Siapa Teroris? Siapa Khawarij?


Siapa Teroris? Siapa Khawarij?
(ini bukan resensi)

Buku yang ditulis oleh Abduh Zulfidar Akaha ini memang luput perhatian dari saya. Buktinya buku yang terbit perdana di Bulan Juni 2006 ini baru saya ketahui hari Kamis (14/09) kemarin. Sebenarnya saya sudah mendengar tentang buku ini tapi berupa iklan penjualan vcd bedah buku ini di sebuah milis. Pun saya menganggapnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik.
Tapi setelah saya melihat keramaian di sebuah forum diskusi dunia maya dan melihat betapa yang kontra terhadap buku ini begitu kerasnya meng-counter buku ini, kepenasaran saya langsung muncul. Sorenya sepulang dari kantor saya sempatkan untuk singgah di toko buku di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.
Di toko itu, saya mencari-cari di setiap rak tapi tidak ketemu. Padahal dari komputer pencarian, buku tersebut masih ada delapan eksemplar. Dibantu oleh satu orang pegawai yang ikut membantu mencari akhirnya saya menemukan buku itu di rak buku. Pun setelah pegawai toko itu angkat tangan karena tidak bisa menemukannya dan mengatakan bahwa kemungkinan besar buku itu sudah diretur.
Buku ini adalah bantahan dari sebuah buku yang ditulis oleh Ustadz Luqman Ba’abduh yang berjudul ”Sebuah Tinjauan Syari’at: MEREKA ADALAH TERORIS!” (untuk selanjutnya disingkat MAT). Buku ustadz Luqman ini awalnya diniatkan untuk menjawab buku ”Aku Melawan Teroris!” karya Imam Samudera. Tapi seperti diungkapkan sendiri oleh Akaha di kaver belakang bukunya, bahwa ternyata buku itu secara membabi buta mengarahkan semua tuduhannya ke berbagai kelompok pegiat dakwah Islam lainnya selain salafi yang tidak ada hubungannya dengan Imam Samudera, terorisme, dan aksi bom bunuh diri.
Maka muncullah buku berjudul Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Ini. Buku yang walaupun berformat bantahan, tetapi diusahakan oleh sang penulisnya untuk senantiasa menjaga etika dan batas-batas kesantunan dalam tutur kata dan gaya bahasa penulisannya. Maka pembaca dapat membandingkan sendiri bagaimana etika itu dimunculkan oleh masing-masing penulis ini. Mana yang lebih santun dan mana yang sebaliknya.
Tidak berpanjang lebar dalam berkata-kata, berikut apa yang saya tangkap setelah membaca buku ini:
1. Desain kavernya (hardcover) bagus. Berlatar belakang warna hitam dengan api yang menyala-nyala seperti seakan-akan membakar kaver buku MAT. Kaver depan MAT pun terdapat ilustrasi api yang membakar buku Imam Samudera itu;
2. Peletakkan isi buku pun layak untuk disebut bagus karena sudah diperhitungkan agar para pembaca mudah untuk menikmati isi buku ini;
3. Referensi yang banyak pada catatan kaki. Ini dimungkinkan karena penulis adalah salah satu manajer Pustaka Al-Kautsar—penerbit buku ini. Sehingga data dan informasi otentik yang dibutuhkan lebih mudah didapat. Tidak perlu aneh karena Pustaka Al-Kautsar adalah penerbit buku-buku terjemahan dari Timur Tengah.
4. Membuat saya lebih memahami tentang arti sebuah perbedaan pendapat;
5. Satu yang pasti adalah buku ini menjawab hampir semua pertanyaan dan tema kontroversial di forum diskusi DSH;
6. Saya tidak bisa menuliskan kelebihan (yang tentunya terdapat pula kesalahan di dalamnya karena yang pasti sempurna adalah Alquran) yang ada pada buku ini, karena saking banyaknya. Saran saya buku ini layak untuk dibaca bagi para penggiat dakwah.

Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:56 18 September 2006

The Hobbit


12.01.2006 – The Hobbit
Kemarin, baru saja saya menyelesaikan membaca yang kedua kalinya buku karangan JRR Tolkien ini. Walaupun Anda sudah membaca novel lainnya yang sudah difilmkan oleh Peter Jackson, trilogi The Lord of The Ring mulai The Fellowship of The Ring, Two Towers, hingga The Return of The King, maka itu belumlah lengkap sebelum Anda baca buku yang berjudul The Hobbit.
Karena peristiwa besar di trilogi itu berawal dari seratus tahun sebelumnya yang diceritakan dalam buku ini. Dengan ditemukannya cincin setan oleh tokoh utamanya Bilbo Baggins, kakek Frodo Baggins, dalam sebuah dasar gua gelap di pegunungan berkabut.
Buku yang saya temukan di rak toko buku di bilangan Kalibata Maret 2004 lalu itu memberikan gambaran utuh dari kisah-kisah yang dibuat oleh Tolkien ini. Membaca bukunya tidak membuat kening berkerut karena selain tampilan font-nya lebih besar dari buku trilogi juga penuh dengan petualangan yang menegangkan dari para tokoh-tokohnya yang terdiri Gandalf sang penyihir putih, satu hobbit dan tiga belas kurcaci.
Sekadar menambah informasi saja, buku Tolkien ini dijadikan oleh bangsa barat sebagai rujukan dalam penamaan dan penggambaran makhluk-makhluk aneh selain manusia, seperti Orc, Goblin, Warg, Troll, Elf, Hobbit, dan Dwarf. Empat nama pertama selalu menjadi pihak kejam, sadis, dan selalu berlawanan dengan tiga yang terakhir kawan manusia.
Saking menariknya hingga saya membacanya berulang-ulang kali dan menambah penasaran saya pada buku-buku Tolkien lainnya. Sampai saat ini saya belum menemukannya, dengan mencarinya di toko buku ataupun searching di internet. Mungkin kalaupun ada, itu pun masih dalam bahasa aslinya. Entah di suatu hari nanti.
So, baca ini baru itu…
dedaunan di ranting cemara
hujan lebat
17:48 10 Januari 2006

Sedia Payung Sebelum Hujan (Pujian)


Dalam sebuah bab dari sebuah buku tua yang dimiliki oleh Bapak dan telah dibaca oleh saya pada saat kelas tiga SD diuraikan tentang bagaimana cara seseorang menghadapi kritik. Buku yang ditulis oleh Dale Carnegie ini menggambarkan dengan cantiknya bagaimana perasaan orang yang dikritik dengan berbagai macam kritikan Mulai dari rasa marah, tersinggung, cemas, hingga efek yang ditimbulkannya berupa stress hingga munculnya berbagai macam penyakit.

Kemudian diuraikan pula bagaimana sikap orang yang berpikiran positif dalam menghadapi segala kritikan tersebut. Pada intinya ia bilang ”Siapkan payung dari hujan kritikan”. Siapkan payung disini adalah siapkan mental sekuatnya atas apa saja yang kita lakukan yang akan mengundang banyak kritikan dari orang lain. Banyak contoh diuraikan oleh Carnegie bagaimana cara mempersiapkan payung itu.

Ada satu hal yang kurang dan tidak dibahas dalam buku tersebut. Hal biasa namun ternyata dapat memberikan efek negatif cukup besar bagi mental manusia. Yakni bagaimana setiap orang seharusnya dapat juga mempersiapkan payung dari hujan pujian. Tentu kita maklumi bahwa Dale Carnegie hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme dan kapitalisme. Sehingga penyikapan mereka terhadap pujian pun berbeda dengan penyikapan umat Islam terhadap pujian.

Bagaimana tidak, dalam materialisme, pujian adalah satu paket dengan ketenaran dan pencitraan diri. Sudah menjadi konsekuensi logis bahwa mereka yang tenar dan sukses dalam bidang tertentu mendapat pujian sebanyak mungkin dan dari mana saja. Karena ini berkaitan dengan–sekali lagi—pencitraan dirinya. Semakin dipuji semakin memberikan value added pada dirinya di mata orang lain. Sehingga pada akhirnya ia dapat diterima di komunitas masyarakat yang lebih tinggi derajatnya.

Berbeda dengan nilai-nilai yang dianut dalam Islam. Agama suci ini mengajarkan kepada umatnya berhati-hati terhadap pujian. Karena ini menyangkut hati yang akan terkotori. Mengapa demikian? Karena pujian yang berlebihan akan mengakibatkan melencengnya niat awal bagi yang dipuji. Bila terjadi hal yang demikian maka syirik kecil yakni riya’akan muncul.

Pujian berlebihan juga akan mematikan kreativitas. Ia akan merasa bahwa apa yang ia perbuat nihil dari kesalahan padahal manusia adalah tempat dari lalai dan lupa. Ia tidak mengetahui kekurangan dirinya dan terlambat untuk memperbaiki. Kreativitas pun mandeg atau jalan di tempat.

Pujian yang berlebihan akan mengakibatkan ketidaksiapan yang dipuji untuk menerima hal-hal yang buruk tentang dirinya. Pujian yang berlebihan juga akan memunculkan rasa ’ujub (takjub dan bangga pada dirinya sendiri) atau bahasa gaulnya narsis gitu loh.

Nah, bicara tentang ’Ujub digambarkan secara jelas oleh Ustadz Said Hawwa dalam buku yang ditulisnya berjudul Intisari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali: Mensucikan Jiwa. Bahwa biasanya manusia akan ’ujub atas delapan hal. Yakni yang pertama adalah ’ujub dengan fisiknya. Kedua adalah ’ujub dengan kedigdayaan dan kekuatan. Yang ketiga ’ujub dengan intelektualitas, kecerdasan, dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia.

Yang keempat adalah ’ujub dengan nasab yang terhormat. Kelima ’ujub dengan nasab para penguasa yang zhalim dan para pendukung mereka. Keenam adalah ’ujub dengan banyaknya jumlah anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat, pendukung dan pengikut. Ketujuh berupa ’ujub terhadap harta kekayaan. Dan yang terakhir adalah ’ujub dengan pendapat yang salah.

Berkaitan dengan dunia kepenulisan maka ’ujub yang seringkali menimpa adalah bentuk ’ujub yang ketiga yakni ’ujub dengan intelektualitas, kecerdasan, dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia, sehingga mengakibatkan sikap otoriter dengan pendapat sendiri, tidak mau bermusyawarah, menganggap bodoh orang-orang yang tidak sependapat dengannya dan kurang berminat mendengarkan para ahli ilmu karena berpaling dari mereka dan melecehkan pendapat mereka. (p:222)

Manusia normal mana sih yang tidak senang dipuji?

”Hei daun kering, tulisan elo bagus-bagus, yah. Bikin gue nangis mulu.” puji si fulan. “Mas Daun Jati, Bikinin gue puisi dong buat pacar gue. Elo kan paling hebat kalo bikin puisi. Gue aja ampe merinding kalo baca puisi elo.” puji si fulan yang lain. Gak kuat…!! Sampai limbung diri ini cari pegangan, supaya tidak jatuh saja sudah susah. Bagaimana tidak besar kepala? Bagaimana tidak akan tidak bergeming dari niat awal mencari ridhoNya kecuali ia memang benar-benar dilindungi Allah dari segala kekotoran hati. Bagaimana tidak akan ‘ujub dari hal itu?

Ustadz Said Hawwa memberikan terapi atas ‘ujub yang demikian yakni dengan bersyukur kepada Allah atas karunia intelektualitas yang telah diberikan kepadanya, dan merenungkan bahwa dengan penyakit paling ringan yang menimpa otaknya sudah bisa membuatnya berbicara melantur dan gila sehingga menjadi bahan tertawaan orang. Ia tidak aman dari ancaman kehilangan akal jika ia ujub dengan intelektualitas dan tidak mensyukurinya.

Beliau menambahkan bahwa hendaknya ia menyadari keterbatasan akal dan ilmunya. Hendaklah ia mengetahui bahwa ia tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit, sekalipun ilmu pengetahuannya luas. Apa yang tidak diketahuinya di antara apa yang diketahui manusia lebih banyak ketimbang yang diketahuinya, lalu bagaimana pula tentang apa yang tidak diketahui manusia dari ilmu Allah?

Hendaklah ia menuduh akalnya dan memperhatikan orang-orang dungu; bagaimana mereka ’ujub dengan akal mereka tetapi orang-orang menertawakan mereka? Hendaklah ia berhati-hati agar tidak menjadi seperti mereka, tanpa disadarinya. Orang cupek akal saja yang tidak mengetahui keterbatasan akalnya, sehingga ia harus mengetahui kadar akalnya dibandingkan dengan orang lain bukan dengan dirinya sendiri, atau dengan musuh-musuhnya bukan dengan kawan-kawannya, karena orang yang berbasa-basi selalu memujinya sehingga semakin ’ujub. Demikian Ustadz Said Hawwa (p:222).

Dalam sebuah tulisan yang berjudul Tawadhu di majalah Sabili, sebagai pembuka, penulisnya menceritakan gundahnya Helvy Tiana Rosa menyikapi fenomena penulis muda yang baru menulis satu atau dua buku sudah merasa paling hebat, merasa paling unggul. Padahal Taufik Ismail yang telah menulis banyak buku begitu tawadhunya dan tetap merasa belum apa-apa dengan segala karyanya itu. Sehingga beliaupun di usianya yang semakin bertambah tetap berkarya dan terus berkreativitas.

”Seharusnya mereka dapat menstabilkan emosinya,” tambah Helvy. Ya, betul perasaan paling unggul, paling hebat akan memandulkan kreativitas dan tidak mau belajar kepada orang lain. Membaca tulisan orang lain pun enggan, seakan usaha itu adalah upaya pengakuan bahwa orang lain lebih hebat daripada dirinya. Dan itu tidak diinginkannya. Dirinyalah yang lebih hebat. Dirinyalah yang pantas dipuji daripada orang lain. ”Ppeee…. betul begitu Mas Daun bersisik?” tanya sisi lain (bukan si Sisil lho).

Jadi bagaimana sih seharusnya kita memuji orang yang memang berhak kita puji dengan segala kecantikan kreativitasnya itu? Mungkin ini bisa menjadi jawaban: beri ia pujian sewajarnya dengan tambahan kritikan. Cara ini perlu agar ia pun bisa mawas diri.

Seperti etika dalam menegur bahwa segala koreksi dan kritikan tidak diungkapkan di depan forum, begitu pula dengan memberikan pujian. Kiranya tidak perlu diungkapkan kepadanya di depan khalayak ramai. Alangkah baiknya melalui surat, email, telepon, atau face to face. Atau kalau memang perlu diungkapkan di depan banyak orang, diusahakan untuk tidak diketahui orang yang dipuji. Ini adalah cara untuk menghindari penyakit hati yang akan timbul dari yang dipuji. Dan terakhir pujilah ia dengan tulus bukan dengan kedok diplomatis, agar ia dapat mensyukuri pujian itu dengan kesadaran bahwa segala pujian hanyalah milik Allah semata.

Tapi, ketakutan terhadap pujian yang berlebihan, ini pun akan mendatangkan sisi ekstrem dengan timbulnya penyakit hati yang lainnya yakni riya’, nah loh. Mengharapkan pujian salah, takut dengan pujian juga salah. Terus gimana dong? Ustadz Yusuf Qaradhawi pernah bilang: ”bersikaplah pertengahan”. Inilah sebaik-baiknya sikap.

So, sebelum kita siapkan payung dari hujan kritikan yang akan mengakibatkan kecemasan dan stress luar biasa, maka siapkan payung dari hujan pujian terlebih dahulu. Karena dengan itu kita akan siap untuk menerima hal-hal yang buruk tentang diri kita sendiri. Setelah itu tinggal nikmati saja badai kritikannya.

Allohua’lam.

Maraji’:

1. Intisari Ihya’ Ulumuddin al Fhazali, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-nafs terpadu diseleksi dan disusun ulang oleh Said Hawwa; 2000; Robbani Press.

dedaunan di ranting cemara

Alhamdulillah

18:39 11 Desember 2005

Ralat Ada Pajak di Antara Penulis dan Penerbit


Selasa, 29 Oktober 2005
Di dalam tulisan saya yang terdahulu dengan judul ”Ada Pajak di antara Penulis dan Penerbit” terdapat kesalahan yang cukup substansial terutama mengenai masalah pengenaan pajak terhadap penghasilan yang diterima oleh penulis berupa royalti dan tarif pajak yang diberlakukan atas penghasilan tersebut. Untuk itu, dengan ini saya sampaikan kembali uraian tersebut yang telah diperbaiki.
Seperti yang telah disebutkan bahwa bentuk penghasilan yang diterima oleh penulis adalah berupa royalti, honorarium, atau hadiah dan penghargaan dalam bentuk dan nama apapun.
Penghasilan berupa honorarium dan hadiah/penghargaan itu biasa disebut sebagai objek Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21).
Tarif yang berlaku untuk honorarium dan hadiah/penghargaan yang diterima oleh penulis adalah berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 yakni berkisar antara 5% sampai 35%, berikut tarifnya:
– Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) s.d. Rp25 juta : 5%
– Lapisan PKP di atas Rp25 juta s.d. Rp50 juta : 10%
– Lapisan PKP di atas Rp50 juta s.d. Rp100 juta : 15%
– Lapisan PKP di atas Rp100 juta s.d. Rp200 juta : 25%
– Lapisan PKP di atas Rp200 juta : 35%
Sehingga ilustrasi-ilustrasi pada tulisan terdahulu mengenai honorarium dan hadiah/penghargaan adalah benar adanya.
Sedangkan untuk penghasilan berupa royalti yang diterima oleh penulis dari penerbit adalah bukan merupakan objek PPh Pasal 21 namun merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23), sehingga tarif yang diberlakukan bukan sebesar tingkatan tarif Pasal 17 tersebut di atas melainkan hanya sebesar 15%.
Kembali saya ilustrasikan untuk masalah royalti sama dengan contoh yang terdahulu.
Seperti yang dituturkan dalam Royalti yang Pantas untuk Penulis (Asma Nadia:2005), saat bukunya terbit penulis biasanya akan mendapatkan downpayment atau apapun namanya senilai 20% dikali prosentase royalti dikali jumlah cetakan pertama dikali harga jual.
Misalnya jika buku terbaru karya Mohammad Fauzil Adhim ’Inspiring Words for Writers’ di jual seharga Rp32 ribu (Adhim: 2005) dan prosentase royaltinya sebesar 10% (karena ia penulis ternama), jumlah cetakan pertamanya 5000 eksemplar, penghasilan downpayment yang diterima Bang Fauzil adalah sebesar:

= 20% x 10% x 5000 x Rp32.000
= Rp3.200.000,00

Maka pajak yang harus dipotong oleh penerbit Pro-You dari penghasilan itu adalah sebesar:
= 15% x Rp3.200.000,00
= Rp480.000,00
(lebih besar daripada perhitungan sebelumnya yang hanya sebesar Rp160.000,00)

Jika buku itu laris di pasaran dan laku terjual semua, maka penghasilan berupa royalti yang diterima adalah sebesar sisanya:
= 80% x 10% x 5000 x Rp32.000
= Rp12.800.000,00.
Sehingga PPh Pasal 23 yang di potong adalah sebesar = 15% x 12.800.000,00 = Rp1.920.000,00 (lebih besar daripada perhitungan sebelumnya yang hanya sebesar Rp640.000,00)
Jikalau, buku tersebut berulangkali di cetak lagi karena begitu larisnya sampai mencapai jumlah 100.000 eksemplar sehingga mencetak sejarah baru dalam dunia perbukuan Indonesia, maka dapat dihitung berapa royalti yang diterima oleh Bang Fauzil ini yakni sebesar: 10% x 100.000 x Rp32.000,00 = Rp320.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong sebesar:
= 15% x Rp320.000.000,00
= Rp48.000.000,00.
Jumlah ini lebih kecil daripada perhitungan lalu yang sebesar Rp78.250.000,00.
Uraian selanjutnya sama dengan yang sebelumnya, bedanya adalah penerbit—baik diminta atau tidak—berkewajiban untuk memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 (bukan bukti pemotongan PPh Pasal 21) kepada penulis.
Demikian, kurang lebihnya saya mohon maaf.
Allohua’lam.

dedaunan di ranting cemara
tidak berhenti di 105
00:01 29 September 2005

: ada yang kurang jelas,
sila untuk email di
dedaunan02@telkom.net

Belanja Buku dan Perang Eropa


Dengan berbekal dua buku untuk dibaca ternyata tidak cukup untuk menghabiskan cuti. Buku pertama yang berjudul Perang Pasifik habis dibaca saat perjalanan dengan Kereta Api Bisnis Senja Utama jurusan Jakarta Semarang. Buku kedua berupa kumpulan cerpen terjemahan yang berjudul Peluru Ini Untuk Siapa habis dibaca pada hari ketiga tiba di Semarang.
Esok malamnya bersama Qoulan Syadiida, Haqi dan Ayyasy, saya pergi belanja buku di Mal Ciputra, Simpang Lima. Awalnya saya bersikeras bahwa di Mal Ciputra itu ada toko buku Gramedia, karena di akhir Maret lalu saya pernah membeli buku di sana. Qoulan Syadiida mengatakan bahwa Gramedia itu bukan ada di sana, tapi ada di Jalan Pandanaran. Tapi saya tetap ngotot untuk ke sana. Akhirnya saya akui, saya salah besar. Di sana tidak ada toko buku Gramedia yang ada toko buku Gunung Agung. Karena beranggapan pula bahwa Gramedia letaknya jauh dari Simpang Lima maka niat belanja buku tetap diteruskan di Gunung Agung.
Buku yang saya cari yakni Perang Eropa Jilid I tidak diketemukan. Saya tidak jadi membeli buku. Koleksi buku di Gunung Agung tidak selengkap di Gramedia. Hanya Haqi dan Ayyasy sajalah yang menikmati belanja buku di sana. Masing-masing mendapatkan sebuah puzzle, dua buku mewarnai, dan dua buku bacaan serta satu vcd produksi NCR.
Esok siangnya setelah sholat Jum’at, kami kembali mencari buku. Tidak lagi dengan Qoulan Syadiida, tapi tetap berempat, saya, Haqi, Ayyasy, dan Hendri, adik Qoulan Syadiida. Sekarang kami langsung menuju ke Gramedia yang berada di Jalan Pandanaran. Dan saya baru tahu ternyata Gramedia dekat juga dengan Simpang Lima dan bersebelahan dengan Masjid Baiturrahman. Kalau tahu begitu, kenapa tadi malam tidak langsung saja ke sana.
Di Gramedia banyak sekali buku-buku bagus, yang sayangnya saya harus dapat menahan diri karena budget untuk belanja buku bulan ini telah terlampaui. Buku-buku tentang fotografi hanya saya lirik sebentar tapi bertekad dalam hati suatu saat saya dapat membelinya. Buku kedua dari trilogy Kisah Klan Otori belum juga muncul. Sedangkan buku-buku bagus tentang perang dunia kedua banyak juga. Selain yang ditulis oleh P.K. Ojong—Perang Pasifik, Perang Eropa Jilid 1 dan 2—ada juga buku terjemahan yang lebih tebal dan lebih murah daripadanya. Namun saya berkeputusan untuk melanjutkan serial perang yang ditulis oleh P.K. Ojong terlebih dahulu setelah itu baru yang lain. Kali ini Perang Eropa Jilid 1 telah ada di tangan, mungkin yang jilid 2-nya saya beli di bulan depan.
Haqi dan Ayyasy hanya dapat bermain dan berlari-larian di lorong-lorong buku saja. Saya sudah mewanti-wanti pada mereka untuk tidak minta buku kali ini, karena semalamnya mereka sudah membeli banyak buku. Mereka menurut, walaupun pada akhirnya Haqi tetap saja merajuk dan sedikit memaksa untuk membeli satu buku bacaan lagi. Tapi saya bergeming.
***
Berbicara tentang ketiga buku pengisi perjalanan cuti kali ini, saya merasa enjoy banget saat membaca buku Perang Pasifik walaupun terkadang dengan hati gemas dan berhenti sejenak untuk membaca kemenangan-kemenangan sekutu dan kekalahan-kekalahan Jepang di pertengahan 1945. Kali ini, saat ini saya memang membenci sekutu yang dengan perang melawan terorisnya telah memakan puluhan ribu nyawa di Afghanistan, Irak, dan belahan dunia lainnya. Mungkin perasaan saya akan berlainan saat saya benar-benar hidup di zaman itu, karena dengan kemenangan sekutu tersebut akhirnya membawa akibat tidak langsung pada kemerdekaan bangsa Indonesia.
Membaca buku Peluru Ini untuk Siapa yang ditulis oleh Jihad Rajbi, membuat dahi saya berkerut. Ini bukan bacaan ringan seperti cerpen-cerpen Annida dan Forum Lingkar Pena. Banyak sekali metafora yang tidak bisa dimengerti dengan sekali membaca. Bahkan saat buku ini habis dibaca, saya merasa aneh dan tidak membawa saya pada kesan yang mendalam. Apakah karena cerpen ini adalah cerpen terjemahan—penerjemahnya Ustadz Anis Matta, Lc., atau memang karena keterbatasan saya? Saya salah bawa buku.
Pada saat saya menulis ini, buku Perang Eropa Jilid 1 sudah habis terbaca setengahnya. Mungkin pada saat perjalanan pulang kembali ke Jakarta nanti malam saya dapat menyelesaikan setengahnya lagi. Buku ini memang bagus dan enak dibaca seperti buku Perang Pasifik yang terdahulu. Wajar saja mengingat buku ini adalah merupakan kumpulan tulisan P.K. Ojong—seorang keturunan asal Bukit Tinggi dan meninggal pada Mei 1980—di majalah mingguan Star Weekly yang sangat popular saat itu.
Tidak seperti di Perang Pasifik, hampir di sebagian halamannya dijelaskan secara rinci tentang awal dimulainya Perang Dunia II di belahan barat yakni di Eropa. Tentang penyerbuan Blitzkrieg Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 hingga kemenangan-kemenangan Jerman yang fantastic baik di medan Eropa maupun Afrika. Itu diungkapkan lebih detil dibandingkan penyerangan-penyerangan pada Perang Dunia II di belahan Timur yakni di Pasifik yang dilakukan oleh Jepang ke Pearl Harbor. Entah karena referensi buku-buku yang ditulis tentang perang pasifik ini lebih sedikit atau karena masalah ideologi.
Tapi pada intinya buku ini bagus walaupun lagi-lagi saya gemas saat sekutu sudah meraih kemenangan dimana-mana. Dan lagi-lagi saya membaca dengan ideologi saya. Sekali lagi buku ini bagus pula untuk dibaca sebagai pengantar tidur di perjalanan.

dedaunan di ranting cemara
l’histoire se repete
9:44 25 September 2005

Sesaat dengan Pesona Jepang


sesaat dengan pesona Jepang

Setelah selama dua pekan dibombardir dengan Azumi, Azumi 2: Death or Love, Zaitoichi, Zaitoichi 2, maka pengelanaan saya tiba di media cetak berupa buku. Dari Tales of the Otori, Perang Pasifik, hingga Musashi. Entahlah, tiba-tiba saya tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang budaya Jepang, tentang kekaisaran Jepang, dan tentang para shogunnya.
Saya terpesona dengan efisiennya gerakan pedang mereka yang hanya satu dua kali gerakan sudah dapat menjatuhkan lawan. Saya terpesona dengan kegigihan mereka di setiap medan peperangan di Perang Dunia II. Saya terpesona dengan adat istiadat yang amat melekat dalam diri setiap orang Jepang. Dan saya terpesona dengan kepatuhan istri seorang ronin yang selalu mengikuti dari belakang kemana suaminya pergi.
Keterpesonaan saya ini seperti keterpesonaan saya terhadap budaya cina saat saya membaca banyak cerita silat Kho Ping Ho. Dulu, dulu sekali. Saat umur saya baru belasan tahun. Saat saya masih duduk di bangku SMP. Dengan keterpesonaan itu saya membayangkan dapat pergi ke Cina hanya untuk mendapatkan ilmu kanuragan (sinkang) dan ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang hebat. Atau berkelana dari gua-gua di seantero Cina hanya untuk mendapatkan seorang guru yang mengajarkan semua ilmu itu kepada saya. Dulu, dulu sekali.
Keterpesonaan yang sama pun terjadi ketika saya mempelajari puncak kejayaan para khilafah Islam. Keterpesonaan yang mengakibatkan saya membayangkan jika bisa kembali ke masa lampau untuk bisa ikut dalam ekspedisi Klalid bin Walid ke Yarmuk, atau ekspedisi Sa’ad bin Abi Waqqash ke Persia. Atau ekspedisi penaklukan Yerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi, atau penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih. Pun keterpesonaan pada indahnya istana-istana Damaskus, Baghdad, Cordova, dan Granada.
Kembali kepada keterpesonaan saya terhadap budaya Jepang, saya sampai berpikir dengan efisiennya gerakan pedang mereka. Bahwa untuk menjatuhkan lawan tak perlu banyak gerakan dan jurus seperti apa yang diperlihatkan film-film Cina. Apakah ini merupakan inkarnasi budaya Jepang masa lalu yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jepang kini? Sehingga dengan keefisienan itu, kita melihat betapa maju dan moderennya Jepang saat ini setelah Perang Dunia yang menghancurluluhkan Jepang.
Namun dari empat film yang saya tonton itu, semuanya mempertontonkan kekerasan, warna merah darah, yang muncrat, yang mengalir deras dari leher, jiwa-jiwa dengan harga murah, dan sadistis. Pertanyaannya adalah inikah pula cerminan dari jiwa-jiwa masyakarat Jepang saat ini? Sakit dan sekali lagi sadis?
Pada masalah sadistis, sebenarnya bukan hal yang baru. Dan dapat dicari fakta-faktanya pada masa penjajahan Jepang di bumi Indonesia. Tak usah jauh-jauh, Kakek saya di Jatibarang, Indramayu disiksa dengan kaki yang terikat pada tali timba sumur lalu diceburkan dan ditarik kembali, demikian dilakukan berulang kali hingga beliau meninggal. Lalu hartanya pun dirampas. Fakta lainnya adalah wanita-wanita jajahan yang dijadikan sebagai geisha pemuas nafsu para prajuritnya. Dan masih banyak sadisme yang dipertontonkan Jepang tidak hanya di Indonesia tapi pada semua daerah jajahannya. Seperti di Philipina, Cina, Korea, Burma, dan lain-lainnya.
Lalu keterpesonaan apa pula hingga saya membandingkan kekaguman dengan rasa jijik atas sadisme itu? Ya, keterpesonaan yang sesaat. Sesaat karena pekan-pekan ini saya dihujani dengan budaya itu. Maka saya akan melupakannya jika saya membombardir otak saya dengan bacaan dan tontonan yang lain. Akan selalu terpesona kembali dengan yang baru.

dedaunan di ranting cemara
di antara ala kadarnya saja
10:35 16 September 2005

Belanja Buku Bekas


13.09.2005 – Belanja Buku Bekas

Kalau Anda menginginkan buku murah dan berkualitas, datang saja ke Kwitang. Di sana banyak dijual buku-buku bekas. Sebenarnya tidak bisa juga dikatakan buku bekas, karena saya lihat banyak sekali buku yang tampilannya cukup menawan. Mungkin saja buku-buku itu adalah sisa buku yang tak terjual di toko-toko buku besar.
Harganya cuma berkisar antara Rp3000,00 sampai Rp10.000,00. Seperti buku yang saya beli tadi siang di sana. Lima Unsur Musashi: Panduan Strategi Klasik karya Miyamoto Musashi dijual hanya tiga ribu perak saja. Satu lagi: Membaca dan Menulis Wacana: Sebuah Petunjuk Praktis bagi mahasiswa dan Penulis Lainnya yang ditulis oleh Josep Hayon dijual lima ribu perak.
Apalagi kalau Anda pecinta buku Islam, di sana–dalam gang sempit–ada lapak yang dapat menjual buku dengan harga 70% dari harga toko. Lapak yang dimiliki oleh seorang nenek dan uda itu adalah langganan saya sejak tahun 1995. Biasanya buku yang dijual di sana adalah buku yang dalam kondisi 99%. Kemungkinan besar buku itu adalah limpahan dari penerbit yang mengalami cacat produk. Seperti kertas yang tak sewarna, ada yang putih dan kecoklat-coklatan, atau ada satu dua halaman yang kosong.
Biasanya saya dapat berjam-berjam untuk hanya sekadar melihat-lihat dan mencari buku-buku yang bermutu. namun untuk siang kali ini, karena saya diantar teman, jadi tidak enak untuk berlam-lama di sana. Tapi yang penting keinginan saya membeli buku kali ini terpuaskan hanya dengan biaya yang sangat murah.Lain kali saya akan kembali lagi.Tunggu saja…
dedaunan di ranting cemara
di antara P.K. Ojong dan Fred R David
14:23 13 September 2005

Kisah Klan Otori


Kisah Klan Otori
Across The Nightingale Floor

Tomasu menyaksikan bekas-bekas pembantaian terhadap penduduk desa Hidden yang dilakukan Iida Sadamu, pimpinan klan Tohan pemenang pertempuran Yaegahara sepuluh tahun yang lalu atas gabungan klan Otori, Maruyama, Shirakawa.
Namun ia diketahui oleh anak buah Iida dan dikejar ke hutan, hingga diselamatkan oleh Lord Otori Shigeru, pewaris sah klan Otori yang dalam perjanjian dengan klan Tohan, ia tidak boleh menjadi pemimpin klan, oleh karenanya saat ini, pimpinan dipegang paman-pamannya.
Tomasu pun diangkat anak oleh Lord Shigeru dan namanya berganti menjadi Otori Takeo yang mempunyai hak sebagai pewaris kelak. Di Hagi, ibukota klan Otori, ia dididik Muto Kenji—teman Shigeru dan seorang Tribe—berlatih pedang, baca tulis, dan melukis. Dari sanalah ia mengetahui bahwa dirinya pun adalah keturunan Tribe—sebuah kelompok diluar klan yang mempunyai keistimewaan hebat. Ia pun mempunyai kehebatan berupa pendengaran yang peka sehingga dapat mengetahui bunyi-bunyian dan pembicaraan orang dari jarak jauh.
Suatu saat Iida Sadamu menghendaki Lord Shigeru untuk menikah dengan Lady Kaede, putri Lord Shirakawa. Iida Sadamu pun melamar Lady Maruyama Naomi, sepupu Lady Kaede dan pimpinan klan Maruyama. Padahal secara diam-diam antara Lord Shigeru dengan Lady Maruyama telah terjalin hubungan yang membuahkan janin.
Untuk itu Iida sadamu memanggil mereka datang ke kastilnya di Inuyama. Di kastil itulah Iida membuat sebuah bangunan berlantai khusus untuk dirinya. Jika ada orang yang melangkah di atasnya maka lantai itu akan berbunyi, sehingga dinamakan the nightingale floor. Sehingga Iida pun akan merasa aman dari serangan mendadak. Yang tak diketahui Iida pada saat itu telah direncanakan sebuah upaya pembunuhan dirinya oleh Shigeru dan Kenji.
Namun rencana itu gagal total oleh adanya pengkhianatan, dan Iida Sadamu tetap terbunuh bukan oleh mereka, tapi oleh seorang Kaede yang dipaksa untuk melayani nafsunya.

****
Membaca buku pertama dari trilogi Klan Otori yang ditulis oleh Lian Hearn, membawa kita pada pengenalan bermacam-macam klan sebagai budaya masa lampau Jepang. Walaupun ini fiktif setidaknya—ini pun diakui oleh penulisnya sendiri—ada penggambaran yang nyaris dan sempurna mendekati kebenaran fakta sejarah Jepang, seperti tokoh Sesshu, seniman dari klan Sesshu, yang dalam novel pertama ini tak ada peran sama sekali.
Penggambaran karakter tokoh seperti Otori Takeo cukup mendalam. Namun tidak pada Lord Shigeru yang di awal novel ini digambarkan cukup berkarakter dan mumpuni untuk menebas dengan sekejap kepala dan tangan para pengejar Tomasu. Anda harus gigit jari kalau berharap terjadi pertempuran ala samurai antara Lord Shigeru dan Iida. Lord Shigeru digambarkan begitu lemah di akhir-akhir cerita.
Ada yang tidak sesuai pada apa yang ditulis di kaver belakang dan situsnya (www.penerbitmatahari.com) dengan isi dalam novel ini. Kalau Anda baca maka akan temukan paragraph seperti ini:

Iida Sadamu, seorang bangsawan kejam, memandang nightingale floor miliknya di Kastil Inuyama. Lantai ini akan berbunyi bila ada yang melangkah di atasnya. Namun, ada seorang anak bernama Takeo yang mampu melangkah di atas lantai itu tanpa berbunyi.

Di dalamnya tak ada penggambaran bahwa Takeo dapat melalui lantai itu tanpa berbunyi, walaupun sebelum berangkat ke Inuyama ia telah belajar mengatasinya. Yang ada adalah ia berjalan dengan tergesa untuk segera ke kamar Iida, sehingga membuat lantai itu berbunyi. Ini yang menyebabkan Abe, pengawal Iida, tetap mengetahui kedatangannya dan bertarung dengan Takeo. Entah, ini sekadar pemanis kaver atau kecerobohan.
Saya berpikir sama dengan pemberian judul novel ini, karena masalah lantai tidak sebagai focus utama dan hanya beberapa paragraph saja untuk penggambarannya. Tidak ada sisi-sisi istimewa dari lantai itu selain hanya sekadar penyaman tidur Iida. Tidak ada pengisahan yang kuat.
Namun saya memuji disain kaver dengan merah yang mendominasi itu, yang menurut saya “wah”, elegan, dan menarik minat. Penerbit memahami betul salah satu jurus pemasaran ampuh ini. Bungkus menjadi daya pikat nomor satu dan setelahnya baru isi. Tak lupa endorsement memukau dari banyak pihak.
Sebagai sebuah novel yang mendapatkan begitu banyak penghargaan internasional, bagi saya novel ini biasa-biasa saja. Tidak membawa kesan yang cukup mendalam. Entah pada novel yang kedua dan ketiganya. Saya hanya berharap apa yang didapat dari trilogy ini adalah sama seperti saat saya membaca trilogy The Lord of The Ring. Tapi bagi Anda yang membutuhkan bacaan ringan untuk akhir pekan sembari mempelajari salah satu budaya dunia, novel ini cukup layak untuk Anda baca.

dedaunan di ranting cemara
di antara Jenderal Hideki Tojo dan Laksamana Isoruku Yamamoto
09:28 13 September 2005

1000 dan 1 Malam


1000 dan 1 Malam
(Alfu Lailah Wa Lailah)

Ada yang menarik dalam tema perbincangan di milis ini, yakni tentang menulis fantasi dalam Islam, hingga menghubungkannya dengan Kisah Seribu Satu Malam yang dianggap berasal dari sastra Islam, benarkah? Tulisan ini tidak membahas tentang penulisan fantasi dalam Islam namun berpokok pada apa dibalik Kisah Seribu Satu Malam.
Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut. Apalagi sejak ditayangkan secara visual di layar kaca ataupun layar perak produksi Holywood. Semuanya pasti setuju bahwa kisah itu diambil dari Kisah Seribu Satu Malam. Kisah yang amat terkenal dari abad-abad lampau hingga saat ini. Tapi tahukah Anda bahwa kisah itu adalah cuma terjemahan saja dan bukan buatan sastrawan-sastrawan ternama pada puncak kejayaan Baghdad?
Saat itu Kekhalifahan Abbasiyah berada pada puncak tangga tamadun. Politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan di segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian—ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Bani Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama.
Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai penyair (seperti Abu Nuwas), pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga pemain drama.
A Hasymy dalam bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan Islam mengungkapkan perkembangan salah satu seni sastra itu yakni tentang novel terjemahan. Di sana disebutkan bahwa kebanyakan novel diterjemahkan dari bahasa Persia dan Hindi. Ada yang sesuai dengan aslinya atau diterjemahkan dengan ditambahkan perubahan-perubahan bahkan disadur.
Salah satu novel terjemahan yang termasyhur itu adalah Alfu Lailah Wa Lailah. Novel ini berupa hikayat yang disadur dari bahasa Persia sebelum abad IV Hijriyah. Walaupun bentuknya saduran namun menceritakan tentang kehidupan mewah masyarakat Islam pada masa itu.
Dalam Ensiklopedi Islam Jilid I (EI1) disebutkan pula tentang hikayat ini bahwa ia berasal dari kumpulan cerita berbahasa Persia yang berjudul Hazar Afsanak (Seribu Cerita) yang ditulis ulang oleh Abdullah bin Abdus al-Jasyyari (942 M).
Ada yang berpendapat bahwa hikayat ini ditulis oleh lebih dari satu orang pada periode yang berbeda, berikut periode tersebut (EI1 hal.106):
– Bentuk pertama adalah terjemahan harfiah dari Hazar Afsanak, diperkirakan berjudul Alf Khurafat (Seribu Cerita yang Dibuat-buat);
– Bentuk kedua Hazar Afsanak dengan versi Islam berjudul (Seribu Malam), pada abad 8;
– Bentuk ketiga berupa cerita Arab dan Persia dibuat pada abad 9;
– Bentuk keempat adalah susunan al-Jasyyari pada abad ke-10 yang mencakup Alf lailah dan cerita-cerita lain;
– Bentuk Kelima kumpulan yang diperluas dari susunan al-Jasyyari dengan tambahan cerita-cerita Asia dan dan Mesir, abad ke-12, pada periode ini judul itu berubah menjadi Alfu Lailah Wa Lailah
– Bentuk Keenam adalah Alfu Lailah Wa Lailah ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan dinasti Mamluk sampai awal abad ke-16.
****

Kisah atau hikayat yang diceritakan itu ada yang mengenai jin, kisah percintaan, legenda, cerita pendidikan, cerita humor, dan anekdot. Kebanyakan berlatar belakang kehidupan istana di Baghdad, Syam, dan Mesir (EI1 hal. 107).
Secara garis besar kisahnya adalah sebagai berikut:
Kisah ini dituturkan dngan gaya bercerita oleh Syahrizad, istri Raja Syahriyar, yang bercerita atas permintaan adiknya, Dunyazad, dan didengarkan oleh sang raja. Syahrizad bercerita agar sang raja tidak melakukan pembunuhan terhadap istrinya.
Disebutkan bahwa Raja Syahriyar dan adiknya, Raja Syahzaman, pada mulanya adalah raja yang adil selama 20 tahun pemerintahannya, namun kemudian berubah menjadi raja yang kejam yang membunuh setiap wanita yang dikawininya pada malam pertama pernikahan. Perubahan sifat raja berawal dari penyelewengan istrinya dan penyelewengan istri adiknya yang melakukan perzinahan dengan budak berkulit hitam sewaktu raja pergi berburu. Perbuatan itu dilihatnya sendiri karena ia tiba-tiba pulang untuk mengambil sesuatu yang terlupa. Istrinya yang berkhianat dan budak itu dibunuhnya. Ketika ia berada di negeri adiknya, Syahzaman, ia juga melihat perbuatan seorang istri adiknya dengan budak berkulit hitam sewaktu adiknya tidak berada di rumah.
Syahriyar menjadi orang yang tidak percaya pada setiap wanita. Dendamnya pada wanita dilampiaskannya pada gadis-gadis yang dinikahinya. Setelah beberapa lama, di negeri itu sudah tidak didapatkan lagi gadis yang akan dipersembahakan kepada raja, kecuali puteri wazir, yaitu Syahrizad.
Syahrizad bersedia dinikahkan dengan raja untuk menyelamatkan nyawa wanita-wanita yang lain. Syahrizad digambarkan sebagai wanita cerdas yang banyak membaca cerita, hikayat, dan kisah lama. Sejak malam pertama sampai malam ke 1001, ia bercerita berbagai cerita secara bersambung sampai subuh dan bila siang hari ia tidak bercerita. Dengan cerita-cerita ini akhirnya raja sadar dan insaf, dan puteri Syahrizad selamat dari pembunuhan. (EI1 hal. 107)
****
Penyebaran Alfu Lailah Wa Lailah ke Eropa dalam bahasa Perancis dilakukan pertama kali oleh sarjana Perancis, Jean Anthoni Galland. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikenal dengan judul The Arabian Nights.
Singkatnya baru pada tahun 1896 buku yang diterbitkan oleh percetakan negara Bulaq—dekat Kairo, diberi gambar oleh Husyain Biykar. Edisi Bulaq inilah yang di kemudian hari menjadi patokan dalam penterjemahan ke dalam bahasa-bahasa terkenal dunia. (EI1 hal 106).
Namun sayangnya penggambaran-penggambaran itu membuat 1001 Malam lebih berubah. Dulu sekali, dalam sebuah film barat yang judulnya saya lupa, di salah satu adegannya diceritakan tentang seseorang yang sedang membaca buku 1001 Malam yang dipenuhi dengan gambar-gambar vulgar dari orang bersurban (sultan?) sedang berhubungan intim dengan lawan jenis.
Jadi pada saat ini kisah 1001 malam (versi barat) tidak bedanya dengan kisah-kisah porno. Tapi entahlah, saya belum pernah memegang buku itu sekalipun, baik dalam versi asli maupun terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya hanya tahu kisah itu dari dongeng-dongeng yang bertebaran di majalah Ananda dan Bobo, dulu. Namun dari film-film kartun produksi Holywood, setidaknya kita bisa berpikir dan bertanya dalam hati sudah Islamikah? Tentu tidak.
Betul 1001 Malam muncul pada saat kejayaan umat Islam mencapai puncaknya di Baghdad sehingga stereotip yang ada adalah bahwa 1001 Malam adalah sastra Islam, namun dengan melihat kenyataan yang ada, patutkah ini disebut sastra Islam atau sastra bersumberkan Islam?*) Sedangkan sastra bisa dikategorikan sebagai ‘sastra bersumberkan Islam’ bila ianya mengusung nilai-nilai universal yang tak bertentangan (atau malah sesuai) dengan ajaran Islam.(Helvi: 2003).
Allohua’lam.

*)Pada saat masa puncak itulah terjadi pertentangan antara ulama-ulama terpercaya dengan para seniman yang mulai beraninya (dengan dukungan para pejabat istana tentunya) mengembangkan seni yang dilarang pada masa-masa awal atau masa sebelumnya (dinasti Umayyah) yakni bermain musik, bermain drama dengan peran wanita dipertontonkan di hadapan penonton pria, kubah-kubah istana dan kaligrafi-kaligrafi bergambar makhluk hidup, dan patung-patung manusia.

Sumber Rujukan:
1. C Israr; Sejarah Kesenian Islam; Bulan Bintang; 1978;
2. A Hasymy; Sejarah Kebudayaan Islam; Bulan Bintang; 1995;
3. Ensiklopedia Islam Jilid 1; PT Ikhtiar Baru Van Hoeve; 1999;
4. Helvy Tiana Rosa; Segenggam Gumam; PT Syaamil Cipta Media; 2003;
5. Philip K. Hitti; History of The Arabs; PT Serambi Ilmu Semesta; 2005

yahya ayyasy
dedaunan di ranting cemara
citayam, 22.10 WIB, 11 Juli 2005

ps.
Bila terdapat kesalahan mohon dikoreksi.

Hari Ini Aku Berburu Buku


Assalaamu’alaikum wr.wb.

Ba’da takbir, tahmid, dan salam.

Wahai ukhti fillah….
(istilah ini saya pakai lagi setelah 8 tahun sudah tertinggal di kampus)
Semoga Allah memberikan kita yang terbaik.
Dua minggu tidak menulis “sesuatu”?
Ah masak….
Bukankah setiap perbuatan-perbuatan kebaikan itu adalah upaya menulis juga, menulis hati kita, agar senantiasa ter-relief indahnya sinaran kebaikan. Bukan selalu kelamnya keburukan-keburukan saja yang ada pada segumpal darah itu.
So, bukankah setiap email yang engkau kirim kepada sahabat-sahabat tercinta adalah suatu upaya menulis juga, upaya menuangkan gagasan dari pikiran kita? Bagi kami hal-hal kecil semacam ini adalah upaya melatih kepekaan kita dalam mengolah gagasan-gagasan tersebut ke dalam kata-kata yang tertulis.
Atau bagi Antiitu bukan suatu maha karya? Sesungguhnya adikarya berawal dari satu huruf, satu karya kecil, atau satu langkah ke depan. Ingat bukan, tentang seorang tukang batu yang berhasil memecahkan batunya di pukulan yang keseratus, tetapi ia sadar semuanya terjadi karena ia memulai pukulannya di pukulan yang pertama.
Ayo, tetap semangat, sesungguhnya ketika Anti tidak menulis secara lahir tapi Antitetap sedang menulis perjalanan hidup di benak anti. Suatu saat semua yang Antilihat, dengar, dan rasakan akan muncul dengan mudahnya, dengan begitu saja, tanpa ada aral yang melintang. Maka Anti tinggal menunggu pemantiknya, kunci pembukanya, yang akan mengeluarkan semuanya itu dengan indahnya seindah purnama di lima belas.
Pun dengan tiga hari Anti membaca begitu banyak buku, itu bukan suatu “cuma”, tapi itupun adalah dalam rangka memperkaya dan mengisi khazanah ke dalam jutaan ruang rasa dan makna. Tidak banyak orang yang dapat menyelesaikan banyak buku untuk dibaca. Tidak banyak orang yang dapat mengambil sari pati dari banyak buku yang ia baca. Dan tidak banyak pula orang yang dapat menjadikan banyak buku yang ia baca sebagai pemicu supaya ia dapat mencintai sahabatnya dengan cinta karena Allah yang lebih tulus lagi. Sebagai pemicu supaya ia berbuat sejuta kebaikan di setiap harinya. Sebagai pemicu supaya ia menjadi penerang bagi orang lain. Antipasti ingat tentang “hanya dengan shalat dan sabar, Allah akan membuka semua itu”.
So, saya yakin Antiadalah orang yang mampu untuk menjadi ketiganya itu. Semoga.
Allahua’lam.
 Tetap dengan senyum terindah.
****
Wahai ukhti fillah,
tentang banyak hal yang aku lakukan?
Baru saja hari ini saya membeli banyak buku di tempat sekelas kaki lima, di kramat sana, bukan tempat ber-ac laiknya di bookfair. Namun harganya itu loh…murah banget booo. Di tempat yang saya biasa beli sejak 10 tahun yang lampau.

(bajakan bukan yah…?, maaf kalau ini sangat menyinggung, soalnya biasanya penulis sering Antipati pada yang namanya kramat, semoga tidak)
Mau tahu buku-buku itu:
1. Mushaf terbitan Syamil;
2. History of The Arabs, Philip K Hitti (ini yang saya “ngebet banget” waktu di Bookfair, tunggu saja akan saya lahap dikau di akhir pekan ini);
3. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa, terbitan Robbani Press;
4. Agenda Tarbiyah: Mencetak Generasi Rabbani;
5. Biarkan Bidadari Cemburu Padamu;
6. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, Suad Husnan (orang Bapepam harusnya punya buku ini, punyakan…?;
7. Ada satu lagi namun segera dibawa sang kekasih, sebuah novel: judulnya lupa (kok bisa, yah inilah manusia).
Yang jadi pikiran saya saat ini, mau ditaruh di mana buku-buku itu, sedang almari pun sudah tak muat. Makanya tebaran buku dimana-mana sudah menjadi penghias rumah saat ini.
Itu saja sih…semoga engkau menjadi yang lebih cepat lagi, semoga engkau selalu menjadi manusia yang senantiasa “iri” dengan kebaikan-kebaikan orang hingga memicu engkau untuk selalu berbuat kebaikan, dan semoga engkau selalu menjadi orang yang mampu menggebrak ketika menyajikan soto (loh kok Jaka Sembung sih, emang soto gebrak…..?). 
Maaf tak sempat mampir di persinggahanmu….lagi kukutip ia.
Maafkan saya.
Allohua’lam.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.

dedaunan di ranting cemara
di antara tumpukan buku
kalibata, 14 Juli 2005

ps.
Sudah sebagian besar tulisan Anti saya baca. Karena harus bergantian dengan sang kekasih. Komentar awal: bagi siapa saja yang mau mengenal sosok azimah rahayu lebih mendalam, lebih detil, ruang berpikirnya, sejuta makna yang ia miliki, maka baca buku pagi ini aku cantik sekali dan hari ini aku makin cantik. Itu lebih dari cukup dibanding dua lembar berisi biodata untuk ta’aruf. 
Komentar kedua: Saya membacanya sambil terduduk, terpekur di pojok ruangan yang paling sudut, khusyu’….