PENCABUTAN NPWP: PERSYARATAN SUBJEKTIF DAN ATAU OBJEKTIF


PENCABUTAN NPWP: PERSYARATAN SUBJEKTIF DAN ATAU OBJEKTIF

 

Ada yang bertanya kepada saya tentang hal-hal sebagai berikut ini:

  1. Apa maksud dari pernyataan “ATAS HASIL PEMERIKSAAN SUDAH TIDAK MEMENUHI LAGI SEBAGAI SUBJEK PAJAK”?

     

  2. Pemeriksaan dalam pencabutan NPWP itu adalah atas permintaan Wajib Pajak atau Kantor Pajak?
  3. Kalau Wajib Pajak masih hidup tapi sudah tua renta dan usahanya sudah atau akan ditutup atau sangat kecil penghasilannya atau hidupnya ditanggung orang lain atau Wajib Pajak yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bolehkah mengajukan Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)?

     

    Saya akan jawab satu persatu dengan pertanyaan yang mudah terlebih dahulu.

     

  1. Pemeriksaan

    Bahwa sesungguhnya dalam proses permohonan pencabutan NPWP baik yang diajukan oleh Wajib Pajak itu sendiri atau berdasarkan inisiatif dari Kantor Pajak, semuanya harus dilalui terlebih dahulu melalui pemeriksaan. Mau atau tidak mau.

    Berdasarkan peraturan terbaru berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 20/PMK.03/2008 tanggal 06 Pebruari 2008 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha kena Pajak disebutkan bahwa pemeriksaan harus ada keputusan mengabulkan atau menolak permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

Apabila jangka waktu itu lewat maka dianggap kantor pajak tidak memberikan suatu keputusan dan itu berarti permohonan penghapusan NPWP dianggap dikabulkan.

Bila dikabulkan maka kantor pajak dalam jangka waktu 1 bulan setelah jangka waktu di atas tadi harus menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan NPWP.

Kesimpulan, akan dilakukan pemeriksaan kepada setiap permohonan penghapusan NPWP baik yang diajukan oleh Wajib pajak itu sendiri atau inisiatif dari kantor pajak.

 

 

  1. Jawaban Atas Pertanyaan Ketiga adalah:

     Dengan keadaan dan situasi seperti itu, maka diperbolehkan mengajukan permohonan penghapusan NPWP. Masalah diterima atau tidak itu tergantung dari hasil pemeriksaan. Karena sesuai yang ketentuan yang berlaku disebutkan bahwa:

Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal:

  1. Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh:
    1. Wajib pajak dan atau ahli warisnya karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. Wajib Pajak Badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karna penghentian atau penggabungan usaha;
    3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
    4. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.

       

  2. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Jadi titik poin dari pencabutan NPWP terhadap orang pribadi adalah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lalu apa maksud dari pernyataan tersebut? Maka ini ada kaitannya dengan pertanyaan pertama di atas. Jawabannya di bawah ini.

 

  1. Persyaratan Subjektif dan/atau Objektif

     

Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendetil pada hal ini maka kita lihat di Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) tepatnya di penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Berikut definisinya:

 

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

 

Ketentuan Subjek Pajak dalam Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:

 
 

#Pasal 2

  1. Yang menjadi Subjek Pajak adalah :
    1. orang pribadi;
    2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
    3. badan;
    4. bentuk usaha tetap.
  2. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
  3. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah :
    1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
    2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
    3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
  4. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah :
    1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
    2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

 

Sedangkan ketentuan mengai objek pajak dapat saya sebutkan sebagai berikut:

#Pasal 4

  1. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
    1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
    2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
    3. laba usaha;
    4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
      1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
      2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
      3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
      4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
    6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
    7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
    8. royalti;
    9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
    11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
    12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
    13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
    14. premi asuransi;
    15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
    16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
  2. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Jadi bila Subjek Pajak di atas memperoleh penghasilan sebagaimana yang saya sebutkan dalam masalah objek pajak dan mempunyai kewajiban pelaksanaan pemotongan dan pemungutan maka ini berarti subjek pajak tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.

Bila tidak punya penghasilan pun tapi ia masih mempunyai syarat subjektif tetap dikatakan masih memenuhi syarat subjektif. Dan yang dapat memutuskan tidak memenuhi syarat subjektif dan/atau objektif dalam permohonan pencabutan NPWP adalah pemeriksa atau auditor pajak setelah melakukan penelitian yang mendalam terhadap kasus tersebut.

Bagi saya, dengan kondisi seperti yang disebut dalam pertanyaan itu jawabannya adalah NPWP bisa dicabut. (Jawaban ini tidak mewakili institusi Direktorat Jenderal Pajak tempat saya bernaung sebagai pegawainya).

Semoga ini dapat menjawab pertanyaan Mbak Nanik.

 

 

 

dedaunan di ranting cemara

Riza Almanfaluthi

16:37 26 Februari 2008

Advertisement