan tahap kedua. Tahap awal adalah tahap pendaftaran setelah kita sudah punya tabungan sebesar Rp20 juta di bank. Tahap kedua adalah tahap pendaftaran setelah kita mendapatkan nomor porsi dari bank.

Dokumen tahap awal sebagai berikut:

  1. Fotokopi buku tabungan;
  2. Fotokopi KTP;
  3. Fotokopi KK;
  4. Fotokopi Surat/Akta Nikah;
  5. Fotokopi Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah;
  6. Fotokopi Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan (asli dibawa);
  7. Fotokopi Surat Keterangan Sehat (asli dibawa).

    Masing-masing rangkap satu.

    Saya akan jelaskan yang memang perlu untuk diberikan penjelasan.

Untuk memudahkan kita dalam masalah tabungan haji ini, saya sarankan untuk membuka di bank yang cabangnya berdomisili satu propinsi dengan Kandepag Kabupaten Bogor artinya masih di Jawa Barat. Tetapi saya lebih sarankan lagi Anda buka tabungan hajinya di bank yang satu kabupaten/kota saja.

Jangan mengulangi apa yang pernah saya alami. Saya membuka tabungan haji di Bank Muamalat Kantor Kas Cawang Jakarta ternyata untuk mendaftar haji saya harus menutup dulu tabungan itu dan membuka tabungan baru di Bank Mualamat Kantor Kas Cibinong.

Ribet, dipotong biaya penutupan, dan menyita waktu banyak. Akibatnya saya tidak bisa mengejar kesempatan untuk mendaftar di Kandepag Kabupaten Bogor, mengurus surat kesehatan di Puskesmas dan Kantor Kepala Desa.

Pastikan bahwa yang difotokopi adalah halaman sampul buku tabungan, halaman pertama yang memuat nama dan keterangan kita, serta halaman yang menerangkan saldo terakhir kita. Walaupun di prosedurnya tidak diterangkan halaman berapa yang harus kita fotokopi tapi kita fotokopi saja yang saya terangkan di atas tadi. Untuk apa? Supaya lengkap dan tidak memberikan kesempatan petugas peneliti di Kandepag Kabupaten Bogor untuk menyuruh kita pulang.

Oh ya, dokumen yang harus saya bawa untuk membuka tabungan haji adalah cukup fotokopi KTP saja.

Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah masing-masing saya fotokopi. Walaupun di prosedurnya tandanya adalah garis miring yang berarti cukup salah satu saja namun saya fotokopi juga semuanya. Agar, lagi-lagi, supaya berkas kita tidak dianggap tidak lengkap.

Untuk Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan maka terlebih dahulu Anda datang ke Kantor Kepala Desa sambil membawa meterai Rp6000, fotokopi KTP, fotokopi KK, serta surat keterangan atau pengantar dari RT dan RW. Untuk yang terakhir ini Anda bisa urus sendiri malam sebelumnya. Jalan pintas langsung datang ke Kantor Kepala Desa tanpa surat pengantar memang bisa tetapi itu tidak mendidik.

Untuk ke Kecamatannya Anda bisa uruskan ke petugas desa. Tetapi karena saya ingin cepat selesai saya sendiri yang akan datang ke Kantor Kecamatan. Biaya administrasi di Kantor Desa Rp20.000,00.

Saya datang ke Kantor Kecamatan dengan membawa fotokopi KTP, KK dan surat pernyataan tersebut. Langsung ditandatangani oleh salah satu Kepala Seksi yang ada di sana. Cepat dan tidak berbelit-belit. Biaya administrasinya sebesar Rp20.000,00 juga.

Jangan lupa setelah itu fotokopi surat pernyataan bermeterai tersebut sebelum kita serahkan ke Kandepag Kabupaten Bogor.

Oh ya, karena Puskesmas itu jam tutupnya adalah jam setengah 12 siang, maka sebelum ke kantor Kecamatan saya terlebih dahulu ke Puskesmas untuk meminta surat kesehatan. Cukup bayar Rp5000, antri sebentar, dan diperiksa ala kadarnya, tal…tul…, tal…tul… stetoskop, surat keterangan sehat sudah didapat. Ada pengecualian tentang datang lebih pagi ke Puskesmas. Mungkin karena datangnya siang malah antrian sudah pendek dan tidak banyak orang. Kalau pagi wuih…jangan dikira panjang antriannya. Setelahnya segera fotokopi saja surat kesehatan tersebut.

Kini tiba saatnya datang ke Kandepag Bogor. Siapkan mental karena di sana akan dilayani oleh sedikit petugas di sebuah ruangan yang sempit di Kandepag Kabupaten Bogor, tepatnya di ruangan Seksi Pelayanan Haji dan Umroh (kalau tidak salah karena saya sudah tidak ingat lagi).

Jangan membayangkan ruangan pendaftaran haji ini senyaman ruangan pelayanan di bank-bank atau Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak yang pernah Anda kunjungi. Ruangannya cuma 12 meter persegi yang penuh berkas tanpa petunjuk harus menghadap ke mana dan siapa terlebih dahulu.

Saya harapkan Anda datang ke sana pada pukul 09.00 sampai pukul 10.00 pagi. Lebih dari itu siap-siap saja berkas Anda akan ditolak dan disuruh datang lagi keesokan harinya. Karena petugas disana membatasi jumlah orang yang mendaftarkan haji cukup 35 pendaftar saja. Masalahnya ini berkaitan dengan proses pengambilan foto dan sidik jari yang memakan waktu bisa sampai lima jam lamanya.

Alhamdulillah berkas saya diterima walaupun saya datangnya pukul 12.30 WIB. Ini dikarenakan sedikit kengototan saya karena sudah disuruh pulang di hari kemarinnya. Ditambah sedikit kebaikan yang diberikan petugas di sana kepada saya.

Setelah mengisi formulir pendaftaran yang diberikan petugas—itupun sambil berdiri karena bangkunya sedikit dan ruangan sudah penuh orang—serta memeriksa kelengkapan berkas saya dan istri, saya disuruh petugas pergi ke koperasi untuk membayar biaya foto sebesar Rp60.000,00 dan setelahnya pergi ke ruangan pemotretan.

Nah di sini kesabaran diuji lagi karena petugas yang melayani kami pada sesi ini cuma satu orang. Kami menyerahkan kuitansi pembayaran dan berkas pendaftaran pada pukul 12.30 WIB, pemotretannya baru dilakukan pada pukul 15.15 WIB. Pengambilan sidik jari tiga perempat jam kemudian. Lalu kami menerima banyak lembaran foto berbagai ukuran dan CD-nya serta berkas pendaftaran ditambah dengan Surat Pendaftaran Pergi haji (SPPH) tiga rangkap pada pukul 16.15 WIB dari petugas pemotretan.

Dan kemudian balik lagi ke petugas yang memeriksa berkas kita di awal tadi. Berkas kita akan dicek kembali oleh petugas dan kita disuruh menyerahkan foto ukuran 1×1 yang tadi kita terima. Lalu mengembalikan dua rangkap SPPH kepada kita untuk diserahkan kepada bank dan satunya untuk kita arsipkan sendiri. Saya baru pergi dari Kandepag Kabupaten Bogor jam setengah lima sore.

Bersambung…

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:52 26 Oktober 2009