SAYA DULU ADALAH ANDA SAAT INI


SAYA DULU ADALAH ANDA SAAT INI

 

Saya sibak tirai kamar hotel lantai 10 pagi ini. Gunung Salak terlihat jauh di sebelah selatan. Bangunan tinggi-tinggi banyak menjulang di kejauhan. Terselip di antaranya pemukiman padat. Khas Jakarta. Terlihat pula keramaian kendaraan bermotor tiada henti melewati jalan di bawah sana.

    Seringkali saya berlama-lama menyaksikan apa yang ada di balik tirai ini. Indah sekali menurut saya. Menginspirasi. Apalagi lanskap pada waktu malam hari. Kelap-kelip lampu gedung, motor, dan mobil. Tentu pula antriannya. Baik yang ada di tol maupun non-tol. Pemandangan biasa yang menjadi keseharian ibukota.

    Saya bersyukur mendapatkan kamar yang sedemikian rupa. Lebih bersyukur lagi saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti workshop pelatihan menulis yang diadakan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA), Direktorat Jenderal Pajak, selama tiga hari ini.

    Begitu banyak yang didapat. Bertemu dengan begitu banyak orang, dengan berbagai karakter dan asal. Dari barat Indonesia maupun timurnya. Begitu banyak talenta. Begitu banyak semangat membara untuk membuat Direktorat Jenderal Pajak menjadi lebih baik lagi melalui pena-pena yang tergores di atas kertas.

    Kini, saat saya menulis lembaran ini, matahari pagi memboroskan cahayanya hingga memenuhi ruangan kamar hotel. Amat saya rindukan atmosfer ini. Seperti saat saya shalat dhuha di saung tengah sawah bermandikan kirana surya beberapa tahun yang lampau.

    Seperti pula rindunya saya pada sesuatu yang bernama konsistensi dalam menulis. Untuk punya komitmen menulis apa saja di setiap hari.Hingga ide di kepala ini terkuras habis. Atau maut memutus segala kenikmatan.

    Sebenarnya inilah jawaban kepada teman-teman—baik peserta atau kawan di berbagai tempat di luar sana—yang mengeluhkan tentang ketidakmampuannya untuk menulis. Kok mereka mengeluh pada saya yah padahal saya bukan penulis buku, terkenal apalagi, saya cuma blogger yang berusaha untuk tetap menulis dan menulis.

C’mon beib…kamu bisa. Hapus semua mental block yang ada. Takkan terulang lagi keluar dari mulut kita kata-kata yang melemahkan kemauan kita untuk menulis. “Saya dulu adalah Anda saat ini,” begitulah kalimat saya yang terucap kepada mereka. “Anda cuma butuh konsistensi untuk menulis apa saja di setiap hari,” terang saya lagi.

Realitanya, sungguh saya senang dengan keluhan mereka. Itu adalah ungkapan hati dan benih dari sebuah kejernihan yang tak bisa dibohongi bahwa mereka ingin berkarya. Wow…Mereka ingin maju. Mereka ingin menghasilkan karya. Mereka ingin menelurkan buku. Mereka ingin ada sebuah keabadian yang akan dikenang oleh anak cucu.

Apapun niatan mereka, takkan berhasil jikalau mereka—setelah membaca tuntas artikel ini—tak segera ambil kertas, buka laptop, dan langsung menuliskan apa saja yang ada di benak mereka. Kawan, saat ini tulis apa saja yang kau rasa, derita, pikirkan, bayangkan. Semuanya. Dan saya selalu akan menunggu karyamu.

Sang baskara mulai meninggi.

***

 

Tags: kitsda, djp, tips menulis, blogger, workshop, pelatihan, gunung salak.

    

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

semua orang bisa menulis

06.40 04 Desember 2010

    

Termuat pertama kali di: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/04/saya-dulu-adalah-anda-saat-ini/

 

PIKIRAN ADALAH MUSUH


PIKIRAN ADALAH MUSUH

 

Tulisan membuat seseorang mampu untuk melebihi masa hidupnya dan mampu membuat pintu untuk melampaui ruang lingkupnya. Tulisan menjadi sesuatu yang tidak ada kata pensiunnya buat penulisnya.

Itulah salah satu yang dikemukakan oleh Zaim Uchrowi dalam Pelatihan Aktif Menulis, Kreatif, dan Inspiratif yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di Hotel Twin Plaza, Jakarta, Kamis (2/12).

Zaim melanjutkan bahwa untuk menjadi penulis sejati maka ia harus hati-hati dengan pikirannya, karena terkadang pikiran adalah musuh bagi penulis sendiri. Penulis sering terjajah dengan pikirannya. Seharusnya penulis harus mampu untuk mengendalikannya. Maka seringkali mengajar tentang kepenulisan di dunia akademisi akan lebih sulit daripada yang lainnya karena hilangnya spontanitas dan mereka benar-benar hidup di dunia pikiran.

Oleh karenanya, lanjut Zaim, untuk tidak terjajah oleh pikiran, penulis harus mampu menggunakan mata, mata, dan matanya. Memosisikan matanya seperti kamera yang mampu untuk merekam segalanya. Dengan mata itulah ia mengamati dan memdeskripsikan apa yang ia lihat. Dan tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa mendeskripsikan sesuatu dengan jelas.

Untuk memperkuat mata itu, dalam menulis pun perlu menggunakan bahasa atau kata-kata sehari-hari. Hindari jebakan akademik. Karena dunia akademik kita amat sangat diwarnai dengan feodalisme, kekakuan, dan formalistik. Di luar negeri, karya akademik dari dunia ilmiah mampu mendekatkan diri dengan tulisan-tulisan populer lainnya.

Zaim mencontohkannya dengan tulisan anak-anak yang mampu berkata jujur dan polos. “Kita lihat tulisan anak-anak itu. Jelas strukturnya, subjek, predikat, objek, dan keterangan.Pendek-pendek. Namun dengan bertambahnya usia mereka, ilmu mereka, pendidikan mereka, tulisannya semakin panjang, dan membingungkan. Menjadi sulit dimengerti. Hingga muncul anggapan tulisan yang ilmiah itu adalah tulisan yang sulit dipahami.”

“Akan sangat baik pula untuk menambahkan latar belakang wilayah lokalnya masing-masing dalam tulisan itu agar penuh dengan warna,” lanjut Zaim mengakhiri.

Pelatihan yang diisi instruktur dari Balai Pustaka School of Writing dan dibuat untuk
para kontributor Buku Berbagi Kisah dan Harapan (Berkah) Direktorat Jenderal Pajak ini, menurut rencana akan diselenggarakan selama tiga hari.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

memandang pagi Jakarta dari lantai 10

04.44 03 Desember 2010