Sensasi Borneo


Setelah merasakan sensasi yang ternyata biasa-biasa saja saat pertama kali naik pesawat dari Jakarta menuju Palangkaraya, juga dengan Cassa dari Palangkaraya menuju Puruk Cahu, saya benar-benar merinding–kalau tidak mau dikatakan takut–saat menaiki pesawat kecil bermesin ganda dari Puruk Cahu menuju Balikpapan.

Pesawat carteran jenis Twin Otter yang disewa oleh perusahaan pertambangan emas untuk pengangkutan karyawannya ini hanya dapat memuat 15 penumpang saja. Dengan bobot keseluruhan–termasuk barang-barang yang dibawa–maksimal 1500 kg. Lebih dari itu, maaf saja salah seorang penumpang harus dikorbankan untuk terbang di hari lain.
Baca Lebih Lanjut

Hanya Seorang FIDEL CASTRO


25.01.2006 – Hanya Seorang FIDEL CASTRO

Siapa yang tidak tahu dengan Fidel Castro pada saat ini? Sosok atheis yang telah memimpin Kuba selama 47 tahun ini bahkan kembali membuat merah telinga para petinggi Gedung Putih dengan tawarannya yang seperti mengejek itu.
Sebagaimana diberitakan oleh Republika kemarin (24/1), Castro menawarkan kepada penduduk miskin Amerika Serikat—negara moderen, makmur, dan superpower—bantuan berupa operasi mata sebanyak 150 ribu operasi. Termasuk di dalamnya berupa bantuan jemputan, akomodasi, dan perawatan yang dibutuhkan secara gratis.
Tawaran ini bagi Amerika mungkin merupakan upaya mempermalukan mereka, namun bagi Castro tentu bukan sekadar iseng belaka atau rutinitas pemberian kutukan kepada Amerika sebagaimana biasanya, tapi karena Castro meyakini kemampuan negaranya yang memang perlu dibanggakan. Yakni kemampuannya dalam menyediakan rumah sakit yang canggih, peralatan medis yang lengkap, dan didukung dengan sumber daya manusia yang unggul.
Dan ini semua bermula dari ambisinya menjadikan Kuba sebagai kekuatan medis global. Sejak tahun 1980, Kuba mulai menanamkan investasi pada sektor bioteknologi. Hasilnya adalah pada tahun 1990 Kuba menjadi negara pertama yang mengembangkan dan menjual vaksin Meningitis B disusul dengan Hepatitis B.
Tidak berhenti disitu, bersama Venezuela sejak 10 tahun yang lalu menggelar operasi mata gratis bagi warga warga miskin di Amerika Latin. Tidak tanggung-tanggung enam juta orang telah menerima manfaat dari program ini.
Dan pada akhirnya dunia pun mengakui keunggulan Kuba di bidang kesehatan ini. Bahkan prestasinya mengalahkan Amerika Serikat dalam masalah ketersediaan tenaga medis, yakni satu dokter untuk 177 penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat dengan satu dokter untuk 188 penduduk.
Tentunya keunggulan itu menjadikan Kuba sebagai daya tarik yang memesona bagi ribuan dokter dari berbagai dunia. Seperti yang ditulis Republika lagi, bahwa tahun lalu saja 1800 dokter dari 47 negara menyelesaikan studinya di Kuba. Pada saat yang sama 25 ribuan tenaga medis Kuba melanglang buana dengan menjelajahi sedikitnya 68 negara, termasuk Indonesia.
Maka dengan semua keunggulan itu pula wajar bagi Castro untuk meyakini bahwa Kuba dapat terselamatkan dari kebangkrutan finansial dan memutuskan ketergantungan pada sektor pariwisata. Wajar bagi Castro untuk membantu warga miskin Amerika Serikat yang sering menggerakkan sisi-sisi kemanusiaan negaranya karena banyak dari mereka terganggu penglihatannya.
Dus, dengan semua keunggulan itu wajar pula bagi Castro untuk menunjukkan izzah (kemuliaan) dirinya dan bangsanya. Wajar bagi Castro untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya dan bangsanya masih tetap eksis di tengah embargo tiada berkesudahan dari negara besar yang selama enam kepemimpinan presidennya tidak sanggup menggulingkan dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah mengapa ia sanggup tidak bertekuk lutut di bawah kaki Amerika Serikat? Mengapa ia mampu bertahan dari embargo ekonomi itu dengan hanya mengandalkan produksi gula, industri perikanan, dan cerutu Havana-nya yang terkenal itu? Mengapa ia sanggup menunjukkan kemuliaan dirinya hatta ia hanya seorang komunis, atheis pula? Yang seharusnya kemuliaan itu ditunjukkan oleh seorang muslim. Mengapa?
Seharusnya kemuliaan itu ditunjukkan oleh para emir negara Arab yang dengan kebijakan cadangan minyaknya bisa mengobrak-abrik tatanan perekonomian global, bukan ditunjukkan oleh Ajami seperti Iran. Ditambah dengan kemampuan salah satu negaranya yang dapat mengumpulkan lebih dari tiga juta manusia dalam satu waktu.
Dengan dua kekuatan itu, dipastikan mereka dapat menggentarkan hati para musuh Islam dan dunia. Namun apa yang terjadi? mereka bahkan menjadi budak-budak setia dari tuannya yang bernama Amerika Serikat.
Bahkan mereka bersorak sorai di saat tuan besarnya menebarkan angkara murka dengan melakukan invasi kepada negara Arab lainnya. Sehingga satu pertanyaan muncul: ”Dimana logika , dimana akal sehat? Saya semakin tidak paham saja membaca kelakuan politik beberapa negara Arab ini. Apa yang mereka cari sebenarnya?” (Syafii Maarif,17/1).
Tidak hanya itu, persoalan Israel pun tidak kunjung selesai sampai saat ini. Walaupun dari hari kehari sejak tahun 1948 nasib dan harga diri Palestina yang nota bene adalah bangsanya sendiri sudah semakin tiada artinya di mata durjana Israel.
Sosok-sosok yang mempunyai izzah itulah yang tidak dapat diberikan negara-negara Arab pada saat ini. Walaupun dulu pernah tercetak satu orang yang dapat melawan dengan gagahnya kesombongan Amerika Serikat dengan upaya yang dilakukan oleh King Faisal bin Abdul Aziz dengan embargo minyaknya pada tahun 1973.
Namun selalu saja di saat tunas kejayaan Islam mulai tumbuh, maka hama kekuatan kotor tak terlihat mulai bermain dengan segala daya dan upayanya. Di tahun 1975 Faisal pun dibunuh oleh keponakannya sendiri. Dunia Islam pun berduka tapi membawa sebuah pengakuan dalam hati yang paling dalam tentang kemuliaan diri seorang Faisal.
Bagaimana dengan Indonesia? Sanggupkah negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini dapat menunjukkan izzahnya di hadapan Amerika Serikat? Sanggupkah ia menandingi sikap yang ditunjukkan oleh Kuba yang luas daratannya hanya 88% dari pulau Jawa itu?
Hanya segunung keraguan untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Karena pada saat yang sama Indonesia pun dipertanyakan keunggulan apa yang dipunyainya, selain dari tingkat korupsinya yang sudah terkenal di dunia internasional.
Lagi dengan tekad kemandirian yang nyaris nihil pada diri para pemimpinnya. Semisal adanya ajakan untuk memboikot produk-produk Amerika Serikat dibalas dengan segudang argumen yang bersembunyi di balik kepentingan rakyat: ”Bahwa kita sendiri yang akan rugi kalau kita melakukan aksi boikot itu.” Lalu dengan alasan: ”berapa pengangguran akan tercipta dengan aksi itu?”, kekanak-kanakan, picik dan lain sebagainya.
Padahal di sisi lain, mereka membungkuk-bungkuk menuruti apa kata IMF dan para kapitalis liberalis dalam menelurkan kebijakan pembangunannya, tanpa melihat apa rakyat masih mampu untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasarnya?
Lalu jikalau tekad kemandirian itu saja nihil akankah mampu untuk menghadapi embargo dan tekanan dari negara-negara yang berusaha menginjak-injak kedaulatan dan harga diri bangsa ini? Tidak, tidak akan mampu.
Maka kita banyak menyaksikan anak-anak bangsa kita di siksa, dianiaya, diusir oleh para majikannya, pemerintah republik ini boro-boro untuk menegur negara pengimpor Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu, bahkan untuk memberikan bantuan hukum saja pun tak mampu.
Bahkan dengan negara tetangga yang bekas salah satu provinsinya saja tidak bisa bersikap tegas dalam menyikapi tiga rakyatnya yang tewas tertembak oleh ulah prajurit perbatasan negara itu. Apatah lagi dengan menghadapi negara Kangguru yang sudah terlalu banyak mengintervensi dan telah lama tidak bisa bersikap sebagai tetangga yang baik bagi Indonesia?
Maka tanpa kemuliaan diri itu, dengan mudahnya bangsa ini ikut turut pula memerangi anak bangsanya sendiri baik individu maupun kelembagaan dengan tuduhan terorisme yang dibuat-buat dan stigma yang amat buruk.
Maka tanpa kemuliaan diri itu kita pun akan melihat pula bangsa ini begitu rendahnya merengek-rengek kepada bangsa lain untuk mendapatkan pinjaman dan investasi baru yang menggiurkan bagi keberlangsungan jalannya pembangunan. Dan merengek-rengek pula untuk dapat menangguhkan pembayaran utang di saat jatuh tempo tak sanggup membayar bunganya saja yang benar-benar mencekik leher.
Maka tanpa kemuliaan itu kehinaan apalagi yang akan menimpa bangsa ini? Padahal tanpa mereka sadari—atau pura-pura tidak tahu—bahwa 85 % bangsa ini punya modal unggul untuk meninggikan izzahnya, yakni Islam.
Karena sungai sejarah peradaban Islam walaupun selalu dialiri dengan airmata, darah, dan pengorbanan, tidak akan jemu-jemunya menyuburkan tanah-tanah sekitarnya untuk senantiasa menumbuhkan dan mencetak generasi-generasi rabbani, para pahlawan, orang-orang besar, dan mempersembahkan tokoh-tokoh agung kepada dunia.
Maka kemuliaan manalagi yang didapat selain dari Islam? Kemuliaan manalagi yang didapat selain dari menegakkan panji-panji dan obornya yang terang gemilang itu? Kemuliaan manalagi yang didapat selain dari menguatkan geraham untuk senantiasa berpegang teguh pada dua pusaka yang ditinggalkan utusan terakhir-Nya?
Jika itu didapat, tidak hanya seorang Castro yang atheis itu yang akan tunduk dan menghinakan diri pada kemuliaan Islam, beribu-ribu Castro bahkan berjuta-juta nasionalis yankee hawkees pun akan terpaku, tunduk, dan bertekuk lutut di bawah bangsa yang hanya menakutkan dirinya pada satu Tuhan: Allah Sami’il ’Aliim .
Cuma: kapan saat itu akan tiba?
Allohua’lam.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08.29 25 Januari 2006

http://10.9.4.215/blog/dedaunan

Perkenalkan Nama Saya: HEDONIS


17.01.2006 – Perkenalkan Nama Saya: HEDONIS

Sudah menjadi Hedoniskah Kita……………..?

Dalam suatu program yang ditayangkan setiap malam minggu oleh salah satu stasiun tv, dibahas tuntas tentang kemewahan dunia yang dimiliki para pengusaha dan selebritis dunia. Di tampilkan pula tentang kehidupan mereka dari pagi hingga malam dengan surga dunianya, mulai dari istananya , perabotannya, jet pribadinya, mobil-mobilnya dan banyak lagi yang lainnya.

Salah satunya adalah seorang pengusaha keturunan Arab yang mempunyai kerajaan bisnis di Spanyol. Begitu banyak mobil mewah yang ia punyai mulai dari Lamborghini sampai Jaguar, dari yang terkuno sampai yang paling canggih. Semuanya terparkir di Istananya di selatan Spanyol bak sebuah showroom. Satu lagi ia mempunyai sebuah mobil kuno yang kini tiada duanya di dunia, tentu ini berarti betapa mahalnya mobil tersebut. Belum lagi istana dengan puluhan kamar mewahnya. Dan saya yakin mobil atau kamar itu tak semuanya terpakai.

Tak lupa di akhir acara itu dilukiskan pula bagaimana kehidupan sosialnya dengan warga masyarakat sekitar. Ia membangun sebuah masjid besar dan indah, serta menyumbang berbagai macam kepentingan publik. Pokoknya ia digambarkan sebagai sosok dermawan bagi kota itu.

Ada lagi sosok kaya lain yang berasal dari salah satu negara teluk. Ia begitu membanggakan perhiasan emasnya yang begitu berlimpah, rumahnya yang besar, isri yang cantik dan lain sebagainya. Pokoknya semua keindahan dan kenikmatan dunia ada pada orang tersebut. Yang entah kapan kita akan dapat menikmatinya, kecuali di Surga nanti (itupun kalau kita pantas mendapatkannya).

Sekarang mari kita lihat di Ethiopia, Palestina, Bangladesh, atau Indonesia, di mana kemiskinan sudah menjadi keseharian di sebagian besar penduduknya yang mayoritas muslim. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya—pangan, sandang, papan—saja mereka harus bersusah payah. Bila mereka tak sanggup, lalu putus asa, maka jalan pintas dengan bunuh diri menjadi solusi. Na’udzubillah.
Lalu apa hubungannya antara orang kaya yang disebut di awal tadi dengan kemiskinan yang begitu mencolok di sebagian negara tersebut? Adalah suatu ketimpangan. Ketimpangan yang seharusnya tak pernah terjadi. Yang membuat saya tambah miris lagi adalah ternyata banyak dari mereka yang bertampang Arab dan mengaku Islam.

Dalam Islam, kemiskinan merupakan tanggung tanggung kawab sosial bagi orang-orang yang mampu dan juga merupakan tanggung jawab agama. Apakah mereka tidak mempunyai kepekaan tentang keadaan umat? Sedangkan kemubadziran selalu mereka abadikan dalam setiap detak jantung mereka.

Kita bisa lihat betapa ketika negara-negara penghasil minyak tersebut mulai menghasilkan miliaran dollar dari emas hitamnya, jalanan di Paris terutama di sebuah jalan yang terkenal dengan pusat mode dunianya dipenuhi para emir berjubah dan wanita yang ber-abaya hitam.
Bank-bank di Eropa pun mulai kebanjiran dana dengan banyaknya deposito yang ditanamkan di sana dengan bunga yang tidak mereka ambil. Gaya hidup hedonisme pun bermunculan di negara-negara teluk yang sekitar sembilan puluh tahun lalu masih hidup dengan peradaban nomadennya.

Benar apa yang pernah dikatakan oleh Rosululloh bahwa satu yang dikuatirkan yang akan terjadi pada umatnya adalah kemewahan dunia yang menyilaukan. Ibnu Khaldun –rahimahulloh- dalam Mukadimah-nya berkata: ”Kehidupan mewah (jetset) merusak manusia. Ia menanamkan dalam diri manusia berbagai macam kejelekan, kebohongan, dan perilaku buruk lainnya. Nilai-nilai yang baik yang notabene merupakan tanda-tanda kebesarannya hilang dari mereka dan berganti dengan nilai-nilai buruk yang merupakan sinyal kehancurannya dan kepunahannya. Itulah di antara ketentuan Alloh yang berlaku pada makhluk-Nya yang menjadikan negara sebagai ajang kedzaliman, merusak strukturnya dan menimpakan penyakit kronis berupa ketuaan yang membawa kepada kematiannya.”(Muhammad Sayyid Al-Wakil, 1998:34)

Apa yang akan diperoleh dari suatu negeri yang hedonismenya begitu berurat berakar? kita lihat di Qur’an Surat Al-Isra ayat 16:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Alloh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Kenyataan apa pula yang akan didapat oleh para hedonis itu? Wahn, ya Wahn itulah yang akan mereka peroleh. Cinta dunia dan takut mati. Dan mereka tidak , akan memperdulikan siapa pun, yang mereka pikirkan bagaimana kesenangan itu akan tetap abadi dengan mereka.
Padahal dengan segala kekayaan yang dimilikinya itu semua bisa untuk mengentaskan dan membawa maju kembali Islam dan umatnya kepada peradaban yang tinggi dan gilang gemilang. Apalagi dengan adanya dua organisasi besar umat Islam yakni OPEC dan OKI. Seharusnya dengan adanya dua organisasi itu umat bersatu dan mendapatkan manfaatnya yang lebih besar. Sungguh luar biasa.
Namun apa yang terjadi? OPEC dan OKI sekarang ini sudah tak mempunyai gigi taring lagi setelah era Faisal bin Abdul Aziz yang pernah menggunakan minyaknya sebagai alat untuk menekan Amerika dan sekutunya pada tanggal 6 Oktober 1973. Produksi minyak dikurangi dan pengirimannya ke Amerika Serikat dan Belanda dihentikan. Kebijaksanaan ini diikuti oleh beberapa negara Arab lainnya, sehingga harga minyak melonjak dan melumpuhkan banyak negara industri.(Ensiklopedi Islam Jilid I, 1999:162)

Sekarang apa yang dikatakan oleh para emir itu ketika mereka diminta untuk memboikot dan mengontrol minyaknya? “Tak semudah membalikkan telapak tangan….”, kata mereka. Padahal Raja Faisal pernah mengatakan sebuah kalimat yang sekarang amat terkenal ketika ditekan oleh Amerika Serikat untuk segera melepas aksi embargo minyaknya, kurang lebihnya demikian: “siapa yang butuh minyak, merekalah yang butuh minyak, kami tidak membutuhkannya, dan kami siap untuk kembali ke zaman onta.” Semoga Alloh memberikan kelapangan padanya.

Entahlah, ketika para penerusnya tidak bisa berbuat apa pun untuk dunia Islam ini. Entahlah mereka yang berada di Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, dan Arab Saudi. Dalam tataran kebijakan yang akan diambil oleh suatu negara mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika Saddam dengan seenaknya menganeksasi Quwait—sehingga mereka harus meminta bantuan Amerika Serikat dan sekutunya yang jelas-jelas tidak seiman.
Mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika saudara-saudara mereka di Bosnia dan Chechnya terbantai—hanya Malaysia yang jauh di ujung timur saja mau menerima para pengungsi Bosnia. Mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika banyak dari mereka yang merasa terdiskriminasi ketika mereka berada di Amerika Serikat pasca 11 September.
Mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika saudara-saudara mereka dihujani berton-ton bom di Afghanistan, mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika ratusan anak di Irak mati setiap harinya karena kelaparan, dan masih banyak lagi yang lainnya gemingnya mereka.

Sekali lagi mereka tak berbuat apa-apa dalam tataran kebijakan yang akan diambil oleh negara, dan ternyata yang berbuat nyata dari mereka adalah NGO-NGO nya, atau bahkan individual-individual mereka yang tergerak membantu saudara-saudaranya. Yang nyata adalah aksi boikot dari sebagian warganya terhadap produk Amerika Serikat dan Israel, itupun hasil dari kesadaran sendiri bukan hasil dari suatu kebijakan yang ditempuh negara mereka. Jadi apa yang terjadi pada para emir kita yang ada di tanah sana. Wahn kah mereka…?

Kita tak bisa menuduh mereka tanpa kita mengoreksi terlebih dahulu tentang keadaan kita di sini . Di negara yang kaya akan sumber daya alamnya, firdausnya bumi yang kini tetap bertahan untuk tetap hidup setelah lebih dari setengah abad yang lalu merdeka, setelah hampir delapan tahun berlalu dari pesta akbar terakhirnya, yang penduduk muslimnya terbesar di dunia. Apakah hedonisme itu ada di negara kita ini…?
Tak usah jauh-jauh melihatnya, tonton acara televisi kita, sepertinya tak ada krisis di negeri ini, atau bagi yang setiap harinya berkeliling di Jakarta sering melihat begitu banyaknya mobil yang harganya di atas satu milyar berseliweran di jalanan. Atau di sekitar segitiga emas Jakarta, restoran mahal sepertinya tak pernah sepi dari pengunjung di setiap siang atau malamnya. Sekali lagi terasa tidak ada krisis.

Apa salahnya mereka membelanjakan hartanya untuk kesenangan dunia mereka setelah bekerja keras untuk mendapatkan semuanya. Tidak ada yang salah. Kita sebagai muslim tak ada salahnya pula menikmati hidup mewah. Islam tidak menganjurkan untuk selalu hidup menderita dan melarat serta tidak berpakaian trendi.

Ibnu Jauzi meriwayatkan dari Yazid bin Harun yang berkata bahwa Asma’ pernah mengeluarkan jubah yang di border dengan dibaj dan berkata: “Dengan jubah inilah dulu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam menemui musuh-musuhnya”. HR Ahmad dan Abu Daud. Jadi penampilan dengan sedikit mewah dibenarkan untuk tujuan menerima tamu undangan dan psy war terhadap musuh-musuhnya. Yang dilarang ialah hanyut dalam kemewahan sebagai gaya hidup dan dasar negara. (Muhammad Sayyid Al-Wakil, 1998: 36-37).

Apakah hedonisme ada pada sebagian pemimpin kita? Apakah tidak cukup bukti dengan adanya pesta tahun baruan di Bali yang menghabiskan uang 10 miliyar dan ulang tahun sebuah partai politik dengan dana 1,4 miliyar, atau konser-konser mahal lainnya? (Sabili 14 Th.X:112), atau penyelenggaraan pesta pernikahan super mewah di hotel? Kalaupun hedonisme itu tak masalah, tapi layakkah itu semuanya dilakukan pada saat anak bangsa ini begitu menderita dengan banyaknya kenaikan harga bahan kebutuhan dasar? Ketika kemiskinan sudah menjalar ke semua sendi kehidupan.

Sekarang kita nilai diri kita sendiri, yang bekerja di sebuah direktorat di departemen ternama di republik ini. Jangan-jangan gaya hidup itu sudah menjangkiti kita. Apakah kita sering berganti-ganti handphone seiring dengan perkembangan trendnya? Atau kita sudah merasa tidak cukup untuk memiliki satu handphone?
Atau dengan mobil yang mentereng itu yang kayaknya sudah bosan untuk kita pakai. Atau dengan pakaian dan ikat pinggang yang kesemuanya harus bermerek? Atau dengan gaya hidup kita yang harus selalu makan siang di luar kota dan kembali pada saat jam kantor sudah menunjukkan jam empat sore?
Atau dengan gaya hidup kita yang malu untuk memakai pakaian yang sama di setiap resepsi sehingga memaksa kita untuk mempunyai pakaian yang harus baru?—sedangkan jika dipikir-pikir kalau memaksakan demikian kayaknya kita layak disebut orang yang simpatik (simpanse pakai batik, maaf), karena tidak mau tahu akan keterbatasan yang kita miliki.
Jadi, pikirkan gaya hidup yang manakah yang sering kita lakukan tanpa memikirkan keadaan sekeliling kita. Gaya hidup yang sering menimbulkan kemubadziran dan kesia-siaan, gaya hidup yang memaksakan diri, gaya hidup yang pada akhirnya lupa akan kesyukuran kita, gaya hidup yang membawa kita pada kufur nikmat, gaya hidup yang menjauh dari sifat qona’ah, gaya hidup materialisme, gaya hidup yang memandang dunia sebagai ukuran, gaya hidup yang bersumber dari harta yang tidak jelas; gaya hidup yang melupakan kematian, dan semua gaya hidup yang melupakan cinta-Nya.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu; sampai kamu masuk ke dalam kubur; janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu); dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui; janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin; niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim; dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin; kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). QS At-Takaatsur:1-8.

Jadi ketika hati kita sudah tak tersentuh dengan segala ketidakadilan yang dialami umat di seluruh penjuru bumi ini, maka kita perlu instrospeksi diri kita, jangan-jangan hedonisme itu sudah menjadi darah daging kita, jangan-jangan wahn itu telah menjadi sumsum tulang kita. Kita berlindung dari semuanya itu.

Sekarang apa yang kita harus lakukan untuk memerangi hedonisme itu? Apakah cukup dengan perintah petinggi kita kepada bawahannya untuk memboikot acara pesta pernikahan—yang juga termasuk anak buahnya—karena diselenggarakan di sebuah ballroom hotel berbintang ? (memenuhi undangan pernikahan itu wajib, tapi kita berhak juga untuk tidak datang ketika di pesta itu diperkirakan banyak kemaksiatan, dan kalaupun kita berniat tidak datang, niatkan karena itu, bukan karena takut tidak memenuhi perintah atasan dan nantinya DP3 kita akan jelek).

Contoh di atas sudah cukup baik—karena mulai dari yang di atas terlebih dahulu—tetapi akan lebih baik lagi ketika para atasan juga secara makro menciptakan sistem yang anti hedonisme, sistem yang tidak menjadikan setoran sebagai alat ukur dari keberhasilan seseorang.
Yang paling penting adalah diri kita sendiri untuk mulai saat ini tidak berlaku hedonisme. Sering memandang ke bawah dalam hal keduniawian, dan selalu memandang ke atas dalam prestasi kerja dan keakhiratan. Atau kejarlah duniawimu seakan-akan kau akan hidup selamanya dan kejarlah akhiratmu seakan-akan kau akan mati esok hari.

Dengan berintrospeksi ini, kiranya Alloh memudahkan kita menyingkirkan hedonisme itu, dan menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang peka terhadap keberadaan umat ini. Sadar tentang akibat yang akan diperoleh bagi orang-orang yang mempunyai wahn dalam dirinya, dan sadar tentang nikmatnya berjihad—karena orang yang wahn boro-boro memikirkan jihad, memikirkan perut saudaranya sendiri pun tak kan pernah terlintas dalam benaknya.

Oh….dunia,
Indahnya engkau selalu menghalangi aku bercinta dengan-Nya
Oh…dunia,
Gemerlapmu sering melupakanku kepada-Nya
Oh…dunia,
Kapankah aku memegangmu hanya dalam genggamanku, tidak dalam hatiku
Oh…dunia,
engkau sesungguhnya tak sebanding dengan setitik debu akhirat sekalipun
tapi mengapa banyak yang masih terpesona olehmu….?
Ya Alloh aku berserah diri padamu, dan hindarkanlah aku dari kebencianmu karena aku mengatakan apa yang tidak aku lakukan, sebagaimana Engkau telah firmankan:
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?; amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Q.S. Ash-Shaff: 2-3.
****
(untuk dua anakku yang tercinta yang sedikit tersia-sia karena aku menulis ini di sepanjang Ahad, di gerimisnya sore, di pinggiran Bojonggede, 2 Pebruari 2003).

Maroji’:
1. Alqur’anul karim;
2. DR. Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam: dari Dinasti Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1998;
3. Ensiklopedia Islam Jilid I, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999;
4. Sabili Edisi 14 Tahun X, 30 Januari 2003.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
ditulis di tahun 2003
diedit 12:52 14 Januari 2006

BERHENTI MEROKOK ITU GAMPANG


16.01. 2006 – BERHENTI MEROKOK ITU GAMPANG

Ini merupakan pengalaman pribadi tentang kebiasaan merokok yang mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua. Semoga pengungkapan ini bukanlah pengungkapan aib yang telah ditutupi oleh Allah, tapi sekali lagi hanya sekadar berbagi pengalaman yang pernah saya alami pada zaman dahulu kala (zaman tatkala masih ada T-Rex dan Kingkong. Alah,…ini cuma guyon).

Seingat saya pertama kali merokok adalah pada saat saya duduk di kelas lima SD. Itu pun hanya sekadar ikut-ikutan teman, dan rokoknya pun hanya kertas buku yang digulung menjadi lintingan kemudian diisap. Itu saja.

Lalu tidak lama, gulungan kertas itu berganti menjadi klobot yang diisi dengan tembakau. Ini pun hanya sesekali saja. Menginjak SMP, karena bergaul dengan banyak teman dan karena bisa mencari duit sendiri dengan berjualan asongan rokok di Jalur Kereta Haurgeulis – Cirebon , serta didukung kehidupan kereta yang amat keras, serta pergaulan dengan para pecandu rokok maka kebiasaan merokok semakin menjadi dan merasa telah kecanduan ketika kelas tiga SMP.
Apalagi setelah SMA, di mana saya harus hidup berpisah dengan orang tua dan mulai kost di tempat bibi saya, di barat Cirebon. Merokok pun menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan lagi pada setiap harinya. Tiada hari tanpa asap rokok di kamar kost. Habis makan merokok, belajar matematika pun sambil merokok, jalan-jalan sambil merokok. Nonton bioskop tak nyaman kalau tanpa merokok (maklum bioskopnya masih berbangku kayu). Pokoknya hidup rokok.

Yang paling aneh adalah kebiasaan berganti rokok. Karena saya adalah anak kost yang diberi uang setiap minggunya, maka kalau hari senin adalah hari yang paling teristimewa. Sebabnya pada hari itu saya bisa merokok Djisamsoe, rokok paling mahal pada saat itu.

Tapi semakin lama semakin habis uangnya, maka hari sabtu adalah hari yang paling merana, karena pada hari itu saya benar-benar hanya sanggup membeli rokok yang harganya Rp50,- satu batang. Itu pun dihisap berdua dengan adik saya yang sekamar dengan saya dan sudah kecanduan pula.
Biasanya kalau saya tak punya uang, saya utang dulu pada adik saya, namun pas saat itu adik saya pun kehabisan duit, maka terpaksa rokok itu dihisap berdua sehabis makan siang. Merana banget. Pokoknya sampai saat itu masih ada motto: hidup rokok…..!Tiada hari tanpa rokok.

Oh ya, saya akan sedikit menggambarkan lingkungan di tempat kost karena berhubungan erat dengan masalah rokok ini. Tempat bibi saya ini termasuk dalam lingkungan yang dekat dengan pesantren. Di musholla dekat rumah bibi selalu ada pengajaran baca Al-quran setiap hari ba’da sholat maghrib. Ini khusus untuk anak laki-laki dan dikelola oleh anaknya yang sudah hafidz 30 juz. Setelah sholat Isya lalu ada pengajian kitab kuning yang diajar oleh paman saya. Lalu ba’da shubuh pengajaran baca Al-quran khusus untuk anak perempuan.
Dengan sistem pengajian baca Al-Qur’an disana, saya harus mulai menghafal dari al-fatihah sampai benar-benar fasih (inipun hampir memakan satu bulan lamanya) kemudian diteruskan sampai surat AnNaba. Dari surat itu harus balik lagi sampai ke surat Al-Fatihah. Lalu diadakan khataman, yang lulus baru boleh baca kitab Al-Qur’an yang besar itu mulai dari juz pertama.
Saya tak sanggup untuk mengkhatamkan hafalan juz 30 selama tiga tahun itu. Saya hanya bisa sampai ke surat Annaba dan tak bisa balik lagi. Selain saya fokus hanya untuk belajar di sekolah—yang menyebabkan saya selalu disindir oleh paman karena mementingkan belajar dunia saja—saya juga terlena oleh kehidupan remaja yang walaupun amat ketat penjagaan dari bibiku, namun bisa juga dirasakan oleh saya.

Di tahun 1994, di tahun kelulusan itu saya sempat bingung mau melanjutkan kemana? Sedangkan proposal PMDK ke IPB tidak ditandatangani oleh orang tua. Padahal kata kakak kelas yang di IPB, dilihat dari nilainya Insya Alloh saya pasti lulus PMDK. Dengan alasan tak sanggup membiayai kuliah di sana.
Akhirnya kebingungan menyeruak, kemana lagi saya harus belajar. Sampai suatu ketika teman-teman mengajak saya untuk ikut pendaftaran di STAN. Kalau tidak salah bersepuluh kami mendaftar ke Jakarta.
Sampai di sana disodori pilihan spesialisasi apa yang dikehendaki. Teman-teman memilih pajak. Saya pun ikut-ikutan memilih spesialisasi itu. Yang terbersit dari hati yang paling dalam, sebenarnya saya ingin masuk ke spesialisasi Bea Cukai (BC), namun dari syarat yang harus dipenuhi untuk diterima di sana, saya harus mundur, karena tinggi badan yang kurang memenuhi pada saat itu.
Kenapa dulu saya ingin memilih spesialisasi yang cocok untuk laki-laki ini? Karena saya berpikir selain gagah dengan seragamnya juga kalau saya jadi petugas BC maka saya setidaknya dapat satu televisi selundupan untuk saya miliki dari pada dibakar (pada saat itu saya sering melihat di televisi bibi saya, banyak barang selundupan di bakar oleh kepolisian dan petugas BC). Maklum sejak SD hingga SMA saya terobsesi untuk memiliki televisi, orang tua saya tak sanggup membeli kotak ajaib itu (Saat ini kalau terlintas kembali niat dan pilihan itu, saya cuma bisa istighfar).

Setelah mendaftar itu ada sedikit kesadaran timbul, bahwa saya harus berhenti dari merokok atau setidaknya sampai saya benar-benar diterima di STAN. Karena saya takut ditolak pada saat pendaftaran ulang—padahal belum pasti saya itu bisa lulus atau tidak dari ujian STAN, soalnya dalam pendaftaran ulang itu saya harus membawa rekomendasi dari dokter bahwa paru-paru saya sehat. Sehingga saya berusaha mengurangi rokok dan selalu minum soda susu yang katanya bisa menghilangkan flek hitam di paru-paru pada saat di rontgen.

Sampai ujian masuk STAN diselenggarakan di Senayan saya tetap bertahan untuk tidak merokok. Awalnya saya gemetaran dan bibir terasa asam sekali. Saya kelimpungan dan untuk mengatasi kerinduan pada rokok itu saya beli rokok hanya untuk diciumi aromanya saja. Untuk saat itu saya sudah cukup puas.

Lalu pengumuman STAN pun tiba. Dengan doa orang tua yang tak pernah mengenal kata putus akhirnya saya diterima. Dari kesepuluh orang yang ikut mendaftar hanya berdua saja dari sekolah kami diterima di STAN. Saya di terima di spesialisasi pajak sedangkan teman saya di spesialisasi lelang.

Saya bersama bapak saya mencari tempat kost dan akhirnya saya mendapatkannya di tempat Haji Sanian, di samping Mushola al-Barkah. Saya sudah hampir dua bulan lamanya tidak merokok. Ternyata teman-teman kost saya juga tidak ada yang merokok.
Sampai suatu hari, kakak kelas mengajak saya untuk ikut pengajiannya. Di sana saya mendapatkan sesuatu yang berbeda. Mendapatkan pencerahan dalam pemahaman keIslaman. Dan mengetahui mana yang seharusnya ditinggalkan seorang muslim. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayahnya kepada saya. Dan saya berharapa semoga IA selalu menetapkan hidayah itu sampai akhir hayat saya.

Akhirnya dengan pemahaman dan semangat keIslaman yang menggelora di qolbu, serta rasa malu saya kepada teman-teman sepengajian maka akhirnya saya bertekad untuk meninggalkan rokok selama-lamanya. Azzam yang kuat.

Setahun setelah itu, adik saya diterima juga di STAN spesialisasi akuntansi. Adik saya pun diajak untuk ikut pengajian yang saya ikuti. Ia yang semula kecanduan akhirnya bisa meninggalkan rokok untuk selama-lamanya. Saat ini ia bekerja di BPKP Padang dan tetap tidak merokok.

Sekarang tahun 2006, hampir dua belas tahun lamanya saya meninggalkan dunia rokok. Zaman dahulu kala, rokok adalah hidup mati saya. Saya lebih baik kelaparan daripada tidak merokok. Kalaupun saya terdampar di padang pasir luas dan harus memilih antara satu bungkus cigarillos dengan seteguk air, tetap saya memilih yang pertama. Tapi sekarang NO WAY untuk rokok. Slogan dulu: hidup rokok! telah berganti dengan: MATI ROKOK…..!!!! Sekarang mencium baunya saja, sudah menyesakkan dada.

So, meninggalkan kebiasaan dan kecanduan merokok itu mudah. Gampang. Bagaimana caranya? Inilah cara saya:
1. AZZAM (tekad), sekali lagi harus mempunyai AZZAM yang kuat;
2. Lingkungan yang mendukung tanpa rokok artinya jangan mendekati atau berteman dengan para perokok;
3. Harus punya rasa malu. Malu dong masa aktivis (kepada mereka yang mau jadi aktivis) merokok?;
4. Camkan ke dalam hati yang paling dalam bahwa rokok itu adalah awal dari gejala penyalahgunaan psikotropika;
5. Pasti ingat bahwa rokok itu penyebab kanker, penyakit jantung, impoten, keguguran, kerusakan pada janin?;
6. Jangan lupa berdoa.

Kalau saya bisa, mengapa anda tidak?
riza almanfaluthi, saat diajak teman untuk mengenang masa lalu
2003
Diedit 09:15 14 Januari 2006

Playboy Indonesia: Oh Yes…, Oh No…


16.01.2006 – Playboy Indonesia: Oh Yes…, Oh No…
Belum juga surut gaung studi banding legalisasi judi, kini masyarakat Indonesia kembali digegerkan upaya segelintir orang untuk menerbitkan majalah Playboy Indonesia. Dengan sistem franchise, izin penerbitannya pun sudah diperoleh pada akhir November 2005 yang lalu.
Kini mereka sudah mengadakan audisi playmate—model yang akan ditampilkan di halaman utama—walaupun secara tertutup. Dan rencananya majalah itu akan beredar Maret 2006 nanti. Pengusung majalah pengeksploitasi aurat perempuan ini tentu saja bersikukuh bahwa penerbitannya akan disesuaikan dengan apa yang bisa diterima oleh masyarakat. Tetapi tak menampik bahwa foto-foto syur pun tetap akan ada. (Detikhot).
Mereka pun tak takut dengan kontroversial yang akan terjadi dengan peluncuran majalah itu di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini. Dengan melihat betapa sekarang pun telah banyak beredar dan di jual di lapak-lapak majalah pria yang juga menampilkan aurat wanita. Apalagi dengan harga seribu rupiah sudah mendapatkan tabloid serupa yang lebih hot di sepanjang pintu tol Tomang, Jakarta.
Lagi-lagi alasan klise dengan berlindung di balik keindahan, cita rasa seni yang tinggi dan tidak murahan, ekspresi rasa syukur kepada Tuhan, menjadi justifikasi. Apalagi dengan jaminan bahwa majalah itu tidak akan sembarangan beredar, hanya dijual di toko-toko buku terkemuka, serta menitikberatkan distribusi pada sistem berlangganan untuk meraih pembacanya.
Kembali di sini terjadi pertarungan wacana antara sekulerisasi dan integralisasi ideologi dalam berkesenian. Di mana bertahun-tahun sebelumnya pertarungan ini sudah didahului pada ranah kesusastraan dengan adanya pembagian sastra Islam di satu sisi dengan sastra tanpa embel-embel di belakangnya di sisi yang lain.
Perlu dicermati pula bahwa rencana penerbitan ini yang sengaja diekspos lebih dini dan akan menjadi kontroversial, ditinjau dari aspek pemasaran maka apa yang diinginkan pengusungnya tercapai sudah. Selain publikasi gratis juga akan dapat dilihat kecenderungan ke mana arah angin keinginan masyarakat bertiup.
Menolak atau menerima. Bila iya, maka Rencana A: penerbitan dengan lebih berani akan segera terlaksana. Bila tidak, rencana B harus dilakukan berupa penundaan peluncuran sampai waktu yang tidak dapat ditentukan atau menunggu lengahnya imun dari masyarakat.
Namun tentunya, kelengahan itu jangan sampai terjadi di tengah keinginan mayoritas bangsa ini keluar dari keterpurukan, kemiskinan, degradasi moral, dan rentetan musibah sepanjang tahun lalu bahkan di awal memulai tahun barunya.
Akankah tidak terpikir tentang musibah apa lagi yang akan menimpa bangsa ini dengan adanya niatan semu itu? Akankah tidak terpikir kerusakan moral apalagi yang akan dialami oleh para generasi penerus bangsa ini, yang sudah dibombardir dengan tayangan porno melalui siaran televisi, piranti-piranti cakram bajakan, telepon genggam, dan internet?
Akankah tidak terpikir naiknya angka kejahatan berupa kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pemerkosaan, trafficking, pedophilia atau semuanya itu sekadar onggokan angka statistik tiada berguna?
Atau akankah pemerintah pun kembali mengulang langkah paradoksal dengan membiarkannya begitu saja beriring dengan program peningkatan sumberdaya manusia Indonesia?
Mengutip pendapat seseorang di sebuah milis: “ketika di dalam kerja keras membenahi pendidikan bagi anak bangsa, pengupayaan peningkatan pengalokasian dana yang cukup, pembenahan sistem pendidikan, perbaikan gedung-gedung sekolah dan disertai peningkatan kesejahteraan guru, ditengarai ada upaya-upaya yang kontra produktif, yang mengikis dan menggerogoti output yang ingin dihasilkan, maka berapa besarkah dana yang akan terhambur sia-sia?” (Arnoldison, 13/1/06). Ya, sia-sia.
Tapi di saat mata hati menjadi bebal kesia-siaan pun hanya dianggap masalah kecil dan resiko yang harus diterima sebagai negara yang akan maju dalam pergaulan global. Tentu dengan sejuta argumen yang telah dikokang. Semisal tidak ada relevansi yang signifikan antara kemajuan dan kedigdayaan suatu bangsa dengan penerbitan-penerbitan tidak bermoral tersebut.
Namun tidakkah kita bisa mengambil pelajaran penting tentang keruntuhan peradaban umat Islam dengan kota-kota gilang gemilangnya di Baghdad, Cordova, Granada, Sevilla, ataupun Istanbul? Ya, keruntuhan terjadi di saat aspek moral sebagai PONDASI suatu peradaban berada pada titik nadir.
Bahkan Prancis yang tergolong negara besar, memiliki militer terlatih dan dipersenjatai dengan senjata-senjata canggih, serta diprediksikan oleh sebagian pengamat sanggup memberikan perlawanan kepada Jerman di saat perang kedua, pada kenyataannya mereka menyerah dengan mudah, tanpa syarat, bertekuk lutut di bawah kaki Hitler. Satu analisis penting dari kekalahan tersebut adalah Perancis dilanda dekadensi moral parah yang dibungkus dengan nama kebebasan (Alwakkil: 1998).
Ataukah kita akan bercermin pada polisi dunia Amerika Serikat (AS) di mana keluarga sebagai PILAR PENEGAK suatu peradaban dengan berjalannya waktu semakin ringkih dan tidak mempunyai ketahanan mental yang kuat. Single parent akibat perceraian ataupun kumpul kebo, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, penyalahgunaan psikotropika, hingga gank-gank kejam yang tidak mengenal hukum dan perikemanusiaan.
Tinggal menunggu waktu saja dari keruntuhannya, yakni di saat hukum dan penegakkannya sebagai ATAP PELINDUNG suatu peradaban hanya sanggup mengaum di atas kertas.
Lalu bagaimana dengan tanah air tercinta ini? Di saat penegakan hukum tidak berjalan, akankah dua hal lain paling esensi suatu peradaban yakni moral dan keluarga pun menjadi tidak kokoh, lemah, ringkih bagaikan sarang laba-laba?
Tentu kita akan sama-sama berseru: Tidak! sambil menata langkah-langkah perbaikan ke depan. Maka, langkah pertama adalah sudah sepatutnya pemerintah sebagai pemegang otoritas sah bersikap tegas. Pelegalisasian rencana undang-undang antipornografi dan pornoaksi menjadi suatu hal yang niscaya. Ketegasan ini perlu agar kebingungan para pakar terhadap pendefinisian pornografi dan pornoaksi berhenti. Dan tentu berhenti dengan keperpihakan pada nilai-nilai moral dan etika yang termaktub pada agama yang dianut mayoritas bangsa ini, yang tentunya juga ada pada agama lainnya.
Langkah Kedua tidak bisa dilepaskan dari peran para perwakilan rakyat di DPR RI dalam mempercepat pembahasan rencana undang-undang tersebut yakni dengan memetakan kekuatan kawan dan lawan. Sehingga dengan demikian diketahui seberapa besar kekuatan riil dari para pengusung moral dan pendukung materialisme. Setelahnya jika perlu pengerahan massa berupa parlemen jalanan dapat dibentuk sebagai kekuatan penyeimbang. Selain sebagai bentuk pengawasan atas kinerja anggota DPR yang seringkali lambat dalam menelurkan legislasi dan tidak sebanding dengan gaji/tunjangannya yang diterima.
Langkah ketiga adalah dengan tetap mempererat silaturrahim dan menyinergikan gerak dari para partai Islam, ormas Islam, LSM dan tentunya pula dengan media Islam serta pemuka-pemuka agama-agama lain yang seide agar tetap menjadi kekuatan penekan yang selalu diperhitungkan. Dengan tidak bosan-bosannya membuat pernyataan sikap, pembentukan opini melalui media massa, dan penyebaran ide perlawanan pada setiap khutbah sholat jumat.
Ketiga langkah di atas akan percuma bila tidak ada dukungan dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Berupa langkah tidak membeli, tidak membaca, tidak menonton produk-produk erotisme dengan alasan apapun. Yang terpenting lagi adalah azzam atau tekad dari setiap muslim untuk selalu terpanggil melakukan amar makruf nahi munkar. Sebagaimana himbauan Ikatan Da’i Indonesia agar setiap muslim harus proaktif dan terdepan dalam menebar nilai-nilai kebaikan dan memusnahkan nilai-nilai kejahatan.
Bila tidak, maka dengarkanlah firman Allah dalam surat AlJaatsiyah ayat 23 ini: ”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Bila tidak, maka bersiaplah-siaplah melihat seorang bapak sembunyi-sembunyi, ragu-ragu membeli Playboy, sambil bergumam: ”oh Yes, oh No.” Ya, karena dia penasaran. Tidak, karena risih, malu, dan takut ketahuan anak-anaknya. Na’udzubillah.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12:02 15 Januari 2006

http://10.9.4.215/blog/dedaunan

Twin Otter (Sensasi Borneo)


28.12.2005 – Twin Otter (Sensasi Borneo)

Setelah merasakan sensasi yang ternyata biasa-biasa saja saat pertama kali naik pesawat dari Jakarta menuju Palangkaraya, juga dengan Cassa dari Palangkaraya menuju Puruk Cahu, saya benar-benar merinding–kalau tidak mau dikatakan takut–saat menaiki pesawat kecil bermesin ganda dari Puruk Cahu menuju Balikpapan.
Pesawat carteran jenis Twin Otter yang disewa oleh perusahaan pertambangan emas untuk pengangkutan karyawannya ini hanya dapat memuat 15 penumpang saja. Dengan bobot keseluruhan–termasuk barang-barang yang dibawa–maksimal 1500 kg. Lebih dari itu, maaf saja salah seorang penumpang harus dikorbankan untuk terbang di hari lain.
Makanya untuk memastikan penerbangan ini aman, setiap penumpang harus melalui alat ukur berupa timbangan, sehingga bisa diketahui berapa berat dirinya dan barang bawaannya. Biasanya bule asing yang bawaannya berat-berat, selain juga postur tubuhnya yang di luar ukuran normal penduduk lokal. Seringkali diatur dalam satu pesawat khusus untuk bule saja, ini bukan masalah rasial tapi karena ukuran orang dan barangnya yang berlebih itu.
Suara mesin pesawatnya berisik sekali sehingga setiap penumpang diberikan sepasang gabus kecil untuk menutup telinga saat pertama kali memasuki kabin pesawat. Suaranya akan bertambah keras ketika akan memulai lepas landas. Nah, disinilah kengerian itu berawal.
Saya persis duduk di dekat jendela, sehingga benar-benar merasakan kengerian saat melihat mesin terbang ini semakin melayang tinggi, tinggi, dan tinggi menjauhi permukaan tanah. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri saya bila pesawat kecil ini jatuh karena gagal saat lepas landas. Sepengetahuan saya saat-saat yang paling kritis dalam penerbangan adalah saat pesawat akan lepas landas dan mendarat.
Namun kengerian itu berangsur-angsur hilang ketika pesawat mulai stabil dan terbang di ketinggian tertentu. Saya menengok ke belakang untuk melihat penumpang yang lain. Persis di belakang saya, John Morgan–seorang manager pertambangan–sedang asyik merem melek mendengarkan musik yang diperdengarkan dari peranti digital melalui earphone-nya.
Penumpang lainnya sudah menikmati mimpinya dengan kepala yang terayun-ayun naik turun. Maklum kursi penumpangnya benar-benar hanya sebatas setengah punggung saja, sehingga tidak memungkinkan untuk menyandarkan kepala, kecuali bagi yang duduk di dekat jendela bisa menaruh kepalanya di dinding pesawat. dan Jarak antara kursi benar-benar sempit, sehingga kebanyakan para penumpang susah untuk meluruskan kaki saat terasa kesemutan. Untung perjalanan ini tidak lama hanya berkisar satu jam lima menit saja.
Hiburan satu-satunya di dalam kabin adalah penumpang dapat melihat apa yang dilakukan oleh pilot dan co-pilotnya ketika mengawaki pesawat ini. Aksi yang amat menarik untuk dilihat saat mereka mengoperasikan panel-panel, alat pengukur ketinggian, layar yang memunculkan peta daerah di bawah, dan begitu banyak tombol-tombol lainnya. Setidaknya ini dapat mengusir kebosanan yang mulai hinggap.
Namun ada yang lebih menarik lagi. Di ketinggian 1000 kaki dari permukaan laut, saya benar-benar mendapatkan sensasi Borneo. Mulai dari hutannya, sungainya yang lebar dan berkelak-kelok bagaikan anakonda, dan jalan daratnya yang panjang dan kecoklatan. Sudah pasti selain sensasi keindahan yang dirasakan, saya rasakan pula miris di hati melihat hutan kalimantan benar-benar hampir habis. Apa yang digembar-gemborkan LSM tentang kerusakan hutan benar-benar nyata, bahwa segala bentuk penebangan entah resmi atau ilegal telah membuat paru-paru dunia ini compang camping. Ditambah lagi segala bentuk penambangan liar yang membuat cekungan besar coklat dan tandus tanpa reboisasi. Duh…
Saat mendekati Balikpapan malah tambah parah, cekungan-cekungan besar itu bercampur baur dengan rumah penduduk lokal ditambah gunungan-gunungan hitam didekatnya. Dan ini semua menambah pekatnya aliran sungai dan laut di sekitarnya. Emas hitam bagi mereka memang betul-betul berharga apalagi di saat harganya begitu tinggi. di pasaran internasional.
Tiba-tiba mata ini sudah mulai lelah melihat ke bawah. Kantuk pun semakin memberatkan kepala. Namun di saat saya memulai bermimpi, terasa sekali pergerakan pesawat ini bermanuver untuk mendarat. Seiring dengan perubahan tekanan udara di kabin yang membuat telinga sebelah kiri saya sakit sekali. Ohoi…Sepinggan sudah mulai menyambut kami dengan landasannya basah oleh air hujan yang baru saja mulai turun.
Twin Otter ini mulai menjejakkan dua rodanya ke tanah dan membuang kemudinya menuju hanggar yang berisi deretan pesawat carteran. Sudah saatnya saya meninggalkannya dan menuju mobil bandara yang menjemput dan mengantar kami ke bangunan utama bandara. Saya bersyukur kepada Allah karena masih bisa menjejakkan kaki ini ke tanah, dan setidaknya ada pula kenangan yang terselip bersama Twin Otter ini, bahwa Borneo memang perlu diselamatkan. Itu saja.
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Sepinggan basah
14:34 23 Desember 2005
riza.almanfaluthi@pajak.go.id

http://10.9.4.215/blog/dedaunan

Kutunggu Jandamu


Kalimat ini seringkali diungkapkan oleh mereka yang menjadi ‘pecundang’ dalam pertarungan memperebutkan sang kekasih tercinta. Karena begitu ngebetnya, akal sehat pun tidak dipergunakan lagi. Logika orang kebanyakan seperti “masih banyak wanita lain yang lebih segalanya daripada dia” terabaikan. Bahkan kalau perlu sampai tua pun tidak akan menikah kecuali dengan si dia.

Yang lebih parah adalah si ‘pecundang’ ini sampai-sampai berkonsultasi dengan paranormal hanya karena untuk memenuhi pakem kedua dari para pecundang; ”cinta ditolak dukun bertindak”. Aduh, secantik Zulaikha-kah si dia? Sekaya Khadijah-kah si dia? Senasab Fatimah-kah si dia? Setaat Aisyah-kah si dia? Sampai-sampai kau jual akhiratmu demi duniamu.

Bukan. Kali ini saya bukan mau membahas tingkah menyebalkanmu itu.

###

Seringkali dalam perjalanan mengendarai kendaraan bermotor, para pengguna jalan menemukan hal-hal yang menarik untuk membunuh rasa bosan dan kantuk. Mulai dari tingkah selap-selip pengendara motor, ugal-ugalan angkutan umum, ego dari para pengguna mobil dengan modifikasi yang luar biasa wah-nya, tawuran, kecelakaan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Yang tak kalah menariknya adalah tulisan yang berada di bagian belakang kendaraan. Mulai yang ditulis besar-besar dengan warna mencolok sampai yang hanya seukuran stiker yang ditempel di bagian ekor motor. Dengan beragam tema pula, mulai dari tema suci ajakan berjihad di tanah Palestina sampai yang mengandung kata-kata jorok plus gambarnya lagi.

Seperti kalimat kutunggu jandamu, yang ditemukan di bagian belakang sebuah truk pasir dengan lembaran karet penahan air hujan dekat ban belakang bergambar dua wanita berpakaian ala kadarnya sedang melamun.

Ada lagi gambar hati merah yang retak dan terbelah bukan dengan panah seperti biasanya tapi dengan kapak 212 Wiro Sableng. Di bawahnya tertulis cinta di tolak dukun bertindak. Di sampingnya ada tulisan lain penggambaran alat-alat yang dipakai dukun seperti ’pelet, santet, teluh, gendam, semar mesem atau apapun namanya’. Mengerikan, semua penghancur hubungan dua manusia itu bak mainan saja dipertontonkan.

Masih banyak lagi gambar dan tulisan lainnya di pintu belakang penutup truk itu. Kalau menyengaja mencarinya, gampang, misalnya datang saja ke pangkalan pasir di sepanjang pantura. Kelak akan ditemukan kelucuan dan kengerian itu.

Ada lagi yang menulis di moda angkutan umum seperti angkot, metromini, atau bajaj yang jumlahnya ribuan di Jakarta ini. Tentang kerinduan terhadap kampung halaman dengan tulisan berlatar belakang alam pedesaan: takana juo. Atau tentang identitas daerah, walaupun ditulis dengan bahasa Inggris ala kadarnya seperti: Far For Sea Nowly. Maksudnya adalah Par Porsea Nauli. Maklum kebanyakan pengemudi berasal dari seberang. Sedangkan bagi orang betawi rangkaian huruf ini sudah cukup mewakili: AP KT NT AJ.

Yang lebih parah dan dapat membuat pembaca tersenyum dikulum, ada yang menulis ungkapan umum ’tidak ada waktu untuk bercinta’ dengan memakai bahasa Inggris tapi salah menuliskannya menjadi No Tame For Love. Atau jangan-jangan maksudnya memang ingin mengungkapkan bahwa dalam bercinta perlu keliaran (tame=jinak), ih…

Bagi kendaraan pribadi biasanya tulisan tercetak dalam bentuk stiker. Ada stiker dari wahana wisata yang langsung ditempel begitu saja tanpa peduli si pemilik mau atau tidak. Ada yang menempelkan stiker bertuliskan awas jangan nabrak, belum lunas di mobil mulusnya. Ada stiker partai kesayangan peserta pemilu tahun 2004 yang masih saja tertempel. Atau yang lebih ’parno’ adalah stiker barcode penanda mobil masih baru walaupun sudah dibeli setahun yang lalu.

Sedangkan untuk di motor ragam stikernya amat bervariasi. Ada stiker yang dibuat agar orang segan, seperti stiker berlambang Bareskrim, Gegana, Brimob, Marinir, Kopassus, atau Kostrad. Ada pula stiker yang menonjolkan arogansi otot dengan tulisan Nabrak Tonjok!, atau Nyenggol Benjut!.

Banyak juga yang menampilkan kelompok eksklusifnya seperti kampus biru, kampus kuning, atau apapun warnanya lengkap dengan jurusannya. Klub bermotor terkenal tak mau kalah untuk lebih tenar lagi seperti Harley Davidson, HTML, dan pendatang baru Mio Club Depok disingkat McD (maksain?).

Stiker lucu juga banyak: awas anak Kapolsek, yang ngerasa cantik boleh ngebonceng, jangan dicolong masih nyicil, otot kawat balung thok. Sampai berisi ejekan pun ada, seperti stiker bertuliskan ’yang membaca g*****’ (maaf saya tak tega menulisnya), juga stiker kartun yang sedang mengacungkan jari tengahnya (maaf)–di closeup lagi. Dan masih banyak lagi ragam dari stiker-stiker tersebut.

***

Satu hal penting dari apa yang diungkapkan di atas adalah bahwa informasi yang disajikan secara mobil akan dilihat oleh banyak orang, dibaca, dan diendapkan dalam memorinya untuk dijadikan informasi lanjutan kelak. Maka akan terlihat betapa efektifnya penyebaran informasi atau opini melalui media tersebut.

Jika begitu dan jika kita adalah seorang pecinta nilai-nilai kebenaran maka kenapa kita tidak mencoba cara itu dengan memuat kata-kata atau kalimat yang lebih dari sekadar kelucuan tanpa makna, kekasaran, ejekan, bahkan pornografi. Karena tidak banyak yang menyediakan sedikit ruang untuk menyampaikan nilai-nilai universal itu.

Tiada kerugian sedikit pun yang kita derita, bahkan jika kita ikhlas dan menjadi perantara turunnya hidayah Allah bagi orang-orang yang mendapatkan nilai-nilai itu maka sudah selayaknya pahala seisi langit dan bumi menjadi milik kita.

Jika kesadaran itu muncul, di banyak truk kita akan melihat sebuah gambar wanita berjilbab dengan tulisan dibawahnya: mar’atushsholihah, engkau adalah perhiasan terindah. Kita akan membaca tulisan di kaca belakang bus antar kota antar propinsi: Jihad is my way. Tak dapat dibandingkan dengan tulisan sebelumnya dangdut is my music.

Di angkot, kampung akhirat bahkan lebih dirindukan daripada kampung halaman dengan adanya kalimat ini: syahid, cita-cita kami tertinggi. Sedangkan di motor, kita akan mendapatkan tanda nasionalisme tanpa sekat-sekat geografis: Save Palestine.

Pula jika kesadaran itu muncul, kita mungkin tak akan pernah lagi menemukan kata-kata para pecundang, yang ada hanya harap: doakan aku dapatkan pendamping yang lebih baik darimu.

Lalu, kapan lagi kalau tidak sekarang?

Semoga.

dedaunan di ranting cemara

mushaf di antara kulit

23.30 06 Desember 2005

Mencoba Hidup Tanpa HP


20.10.2005 – Mencoba Hidup Tanpa HP

Kehilangan sebuah HP pada tanggal 19 September 2005 adalah moment pertama saya dalam menikmati cuti kemarin. Entah hilang karena dicopet atau jatuh dari saku celana saat berjalan-jalan susuri sudut-sudut Semarang.
Saya memblokir dan menutup Nomor Kartu Halo saya, itu pun lima hari kemudian setelah hari kehilangan. Dari informasi yang diperoleh customer service Telkomsel saya masih diberikan kesempatan untuk membuka dan memakai kembali nomor HP semula dalam jangka waktu enam bulan kemudian setelah hari penutupan berlangganan Kartu Halo.
Saya pikir ini kesempatan saya untuk menyepi terlebih dahulu, selain menyepi dari hiruk pikuk kejaran Newmont Minahasa Raya, juga dari hal-hal yang kadang membawa saya pada sikap boros dalam penggunaannya.
Hilangnya HP Nokia 3660 yang saya beli baru dengan harga cuma Rp500.000,00–karena teman saya yang membayar sisanya–setahun lalu, Alhamdulillah tidak membuat hati ini gundah. Saya tidak biasanya seperti ini dalam menyikapi kehilangan sesuatu. Saya pikir itu bukan rezeki saya. Ada pemikiran positif bahwa ada hikmah yang tersembunyi di balik semua ini.
Saya berusaha mencari-cari hikmah itu. Ada satu yang baru saya temukan kemarin, yakni saya tidak perlu berusaha memeriksa saku celana dan mematikan HP saat akan mulai sholat berjamaah di setiap masjid yang saya kunjungi. Luar biasa, saya dapat menikmati saat-saat tenang memulai sholat sedangkan yang lain masih saja berusaha berkutat untuk mematikan HP saat imam sudah mengumandangkan takbir.
Selain hikmah itu, tentu saja ada efek dari hilangnya HP saya, apalagi kehilangan itu menjelang ramadhan. Saya tidak dapat mengetahui siapa saja yang telah menghubungi dan mengirimkan SMS kepada saya dalam rangka bersama-sama bergembira menyambut ramadhan. Untuk itu dalam kesempatan kali ini saya minta maaf kepada semua teman atas tidak terbalasnya pesan-pesan itu. Semoga kalian maklum adanya.
Wajib Pajak ternyata sering menghubungi saya dan saya berusaha memberikan penjelasan kepada mereka bahwa untuk saat ini sampai dengan waktu yang tidak dapat ditentukan, kiranya hubungan konsultasi hanya dapat melalui telepon kantor.
Efek lainnya adalah saya telah banyak kehilangan nomor penting. Tak mengapalah. Saya juga tidak bisa menghubungi Haqi, Ayyasy, Qoulan Syadiida dan sebaliknya, apabila terjadi keadaan darurat. Tak apalah masih ada wartel ini.
Saya mencoba tahu sebatas mana kemampuan saya dalam menghadapi bombardir iklan murah HP. Saya mencoba tahu sampai kapan saya bisa bertahan dalam sikap paradoksial manusia urban dan postmodern. Saya mencoba tahu sebatas mana kemampuan saya dalam ber-izzah untuk tidak meminjam HP para kawan. Saya mencoba tahu sebatas mana kemampuan saya menikmati ketenangan tanpa dering poliphonic calling dan sms. Saya mencoba tahu sebatas mana kemampuan saya menahan kerinduan akan suara-suara riang dari bocah-bocah cilik di rumah. Saya mencoba tahu bisakah saya hidup tanpanya?
Waktu yang akan berbicara.
Atau akankah rumput terus bergoyang menikmati dendang kesunyian.
Uh…Jaka sembung.
dedaunan di ranting cemara
hening bening
8:51 20 Oktober 2005

Hah…Haqi Rangking 2?


Sebenarnya saya ingin menulis tentang tema ini sejak di akhir Juni 2005 yang lalu. Namun entahlah “ngeh”nya baru saat ini, setelah hampir tiga bulan lamanya terpendam dalam pikiran dan hanya dijadikan daftar tema yang harus ditulis dalam file computer saya. Ada apa sih di akhir Juni 2005?
Oh ya, perkenalkan terlebih dahulu anak saya yang pertama ini. Namanya Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi. Panggil saja ia Haqi. Tahun ini umurnya genap lima tahun. Sekarang ia naik ke kelas B di TKIT Adilla. Kelas A baru saja selesai di pertengahan Juni 2005 yang lalu. Dan seperti biasa di setiap akhir tahun ajaran diadakan acara perpisahan kelas B yang akan masuk SD dan acara pentas seni serta pemberian hadiah.
Haqi begitu bersemangat sekali mempersiapkan diri untuk ikut serta menyumbangkan diri bersama teman-temannya dalam acara itu. Mulai dari nyanyi-nyanyian, tari-tarian, dan pembacaan hafalan doa, surat, ataupun hadits.
Nah, pada saat acara itulah—yang tidak dapat saya hadiri, saya mendapatkan sesuatu yang mengejutkan. Apa coba? Haqi ranking dua. Hah…!
“Yang benar?” tanyaku memastikan.
“Swear…”kata Qoulan Syadiida di ujung sana.
“Wah hebat dong, Bagaimana ceritanya kok dia bisa?”
“Entar di rumah saja ceritanya.”
“Oke, deh.” Sambil sedikit kecewa karena hari itu aku harus kuliah dan ini berarti sampai rumah nanti berkisar pukul setengah sepuluh malam. Sebelum telepon di tutup, ia memberitahu pula bahwa di acara itu Haqi mendapatkan banyak hadiah. Syukurlah…Tapi mengapa saya terkejut dengan berita itu?
Saya mungkin adalah termasuk ke dalam golongan suami yang menyerahkan segala urusan rumah tangga dan pendidikan anak pada istri. Dan suami “pure” mencari nafkah semata. Apalagi bekerja di belantara kota Jakarta, di mana setiap pagi sebelum matahari terbit sudah harus berangkat, dan pulang setelah matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Sedangkan setiba di rumah, kelelahan becampur baur dengan peluh yang membasahi tubuh. Sehingga sisa waktu dipergunakan untuk langsung beristirahat. Jadi, sepertinya tidak ada waktu untuk sekadar menanyakan kegiatan sekolah anak.
Sedangkan hari Sabtu dan Minggu, adalah waktunya saya memulihkan diri dengan istirahat penuh, sehingga perasaan malaslah yang mendominasi kalau diajak bepergian ke Depok ataupun Jakarta untuk sekadar piknik atau mencari jajanan bersama keluarga.
Sehingga saya benar-benar tidak memerhatikan apa yang dilakukan Haqi di sekolahnya. Sesekali memang bersama-sama mengerjakan PR, tapi kebanyakan bersama umminya. Mewarnai? Jarang juga. Mengisi buku penghubung, apalagi. Oh ya, saya cuma membawakan majalah anak-anak dua mingguan untuknya. Itu saja. Kata umminya, Haqi susah sekali untuk diajak belajar dan ia sering sekali bermain bersama teman-temannya. Ah biarlah, saya pikir masa TK-nya Haqi adalah masa bermain-mainnya, baru kalau sudah di SD, saya turun tangan untuk berlaku ketat dalam memantaunya.
Tapi berita itu memang mengejutkan saya. Haqi yang jarang belajar. Haqi yang hobinya malah bermain, dan saya yang sama sekali kurang memerdulikan dan memerhatikan belajarnya, saya yang asyik dengan dunianya sendiri. Kok bisa, Haqi rangking dua.
Ya, betul Haqi rangking dua. Dan parameter yang saya tentukan dalam penentuan rangking yakni dengan prosentase yang besar hanya dalam belajar adalah salah. Ternyata setelah mendapatkan informasi dari guru pembimbingnya diketahui bahwa Haqi mempunyai prestasi non belajarnya yang menonjol daripada yang anak lain yakni keberanian, mempunyai emotional quotion yang baik, dan inisiatif. Walaupun prestasi belajarnya seperti hafalan dan membaca yang bagus. Wow…Haqi yang underestimate di mata saya dan saya anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai kemampuan—yang menurut saya—luar biasa pada umurnya. Haqi, Abi minta maaf yah…
Ternyata kini saya paham. Saya memahami bagaimana perasaan seorang ayah terhadap keberhasilan anaknya. Saya membayangkan dulu ayah saya pun akan merasa seperti ini saat saya memenangkan perlombaan MTQ, membaca puisi, juara di kelas, ataupun saat saya dapat masuk ke STAN Prodip dan lulus di tahun 1997. Inilah perasaan seorang ayah. Inilah perasaan orang tua pada anaknya.
Saya hanya berharap, tidak hanya dengan kebanggaan itu Haqi akan tumbuh. Saya berharap Haqi tumbuh dengan kecerdasannya, keberaniannya, emosionalnya dengan apa adanya. Tidak dipaksakan dan tentu dengan sedikit arahan dari saya. Hingga ia menempuhi jalan yang benar.
Saya berharap Haqi tumbuh pula dengan kemampuan yang disunnahkan oleh Rosulullah kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga hal keahlian yakni berenang, berkuda, dan memanah. Saya berharap Haqi akan tumbuh dengan itu sehingga menjadi pejuang-pejuang Islam yang handal dan kuat. Dengan kejujuran seperti Abu Bakar Asshidiq, ketegasan seperti Umar bin Khaththab, kelembutan seperti Utsman bin ‘Affan, kecerdasan seperti Ali bin Abi Tholib, keberanian seperti Khalid bin Walid, kewaraan seperti Umar bin Abdul Aziz, hingga dengan ketasawufan seperti Hasan Albanna. Itu saja.
Kini, saya katakan pada Haqi, Abi bangga padamu nak, dan maafkan Abi dengan banyaknya harap ini. Abi pun tetap mencintaimu apa adanya.

dedaunan di ranting cemara
di jelang keberangkatan ke Stasiun Jatinegara
13:07 17 September 2005