MENGUKIR DI ATAS BATU: KESUNGGUHAN TAK TERNILAI


Ba’da dzuhur yang sejuk, dua anak kecil itu terlihat sedang belari-larian di dalam masjid AlHikmah, Cipayung, Depok. Yang satu mempunyai perawakan yang lebih kecil daripada yang lainnya. Mereka adalah dua diantara beberapa anak seumuran mereka yang ikut pendidikan di Pesantren Tahfidzul Qur’an Terpadu.
”Dek-dek…sini dulu. Saya mau tanya nih…!” seru saya setengah berteriak kepada mereka. Akhirnya mereka berkumpul di hadapan saya.
”Wah…sudah berapa juz nih hafalannya?” tanya saya kepada dua anak kecil pertama.
”Saya baru satu juz, kok”, jawab yang lebih besar.
“Kalau saya lagi menghapal Juz 30,” yang kecil menyahut.
”Satu juz tuh selesai berapa lama,” tanya saya lagi.
“Dua bulan setengah,” jawab yang besar.
”Sering nangis yah…?”
”Iya…”
”Kenapa?”
”Kangen abi sama ummi” jawab mereka berdua serempak, yang ternyata kakak beradik. Yang lebih tua duduk di kelas enam sekolah dasar sedangkan yang kecil kelas tiga.
”Masih ngompol, enggak…?” tanya saya lagi.
”Enggak dong, kalau dia berhenti ngompolnya waktu kelas dua, sekarang sudah enggak lagi,” jawab si kakak sambil menunjuk sang adik.
Tiba-tiba datang lagi di hadapan saya dua anak seumuran dengan mereka. Yang satu—anak dari pengelola pesantren ini—sudah hafal tiga juz yang ditempuh selama 12 bulan. Sedangkan satunya lagi adalah anak dari seorang ustadz sudah hafal lima juz selama setahun.
Subhanallah, mereka, kecil-kecil sudah bisa menghafal banyak surat Al-Qur’an. Sedangkan saya menjaga surat-surat yang sudah saya hafal saja sampai pontang-panting apalagi untuk menambah hafalan lagi. Saya telah dilupakan. Duh, malu euy…Benar kata rasulullah SAW: “Selalulah bersama Al-Quran, demi jiwa Muhammad yang berada di genggaman-Nya, sesungguhnya Al-Quran itu lebih cepat hilangnya daripada tali onta dalam ikatannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Saya bisa berkaca kepada mereka. Berkaca pada kesungguhan untuk menjadi seorang hafidz, yang akan memahkotai orang tua mereka kelak. Yang tubuhnya utuh tak termakan ulat saat terkubur dalam tanah. Kesungguhan mereka untuk berjauh-jauhan dengan orang tua yang mereka rindukan setiap harinya. Kesungguhan untuk mencapai karakter shahihul ibadah dalam dirinya.
Dan tentunya tidak bisa kita remehkan adalah kesungguhan dari orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan mengorbankan kesenangan berkumpul dengan anak-anak tercinta. Mengorbankan perasaan kangen mereka untuk masa depan anak-anaknya. Kesungguhan yang timbul karena adanya kesadaran bahwa menghafal di usia muda adalah lebih mudah dan lebih baik daripada menghafal di usia tua. Kerana menghafal di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, menghafal di waktu tua seperti mengukir di atas air.
Untuk merajut kesungguhan itu hanya doa yang bisa mereka panjatkan kepada Sang Penguasa Jagat agar senantiasa menjaga anak-anak mereka, mudah menerima pelajaran, menghapal, dan tentunya betah tinggal berjauh-jauhan dengan orang tua, betah tinggal di tempat yang fasilitas untuk mendapatkan kesenangan masa kecilnya terbatas dibandingkan dengan di rumah mereka sendiri.
Sebuah kesungguhan tak ternilai.
Ah, bisakah saya mempunyai kesungguhan seperti mereka…?

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:55 13/11/2006

Bacalah artikel ini:
1. Materi Tarbiyah: Hifzhil Qur’an Juz 30;
2. Kiat Menghafal Alqur’an, Ummu Abdillah, Ummu Maryam;
3. Kiat-kiat Menghafal Al-Quran menuju Ridho Ilahi, Azzahra (10.9.2.64)
http://10.254.4.4/isi_partisipasi.asp?dsh=5136

KETUA RT


Ruangan tamu itu dipenuhi asap rokok. Dari empat belas orang yang menghadiri acara rapat Rukun Tetangga (RT) dan sekaligus halal bihalal itu cuma empat orang saja yang berkorban menjadi perokok pasif. Selebihnya asyik menikmati bara merah dari tembakau yang terbakar dan kepulan asapnya.
Acara ini masih berkutat pada pembahasan siapa yang mau ditunjuk sebagai Ketua RT. Ya, jabatan Ketua RT di tempat kami sudah lama kosong. Apalagi setelah kepengurusan yang lalu demisioner beberapa bulan sebelumnya karena sudah berakhirnya masa tugas mereka. Tidak ada yang mau mengangkat tangan. Banyak argumentasi yang keluar dari bapak-bapak yang dipinta untuk menjabat jabatan tersebut. Rata-rata semua ogah. Why…?
Mungkin jabatan Ketua RT inilah yang tidak dianggap sebagai jabatan yang dicari-cari di Indonesia. Karena kental sekali nuansa sosialnya dibandingkan ketenaran dan komersialisasi yang menggemukkan kantong-kantong para penjabatnya. Apalagi tuntutan menjadi penengah dan pemecah kebuntuan permasalahan keseharian yang ada sangat tinggi diharapkan oleh masyarakat.
”Ayolah pak, kalau kita niatkan dengan ibadah Insya Allah jabtan ini bukanlah suatu beban. Apalagi kita-kita yang muda ini juga sudah siap untuk membantu,” pinta salah seorang pengurus RT yang lalu kepada Pak Bobbi yang dikenal sanga supel di lingkungan kami. ”Apalagi bapak kan selalu stanby di lingkungan sini. Dan Insya Allah mulai Januari 2007 ini usulan tunjangan penghargaan dan pembebasan uang sampah kepada ketua RT akan mulai diberlakukan.”
”Kalau masalah itu sih, bagi saya nomor sekian. Tapi yang jadi masalah bagi saya, saya ini sudah bukan waktunya untuk mengurusi beginian. Saya ingin menikmati masa-masa pensiun saya. Cobalah kepada yang muda-muda sajalah,” tukas Pak Bobbi.
Tunjuk sana-tunjuk sini pun lagi-lagi terjadi. Usulan-usulan lain bermunculan bak cendawan di musim hujan. Dari usulan perpendekan jabatan yang semula tiga tahun menjadi satu tahun, pergiliran jabatan kepada setiap warga yang mulai urut dari rumah yang paling ujung sampai sistem kocok untuk menentukan siapa yang harus menjadi Ketua RT.
Malam bertambah larut, sudah terasa dinginnya pula. Akhirnya para peserta rapat pun sudah tidak tahan lagi untuk segera menyelesaikan acara ini apalagi esok hari adalah hari senin, hari pertama untuk memulai aktivitas keseharian dalam sepekan ke depan. Tentunya butuh tenaga yang fresh, yang tidak tersita oleh rapat yang berlarut-larut ini.
Akhirnya setelah dilakukan pendekatan yang intens kepada Pak Bobby, beliau akhirnya bersedia dengan satu syarat semua harus mendukung dirinya. Yang diiyakan oleh seluruh peserta rapat.
”Sekarang siapa dari bapak-bapak yang ada di sini yang mau jadi sekretaris dan bendaharanya?” tanya Pak Bobbi.
”Begini saja pak, karena ini adalah kerja tim tentunya perlu orang-orang yang berkesatuan hati dengan Bapak jadi pilih saja menurut Bapak yang dianggap cocok,” jawab salah seorang warga.
”Oke saya tunjuk Abu Ayyasy untuk jadi Bendaharanya, karena saya percaya padanya.” tegas Pak Bobbi.
”Insya Allah saya siap Pak,” jawab Abu Ayyasy.
”Untuk sekretarisnya saya tunjuk Pak Faisal.” tunjuk Pak Bobbi.
”Wah jangan Pak, saya sudah bertekad untuk pensiun dari dunia kemasyarakatan selama tiga tahun jadi jangan pilih saya, yah…” elak Pak Faisal.
Ujung-ujungnya pengelakan ini membuat rapat menjadi berlarut-larut kembali. Sampai akhirnya ada salah satu warga mengusulkan untuk menunda penunjukkan jabatan sekretaris ini, dengan pertimbangan bahwa Pak Bobbi punya cukup waktu untuk mencari orang yang benar-benar dianggap mumpuni dan sehati tentunya.
Sebelum rapat diakhiri tuan rumah meminta saya untuk memberikan sedikit taushiyah kepada para peserta halal bihalal ini.Tentunya suatu nasehat yang sangat berarti pula untuk diri saya sendiri.
26. Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
27. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup[191]. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (Ali-Imran)
Saya cuma bisa bilang: ”sesungguhnya Allah menghendaki kepemimpinan ini dipegang oleh Pak Bobbi. Dan kita patut pula untuk menyukurinya, karena sungguh kita akan lebih baik hidup dalam suatu jamaah daripada hidup dalam kesendirian. Kata Rasulullah: Hendaklah kalian berjamaah , sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.1)”
Kepada Pak Bobbi, berlaku adillah. Karena pemimpin yang adil adalah satu dari tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya 2). Kepada saya dan bapak-bapak sekalian, bantu, dan taatilah Pak Bobbi, karena kini Pak Bobbi adalah pemimpin di antara kita semua.
***
Jelang tidur, malam semakin larut.
Abi: ”Mi, Alhamdulillah Pak Bobbi sekarang udah jadi Ketua RT.”
Ummi: ”Abi jadi apa…?”
Abi: ”Bendahara, sudah komitmen dari bapak-bapak kalau ditunjuk harus mau, tapi ada
juga yang tidak mau”
Ummi: ”Peran bagus”
Abi: “Bagusnya…?”
Ummi: ”Jadi ladang amal. Dan ini bukan peran kecil.”
Abi: ”Hmmm…peran kecil. Jadi inget imel teman.
”Kita pun sesunguhnya bisa walaupun saat ini kita “baru” berperan kecil. Tidak hanya berpangku tangan menunggu SATRIA PININGIT untuk Indonesia. Bertahun-tahun selama saya ikut menjadi bagian kecil dalam kegiatan Masjid Shalahuddin Kalibata sungguh membuat saya menjadi prihatin dengan pandangan sebagian besar teman-teman seperjuangan yang menganggap sepele peran-peran yang diamanahkan. Totalitas. Sulit menemukan partner dalam tim yang menyadari itu, apakah bisa memakmurkan masjid dengan sisa-sisa tenaga dan pemikiran kita setelah bekerja saja? (Ratna Marlina)”
Mi, bisa tidak dengan peran ini saya jadi Umar Bin Khatthab saat kini. Bangun malam, ngecek lingkungan, kentongin tiang listrik, dan pasang telinga kalau-kalau ada tetangga yang belum tidur karena belum makan.”
Ummi: ”Ah ngayal”
Abi: ”Kok pesimis kayak gitu…?”
Ummi: ”Karena ummi tahu persis Abi itu siapa…?”
Abi: ”Loh, Umar bin Abdul Aziz dulu sebelum jadi khalifah adalah pemuda yang royal dan tidak peduli dengan sekitar tapi setelah diangkat, Subhanallah, berubah 180 derajat jadi khalifah yang adil, zuhud, dan dermawan.
Ummi: ”Abi bukan dia…”
Abi: ”Pantas saja ummi pun bukan seperti istri Umar bin Abdul Aziz. Enggak pernah
memotivasi”
Ummi: ”Ah, bisanya cuma ngeles….Sudah sono katanya mau keliling, mo jadi Umar kan?
Abi: ”hmmm…berat juga jadi Umar. Godaan kasur begitu menghiba, padahal dua Umar
cuma beralaskan daun kurma”

Malam semakin larut, jelang tidur.
***

1. HR Abu Daud 547 dan Nasai 2 / 106 dengan sanad yang hasan
2. Ash-shahihain

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10:00 07 Nopember 2006

KUNTILANAK BERAMBUT PANJANG


Pukul 02.40 dinihari ini saya memaksakan diri untuk bangun. Sudah waktunya untuk meminta pemenuhan segala hajat kepada Sang Pemilik Bumi dan Langit. Setelah ke kamar mandi sebentar, mengambil wudhu, dan berpakaian sepantasnya saya mengambil sajadah lalu menggelarnya di ruang tamu. Biasanya saya sholat di kamar tengah yang biasa kosong, namun karena banyaknya mainan si bungsu yang masih belum dibereskan saya terpaksa pindah.
Di ruang utama yang tidak berkursi tamu, gelap, dan cuma menyisakan cahaya dari dapur ini saya memulai rakaat pertama. Allahu Akbar. Doa iftitah dan surat Al-fatihah pelan-pelan saya lafalkan. Lalu dilanjutkan dengan surat An-Naazi’aat.
”Wannaazi’aati ghorqoo”
”Wannaasyithooti Nasythoo”
Pelan-pelan saya berusaha keras untuk menikmati setiap ayat yang dilafalkan. Di saat menuju kekhusyu’an itulah—tepatnya di ayat ”faidzaajaa atiththammatul kubraa”—melalui sudut mata saya melihat bayangan hitam muncul dari dapur, seperti sosok perempuan bergerak pelan-pelan, terhuyung-huyung.
”Deg…ya Allah siapa nih,” pikir saya sambil tetap melanjutkan bacaan surat. Tapi kok bayangan hitam mendekat ke arah saya. Konsentrasi saya sudah pecah. Pikiran buruk saya sudah hinggap di kepala. ”jangan-jangan jin nih,” pikir saya. Entah kenapa saya bisa berpikiran ke arah sana.
Saya sebenarnya sudah berpikiran bahwa itu pasti khadimat saya yang memang sudah bangun dan menuju kamar mandi yang berada dekat dengan kamar tamu. Tapi kok tidak biasanya ia bangun pada jam-jam seperti ini. Dan kali ini ia pun tidak menuju ke kamar mandi. Sekali lagi dengan pelan-pelan, terhuyung-huyung, bayangan itu mendekat ke arah saya. Selangkah demi selangkah ia mendekat, mendekat, mendekat.
Masih tetap dengan melafalkan surat, saya bimbang untuk melakukan apa. Menengok untuk menuntaskan kepenarasaran saya hingga saya benar-benar dihadapkan pada dugaan saya di awal, sosok jin, atau tetap melanjutkan sholat saya dan menganggap bayangan itu adalah khadimat saya sendiri. Kepenasaran saya ternyata yang mendominasi.
Sekitar dua langkah sebelum bayangan itu mendekat ke arah saya, akhirnya saya memutuskan untuk menengok ke sebelah kanan seperti orang yang sedang mengakhiri sholat—tapi masih dengan melanjutkan bacaan surat.
”….Astaghfirullahal ’adzim.” Herannya setelah melihat bayangan itu saya langsung meluruskan posisi kepala saya dan tetap dengan bacaan yang terlafalkan dari mulut saya. Melanjutkan sholat. Tapi saya pikir sholat saya sudah batal dan konsentrasi saya sudah pecah. Saya putuskan untuk mengulang dari awal rakaat saya yang baru satu itu. 
Teman-teman, coba tebak apa bayangan hitam yang saya lihat tadi? WEKS…! Bukan jin, bukan kuntilanak, dan bukan siapa-siapa. Dia hanya khadimat saya yang ternyata cuma ingin melihat jam yang ada di ruangan tamu.
Setelah itu saya cuma bisa tersenyum geli. Inilah kalau memori tentang Suketi—Kuntilanak yang diperankan Suzanna—masih melekat erat di benak. Tapi ya gimana lagi suasana sudah sangat mendukung sekali untuk menghadirkan sosok itu. Lampu tengah dimatikan, gelap. Muncul dari balik tirai yang membatasi dapur dengan ruang tamu. Bayangan hitam itu bertambah gelap karena menghalangi sumber cahaya dari dapur. Dengan rambut tergerai yang tidak diikat dengan karet pengikat rambut, beringsut pelan-pelan. Lengkap sudah penampakan sosok itu.
”Dasar nih, puasa-puasa masih saja memikirkan Suketi. ”
Akhirnya saya meneruskan sholat di kamar tengah. Itu pun setelah saya membereskan terlebih dahulu mainan yang berserakan. Di belakang, saat ini, sudah terdengar gemerisik sang khadimat mempersiapkan makanan sahur kami.
***
Paginya saya bercerita kepada istri saya, dia cuma bisa ngakak….membayangkan mimik saya di saat menoleh dengan masih melafalkan bacaan An-Nazi’aat.

*
Omong-omong tentang makhluk seperti itu di rumah kami, ada cerita, bapak saya menyangka saya sedang tidur di samping adik saya di kamar depan. Padahal saat itu saya tidak tidur di sana. Khadimat saya pun bercerita saat tidur sepertinya ia merasakan mukanya ditongkrongin oleh wanita tanpa wajah. Tapi Alhamdulillah saya tidak pernah melihat apapun. Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
09:27 11 Oktober 2006

19 September 2002


19 September 2002

Kebiasaan setiap pagi yang saya lakukan sesaat sebelum berangkat ke kantor adalah melihat dua prajurit saya yang masih terlelap tidur itu. Lalu saya tatap wajah-wajah polos mereka. Mengelus-elus kepala dan mencium pipi-pipi mereka. Sungguh pada saat itulah kebahagiaan itu terasa hinggap. Seiring beratnya rasa untuk meninggalkan mereka. Ada sepucuk doa terselip untuk mereka, semoga Allah mengekalkan kebersamaan ini sampai di jannah-Nya.
Bagaimana tidak bahagia, jikalau saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa itu di tengah waktu yang seakan mendera saya dengan rutinitas setiap harinya. Pergi saat matahari belumlah muncul, dan pulang saat matahari sudah tenggelam di peraduannya. Maka pertemuan dan kebersamaan itu terasa singkat di setiap malamnya saat bergumul dengan keceriaan mereka. Saat si sulung mengulang kembali pelajarannya dan saat si bungsu ini mencoba dengan terbata-bata mengulang hafalan bunyi hurufnya. Lalu malam kian menjelang dan tidurlah mereka kembali dibalut mimpi di kamar yang terpisah.
Sebelumnya kembali rutinitas mengasyikkan dilakukan dengan merangkul mereka satu-persatu.
”Ayo Haqi, peluk Abi dulu,” pinta saya. Haqi pun bergegas menghampiri saya, dan saya memeluknya dengan erat, erat sekali. Tidak sekadar pelukan biasa. Saya usahakan tangan si Haqi pun memeluk punggung saya. Agar terasa kehangatannya. Agar terasa kasih sayangnya.
“Ayo cium Abi…”pinta saya lagi. Lalu ciuman itu mendarat di bibir dan kedua pipi saya. Terakhir ciuman saya mendarat di keningnya. Begitu pula saya lakukan kepada si bungsu.
Indah sekali rasanya. Ada keinginan abadi untuk selalu melakukan ini, tapi sungguh saya tak bisa mengekang waktu agar berhenti berputar untuk kedua anakku agar senantiasa mereka tetap menjadi anak-anak yang lucu supaya saya dapat dengan leluasa mencium mereka sepuasnya. Tentunya ini melanggar sunnatullah yang sudah semestinya ada pada diri mereka. Ah, biarlah mereka tumbuh apa adanya.
Pagi ini, saya mengulangi ritual itu. Kali ini saya mencium cukup lama Ayyasy—si bungsu—karena saya tahu hari ini Allah masih berkehendak menitipkannya padaku genap empat tahun. “Sudah besar pula, kau nak rupanya,” batinku.
Maafkan Abi jika sempat-sempatnya Abi ini memelototimu saat kau masih saja bergurau di tengah-tengah sholat berjamaah di masjid. Atau saat Abi menolak dengan keras keinginanmu untuk jajan permen selalu. Ah, kiranya sudah terlalu banyak hitungan Abi ini menolak pintamu.
Tapi nak, Abi masih ingat sekitar dua bulan yang lalu, saat di rumah yang ada hanya kita berdua. Kau pergi saja tanpa pamit ke luar rumah tanpa meminta izin kepada Abimu ini yang sedang berkutat dengan asyiknya di depan komputer. Dan menyadari bahwa rumah ini sudah sepi dari riuh rendah suaramu saat bermain sendiri dengan mainanmu itu.
Abimu memanggil tapi tiada bersaut. Di belakang rumah, di kamar, Abi pun sempatkan untuk membuka lemari—teringat dalam sebuah artikel ada seorang anak yang terjebak lama di lemari es, tapi tiada menemukan engkau. Abi mencoba mencari ke rumah tetangga sebelah, lalu menjauh ke tetangga-tetangga jauh lainnya di satu RT bahkan di lain RT dan hasilnya tetap sama, tiada Abi ini menemukan engkau. Ah Abimu ini panik, nak.
Pikiran buruk pun menghampiri. Ah, jangan-jangan engkau diculik nak. Bergegas Abimu ini mencari ke tempat yang lain. Syukurnya Abimu ini bertemu dengan wanita tua peminta sumbangan yang sempat bertemu denganmu, saat engkau memberinya dengan tangan mungilmu itu.
“Bu, ibu melihat anak saya yang ngasih uang kepada ibu tadi tidak?”
“Oh ya, si eneng itu yah…” Ibu itu menganggapmu anak perempuan, Ayyasy. 
“Memang setelah ngasih ibu, dia langsung pergi keluar, makanya Ibu tadi tanya, mau kemana neng? Tapi dia diam saja.” jelas si Ibu.
“Kemana arahnya, Bu?” tanya Abimu. Sang Ibu menunjuk ke arah selatan. Ke arah warung yang menjadi favorit Ayyasy untuk membeli jajanan kesukaannya. Tidak jauh dari tempat Abimu ini berdiri.
”Ah, mengapa tidak terpikir oleh Abimu ini nak, hingga melupakan tempat itu,” batin Abimu.
Bergegas menghampiri, di sana, di dekat warung itu, bergerombol anak-anak yang sedang bermain kelereng. Di pinggirnya, terlihat engkau berdiri menatap mereka sambil mengemut permen merah berbentuk telapak kaki itu.
”Ah, Ayyasy, Ayyasy…akhirnya engkau ada di sini.” Saya peluk ia, erat. Saya gandeng tangannya pulang ke rumah. Lega rasanya, di samping tumpukan rasa bersalah padanya karena membiarkan ia pergi sendirian dan tak menemaninya bermain.
”Kalau mau pergi bilang-bilang dulu yah…”pinta saya padanya.
Kini, pagi ini, memori kilas balik pun terpajang. Saat kami—Abi dan umimu ini—hidup dalam keprihatinan. Hingga premi asuransi jiwa ummimu yang niatnya kekal itu terpaksa dibatalkan agar bisa diambil untuk membiayai persalinanmu. Masih terasa dinginnya lantai saat Abimu ini sujud syukur di rumah bidan bersalin mendengar proses persalinan lancar-lancar saja.
Masih terasa indahnya sebagai hadiah kelahiranmu adalah Abimu ini lulus diklat jurusita dan ujian skripsi. Ah…rejekimu adalah rejeki buat Abimu. Lalu tumbuh kembanglah engkau meniti waktu bersama Abi dan Ummimu. Menangis, berceloteh, berteriak, merangkak, tertatih-tatih berjalan, jatuh dari ranjang goyangmu, berbicara terbata-bata hingga lancar walaupun sekarang huruf r-mu masih tidak jelas seperti Abimu, bertengkar dengan kakakmu, dan saat ini engkau masih saja lucu dengan baju seragam TK-mu yang kebesaran itu. Ya, masih saja lucu…
Selamat ya Nak…Abimu masih saja berusaha bersyukur kepada-Nya karena IA senantiasa mempercayai Abimu untuk menjagamu, memilikimu. Selamat nak, semoga ini akan terbaca olehmu kelak dewasa. Semoga pula kita dikumpulkan di jannah-Nya, bersama kakakmu, Abimu, dan Ummimu tentunya.
Kabulkanlah ya Allah….

Ps. Belum sempat Abimu ini membuat syair seperti dulu.

Mohammad Fauzil Adhim:
Tetapi, seperti kata Nabi, ”Barangsiapa tidak menyayangi, dia
Tidak akan disayangi.” Man la yarham, la yurham. (HR. Muslim). Pesan Nabi
saw. ini mengingatkan saya pada peristiwa yang disebut dalam hadis shahih
riwayat Bukhari. Suatu saat Rasulullah saw mencium cucunya. Seorang
pembesar bernama Aqra’ bin Habis At-Tamimi melihatnya, lalu
berkomentar, ”Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang
pernah kucium.” Rasulullah saw lalu menjawabnya dengan
ungkapan yang fasih, ”Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang
dari hatimu!”

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
02:24 19 September 2006

VIRUS KAWASAKI BUKAN VIRUS MURAHAN


VIRUS KAWASAKI BUKAN VIRUS MURAHAN

http://10.9.4.215/blog/dedaunan

Hasil Ekokardiografi pada jantung anak pertama kami, Haqi, menunjukkan hasil negatif dari akibat serangan virus Kawasaki—virus luar negeri yang dideteksi telah masuk Indonesia setahun lalu. Ini sangat melegakan kami yang sempat panik saat seminggu lalu (08/09) mendapat vonis dari dokter spesialisasi anak di salah satu rumah sakit ibu dan anak Depok, bahwa haqi terkena virus ini.
Awalnya tiga minggu lalu, Haqi sepulang dari sekolah mengadukan apa yang dideritanya. Sekujur tubuhnya terutama di bagian badan menderita bercak-bercak merah seperti tampak. Kami menanggapinya dengan biasa-biasa saja karena ini mungkin cuma penyakit kulit biasa saja. Lalu kami meminta obat antiseptik kepada tetangga kami, seorang bidan yang juga membuka rumah persalinan di komplek kami.
Namun, obat antiseptik itu tidak bekerja dengan baik. Tapi malah suhu badan Haqi semakin bertambah, oleh karena itu esoknya kami memutuskan untuk membawanya ke dokter klinik terdekat di daerah kami. Alhamdulillah, setelah diberi obat-obatan dari dokter tersebut, suhu badan Haqi berangsur-angsur turun, dan setelah kurang lebih dua hari bercak-bercak itu hilang. Dokter Cuma mendiagnosa bercak-bercak itu sebagai akibat panas dalam yang diderita Haqi.
Anehnya, setelah itu kulit tangan Haqi terutama di bagian telapak tangan dan juga di jari-jari kakinya mengelupas. Tapi ketika kami tanyakan apa yang dirasakan sekarang oleh Haqi, ia cuma menggeleng saja. Kulit yang mengelupas itu sempat menjadi bahan mainan Haqi, dengan gunting ia pun memotong kulit yang benar-benar telah mengelupas itu. Hasil dari kulit yang mengelupas itu adalah telapak tangan Haqi menjadi kemerahan dan terasa kasar.
Tidak hanya kulit tangan yang mengelupas, sudut-sudut bibirnya pun seperti luka, dan lidahnya sakit karena sariawan. Puncaknya dua minggu setelah bercak-bercak itu muncul, Haqi kembali panas sambil merasakan sakit di lidahnya itu. Kami pun mencoba konsultasi ke dokter spesialisai anak untuk masalah sariawan ini sekalian bertanya tentang mengapa anak ini kurus sekali walaupun asupan susunya banyak.
Ternyata oleh dokter yang diperhatikan bukanlah masalah sariawannya tetapi bekas bercak-bercak di badan serta kulit telapak tangan yang mengelupas itu. Setelah mendengar keterangan kami dan melihat secara fisik kondisi Haqi (suhu tubuhnya naik menjadi 39 derajat celsius) Dokter pun mendiagnosa bahwa Haqi terkena Kawasaki Diseases. Penyebabnya adalah virus yang bila tidak ditangani secara dini maka akan berkomplikasi ke Jantung.
Dokter pun memerintahkan kami supaya memeriksa darah Haqi di laboratorium terlebih dahulu. Selain itu dokter memberikan resep obat yang salah satu obatnya itu mengandung ibuprofen—bila diberikan kepada anak yang terkena virus kawasaki maka tidak akan ada pengaruh. Karena menunggunya hasil lab itu terlalu lama, sedangkan Haqi sudah merengek-rengek minta pulang dan sudah tidak kuat menahan sakit di lidahnya, maka kami putuskan untuk pulang dengan menitipkan hasil lab itu kepada salah seorang tetangga kami yang kebetulan sedang bekerja di lab tersebut.
Malam harinya, suami tetangga kami itu—sebut saja Pak Jumani—mengetuk pintu kami dan menyerahkan hasil lab tersebut dan memberitahukan bahwa Haqi ditengarai positif terkena virus Kawasaki. Saran dokternya adalah segera dilakukan ekokardiografi. Lalu bila besok pagi panasnya tidak turun maka harus segera kembali ke dokter tersebut.
Syukurnya di tengah kepanikan kami Pak Jumani yang juga seorang analis lab itu mengendorkan kepanikan kami. Ia mengatakan bahwa hasil lab memang sudah pasti tapi diagnosa dokter bisa berbeda-beda. Oleh karena itu kami disarankan untuk mencari second opinion sekalian ekokardiografi di rumah sakit anak dan bersalin (RSAB) Harapan Kita. Apa yang dikatakannya melegakan kami ditambah keesokan harinya suhu badan Haqi sudah turun. Dan kami putuskan untuk menunda mencari second opinion itu pagi itu, tapi setelah obat ini habis.
Hari ini (14/09), seminggu setelah kami mendapat vonis itu, kami menuju RSAB Harapan Kita untuk menuntaskan rasa kepanasaran kami apalagi ditambah setelah kami membaca artikel-artikel yang kami cari di Internet tentang virus ini. Membaca semua itu jelas mengagetkan kami, apalagi ini efeknya akan terasa kembali 10 tahun lagi bagi si penderita. Kami tidak bisa membayangkan bahwa anak kami ini kan mengalami kelainan jantung.
Segera setelah konsultasi dengan dokter spesialisasi anak kami dirujuk untuk dilakukan ekokardiografi di dokter lain pada rumah sakit yang sama—dr Syarif namanya. Setelah mendengarkan penjelasan kami dengan teliti, terutama mengecek bermulanya derita itu secara detil per tanggal, dr. Syarif menyarankan kami untuk dilakukan ekokardiografi. Saran yang diutarakan kepada kami dengan segan-segan karena ini menyangkut biaya dan setelah secara rinci dijelaskan tentang kegunaan dari tes ini.
Syukurnya kami tidak terperanjat dengan biaya yang diajukan oleh dr. Syarif, karena kami sudah bertekad untuk menuntaskannya. Biayanya Rp300.000,00 hanya untuk tes tersebut, belum termasuk jasa dua orang dokter dan jasa rumah sakit.
Hasilnya seperti yang dijelaskan di awal, jantung anak kami normal-normal saja. Katup-katup, arteri koronernya normal. Tidak ada yang bermasalah. Dr Syarif pun mengatakan bahwa gejala-gejala yang diderita sangat berlawanan dengan apa yang menjadi karakter serangan virus yang hanya menyerang anak-anak ini.
Alhamdulillah, tuntas sudah rasa kepenasaran kami, tinggal melanjutkan mencari penyebab mengapa badan anak kami selalu kurus. Kami dirujuk untuk konsultasi ke dokter kulit dan kelamin, dokter THT, dan melakukan serangkaian tes lagi yaitu tes mantuk dan rontgen dada. Setelah berkonsultasi dengan dokter Syarif, konsultasi dan pengobatan ini bisa sambil jalan saja, tidak harus dilakukan pada hari ini.
Terpenting adalah kepastian yang menggembirakan kami dari hasil ekokardiografi tersebut bahwa anak kami tidak terserang virus Kawasaki. Karena bila terserang, penyembuhannya lama berkisar dua sampai dengan tiga bulan, obatnya pun sungguh mahal sekali. Sebotol dosis tertentu mencapai harga Rp3.500.000,00. Dan ini tergantung dengan berat badan si penderita, bila si anak beratnya mencapai 25kg, maka obat yang diperlukan sebanyak 10 botol (2,5kg/botol). Hitung saja…ternyata virus ini virus mahal, virus luar negeri dan bukan kampungan pula. Semoga anak-anak kita terhindar dari virus ini.

Sebagai informasi tambahan, berikut salah satu artikel mengenai virus ini:

Virus Kawasaki Mengancam Jiwa Anak
24 Agustus 2005
Di ambil dari http://www.cbn.net.id/

Setelah digegerkan virus flu burung, kini, masyarakat dikejutkan dengan adanya virus Kawasaki. Virus Kawasaki yang menyerang seorang anak dan dirawat di RS Harapan Kita tidak perlu terlalu dikhawatirkan mengingat virus tersebut sangat langka di Indonesia. Dan, menurut Menkes Siti Fadillah Supari, virus Kawasaki ini selalu ada, tapi bisa diobati.

“Virus Kawasaki itu memang selalu ada. Itu virus biasa. Tapi, pada orang-orang tertentu, ada yang mengakibatkan reaksi imunologis yang akan berefek pada jantung,” kata Menkes kepada wartawan usai silaturahmi bersama pejabat eselon I Depkes dengan pemimpin media massa di Hotel Twin Plaza, Slipi, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Anak yang dirawat di RS Harapan Kita memang memiliki gejala klinik yang mirip virus Kawasaki. Virus yang pertama kalinya muncul di Jepang ini, menimpa anak dan berkomplikasi dengan pembuluh darah jantung. “Kemarin yang di Harapan Kita itu, tampaknya begitu. Tapi ini bisa diobati,” lanjut Menkes. Kasus virus Kawasaki ini masih sedikit di Indonesia. Tahun lalu, tercatat ada dua orang yang terkena virus ini.

Demam Tinggi, Waspadalah!
Lalu, apa sih virus kawasaki itu atau dalam dunia medis dikenal dengan Sindrom Kawasaki atau sindrom kelenjar getah bening Mukokutaneus, Sindrom ini merupakan suatu penyakit non-spesifik, tanpa agen infeksius tertentu. Penyakit ini menyerang penderita pada bagian selaput lendir, kelenjar getah bening, lapisan pembuluh darah dan jantung. Penyebab pasti dari Sindrom Kawasaki hingga saat ini belum diketahui. Namun diperkirakan penyebabnya toksin superr antigen bakteri yang dikeluarkan staphylococcus aureus atau oleh grup A. streptococci, demikian menurut uraian Dr. Susilo, spesialis anak.

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Jepang sekitar tahun 1960-an. Dan, penyakit inipun menyerang anak berumur 2 bulan sampai S tahun dan 2 kali lebih Bering ditemukan pada anak laki-laki, lanjut Susilo. Sekitar 80 persen kasus ditemukan pada balita. Kasus sindrom kawasald terjadi banyak pada musim dingin atau musim semi di beberapa negara. Jepang merupakan negara yang paling banyak ditemukan kasus ini. Puncaknya terjadi pada tahun 1984 – 1985. KLB dilaporkan pemah terjadi pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Penyakit ini telah tersebar diseluruh dunia. Namun cara penularan belum diketahui dan belum ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Bahkan masa inkubasi dan masa penularan virus kawasaki belum diketahui.

Memang untuk mendiagnosis penderita terserang virus Kawasaki bukanlah perkara mudah, ujar Susilo. Diagnosis baru dapat dilakukan bila terjadi demam yang turun naik dengan suhu tubuh 39 derajat celcius selarna lebih dari 5 hari. Dan, demam tersebut tidak memberikan respon terhadap asetaminofen maupun ibuprofen dalam dosis normal. Gejala lain yang perlu diperhatikan terjadi kerewelan pada anak dan tampak mengantuk. Kadang anak merasakan nyeri dan kram di perut.

Selain itu terjadi pula ruam kulit di batang tubuh dan di sekeliling daerah yang tertutup popok. Atau dapat pula ruam terjadi di bagian selaput lendir, lapisan inulut clan vagina misalnya. Anak yang terserang penyakit Kawasaki menunjukkan pula gejala seperti bibir merah, kering dan pecah-pecah, lidah merah seperti stroberi, dan tenggorokan merah.

Dalam beberapa minggu, ada tiga fase perkembangan dari penderita virus kawasaki, yakni fase demam akut berlangsung kira kira 10 hari yang ditandai dengan demam tinggi, kelainan kulit yang muncul secara cepat dan mendadak sebagai akibat dari penyakit, pembengkakan kelenjar, kulit merah karena terjadi pelebaran pembuluh darah. Setelah fase akut, terjadi fase subakut yang berlabgsung kira-kira dua minggu ditandai dengan demam, trombositosis, pengelupasan sisik-sisik lapisan tanduk epidermis (desquamasi), dan mulai menurunnya demam. Sedangkan fase berikutnya adalah fase konvalesen yang panjang ditandai dengan menghilangnya gejala klinis.

Komplikasi Jantung
Sebenarnya, jika gejala awal cepat diketahui maka penanganan penyakit akan cepat dilakukan. Yang justru dikhawatirkan dengan penyakit kawasaki ini jika terjadi komplikasi.

Sebab, sekitar 5-20 persen penderita mengalami komplikasi jantung, yang biasanya timbal pada minggu ke 2-4. Jika tidak terjadi komplikasi jantung, biasanya akan terjadi pemulihan sempurna. Sekitar 1-2% penderita meninggal, biasanya akibat komplikasi jantung; 50% diantaranya meninggal pada bulan pertama, 75% meninggal pada bulan kedua, 95 % meninggal pada bulan keenam. Tetapi kematian bisa terjadi 10 tahun kemudian dan kadang secara tiba-tiba.

Komplikasi bisa berupa peradangan adangan arteri koroner yakni arteri yang membawa darah ke jantung, pelebaran bagian dari arteri koroner (aneurisma), peradangan kantung jantung (perikarditis), peradangan otot jantung (Miokarditis akut, gagal jantung, dan kematian otot jantung (infark miokard). Penyakit sindrom kawasaki selain komplikasi dengan jantung, dapat pula terjadi komplikasi lainnya, seperti ruam yang tidak biasa, nyeri atau peradangan sendi (terutama sendi-sendi yang kecil), peradangan non-infeksius pada selaput otak (meningitis aseptik), peradangan kandung empedu, dan diare.

Pengobatan yang Tepat

Karena sindrom kawasaki tidak diketahui penyebabnya secara pasti, jadi tidak ada cara untuk pencegahan. Yang terpenting untuk Anda adalah segera menghubungi dokter bila anak Anda terserang demam tinggi. Demam tersebut apakah dengan gejala atau tanpa gejala dari sindrom kawasaki. Dengan pemeriksaan segera dokter dapat mengetahui segera sebab-sebab dari demam.

Dan, bila buah hati Anda dinyatakan terserang virus kawasaki, maka pihak medis akan segera memberikan pengobatan. Pengobatan dini secara berarti dapat mengurangi resiko terjadinya kerusakan pada arteri koroner dan mempercepat pemulihan demam, ruam dan rasa tidak nyaman. Selama 14 hari diberikan immunoglobulin dosis tinggi melalui infus dan aspirin dosis tinggi melalui mulut. Setelah demam turun, biasanya aspirin dalam dosis yang lebih rendah diberikan selama beberapa bulan untuk mengurangi risiko kerusakan arteri koroner dan pembentukan bekuan darah.

Pemeriksaan EKG akan dilakukan beberapa kali untuk mendeteksi adanya komlikasi jantung. Aneurisma yang besar diobati dengan aspirin dan obat anti pembekuan (misalnya warfarin). Aneurisma yang kecil cukup diatasi dengan aspirin. Jika anak menderita influenza atau cacar air, untuk mengurangi resiko terjadinya sindroma Reye, sebaiknya untuk sementara waktu diberikan dipiridamol, bukan aspirin.

Waspadai Gejala Berikut
• Demam yang turun-naik, tetapi biasanya diatas 39° Celsius, sifatnya menetap (lebih dari 5 hari) dan tidak memberikan respon terhadap asetaminofen maupun ibuprofen dalam dosis normal
• Rewel, tampak mengantuk
• Kadang timbul nyeri kram perut
• Ruam kulit di batang tubuh dan di sekeliling daerah yang tertutup popok
• Ruam pada selaput lendir (misalnya lapisan mulut dan vagina)
• Tenggorokan tampak merah
• Bibir merah, kering dan pecah-pecah
• Lidah tampak merah (strawberry-red tongue),
• Kedua mata menjadi merah, tanpa disertai keluarnya kotoran.
• Telapak tangan dan telapak kaki tampak merah, tangan dan
kaki membengkak
• Kulit pada jari tangan dan jari kaki mengelupas (pada hari ke
10-20)
• Pembengkakan kelenjar getah bening leher
• Nyeri persendian (atralgia) dan pembengkakan, seringkali simetris (pada sisi tubuh kiri dan kanan).
Pemeriksaan Medis
Ada beberapa pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk penderita sindrom kawasaki, yakni:
• EKG. yang bisa menunjukkan tandatanda dari miokarditis, perikarditis, artritis, meningitis aseptik atau vaskulitis koroner,
• Hitung darah lengkap, yang menunjukkan peningkatan jumlah sel darah, putih dan anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah); pemeriksaan darah berikutnya menunjukkan peningkatan jumlah trombosit,
• Rontgen dada,
• Analisa air kemih yang bisa menunjukkan adanya nanah atau protein dalam air kemih.
Penanganan Penderita
• Bila ada kasus dilaporkan ke instansi kesehatan dengan segera.
• Isolasi tidak dilakukan.
• Tidak diperlukan desinfeksi serentak.
• Tidak perlu karantina.
• Imunisasi dengan kontak tidak dilakukan.
• Investigasi dilakukan jika terjadi KLB untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko.
Sumber: Tabloid Ibu & Anak

Riza Almanfaluthi
Dedaunan Di Ranting Cemara
02:43 14 September 2006

Saya Bukan Juru Ledak


Saya Bukan Juru Ledak
(Ikuti Milis Bermanfaat)

Satu manfaat kita mengikuti milis adalah kita bisa berbagi. Yang paling penting adalah berbagi informasi dan apa saja terkecuali—seperti yang selalu teman saya bilang , Mas Soy—hati dan perasaan (halah…).
Tentunya milis yang benar-benar menjadikan diri kita insider bukan outsider. Maksudnya milis itu memang berkaitan dengan yang segala sesuatu kita sukai bukan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita. Tapi ada saja yang memang mengikuti milis bukan untuk take and give tapi memberi saja. Biasanya ini cuma untuk penyebaran opini, pemasaran bisnis pribadi, atawa spam tidak bermutu.
Kalau kita mengikuti milis yang tidak disukai, tepatnya memang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kesukaan, hobi, atau pekerjaan kita maka bersiap-siaplah menjadi orang yang terasing, yang bloon dan melongo tidak tahu apa yang didiskusikan. Hasilnya ini membuang-buang bandwith saja. Lalu buat apa dipertahankan, so tinggal unsubscribe saja.
Contoh terbaru adalah saat saya mengikuti milis pekerja tambang. Niat pertama saya adalah mungkin saya bisa berbagi tentang pengetahuan perpajakan saya, sehingga para peserta milis setidaknya merasakan sedikit manfaat dari keberadaan dan eksistensi saya (halah…lagi). Eh…ternyata memang pajak dari sononya tidak disukai, kalau bisa ya dihindari saja (kalau masalah ini sih basic instinct, atawa wild instinct dari manusia). Jadinya tidak ada yang pernah menanyakan hal ini. Malah saya yang terlongong-longong membaca istilah-istilah aneh seperti ini:

Planning, Monitoring and Evaluation Project with the Logical Framework Approach (LFA),
sertifikat juru ledak
kandungan TiO2 >12%

Wah…kalau dulu saya memang pernah jadi juru tapi bukan yang berkaitan dengan dinamit dan TNT tapi Jurusita, profesi khusus dengan segala sesuatu yang membuat Wajib Pajak gemetar dan tidak bisa tidur karena membaca surat teguran, surat paksa dan surat sita. Dan maaf juga yah, saya sekarang bukan di PMA Tiga lagi, saya sudah tidak mengurusi kilaunya emas dan sangitnya batubara. Yang saya urusi sekarang adalah sepatu, tekstil, dan tembakau. Jadi beda jauh, ibarat bedanya Squall sama saya (emang sudah beda dari dulu). Saya mengambil langkah tepat, saya bukan juru ledak, saya bukan pekerja tambang, saya tidak mendapatkan apa-apa di sana, saya cabut dari milis pekerja tambang.
Kembali tentang kegunaan kita mengikuti milis—yang saya ikuti adalah keadilan4all—saya seringkali mendapatkan informasi terkini tentang perkembangan dunia Islam karena ada satu peserta milis yang sangat konsisten untuk mengupload berita-berita terkini dari internet. Ada lagi yang konsisten sekali untuk menampilkan tanya jawab dari Pusat Konsultasi Syariah, atau tentang tipu daya Amerika terhadap dunia Islam dengan menampilkan berita asli dari situs luar negeri.
Nah, yang paling gua demen adalah semangat berbagi di saat peserta lain membutuhkan sesuatu misalnya tentang permintaan softcopy materi daurah, informasi seminar, atau daftar-daftar informasi penting lainnya.Dua hari ini saya diminta bantuannya oleh beberapa teman untuk memberikan informasi seputar SDIT di Jakarta Selatan dan materi daurah.
Sudah jelas saya tidak tahu mengenai masalah ini, tapi saya berusaha ketika saya tidak bisa mampu memberi yang diminta setidaknya saya bisa membantu dengan memberikan kepada mereka info siapa yang harus mereka hubungi. Tidak hanya itu, saya kemudian mengirimkan permintaan bantuan kepada para peserta milis. Dan alhamdulillah, responnya luar biasa. Tidak berapa lama apa yang teman saya butuhkan bisa segera didapat. Ternyata yang membantu adalah kawan-kawan dari pajak juga yang ikut milis itu. Syukurlah…saya cukup puas sekali kalau saya bisa sedikit membantu.
Sekarang, milis yang saya ikuti adalah keadilan4all, forum_lingkarpena, dan Belajar_IT. Yang disebut terakhir, sedang dipertimbang-timbang untuk keluar juga. Karena belum ada manfaat yang bisa saya ambil. Tapi saya perlu waktu lagi untuk menelisik lebih dalam, apakah milis ini berguna bagi saya atau tidak. Agar saya benar-benar bisa menjadi insider bukan outsider yang tidak punya inner beauty dan outer beauty. Loh….loh…loh…kagak nyambung lagi…
Kesimpulannya—ini memang harus benar-benar disimpulkan karena bisanya si TJ malas membacanya, dan cuma bisa minta ringkasannya saja. Pertama, ikutilah milis yang benar-benar bermanfaat untuk kita, kedua, ikuti milis yang bisa menjadikan diri kita menjadi bagian dari milis itu, dan ketiga yang para anggotanya suka untuk berbagi dan ringan tangan membantu sesama. Jika tidak, ledakkan saja, upss…saya bukan Amrozi dan bukan pula agen-agen barat, saya bukan pula juru ledak, maksudnya cabut saja, unsubscribe saja gitu loh.

terimakasih untuk:
Arman [LTO];
Winanto [Solo];
Muhammad Damiri [London Sumatera].

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12:44 07 September 2006

”MENEMBAK” ANAK TETANGGA


”MENEMBAK” ANAK TETANGGA
(I LOVE YOU)

Melihatnya dan mendengar curahan hatinya seperti melihat diri saya sendiri berumur belasan tahun. Kegundahan hati anak yang baru menginjak kelas satu SMP ini—sebut saja Alex—terasa sekali dari setiap gerakan matanya. Bahkan sangat mencolok dengan hembusan nafas yang ia perdengarkan ke sekeliling untuk meneguhkan hatinya yang tumbang karena penolakan.
Ya, anak tetangga saya satu RT ini baru saja ‘menembak’ Bunga—remaja perempuan yang umurnya pun baru belasan tahun dan duduk di kelas tiga SMP. Ia pun anak dari tetangga saya yang lain. Hasil dari tembakannya bisa ditebak karena selain tidak memenuhi kriteria menurut pandangan kapitalisme yaitu tinggi, putih, dan macho juga tentunya si Alex umurnya jauh di bawah Bunga. Walaupun sempat terucap dari Bunga: ”itulah namanya cinta”, saat ditanya oleh si Alex ”bolehkah saya mencintaimu walau engkau kakak kelas saya.”
Luar biasa filosofisnya perjalanan kehidupan anak-anak zaman sekarang. Filosofi yang dikarbit untuk mengejar waktu yang membuat mereka lebih cepat dewasa dari yang sebenarnya. Dengan bahan karbit berupa tayangan sinetron remaja penuh hedonisme di setiap malamnya dan pesan-pesan singkat yang bersileweran via telepon genggam yang sudah menjadi aksesoris primer.
”Bi, saya sempat berpikir apakah ia jodoh saya atau bukan?” Saya sampai tertawa—tapi tentunya di dalam hati—mendengar pemikiran setengah pertanyaan tersebut.
”Saya sakit hati, Bi.”
”Saya menangis dalam sholat, Bi.”
”Bunga sepertinya memberikan harapan.”
”Saya tidak bisa tidur.”
”Saya tidak bisa melupakannya.”
”Saya sampai sakit dan disuruh pulang sama Bu Guru.”
”Saya cuma ingin dia tidak bergaul dengan anak-anak nakal.”
”Pacaran dosa enggak sih, Bi?”
”Kalau pacaran tidak pegang-pegang gimana tuh, Bi?
Masih banyak penjelasan dan pertanyaan yang ia berikan menemani curhatnya kepada saya sebagai ”guru sipritual”nya. Curhat yang membuat saya harus berdiam terlebih dahulu untuk mendengar semua apa yang ia ingin katakan. Saya paham sekali yang ia butuhkan adalah tempat untuk membuang segala keresahannya. Dan menurutnya saya adalah tempat yang tepat sekali. Dan saya paham sekali bagaimana sih wujud metamorfosis dari cinta monyet yang gagal itu, karena saya tentunya adalah mantan remaja.
Tapi satu yang pasti adalah ah, ternyata mungkin beginilah tingkah saya dulu saat mengejar cinta. Beginilah apa yang dirasakan oleh orang dewasa dulu saat mendengar curhatan saya. Pertama, tertawa yang pasti. Kedua, segalanya mudah ditebak. Ketiga, berpikir bahwa zaman yang kau tempuh masih panjang, Dik.
Lalu setelah lama ia berbicara, giliran sayalah yang beraksi. Dalam hati, inginnya saya bagaimana ia bisa tetap eksis untuk mendapatkan cinta Bunga. Tapi jelas hal ini melenceng jauh dan bertolak belakang dari misi yang saya bawa setiap harinya. Saya bukan konsultan gelap untuk itu. Dan sungguh bukanlah waktunya untuk menerapkan trik syar’i mendapatkan Bunga dengan jalan perjodohan sebagaimana biasa yang ditempuh para mahasiswa era kampus saya dulu.
Pastinya banyak nasehat klasik yang meluncur dari mulut saya dan dengan hati tentunya. Nasehat yang sudah biasa dibuat oleh para orang tua yang selalu mewanti-wanti anak-anaknya untuk giat belajar dan tidak berpacaran atau menikah dulu saat menempuh ilmu.
Sedikit membosankan memang tapi itu suatu kepastian yang dituntut dari seorang pelajar dan hamba Allah yang senantiasa waktunya digunakan untuk mengingat Allah. Tapi saya tidak melupakan janji Penguasa Jagat Raya kepadanya. Sesungguhnya pemuda calon penghuni surga adalah pemuda yang mampu menghindar dari nikmatnya maksyiat saat ia sanggup untuk melahapnya di depan mata.
Tidak hanya nasehat tentunya agar ia bisa menghilangkan kesahnya. Saya menyuruhnya melakukan apa yang biasa saya lakukan pada saat menenggak keresahan, yaitu menulis apa yang ia rasakan pada secarik kertas dan memberikannya kepada saya. Mungkin terapi ini bisa membantu.
Pun saya memberikan solusi yang bisa mengalihkan perhatiannya. Saya ajak ia untuk ikut acara mabit di masjid kampung tetangga malam ahad besok. Supaya tidak sepi di malam panjang yang menggoda itu, saya menyuruhnya untuk mengajak semua teman-temannya ikut acara itu. Sekalian mengasah kepekaan hati bermunajat di rakaat-rakaat panjang sepertiga malam terakhir. ”Lex, pintalah apa yang kau mau padanya, saat itu.”
Untuk Sang Bunga, saya cuma bisa menyerahkan kepada sang istri—tempat di mana Bunga mengulang hafalannya—untuk menasehatinya agar senantiasa menjaga aurat, sekeping hati, dan ribuan asanya.
Ah, adik-adikku, anak-anak tetanggaku, masih jauh senja di pandang mata, masih jauh waktu yang akan kau tempuh, bersemailah, bermekaranlah menjadi pemuda-pemudi tangguh untuk masa depanmu. Kelak kau akan merasakan nikmatnya iman pada diri-diri yang shalih, keluarga yang shalih, dan masyarakat yang shalih. Tidak hanya engkau berdua saja.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10:32 05 September 2006

SUATU SAAT SAYA AKAN MENGGIGIT KAMU


Berbulan-bulan sudah saya tidak pernah mencicipi kue ini. Ada sih kue sejenis ini: serabi solo. Kalau yang ini juga saya doyan dan sering makan di Kalibata sini. Tapi saya ingin yang klasik, yang konvensional. Kue serabi yang biasa saja itu loh. Yang sering saya jumpai di kampung halaman di setiap ahad pagi sehabis jogging.
Ada yang berwarna putih dan ada pula yang berwarna merah. Kalau yang putih tentu rasanya asin biasa atau gurih. Tapi yang merah tentunya manis karena ditambah dengan gula merah cair oleh bibik-bibik penjual kue serabi. Dan sedapnya….tanpa di tambah-tambah dengan cairan gula lainnya seperti kue serabi yang ada di Bandung atau Jakarta.
Waktu pulang ke Semarang kemarin (ini kemarinnya orang Jawa yah…) saya mencari-cari kue ini. Hasilnya nihil. Tidak barang sebiji pun yang bisa saya jumpai. Padahal saya sedang kangen-kangennya sama itu tuh barang. Uh…
Tapi, akhirnya Allah mempertemukan juga dengan kue itu. Tiga hari lalu, di rute baru yang saya tempuh dalam perjalanan menuju kantor, di dekat perlintasan kereta api Pasar Minggu menuju Condet, di ujung gang ada ibu muda penjual kue itu sedang asyik membakar serabi dalam gerabah hitamnya. Tapi karena saya sedang diburu oleh waktu untuk segera meletakkan jempol kiri ini di finger print maka saya tidak berhenti untuk mencicipi salah satu warisan kuliner nenek moyang kita itu. Tetapi saya sudah mengincarnya. ”Suatu saat saya akan menggigit kamu,”tekadku. 
Nah, hari ini, Jum’at, tanggal satu bulan September tahun dua ribu enam, saya kembali melewati jalan itu dan berhenti sejenak untuk membelinya. Tapi saya ingat saya cuma membawa satu lembar I Gusti Ngurah Rai dan dua lembar Pattimura. ”Wah, duit recehnya tidak ada lagi, padahal saya mau membeli banyak, setidaknya buat teman-teman di kantor,”pikir saya.
”Bu, harganya berapa?”
”Seribu dua, mas.”
“ Ya, sudah saya beli empat.”
“Empat ribu mas…?” tanyanya.
“Nggak Bu, saya cuma punya receh dua ribu, jadi empat biji saja.”
Dengan sigapnya ia memilihkan buat saya serabi yang masih panas dan terlihat bersih. Tapi saya memintanya untuk mengambilkan yang bagian bawahnya menghitam, agar terasa khas sangit-sangit terbakarnya.
Empat kue sudah berada di kantong plastik dan bertengger di stang bagian kiri motor yang sudah hampir mendekati kantor. Kini, sambil menulis ini, saya menggigit kue ini pelan-pelan, merasakan gruihnya (tidak lezat-lezat amat sih). Tapi yang pasti saya merasakan sensasi luar biasa, yaitu sensasi terpenuhinya rasa kangen saya terhadap kue kuno yang satu ini. Alhamdulillah, yang mana IA telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati kue ini.
Ngomong-ngomong masalah kenikmatan serabi, yang cuma kenikmatan kampung, dan cuma kenikmatan semu dunia maka kenikmatan mana lagi yang sempurna selain kenikmatan yang Allah persembahkan kepada orang-orang bertakwa.
Pasnya lagi hari ini saya sering mengulang-ulang beberapa ayat di surat Al-Insaan ayat 41 s.d. 44

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata air-mata air
Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.
(Dikatakan kepada mereka): ”makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa ayang telah kamu kerjakan”.
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Subhanallah…
Setelah beberapa ayat itu, Allah menggambarkan tentang keadaan bagi orang-orang yang mendustakanNya di dunia.
”…Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.”
”Kecelakaanlah yang besar bagi orang-orang yang mendustakan.”

Masya Allah…
Ah, pagi ini serabi saya memberikan sedikit penyadaran bahkan banyak, untuk selalu sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian kita.

Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08.29 01 September 2006

SEMANGAT CINTA DI FORUM KELUARGA


Setelah sang penjaga DSHNet itu pergi meninggalkan kantor pusat untuk menjalankan tugas di tempat baru, dan setelah begitu terbengkalai halaman depannya dengan berita-berita basi yang tidak up to date, dan setelah tanggung jawab di forum diskusi dipunggawai oleh salah seorang al-akh yang lain, tiba-tiba saja DSHNet itu menghilang.
Apa yang saya rasakan? Kalau Anda yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya yang berjudul: akhir dari penantian panjang? di http://10.9.4.215/blog/dedaunan/11493 maka Anda akan melihat betapa rindunya saya dengan DSHNet. Rindu yang membuncah kerana saya sendiri yang tidak merasakan kelezatan berita DSHNet, asyiknya mengirim tulisan di partisipasi, dan lain-lain.
Tetapi sekarang, saya belum merasakan kerinduan itu. Walaupun lagi-lagi serasa seperti tercerabut dari akarnya. Mungkin dikarenakan tidak hanya saya yang kehilangan tetapi banyak teman yang senantiasa di setiap harinya memantau dan menemukan eksistensi dirinya di DSHNet, entah sebagai komentator dari berita-berita yang ada, atau sebagai pengirim ucapan yang setiap setiap saat di menu Kirim Ucapan, atau sebagai seorang yang haus akan kekerabatan di forum keluarga, bahkan penempur sejati di forum dakwah dengan segala cacian dan makiannya.
Berkaitan dengan forum inilah yang membuat saya merasakan ketidakrinduan ini terkecuali untuk bersilaturahim dengan para peserta forum di Keluarga. Karena selain di forum Keluarga—terutama di forum dakwah dan politik yang ada hanyalah kecaman, celaan, dan fitnah yang dibungkus dengan nasehat manis belaka. Yang tiada habis-hasbinya setiap hari digunakan untuk membongkar kelemahan kawan atau manhaj tertentu lainnya. Yang sudah pasti memang sudah berbeda dari sononya dan tidak pernah akan ketemu kalau tidak ada salah satunya yang mengalah.
Ternyata, hikmah apa yang saya dapatkan dari kehilangan DSHNet ini. Ini pengakuan jujur dari saya. Saya bisa lebih concern untuk memikirkan yang lain. Untuk menulis, untuk beraktivitas pada kegiatan utama sebagai seorang petugas pajak, untuk menambah hafalan, untuk membuat proyek ebook dari kumpulan tulisan saya di blog dedaunan di ranting cemara.
Saya lebih concern pula dengan membuat rencana materi apa yang diberikan kepada calon kader-kader Islam yang tangguh (Insya Allah). Dan terpenting lagi kini saya kembali lebih sering untuk bersilaturahim dengan sanak-saudara di blog Cicadas ini. Syukur yang tak terkira, walaupun dengan komentar seadanya kepada kawan yang lain dikarenakan lambatnya akses.
Dan apa yang saya tidak rasakan lagi setelah hilangnya DSHNet ini. Saya tidak lagi merasakan hati panas karena membaca komentar-komentar yang sepenuhnya penuh dengan kebencian itu terhadap manhaj dakwah yang saya pegang dengan erat ini. Pikiran-pikiran untuk mencari pembelaan yang ujung-ujungnya tetap saja dicaci itu pun tidak ada lagi. Pun hari-hari berhati gersang karena terlalu memikirkan celaan kini sudah tiada lagi. Insya Allah.
Dan itulah hikmah yang saya rasakan. Damai saja kiranya yang ada. Sudahlah, yang sudah berbeda ya tetap berbeda, kenapa sih ”kalian” masih tetap memaksakan kami dengan sebutan penghuni neraka karena dianggap tidak nyunnah. Kita masing-masing sudah punya ulama yang kita tsiqoh-i (percayai) bukan…? mengapa”kalian” yang panas…? tanya kenapa? (halah…) Sepertinya memang sudah terlalu banyak mudhorotnya tinimbang manfaatnya forum tersebut (terkecuali forum keluarga, ekonomi dan iptek tentunya, oh ya ada juga yang baru: forum pajak). Usul saya forum tersebut ditutup saja deh… 
Tapi satu kehilangan pasti adalah tiadanya berita Islam yang hot. Apakah saya harus membuka kembali situs Islam lain di pulau Sumatera itu? (nama dan alamatnya pun saya lupa, ada yang tahu?) Kehilangan lainnya adalah saya tidak bisa berbagi cerita dan berita bagus dari milis yang saya ikuti tentang kondisi umat Islam sedunia untuk saya beritahukan kepada khalayak di Forum Keluarga.
Ah…kiranya saya cuma merindukan fordis keluarga. Di sana ada Abu Salma, Umminya Zaidan, Abu Yazid, Atik Faizah, Ananda, Dandelion, Abu Umar, Brazkie, Abu Sa’ad, Salsabila, dan lain-lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu karena saking banyaknya. Mereka dan yang lain setidaknya menghidupkan silaturahim di forum keluarga itu. Ada semangat cinta di antara mereka. Cinta karena Allah tentunya. Cinta yang tidak dibungkus dengan semangat jarh wa ta’dil yang kebablasan itu.
Pula di sana saya pikir ada semangat koreksi yang tulus untuk sesama penghuni. Semangat berbagi yang tulus pula (berbagi resep kue seperti yang Umminya Zaidan lakukan). Semangat menulis buat para pengirim partisipasi (jangan pernah lemah semangat yah…). Semangat melankolis dengan puisi-puisi indahnya di Zona Poetry-nya. Ah…cukup banyak sekali semangat-semangat yang saya temukan di sana. Ah, kiranya saya merindukan forum keluarga. Itu saja.
Tapi kapan rindu ini tertuntaskan jikalau DSHNetnya pun tidak kunjung tiba. Atau jangan-jangan saya saja yang tidak tahu, kalau-kalau DSHNet kini sedang dipersiapkan dengan tampilan baru, funny, dan eye catching, tentunya pula dengan semangat baru oleh sang punggawa baru. Siapa tahu …? Semoga.

Riza Almanfaluthi
“Mas Danang S H. kemana dikau pergi…?,” (halah…)
dedaunan di ranting cemara
02:32 30 Agustus 2006

Rawat Helm Kita: Kepala Kita Tidak Senilai Uang 20 Ribu


Rawat Helm Kita: Kepala Kita Tidak Senilai Uang 20 Ribu

Tanggal 06 Februari 2006 yang lalu saya membeli helm ‘termahal’ yang pernah saya beli. Helm bermerk Agiva ini dikasih banderol ‘cuma’ Rp175.000,00 di toko kecil di bilangan Lenteng Agung arah ke Depok.
Helm full face ini benar-benar saya rawat. Tidak seperti kebanyakan helm yang pernah saya miliki dulu. Dulu waktu masih memakai helm pemberian dari toko, warna putih tentunya, saya terbiasa untuk menggeletakannya begitu saja tanpa ada sedikitpun keinginan untuk merawat, membersihkannya, atau tetap menjadikannya senantiasa kinclong setiap harinya.
Kalau jatuh pun, saya tidak merasa hati ini tergores (halah…). Lecet-lecet, berdebu, kumuh, dan penyak-penyok (saya belum menemukan kata dalam bahasa Indonesianya yang pas) menjadi pemandangan biasa pada helm itu. Tapi itu dulu.
Kini setelah saya memiliki helm ini saya benar-benar merubah kebiasaan saya. Saya yang jarang merawat suatu benda saat ini berupaya dan bertekad bagaimana supaya helm ini senantiasa indah di pandang mata. Maka coba tebak apa yang saya lakukan…?
Pertama, saya selalu mengelapnya setiap hari body luar helm setelah saya pakai dalam perjalanan pulang pergi ke kantor. Tentu mengelapnya pun dengan bahan khusus, yakni dengan spray pengilat body motor. Sret…sret…sedikit, lalu saya lap dengan kanebo. ”Indah nian dikau…” kata saya dalam hati. Saking selalu mengilapnya saya kadang dalam perjalanan melalui spion motor berusaha melihat helm saya untuk mengetahui seberapa mengilatnya helm ini. Narsis sekali…. 
Tapi terkadang memang dalam sehari saya tidak membersihkan helm tersebut. Karena kecapekan setelah pulang kantor dan paginya tidak sempat karena terburu-buru harus berangkat lebih pagi. Maksimal dua hari sekali saya harus membersihkan helm tersebut, dengan bahan yang disemprotkan lebih banyak dan tekanan saat mengelap dobel juga. Idih…
Kedua, meletakannya dengan hati-hati di tempat yang bersih. Kalau di rumah ditempatkan di ruang tamu. Dengan menjauhkan segala benda dari dekatnya. Takut tergores gitu… . Saya selalu mewanti-wanti anak-anak saya agar berhati-hati di saat mereka saya suruh untuk menaruh helm ini. Dulu, saya punya helm ditaruh begitu saja di dapur, diatas rak sepatu, dan bercampur dengan berbagai macam benda, maka saksikan saja kepala selalu digaruk-garuk karena kegatelan. 
Ketiga, kalau di kantor, saya tidak meletakkan helmnya ditempat parkir. Saya selalu membawanya ke dalam ruangan kantor. Ini untuk menghindari jatuhnya helm yang akan membuat helm lecet. Karena biasanya saking sempitnya lahan parkir, senggolan antarmotor dan gemuruh (kayak petir saja) suara helm jatuh sudah seringkali terjadi. Tentu ada reason lain. Anda pasti sudah tahu. Dicolong? Ya betul Anda tepat sekali. Biasa, kalau ada barang bagus di embat juga.
Enaknya di taruh kantor adalah setidaknya ruangannya berAC (emang ini pengaruh?) dan kebersihannya terjaga. Berbeda 180 derajat dengan di tempat parkir. Panas dan tidak terlindung dari sinar ganas ultraviolet matahari.
Oh ya, jangan lupa saat menaruh helm, visor (kaca helm)-nya harap dibuka agar sirkulasi udara di helm terjaga. Ini juga penting untuk menghindari bau yang tidak mengenakkan di dalam helm. Malu bukan, kalau helm itu diendus-endus sama yang lain terasa bau menyengat (emang apaan). BTW, saya belum pernah mencuci bagian dalamnya, karena belum tahu cara membuka bagian itu untuk bisa dicuci. Suatu saat, di hari libur, saya akan mencobanya.
Saking saya berusaha merawat helm ini, teman-teman saya biasanya komentar…”ini nih gara-gara helm mahal, jadi kerepotan sendiri.”. Ah, biarlah yang penting apa yang saya lakukan tidak merugikan orang lain. Dan terpenting lagi ini membuat saya merasa nyaman. Dengan kenyamanan ini, saya bisa berkonsentrasi lebih. Dan Insya Allah selamat di sepanjang perjalanan.
Teringat wejangan Kyai Haji Abdullah Gymnastiar dulu bahwa: ”harga kepala kita sungguh tidak sebanding dengan harga Rp20.000,00.” Komentar beliau ini untuk para biker yang terkadang tidak menghargai keselamatan jiwanya saat mengendari motor dengan memakai helm yang tidak standar. Ada juga yang standar sih, tapi standar proyek. Tentunya ini belumlah mampu untuk menahan liat dan kerasnya aspal hitam. Ih, sekali-kali tidak. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari hal yang sedemikian…
So, pakailah helm standar dan rawatlah dengan baik. Insya Allah nyaman, lebih konsentrasi, dan selamat. Ingat…! keluarga senantiasa menanti kita di rumah…. 

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
7 bulan helm itu sudah terawat
09:45 30 Agustus 2006