JANGAN KAYAK ANJING


JANGAN SEPERTI ANJING YANG MEMAKAN MUNTAHANNYA

 

Dir, seorang al-akh dari kami, hidupnya serba kekurangan. Sampai ia punya anak lima tak punya rumah untuk ditempati. Selama ini ia hanya menempati rumah yang tidak ditinggali oleh al-akh yang lainnya. Tapi hafalannya banyak, juga aktivitas dakwahnya jangan ditanya. Ia siap untuk berkeringat bahkan berdarah-darah kalau diminta untuk memasang panji-panji dakwah di seantero Pabuaran.

Suatu ketika ia terpaksa untuk menjual telepon genggamnya (HP) untuk sekadar menyambung hidup. Otomatis banyak al-akh yang membutuhkan tenaganya tidak bisa menghubunginya. Komunikasi pun terputus berbulan-bulan. Alhamdulillah ada dana dari kami—tepatnya dana dari teman kami di Jakarta guna kepentingan dakwah di Pabuaran—untuk membelikannya sebuah HP murah. Yang terpenting ia bisa dihubungi dan kembali beraktivitas kembali untuk dakwah.

Lalu kami serahkan HP baru itu kepadanya. Beberapa minggu sebelumnya tanpa sepengetahuan kami ternyata Akh Dir juga sudah menerima pemberian al-akh lainnya sebuah HP untuk digunakan olehnya. Walhasil ia memiliki dua HP saat ini.

Senin pagi, hari libur memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, ada sebuah syuro ikhwah Pabuaran. Di sana tercetus ide dari saya untuk meminta kembali HP tersebut darinya dan diberikan kepada al-akh lainnya yang kebetulan hilang dua hp yang ia miliki saat sholat Jum’at di Istiqlal. Karena saya berpikir HP itu adalah untuk kemaslahatan dakwah maka demi kemaslahatan dakwah yang lebih luas lagi maka HP itu akan lebih berguna lagi di tangan al-akh yang lainnya. Pun, saya berpikir Al-Akh Dir masih punya HP yang satunya lagi. Tapi syuro tidak mengagendakan ide saya ini sampai ke sebuah keputusan. Tidaklah mengapa bagi saya.

Siangnya saya tidur siang. Baru kali itu selama tiga hari libur panjang saya menyempatkannya. Sore hari saya bangun. Sambil masih terbengong-bengong karena kesadaran belum juga penuh—mungkin ruh saya yang bepergian selama tidur tadi belum sepenuhnya merasuki tubuh—saya duduk di meja makan. Di sana ada kitab Riyadhus Shalihin jilid 2 karangan Imam Nawawi. Iseng saya membukanya. Sekali buka mata saya langsung terantuk pada sebuah judul subbab dalam kitab itu. Subhanallah. Apa coba?

Judulnya? Makruh Menarik Kembali Sesuatu Yang Telah Diberikan. Hurufnya kapital semua dan ditebalkan. Saya membaca dua hadits Rasulullah SAW yang ada di sana. Berikut haditsnya:

Dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Orang yang menarik kembali pemberiannya, bagaikan anjing yang memakan muntahannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan: “Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekahnya, bagaikan anjing yang muntah kemudian mencari kembali tumpahannya (muntahannya) lantas dimakannya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan orang yang memakan muntahannya.”

Hadits lainnya. Dari Umar bin Khaththab ra. ia berkata: “Saya menyedekahkannya seekor kuda kepada seseorang yang berjuang di jalan Allah, tetapi kuda itu disia-siakan olehnya, maka saya bermaksud membelinya dan saya berprasangka bahwa ia mau menjualnya dengan harga murah, kemudian saya menanyakan hal itu kepada Nabi saw., beliau lantas bersabda: “Janganlah kamu membeli dan janganlah kamu menarik kembali sedekahmu itu, walaupun ia memberikan kepadamu dengan harga satu dirham, karena sesungguhnya orang yang menarik kembali sedekahnya, bagaikan orang yang memakan kembali muntahannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Coba bayangkan anjing yang sedang memakan muntahannya. Jijay banget gitu lohhhh (tolong mengucapkannya dengan gaya anak muda zaman sekarang, o-nya diperlebar, h-nya dipanjangkan agar terdengar desahannya). Bahkan kalau membeli kembali sedekah yang kita berikan pun dianggap sama dengan laku binatang tadi.

Benar-benar nih Allah memberi teguran kepada saya langsung. Pas banget. Pagi bicara masalah ini. Sore ditunjukkan jalannya. Sekali kebet. Ada dua peringatan itu. Ustadz yang ada di sono pernah bilang, “jangan berlebihan dengan sesuatu yang mubah karena akan menjerumuskan diri kepada hal yang makruh. Jangan berlebihan dengan sesuatu yang makruh karena akan menjerumuskan diri kepada hal-hal yang haram.” Nah loh…

Satu saja dari saya akhirnya: “jangan kayak anjing”.

 

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

17:41 09 Maret 2009

maulid nabi muhammad saw

KEMBANG API PETAKA


KEMBANG API PETAKA

 

Kamis Malam

Tengah malam itu, sendiri saya berdiri di selasar masjid, di atas ketinggian. Menyaksikan pemandangan indah percikan-percikan kembang api yang menghiasi pergantian tahun baru masehi. Nun jauh di sana terdengar pula suara terompet saling bersautan meningkahi deru musik dan kegembiraan yang tampak dari orang-orang yang bersengaja untuk melek dan mengenyangkan perut dengan sebiji dua biji jagung bakar, satu potong atau dua potong ayam bakar, atau secuil dua cuil potongan daging kambing guling.

Kesendirian mengakibatkan saya begitu menikmati pemandangan indah penuh warna di atas langit yang bergemintang. Saya memang terbangun di tengah malam itu beberapa saat sebelum detik-detik pergantian tahun mulai bergulir. Karena suara ledakan kembang api yang membahana tentunya. Tapi teman saya yang menemani mabit di masjid tetap bergeming merenangi lautan mimpinya. Tak tergugah.

Pada akhirnya sambil tetap menatap keindahan itu saya terbawa kepada sebuah perenungan. Sebuah ironi. Di sini, ketika semua orang berlomba-lomba untuk menghiasi langit dengan percikan api maka muaranya adalah kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan. Tapi, puluhan ribu kilometer ke arah barat daya Indonesia, di Jalur Gaza, dalam waktu yang sama, percikan api yang terbang ke angkasa bukanlah sebuah muara kebahagiaan tetapi adalah sebuah tanda petaka dan kepedihan. Ia adalah tanda luncuran mortir atau rudal yang akan menghantam rumah mereka atau rumah tetangga mereka. Atau diri mereka sendiri. Hingga bayi-bayi mereka , anak-anak mereka, istri-istri mereka, kakek-nenek mereka, suami-suami mereka terkapar di jalanan dengan bagian tubuh yang terpotong-potong atau menjadi satu dengan timbunan bagian-bagian gedung lainnya.

Allah Karim. Tega nian berpesta dan menari di atas luka saudara-saudaranya. Tragedi kebiadaban Israel itu terulang kembali hingga mewarnai hari-hari dan malam-malamnya. Tayangan-tayangan di televisi membuat terbelalak mata dunia akan kebiadaban itu. Tak terasa air mata pun jatuh menetes. Dan tak ada yang bisa diperbuat oleh saya yang cuma berdiri terperangah sambil berucap: “Allahummansur mujaahidiina wa ikhwana fi Filistin”.

 

Jum’at Siang

    Sang ustadz yang seharusnya menjadi khotib sholat jum’at di masjid kami itu ternyata tidak datang hingga waktunya tiba. Tatapan mata jama’ah mengarah kepada saya—seperti sebuah permintaan—untuk bangkit dan maju ke depan sebagai pengganti sang ustadz.

    Saya pun berdiri di atas mimbar dan mengucapkan salam laiknya seorang ustadz. Aih, ini sebuah amanah dan kesempatan besar untuk menasehati diri saya. Agar ia selaras antara kata dan perbuatan. Saya ungkapkan pesan taqwa, bahwa Allah sesungguhnya telah menegaskan setiap mukmin adalah bersaudara. Muslim di seluruh dunia adalah bagaikan satu tubuh, yang ketika ada yang sakit maka anggota bagian tubuh yang lain pun akan merasakan sakitnya.

Ketika ada yang teraniaya maka saudara muslim yang lainnya akan bangkit dan membantu. Inilah hakekatnya ukhuwah, yang level paling bawah darinya adalah musnahnya segala prasangka kepada saudara muslim yang lainnya. Hatinya lapang. Salamatus Sadr. Sedangkan level tertingginya adalah itsar mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya.

Keprihatinan pada penyikapan malam tahun baru dan kemubadzirannya pun saya ungkapkan. Pula, perlunya dukungan dari seluruh jama’ah baik doa, dana, empati, sikap mental, hingga pengorbanan dalam bentuk-bentuk lainnya. Ya iyalah, karena untuk saat ini hanya ini saja yang bisa dilakukan. Tapi semoga berarti di mata Allah.

Pada akhirnya quwwatul ukhuwah (kekuatan persatuan) adalah hal yang hilang dari kaum muslimin saat ini hingga ia hanya menjadi buih-buih yang tak berarti, hingga ia hanyalah menjadi santapan rebutan banyak kaum dan kepentingan.

Barakallahuli walaakum…

***

 

“Za, tak perlulah engkau banyak cakap,” bisik hati yang terdalam.

 

 

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

02:09 06 Januari 2009

 

    

TETANGGA ITU MENINGGALKAN KAMI


TETANGGA ITU MENINGGALKAN KAMI

(IN MEMORIAM SERTU MARINIR SUYADI BIN MUSTOFA, 1967-2008)

Tetangga saya itu orang baik. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia saya menganggapnya demikian. Setelah delapan tahun lamanya kami bertetangga dengan segala pernak-perniknya, Allah memanggilnya dalam usia yang masih muda (41 tahun). Meninggalkan seorang istri dengan dua anak perempuannya yang masih kecil dan belum beranjak dewasa—sulung kelas satu SMP sedangkan yang bungsu masih kelas satu SD.

    Operasi otak untuk mengangkat pecahan selongsong peluru tak cukup mampu menahan takdir Allah. Kesedihan itu tentu hinggap pada diri saya. Syukurnya saya sempat dua kali datang menjenguknya. Mendoakannya dan berusaha mengamalkan apa yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW dalam adab menjenguk orang sakit. Sambil mengelus-elus tangannya berharap-harap responnya dalam koma saya berdoa: Laa ba’tsa, thohurun, insya Allah. Tidak apa-apa, sehat, Insya Allah.

    Seminggu sebelumnya ia sempat menolong saya memegang tangga yang saya naiki untuk mengecek dan memperbaiki lampu yang padam. Pula ia bersemangat dalam membantu panitia kurban menguliti sapi sebanyak lima ekor itu di halaman Masjid Al-Ikhwan (Semoga ini mejadi penanda khusnul khotimahnya).

Saya pun teringat saat ia didaulat untuk memimpin sholat berjamaah. Bacaan surat yang senantiasa ia lantunkan adalah Adhdhuha dan Alam Nasyroh. Aktif dalam kegiatan RT dan pengajian, Panitia Agustusan, kegiatan RW dan tentunya pula kegiatan masjid. Jikalau tidak sedang bertugas sering saya minta ia untuk menjadi Qari’ dalam acara-acara yang diselenggarakan Masjid Al-Ikhwan. Suaranya merdu dan menggugah.

    Allah Karim. Semua kenangan itu terlintas selalu dalam ingatan. Apatah lagi saat mendengar kabar itu di tengah malam, saya cuma sering bergumam, “Ya Allah, Pak Yadi…Pak Yadi…” Satu hal yang mengganjal bagi diri saya sepeninggalnya adalah sudahkah saya telah memenuhi hak-haknya sebagai tetangga terdekatnya. Memuliakannya, mengiriminya hadiah, mendoakannya, memberikan masakan dan makanan yang ada, dan lain sebagainya. Saya berharap jawabannya “iya”. Tapi sejatinya hanya Allah yang mengetahui detil itu. Detil apakah amalan itu ditolak atau diterimaNya.

    Pada akhirnya saya berusaha untuk memenuhi hak-haknya yang lain sebagai saudara muslim yang telah Allah panggil. Saya ikut memandikannya. Saya ikut mengafaninya. Saya ikut menyolatkannya. Saya ikut menguburkannya. Dalam hati yang paling dalam semoga Allah pun menerima amalan-amalan saya dan dirinya. Tentunya dengan doa berikut:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ [وَعَذَابِ النَّارِ]

[Alloohummaghfir lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Wa’fu ‘ahu, Wa Akrim Nuzulahu, Wa Wassi’ Madkholahu, Waghsilhu Bil Maa’i WatsTsalji Wal Barodi, Wa Naqqihi Minal Khothooyaa Kamaa Naqqaitats Tsaubal Abyadho Minad Danasi, Wa Abdilhu Daaron Khoiron Min Daarihi, Wa Ahlan Khoiron Min Ahlihi, Wa Zaujan Khoiron Min Zaijihi, Wa Adkhilhul Jannata, Wa A’idhu Min ‘Adzaabil Qabri]

Ya Allah, Ampunilah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempat-kanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim 2/663)

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ.

[Alloohumaghfir Lihayyinaa Wa Mayyitinaa Wa Syaahidinaa Wa Ghoo’ibinaa Wa Shoghiirinaa Wa Kabiirinaa Wa Dzakarinaa Wa Untsaanaa. Alloohumma Man Ahyaitahu Minnaa Fa Ahyihi ‘Alal Islaam, Wa Man Tawaffaitahu Minnaa Fatawaffahu ‘Alal Iimaan. Alloohumma Laa Tahrimna Ajrahu Wa Laa Tudhillanaa Ba’dahu]

“Ya Allah! Ampunilah kepada orang yang hidup di antara kami dan yang mati, orang yang hadir di antara kami dan yang tidak hadir ,laki-laki maupun perempuan. Ya Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dengan memegang ajaran Islam, dan orang yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan dengan memegang keimanan. Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memper-oleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya.” ( HR. Ibnu Majah 1/480, Ahmad 2/368, dan lihat Shahih Ibnu Majah 1/251)

اَللَّهُمَّ إِنَّ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ فِيْ ذِمَّتِكَ، وَحَبْلِ جِوَارِكَ، فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَقِّ. فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

[Alloohumma Inna Fulaanabna Fulaanin Fii Dzimmatika, Wa Habli Jiwaarika, Fa Qihi Min Fitnatil Qobri Wa ‘Adzaabin Naari, Wa Anta Ahlal Wafaa’i Wal Haqqi. Faghfirlahu Warhamhu, Innaka Antal Ghofuurur Rohiim]

“Ya, Allah! Sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggunganMu dan tali perlindunganMu. Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa Neraka. Engkau adalah Maha Setia dan Maha Benar. Ampunilah dan belas kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau, Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.” (HR. Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/251 dan Abu Dawud 3/21)

اَللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنُ أَمْتِكَ احْتَاجَ إِلَى رَحْمَتِكَ، وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، إِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ حَسَنَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ.

[Alloohumma ‘Abduka Wabnu Amatikahtaaja Ilaa Rohmatika, Wa Anta Ghoniyyun ‘An ‘Adzaabihi, In Kaana Muhsinan, Fa Zid Fii Hasanaatihi, Wa In Kaana Musii’an Fa Tajaawaz ‘Anhu]

Ya, Allah, ini hambaMu, anak hambaMu perempuan (Hawa), membutuh-kan rahmatMu, sedang Engkau tidak membutuhkan untuk menyiksanya, jika ia berbuat baik tambahkanlah dalam amalan baiknya, dan jika dia orang yang salah, lewatkanlah dari kesalahan-nya. (HR. Al-Hakim. Menurut pendapatnya: Hadits ter-sebut adalah shahih. Adz-Dzahabi menyetujuinya 1/359, dan lihat Ahkamul Jana’iz oleh Al-Albani, halaman 125)

(saya kutip doa tersebut secara lengkap dari situs www.alsofwah.or.id)

    Semoga ini adalah upaya kecil saya dalam memuliakan tetangga. Karena keberimanan saya pada Allah dan hari akhir salah satunya ditentukan dengan seberapa jauh saya telah memuliakan tetangga. Semoga ini bukanlah sebuah ‘ujub atau pemuliaan pada diri sendiri (na’udzubillah).

    Terakhir….

Jadilah tetangga yang baik.

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

7 hari sepeninggalnya

22 Desember 2008

 

HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ


HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ

Habyarimana adalah seorang budak yang berasal dari daerah tengah Afrika. Ia teramat takut dengan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki majikannya yang berkulit putih itu. Ada lecutan cambuk yang sering mendera punggungnya bila setiap kata yang keluar dari mulut majikannya tidak ia ikuti dengan lengkingan “daulat paduka”. Oleh karenanya ia menjadi seorang budak yang teramat patuh atas segala perintah majikannya. Disuruh ini ia mau. Disuruh itu ia taat. Pergi kesana ia pergi. Disuruh ikut ke sana ia pun kesana. Cuma satu alasannya karena ia tidak punya kemerdekaan. Ia seorang budak. Ia takut akan cambuk majikannya.

Carlos d’ Amato adalah majikan Habyarimana. Ia adalah seorang lelaki pedagang. Yang ada dalam otaknya hanyalah bagaimana dengan sumber daya yang ia miliki ia mendapatkan banyak keuntungan yang berlipat ganda. Ia akan melakukan sesuatu bisnis bila benar-benar akan menambah pundi-pundi kekayaannya. Bila tidak ia tetap bergeming seperti tokek menunggu serangga masuk dalam area jangkauan lidahnya. Ia jelas sekali tipe seorang kapitalis sejati. Untung rugi, dua kata itu adalah kata-kata paling sucinya.

Satu lagi, ‘Abdel ‘Aziz, perantau dari Yaman yang tubuhnya terjerembab di salah satu kota pusat perbudakan di Brazil, Pelourinho. Jiwanya yang merdeka dan menyenangi petualangan telah membawanya ke kota tua itu. Apa kata hatinya telah membawanya meninggalkan kota kelahirannya, Hadramaut. Telah banyak pengalaman ia timba sepanjang perjalanannya keliling dunia. Oleh karenanya ia tahu betul dua tipe yang dimiliki dari dua orang yang ia jumpai di pasar kota Pelourinho saat ia mau diminta menjual Khanjer-nya oleh Carlos d’Amato yang didampingi budaknya, Habyarimana.

Walaupun sudah dihargai tinggi menurut ukuran Carlos, ia tetap bersikukuh untuk tidak menjual pisau unik peninggalan kakeknya itu. Karena ia tahu selain pisau itu benda yang membuatnya terkenang-kenang pada masa lalunya, pun ia tahu Carlos hanyalah seorang pembual tentang masalah harga. Semua orang telah memberitahu dirinya saat pertama kali kakinya turun dari kapal laut, sebuah desas-desus tentang Carlos d’ Amato.

Dan ia menolak tawaran Carlos walaupun Carlos sudah menawarkan Habyarimana sebagai harga matinya. Pun ia tak takut dengan ancaman Carlos yang akan mengerahkan anak buah dari kenalannya seorang pejabat di kongsi kolonial kota itu untuk mengejar dirinya jika ia berani-beraninya meninggalkan kota dengan tetap membawa Khanjar itu, yang tak diketahui oleh ‘Abdel ‘Aziz sendiri bahwa pisau itu adalah petunjuk awal letak Harta Sulaiman.

***

Suatu siang, di Kalibata, di lantai atas Masjid Shalahuddin, di antara jejeran orang-orang bermartabat yang sedang kelelahan melawan kantuk, sayup-sayup terdengar suara seorang ustadzah menjelaskan kepada para jamaahnya tentang tiga tipe orang yang beribadah kepada Allah. Tipe pertama orang yang beribadah seperti budak, yang ia beribadah hanya (kata ini ditebalkan) karena ia takut pada siksanya Allah yang Mahakuat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah-lah satu-satunya yang wajib ditakuti oleh hambaNya yang merasa beriman.

Tipe kedua adalah orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang pedagang. Ia beribadah melihat untung rugi dari dikerjakan atau tidak dikerjakannya amal ibadahnya itu. Ia beribadah dengan tekun saat melihat adanya keuntungan yang Allah berikan baik di dunia apatah lagi di akhirat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah melalui Alqur’an dan petunjuk RasulNya berupa sunnah sarat dengan pujian, penjelasan ganjaran moral, ganjaran material dan sosial, ganjaran duniawi dan ukhrawi pada hamba-hambaNya yang gemar melakukan amal kebaikan.”

Tipe terakhir adalah tipe orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang yang mendapatkan kemerdekaan. Ia bebas. Ia tidak terkungkung kerana adanya suatu keinginan. Ia beribadah kepada Allah tidak sekadar takut, pula tidak sekadar penuh harapan semata. Ia mampu menggabungkannya dengan cinta lalu ketiganya bersenyawa dalam jiwa dan ia serahkan sepenuhnya kepada Allah semua takutnya, semua harapnya, semua cintanya. Dan insya Allah inilah yang terbaik. Alamak…

Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri atau bahkan pada semuanya: “Ane, ente adalah Habyarimana, Carlos d’ Amato atau ‘Abdel ‘Aziz?”

***

Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

3:30 04 November 2008

senjakalaning jagat

 

 

FRAGMEN JUM’AT


FRAGMEN JUM’AT

Pagi ini saya usahakan untuk tidak membuka apapun terkecuali program pengolah kata saat pertama kali menyalakan komputer. Sudah lama saya tidak menulis di pagi hari. Dan kemudian saya berpikir lagi ternyata di lain waktu pun saya tidak menulis juga. Artinya memang sudah beberapa hari atau hitungan pekan ini saya belum menemukan satu, dua atau banyak kepingan gagasan yang enak untuk dijadikan mozaik tulisan.

    Tiba-tiba setelah membuka program pengolah kata itu saya teringat sebuah episode kelemahlembutan dan kerendahhatian yang ditunjukkan oleh seorang ulama. Tidak dibuat-buat, tulus, dan apa adanya. Dan ini membuat saya teramat terkesan padanya.

    Suatu ketika, di hari Jum’at, Ia datang memenuhi undangan untuk menjadi khotib di masjid kantor pajak Kalibata. Ia sudah sering kami undang ke masjid kami itu seperti mengisi ceramah bulanan dan ramadhan. Sudah beberapa kali saya mendengar ceramahnya. Insya Allah sudah menjadi jaminan ceramahnya itu tidak membuat pendengarnya terkantuk-kantuk.

Pada Ramadhan 1428 H yang lalu tema ceramahnya tentang dua orang yang berbeda nasib saat di alam kubur, saya sampaikan kembali di hadapan jamaah tarawih masjid komplek rumah saya, Al-Ikhwan. Penuturannya yang lembut amat menggedor batin saya hingga membuat mata saya berkaca-kaca.

Sebenarnya tidak kali itu saja ia membuat mata saya berbening kaca, dulu pada tanggal 3 Sya’ban 1427 H atau bertepatan dengan tanggal 27 Agustus 2006 beliau menjadi salah satu penceramah tabligh akbar majelis Akhlakul Karimah di Masjid At-Tiin yang dihadiri puluhan ribu orang. Pun demikian, ajakannya kepada seluruh peserta tabligh akbar untuk meminta ampunan kepada Allah diiringi isak tangis banyak orang. Allah yang mahamulia. Sungguh mengharukan. Itulah pertama kali saya mendengar ceramahnya.

Dan pada jum’at itu ceramahnya saya dengarkan baik-baik. Pula setiap ayat-ayat yang dilantunkannya saat mengimami jamaah sholat jum’at. Setelah selesai sholat, saya dan takmir masjid yang lain mengajaknya masuk ke ruang khusus takmir. Lalu mempersilakannya menikmati hidangan yang telah kami sediakan. Ya, sudah menjadi tradisi kami setiap ba’da sholat Jumat kami makan ringan bersama-sama dengan khotib dan pengurus masjid yang lain. Tujuannya selain silaturahim juga adalah dalam rangka mengenal lebih dekat para khotib yang datang memenuhi undangan kami.

Nah, fragmen kerendahhatiannya ditunjukkannya pada saat ia sudah duduk di meja makan tersebut. Saat dipersilakan ia bukannya menunggu piring datang ke hadapannya atau menunggu diambilkan oleh orang lain, tetapi ia langsung mengambil piring dan membagikannya kepada orang-orang yang ada di ruangan tersebut. “Silakan-silakan…,”katanya. Ia juga mengambilkan lontong yang terhidang di sana satu persatu kepada kami semua. Lalu sambalnya beliau yang menuangkannya ke piring-piring kami. Kami jadinya merasa tidak enak. Saat kami mencegahnya, ia bersikeras biar ia yang melakukannya saja.

Aih, padahal ia adalah seorang tamu yang harusnya kami layani. Ia doktor ilmu syariah lulusan timur tengah. Pengasuh rubrik konsultasi Pusat Konsultasi Syariah atau syariah online. Pengurus Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), dan wajahnya sering terlihat di layar kaca mengisi siraman rohani pagi.

Dalam hati saya berkata, “Subhanallah, inilah sejatinya ulama yang ilmunya senantiasa dihiasi dengan keindahan akhlaknya.” Ya, seringkali kita melihat betapa banyak mereka yang disebut ulama tetapi akhlaknya berbanding terbalik dengan ilmu yang dimilikinya. Bahkan bukannya malah menjadi penerus mulia kanjeng Nabi Muhammad saw dengan akhlaknya yang paripurna tetapi malah menjadi ulama pemecah umat. Semoga kita terlindung dari semua itu. Saya berdoa semoga ia tetap istiqomah dengan ilmu dan amalnya itu.

Fragmen yang beliau tunjukkan kepada kami meneguhkan tentang dua hal yang tak boleh ditinggalkan oleh orang-orang yang telah menjual hidupnya kepada Allah. Yaitu kelembutan dan kerendahhatian. Dua-duanya mutlak diperlukan untuk memperlancar jalan dakwah. Kebetulan pula saya membaca sebuah transkrip taujih pekanan yang berjudul Bersikap Lembut dan Rendah Hati.

Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan, dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan dan badan. BUkanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan. Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan syadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabyyun, buruk sangka, ghibah, pendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.

Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan, dan perbuatan dalam upaya mendekatkan/mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar, dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur/menyapa terlebih dahulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati.

Allah berfirman dalam surah Asy-Syu’araa ayat 215, “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikuti kamu.” Bila Rasulullah saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarobbi, dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang yang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan kebenaran Al-Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Qur’an dan Hadits.

Membaca tiga paragraf taujih itu membuat saya termenung. Apa yang dilakukan oleh ulama itu adalah implementasi ayat di atas, “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikuti kamu”.
Menjadi
ulama bukanlah sebuah penisbatan diri bahwa yang lain yaitu pengikut atau umatnya harus melayani dirinya. Bahkan sebaliknya ialah yang kudu melayani dan merendahkan dirinya pada orang-orang yang beriman yang mengikutinya. Satu hal lagi ternyata kelembutan dan kerendahhatian lebih melanggengkan/mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.

Semoga saya bisa meniru akhlak ulama tersebut. Dan sekali lagi semoga beliau senantiasa istiqomah. Insya Allah kami akan mengundang beliau pada tanggal 10 Agustus 2008 di Masjid Al-Ikhwan, Puri Bojong Lestari tahap II, Pabuaran, Bojonggede, pada acara Tarhib Ramadhan.

Kalau antum semua ingin tahu siapa beliau? Ini dia fotonya:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

    

 

 

 

Dr. Muslih Abdul Karim

(Ia pernah dicaci maki sebagai “gembong Ikhwani” oleh mereka yang membencinya, tapi tak menyurutkan beliau untuk tetap berdakwah mengajak dan mengajarkan kebaikan kepada masyarakat).

***

Riza Almanfaluthi

masih ada di rantingnya

09:34 18 Juli 2008.

dedaunan di ranting cemara

BEREBUT PAKAIAN (LPJ BAKSOS)


BEREBUT PAKAIAN

(LPJ BAKSOS)

 

Ikhwatifillah, assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Semoga di pagi yang cerah ini ada sebuah kecerahan dan keceriaan yang menggumpal di dada antum semua . Dan tak lupa untuk menjadi gardu energi positif dan membagikan energi kebaikan itu kepada sesama. Tentu ada balasan yang tak ternilai berupa energi positif yang akan diterima suatu saat kelak oleh antum.

    Ikhwatifillah, kalau antum menyangka bahwa sebuah fragmen rebutan pakaian itu hanya terjadi di sebuah daerah yang sedang tertimpa bencana atau di daerah terpencil di pelosok Indonesia nun jauh di sana, maka pandangan itu tidaklah tepat. Karena di Kampung Wates, Pabuaran, Bojonggede, yang jaraknya tidak cukup jauh dan lama ditempuh dari pusat Ibukota republik ini, Jakarta, maka fragmen itu benar-benar terjadi.

    Ya, pada acara bakti sosial (baksos) yang diselenggarakan pada hari Ahad tanggal 06 Juli 2008 itulah kejadian itu berlangsung. Ini menunjukkan bahwa kehidupan yang berat memang sedang dialami oleh sebagian besar dari bangsa ini. Setelah diawali dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) lalu dibombardir dengan naiknya seluruh bahan kebutuhan pokok diiringi pula dengan kelangkaan minyak tanah ataupun gas, masyarakat mulai mengeluh dan menjerit. Apatah lagi ditengah tuntunan biaya untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya di tahun ajaran baru ini.

Didasari oleh itulah baksos tahap pertama ini diselenggarakan dan Insya Allah berjalan dengan sukses. Baksos tahap kedua akan diselenggarakan di bulan ramadhan nanti adalah pula dalam rangka menyiasati kenaikan sembako yang biasanya mulai meroket lagi jelang lebaran.

Kami—para pemuda yang aktif di Yayasan Kharisma Insani—sadar bahwa ini adalah bukan solusi jangka panjang. Karena sebenarnya bila ingin ada perubahan kesejahteraan buat masyarakat yang bersifat permanen dan massal maka itu adalah domain dari pemerintah daerah, bukan kami. Tetapi memang jikalau tidak ada yang memulai bergerak untuk peduli maka siapa lagi yang mau untuk memulainya.

Maka dengan tekad, semangat bulat, dan diniatkan dengan memberikan peluang untuk meraih kebaikan bersama-sama, memberikan kesempatan untuk mengolah ladang amal, disebarkanlah beberapa proposal kerjasama kepada seluruh pihak. Kami bersilaturahim dengan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah PT PLN (Persero) Kantor Pusat. Juga kepada teman-teman di kantor pajak. Khusus dari teman-teman di kantor pajak Alhamdulillah terkumpul dana yang cukup besar senilai Rp2.606.000,00 serta pakaian, buku, dan mainan layak pakai yang banyak sekali.

Subhanallah, dengan dana itu maka dibelikanlah sembako dan terkumpul sebanyak 252 kantung yang siap untuk dibagikan. Satu kantung sembako senilai Rp42.000,00.

Lima puluh dua kantung diberikan secara gratis kepada yang benar-benar tidak mampu (fakir). Sedangkan sisanya sebanyak 200 kantung diberikan kepada masyarakat lainnya dengan membayar sejumlah uang sebesar Rp20.000,00. Insya Allah ini cukup murah sekali. Satu kantung sembako terdiri dari:

  1. Beras 4 liter;
  2. Gula pasir 1 kilogram;
  3. MInyak goreng merek hemart 1 liter;
  4. Supermi sebanyak 5 bungkus.

Selain pembagian paket sembako gratis dan paket sembako murah, kami juga menjual sembako dengan harga murah bagi mereka yang tidak mendapat kupon paket sembako gratis dan murah tersebut. Yang kami sediakan buat sembako eceran ini adalah sebagai berikut:

  1. Minyak goreng kemasan merek hemart sebanyak 72 liter. Dijual setiap liternya sebesar Rp11.000,00;
  2. Gula pasir sebanyak 98 kilogram. Dijual Rp5000,00/kilogram;
  3. Beras sebanyak 62 liter seharga Rp4500/liter kami jual dengan harga Rp7000/2 liter.

Kami melakukan pembagian sembako tersebut setelah acara utama dimulai yang diawali dengan bersama-sama membaca basmallah. Setelah itu Taujih Rabbani, yaitu pembacaan kalam ilahi oleh brother Bahrul Ulum yang membacakan surat Al-Anfal yang teramat menggetarkan hati dan sanggup meluluhkan benteng pertahanan air mata saya. Subhanallah…

Setelah itu sambutan dari Kang Tubagus Sunmandjaya Rukmandis dan Kepala Desa Pabuaran Masduki yang sebelum menjadi kepala desa akrab dipanggil dengan Doklay. Mereka berdua berkesempatan untuk hadir pada acara tersebut. Dan acara utama tersebut ditutup dengan doa oleh Ustadz Idris Ibrahim, Wakil Kepala SDIT Depok.

Barulah setelah itu, diiringi dengan nasyid Syoutul Harokah yang sangat menggelora acara pembagian sembako dan penjualan pakaian layak pakai dimulai. Masyarakat diatur dengan tertib untuk mengambil paket sembakonya. Dan yang saya rasakan bahwa untuk kali ini pembagiannya berlangsung tertib sekali berbeda dengan kegiatan yang sama di waktu lalu.

Yang heboh adalah di stan penjualan pakaian layak pakai. Ibu-ibu saling berebutan untuk mengambil baju-baju yang masih bagus tersebut. Tidak hanya baju yang dijual di sana, ada juga mainan yang kami bungkus rapi dengan plastik dan kami jual seribu rupiah per bijinya. Ada juga tas, sepatu, sandal, kerudung, selimut, dan majalah atau buku anak-anak.

Harga baju dan lainnya itu kami patok dengan harga yang bervariasi. Apabila tampilannya masih baru dan bagus kami jual seharga Rp5000,00 per potongnya. Ada juga yang kami jual goceng tiga, seribu satu atau bahkan gratis sama sekali. Terutama baju-baju anak kecil.

Nah, untuk yang gratis ini, Subhanallah, antusiasme Ibu-ibu dan anak-anak sungguh luar biasa. Mereka saling berebut satu sama lain untuk mendapatkan pakaian yang masih layak dipakai itu. Ibu Wati (30) yang ditanya tentang acara ini saat mengambil baju itu mengatakan dengan logat betawinya yang kental, “Bagus, yang belum punya baju jadinya punya baju deh.”

Tapi ada satu hal yang patut dikagumi dari mereka. Walaupun diberikan secara gratis tidak terlihat upaya dari mereka untuk menguasai atau mengambil semuanya. Mereka cukup mengambil apa yang mereka perlukan dan layak untuk mereka. Ini patut diapresiasi karena setidaknya masih ada izzah atau muru’ah dalam diri mereka.

Tidak hanya itu, keramaian juga berlangsung di stan pemeriksaan mata gratis dan pengobatan thibbun nabawi (bekam) yang diselenggarakan di ruang terpisah buat pasien laki-laki dan perempuan. Target pasien dipatok sebanyak 60 pasien yang ditangani oleh 8 terapis.

Lalu matahari pun beranjak menyengat di atas ubun-ubun kami. Sebentar lagi adzan dhuhur berkumandang. Selesailah sudah acara baksos ini yang ditandai dengan mulai menyepinya masyarakat di tempat itu. Kami mulai beres-beres. Sembako habis terjual. Pakaian layak pakai masih ada beberapa karung. Insya Allah akan kami bagikan nanti pada kegiatan baksoks di bulan ramdhan yang tinggal dua bulan lagi. Tentunya di tempat lain, di desa Pabuaran juga, yang kantung-kantung kemiskinannya masih banyak terpusatkan di beberapa RW.

Kepala Desa Pabuaran sempat dalam sambutannya mengatakan bahwa masyarakat akan tahu mana loyang dan mana emas. Mana yang bekerja untuk masyarakat atau mana yang memerasnya. Dalam hati kami cuma bisa berkata segala pujian itu hanyalah milik Allah. Dan kami beristighfar atas segala kelalaian kami. Cukuplah sumringah dari masyarakat menjadi penawar kelelahan kami.

Ibu Yetti (33) penerima paket sembako murah saat diminta tanggapannya tentang acara ini bilang, ” yang sering-sering saja, kalau bisa gratis.” Bahkan Ibu Euis (30) berkomentar lain dan diluar dari kesanggupan kami. Ia menginginkan bahwa acaranya tidak hanya sembako gratis tapi yang benar-benar menyentuh masyarakat banyak yaitu dengan penggratisan biaya pendidikan. Karena beasiswa yang juga sempat kami berikan di tempat lain hanya menyentuh orang-orang tertentu saja. Waow…kami cukup sadar tidak mudah untuk merealisasikannya. Yang tepat memang tugas ini dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Yah kita berharap semoga bupati yang terpilih nanti mampu memenuhi harapan masyarakat kecil seperti Ibu Euis ini.

Pada akhirnya Insya Allah acara baksos ini berjalan sukses dan istirahat kami adalah kembali merencanakan kegiatan baksos tahap kedua nanti di bulan Ramadhan 1429 H. Saya mewakili teman-teman mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para donator yang telah sudi berbagi kepada sesama. Semoga Allah melimpahkan kebaikan yang berlipat ganda kepada antum semua. Infak Anda adalah amanah berat kami. Semoga keberkahan melingkupi kita semua.

Jazaakallah khoiron katsiira.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

 

Laporan pemasukan dana khusus dari kawan-kawan Pajak dengan nilai total Rp2.606.000,00. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  1. Azmi             Rp100.000,00
  2. Lavly Day        Rp101.000,00
  3. Anisah             Rp350.000,00
  4. xxx2102        Rp500.000,00
  5. Syafiq            Rp150.000,00
  6. Faisal Riyadi        Rp250.000,00
  7. Intan Berlian        Rp100.000,00
  8. Cut Mala         Rp55.000,00
  9. Mushola Al-iKhlas     Rp1.000.000,00

    KPP Pratama Senen

Untuk baju, mainan, tas, sepatu, sandal, buku dan majalah layak pakainya dari:

  1. Ibu Mona JN;
  2. Ibu Ardiana;
  3. Ibu Lavly day;
  4. Azmi;
  5. Rekan-rekan karyawan pajak di KPP Pratama Senen.

Permintaan maaf tak terkira yang sedalam-dalamnya bagi kawan-kawan yang tak sempat saya kunjungi untuk mengambil baju layak pakianya, dikarenakan waktu sempit yang saya miliki dan serba keterbatasan saya dalam mengelola waktu. Insya Allah niat Anda semua sudah dicatat oleh Allah dan peluang amal tetap terbuka karena baksos tahap kedua akan dimulai lagi di ramadhan nanti.

J

WASIAT TERAKHIR


WASIAT TERAKHIR

Salah satu wasiat yang disampaikan oleh almarhumah Ibu saya sehari menjelang kematiannya adalah menyuruh kami untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung-warung yang terlihat sepi. “Sekalian shodaqoh,” katanya. Wasiatnya itu baru saya ketahui tadi malam dari bapak saya setelah satu setengah tahun ibu meninggalkan kami.

Pembicaraan tentang ini bermula dari keprihatinan saya melihat bapak-bapak tua penjual kerak telor yang sepertinya barang dagangannya tidak laku-laku. Sang penjual duduk termenung dengan pandangan kosong menanti pembeli yang tak kunjung tiba.

“Belilah,” kata bapak saya. “Sekalian shodaqoh,” lanjutnya. Barulah saya mendengar bahwa apa yang dikatakan oleh bapak saya itu adalah salah satu dari sekian wasiat yang Ibu sampaikan kepadanya. “Membeli barang dagangannya adalah bertujuan untuk menyenangkan dirinya dan membuatnya gembira,” katanya lagi.

Saya tertegun mendengar wasiat itu. Bagi saya ia adalah bukan hanya sekadar wasilah untuk bisa bershodaqoh tapi pun ia adalah sebuah wasilah untuk membuka hati. Dengan terbukanya hati maka ini adalah langkah awal untuk mengajak orang menuju kebaikan-kebaikan. Bukankah yang terlebih dahulu harus tersentuh dari sebuah kerja besar yang bernama dakwah adalah hati seorang manusia?

Ah, saya menjadi teringat bahwa Rasulullah saw. pernah berkata, “sebaik-baik amal perbuatan adalah membuat muslim lainnya merasa gembira, atau meringankan kesulitannya, atau membayarkan hutangnya, atau memberinya makan.”

Ikhwatifillah, para penjual barang dagangan yang sedari pagi belum pernah didatangi oleh para pembeli tentulah merasa senang dengan kedatangan Anda yang memang berniat membeli barang dagangannya. Ia senang, ia bahagia, ia menjadi lebih optimis bahwa rezeki itu sudah ada yang mengaturnya, lalu Anda pun berpahala.

Ikhwatifillah ketika ia senang, ia gembira dan ia tersentuh dengan nilai-nilai dakwah maka suatu saat ia akan mampu memberikan segala yang dimilikinya untuk agamanya Allah. Bahkan dirinya sendiri. Allohukariim.

Percayalah ikhwatifillah, gembirakanlah manusia, senangkanlah hatinya maka ia akan senantiasa mendengar apa yang Anda ucapkan. Semuanya. Apakah selalu dengan membeli barang dagangannya? Aih, tentu tidak.

Senyum terindah Anda,

salam lembut Anda,

jabat erat tangan Anda,

pandangan kasih sayang Anda,

panggilan yang terbaik buat namanya,

pertanyaan Anda tentang kesehatan dan kondisi keluarganya,

ucapan selamat Anda karena kesuksesannya,

SMS Anda di sepertiga malam terakhir untuk membangunkannya,

dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu adalah sarana untuk membuka pintu hati yang dulu terkunci rapat, tergembok besar, terantai kuat, yang pelan-pelan akan mencair bak salju terakhir di musim semi. Itu karena anda telah menyentuh sisi terdalam dari kemanusiannya yaitu hati.

Maka benarlah wasiat itu. Semoga Allah merahmati engkau Ibuku.

 

***

Catatan kecil: Bila Anda memang berniat untuk melakukannya maka lakukanlah sekarang juga. Jangan Anda tunda menyentuh hatinya di lain waktu. Karena setan memang selalu berdaya upaya agar Anda tidak melakukannya.

 

 

 

Riza Almanfaluthi

23:55 01 Juli 2008

beradu waktu

 

 

 

 

LADANG AMAL KEDUA UNTUK ANDA


LADANG AMAL KEDUA UNTUK ANDA

 

Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarokaatuh

    Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudariku, alhamdulillah setelah sukses mengadakan bakti sosial di bulan ramadhan tahun lalu, maka saya beserta teman-teman akan mengadakan bakti sosial kembali. Dan bakti sosial yang kami adakan ini Insya Allah berlangsung selama dua putaran. Putaran pertama akan diselenggarakan pada tanggal 06 Juli 2008. Tempatnya adalah di Kampung Wates (bakti sosial lalu bertempat di daerah PARKO) Desa Pabuaran, Kecamatan Bojong Gede. Putaran terakhir nanti pada saat dua pekan sebelum lebaran.

    Seperti diketahui bersama waktu bulan ramadhan tahun lalu, teman-teman berbondong-bondong untuk menginfakkan dana dan baju layak pakainya. Sungguh membuat saya terharu. Dan membuat saya bertekad untuk senantiasa menjaga amanah yang telah diberikan. Semuanya insya Allah berkah sebagaimana telah ditulis dalam laporan saya terhadap bakti sosial di bulan ramadhan tersebut (Baca disini).

    Betapa tidak berkah, karena para warga yang pada saat itu menjelang lebaran dipertunjukkan di hadapan mereka barang-barang kebutuhan pokok dengan harga yang amat murah dan ditambah dengan pakaian-pakaian yang layak pakai dan bagus-bagus itu. Sungguh saya melihat dari mereka secercah kebahagiaan. Apatah lagi ketika kebahagiaan itu muncul dari mereka yang kami berikan sembakonya secara gratis.

Ketika waktu acara bakti sosial itu sudah habis dan masih banyak pakaian yang belum habis, maka kami sebar keesokan harinya di dua tempat yang berbeda. Bahkan sampai memberikan harga gratis pula untuk pakaian-pakaian layak pakai itu. Subhanallah sambutannya luar biasa. Ternyata apa yang bagi kita itu kecil tetapi bagi mereka sungguh teramat besar. Maka sungguhlah patut bagi kita yang diberikan kelapangan rezeki ini untuk selalu mensyukuri apa yang telah kita dapatkan selama ini.

Mereka bahagia , saya bahagia, karena melihat bahagia. Jadi teringat puisinya Deddy Mizwar, sedikit saya gubah: “bangkit itu bahagia, bahagia melihat mereka bahagia.” Saya
waktu itu hanya bergumam dalam hati, “semoga Allah memberikan kebahagian lebih bagi mereka yang telah sudi untuk berbagi menyisihkan uang dan bajunya untuk timbulnya kebahagiaan orang lain.”

Oleh karena itu kami bertekad suatu saat ingin kembali membahagiakan mereka di tengah harga kebutuhan pokok yang beranjak naik karena imbas kenaikan BBM. Tekad itu kami wujudkan dengan mengadakan bakti sosial ini pada tanggal tersebut di atas.

Dengan memutus urat malu saya kepada Anda saya sudi agar tangan saya ini berada di bawah, dan sudi untuk menengadahkan tangan kepada Anda, mengajak Anda untuk sama-sama menggarap ladang amal itu. Karena itu bukan untuk saya, tapi untuk mereka yang masih membutuhkan.

Kami, dalam bakti sosial ini Insya Allah akan menjual paket sembako senilai Rp50.000,00 (dulu hanya senilai Rp38.500,00) dengan harga jual Rp25.000,00. Ada sekitar 30 paket lebih yang akan kami bagikan secara gratis kepada yang berhak dan tidak mampu.

Tidak hanya itu, kami akan mengerahkan para sahabat kami yang punya kemampuan untuk berbekam. Mereka tidak mau dibayar karena tahu sekali tentang kondisi kami. Dan lagi pula ini adalah amal bakti sosial. Insya Allah dengan upaya bekam itu juga sekaligus penyebaran fikrah bahwa ada pengobatan secara islami yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Dan ini penting juga diketahui, ada sahabat kami seorang dokter yang mau ikutan membantu bakti sosial itu. Insya Allah tanpa dibayar. Dan masyarakat tinggal menikmati pengobatan tersebut dengan gratis pula tanpa harus membayar. Namun masalahnya adalah pada penyediaan obat yang butuh dana banyak. Tapi dengan tekad bulat, kami bertekad dan sanggup untuk mengikutkan agenda pengobatan gratis tersebut pada agenda acara kami dengan resiko kami harus lebih keras lagi dalam mencari dana.

Oleh karena itu sekali lagi saya mengajak kepada Anda semua, yang punya kelebihan rezekinya untuk membaginya. Sepuluh ribu atau dua puluh ribu Anda bahkan lebih adalah hal kecil yang akan membuat mereka bahagia. Tinggal Anda duduk-duduk saja lalu memperoleh kebahagiaan lain sebagai balasannya di akhirat nanti. Atau dengan izin Allah akan dibalas langsung di dunia.

Ikhwatifillah, ada dua pilihan membagi kebahagiaan tersebut:

  1. Bagi antum semua yang mau memberikan baju layak pakainya, bisa saya tunggu sampai hari jum’at nanti tanggal 5 Juli 2008, bagi yang berkantor di Kalibata atau sekitarnya yang dekat dan bisa saya jangkau dengan motor saya, Insya Allah saya akan jemput di kantor masing-masing.
  2. Dan bagi antum yang berniat untuk sedekah dan berinfak bisa juga saya ambil langsung (kalau dekat dengan daerah sekitar Kalibata), atau juga antum semua bisa transfer ke rekening:

RIZA ALMANFALUTHI

Bank Mandiri

0060005XXXXXX

(berhubung rawan dari masalah gratifikasi maka nomornya saya tidak tampilkan. Maka diharapkan untuk mengirim email terlebih dahulu)

 

(Agar tidak tercampur dengan uang saya yang ada di bank Mandiri yang memang tinggal Rp80.000 J, mohon untuk konfirmasi kepada saya melalui PM di DSHNet (username: riza almanfal) atau melalui email: riza.almanfaluthi[at]gmail[dot]com (ganti [at] dengan @, ganti [dot] dengan .) atau via HP: 0817 79 XXXX. Ditunggu sampai hari Jum’at tanggal 5 Juli 2008).

 

Saya mengutip paragraph terakhir pada tulisan terdahulu:

 

Sungguh kepedulian kita semua sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara kita yang membutuhkannya. Saya tidak bisa memberikan balasan kepada antum semua yang sudi dan berkenan atas kesediaannya untuk berbagi kepada sesama dan mempercayakannya kepada saya. Hanya Allah yang berhak untuk membalas kebaikan antum dengan kebaikan berlipat ganda. Harapan terbesar saya adalah semoga kita dikumpulkan oleh Allah di Jannah-Nya yang keindahannya tidak pernah dilihat, didengar, dan dirasa oleh manusia. Semoga. Amin.

 

Juga dengan paragraf ini di tulisan yang lain lagi:

 

Dan saya yakin bagi yang belum berkesampatan untuk turut serta dalam kebersamaan ini, bukan berarti tidak peduli, tapi karena semata-mata ada prioritas yang lebih dekat, yang lebih membutuhkan, yang lebih penting di daerahnya masing-masing. Semoga Allah senantiasa menjaga keistiqomahan kita semua. Amin. Jazakalloh khoiron katsiro.

 

 

Riza Almanfaluthi

09:26 23 Juni 2008

 

 

 

 

ISLAM MELARANG HUMOR?


ISLAM MELARANG HUMOR?

 

Preambule

Ikhwatifillah, ada yang bilang kalau sudah memahami Islam dengan benar atau dengan kata lain sudah tobat dari segala perbuatan dosa dan mau kembali melaksanakan semua ajaran Allah dan rasul-Nya itu maka otomatis kita harus memutuskan seluruh diri kita dari segala kehidupan dunia yang melenakan.

Bahkan sampai kita memutuskan diri dari kefitrahan yang telah diberikan Allah kepada kita seperti bersenda gurau, bercanda, berhumor, tertawa, atau menghibur diri. Kita dilarang untuk melakukan itu. Sehingga yang tampak dari diri kita adalah kekakuan, wajah yang tak pernah disinggahi dengan senyuman, dan kesuraman yang menjadi hiasan setiap hari. Pada akhirnya pergaulan dengan masyarakat pun terganggu. Walaupun mereka yang kaku-kaku tersebut nantinya selalu berkilah dan bersembunyi pada sebuah dalil bahwa Islam itu asing maka wajarlah mereka diasingkan oleh masyarakatnya. Betulkah?

Saya jawab tidak! Karena Islam tidak mengajarkan demikian. Ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Islam tidak mewajibkan seluruh yang keluar dari mulut-mulut kita adalah dzikir, tidak mewajibkan setiap diam mereka adalah pikir, tidak mesti yang didengar selalu ayat-ayat Alqur’an, dan tidak mengharuskan mereka untuk menghabiskan waktu-waktu senggangnya di masjid. Islam selalu mengakui fitrah dan kecenderungan yang telah diciptakan Allah dalam diri manusia. Bukankah Allah menciptakan mereka sebagai makhluk yang punya kebutuhan untuk berbahagia dan bergembira, tertawa, dan bermain sebagaimana Ia menciptakan manusia sebagai makhluk yang butuh makan dan minum?

Ikhwatifillah, para sahabat Rasulullah SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua) juga dulu mengira bahwa mereka harus melepaskan keduniaan mereka secara totalitas dengan melaksanakan ibadah secara ekstrim terus menerus tanpa jeda. Mereka juga menyangka berislam berarti memalingkan diri dari kenikmatan hidup dan kesenangan duniawi. Mata mereka selalu sembab karena terus menerus menangis takut kepada Allah, berdzikir, dan terus menerus khusyuk berdoa mengangkat kedua tangan. Bahkan ketika mereka meninggalkannya sekejap saja mereka langsung memvonis, mengutuki diri mereka sendiri dengan sebutan munafik.

Dan apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepada Hanzhalah dan Abu Bakar menyikapi fenomena yang dilakukan dua orang sahabat mulia itu? Berikut perkataan makhluk mulia ini:

“Demi dzat yang memiliki diriku! Kalau kalian selalu dalam keadaan seperti ketika bersamaku itu, atau selalu dalam dzikir, niscaya malaikat akan terus menerus menemani kalian di atas tempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, segala sesuatu ada waktunya. (Riwayat Muslim)

Beliau mengulangi kalimat yang saya tebalkan tersebut tiga kali demi menekankan penting atau dalamnya makna kalimat tersebut.

Ikhwatifillah, lalu bagaimana Islam menyikap hiburan dan permainan itu? Memang ulama kita berbeda sikap mengenai masalah ini. Ada dua kubu yang berseberangan. Yaitu yang bersikap antara meringankan atau memperketat, antara yang cenderung toleran dan yang keras.

Yang bersikap keras secara berlebihan, mereka hampir mengharamkan semua bentuk hiburan dan permainan. Sementara yang terlampau lunak, hampir menghalalkan segalanya. Masyarakat pun terjebak antara dua penyikapan tersebut. Padahal yang terbaik adalah bersikap di antara keduanya, penyikapan yang moderat, tidak keras dan tidak terlalu meremehkan. Karena Islam adalah agama yang pertengahan, dan ini yang selalu Rasulullah SAW tekankan dalam setiap kesempatan seperti perkataan beliau berikut ini:

“Agar orang-orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelonggaran. Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lurus dan toleran.” (HR Ahmad)

 

Rasulullah SAW dan Sahabat adalah Sosok-sosok yang Humoris

Wahai ikhwatifillah, sungguh tauladan kita yang sejati adalah Rasulullah SAW, maka mari kita tiru dan teladani apa yang Rasulullah SAW sikapi dalam masalah canda tawa, gurauan, dan hiburan ini. Sungguh Rasulullah SAW adalah nabi sekaligus manusia biasa yang tetap bercanda dan berbaur dengan para sahabat dalam kehidupan sehari-hari. Beliau melebur dalam tawa serta senda gurau mereka, sebagaimana beliau juga melebur dalam duka dan kesulitan yang mereka alami. Tetapi Rasulullah SAW tetap dalam kebenaran.

Kebiasaan canda tawa ini—sebagaimana perkataan seorang ulama—telah diketahui langsung oleh sebagian sahabat dalam kehidupan Rasulullah SAW. Mereka menyaksikannya, dan kemudian meneladaninya sepeninggal beliau; tanpa menemukan sesuatu yang perlu dicela. Sekalipun barangkali beberapa candaan tersebut bila diceritakan pada zaman sekarang, tentu akan ditentang keras oleh sebagian besar kalangan yang keras keberagamaannya. Dan orang yang menceritakannya, bisa jadi, akan dianggap fasik serta menyimpang dari agama.

Suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengangkat Al-Hasan bin Ali dengan kedua kaki beliau seraya bersenandung:

“Orang cebol terayun-ayun terpental-pental seperti mata kepinding.” (HR Ibn Abi Syaibah (6/380) dan Abdullah bin Ahmad (2/787))

Atau dengan gurauan yang sudah kita ketahui semua tentang tidak ada nenek keriput di surga nanti.

Atau antum semua pernah mendengar tentang kisah sahabat Anshar ini. Namanya adalah An-Nu’aiman bin Umar Al-Anshari ra. Ia adalah sosok sahabat yang humoris. Ia adalah termasuk dalam kalangan sahabat Anshar yang pertama kali memeluk Islam. Ia adalah kelompok pengikut Bai’at Al-‘Aqabah terakhir. Terjun dalam perang Badar, Uhud, Khandaq, dan berbagai peperangan lainnya bersama Rasulullah SAW. Berikut candaan sahabat An-Nu’aiman ini kepada Rasulullah SAW:

Az-Zubair punya cerita lain dari Rabi’ah bin Utsman: “Suatu hari, Seorang Badui menemui Rasulullah SAW. Ia menambatkan untanya di halaman rumah beliau. Beberapa sahabatnya berkata kepada An-Nu’aiman, “Alangkah nikmatnya kalau kamu sembelih unta itu, lalu kita makan bersama-sama. Sudah lama kita ingin sekali makan daging.” An-Nu’aiman pun bergegas menyembelih unta tersebut. Saat orang Badui itu keluar dari kediaman Nabi SAW, ia berteriak kaget, “Wahai Muhammad, ada yang menyembelih untaku!”

Nabi segera keluar dan bertanya, ” Siapa yang melakukannya?’

Para sahabat yang hadir menjawab, “An-Nu’aiman.” Lalu Nabi SAW beserta para sahabat itu mencari An-Nu’aiman. Ternyata ia kabur ke rumah Dhuba’ah bin Az-Zubair bin Abdul Muthalib, bersembunyi di kandang ternaknya. Salah seorang sahabat menunjukkan tempat persembunyian An-Nu’aiman kepada Nabi SAW. Maka beliau pun langsung mengintrogasinya, “Mengapa kamu sembelih unta orang Badui itu?’

An-Nu’aiman dengan polosnya menjawab, “Orang-orang yang menunjukkan tempat persembunyian saya kepada Anda inilah yang telah menyuruh saya menyembelih unta itu, wahai Rasulullah.” Mendengar jawaban An-Nu’aiman, Rasulullah SAW tertawa sambil mengusap debu di wajah An-Nu’aiman. Lalu beliau mengganti unta milik orang badui tersebut.”

(HR Ibnu Abd Al-Barr dalam Al-Isti’ab (3/89) dan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (6/465)

Kisah Az-Zubair yang lain dari pamannya, yang mendengar langsung dari kakeknya: “Pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, seorang sahabat yang telah berusia 115 tahun, Makhramah bin Naufal, hampir kencing di masjid. Orang-orang langsung berteriak mencegah, “Jangan kencing di sini, ini masjid!” An-Nu’aiman yang juga hadir di situ menuntun Makhramah ke sisi lain masjid sambil berkata, “Nah sekarang Anda boleh kencing di sini.” Tentu saja orang-orang kembali berteriak melarangnya. Merasa dipermainkan, Makhramah berkata, “Awas kalian, siapa tadi yang membawaku ke sini?”

“Itu An-Nu’aiman,” jawab mereka.

Makhramah kesal, “Kalau aku bertemu dia lagi, akan kupukul dengan tongkatku, agar ia bisa merasakan sakit yang sama seperti saat aku menahan kencing ini.”

Beberapa hari kemudian, An-Nu’aiman melihat Makhramah lagi di masjid. Waktu itu, Khalifah Utsman bin Affan ra. Sedang bersiap shalat di situ. An-Nu’aiman menghampiri Makhramah, “Apa Anda masih mencari An-Nu’aiman?”

Makhramah yang sudah berusia lanjut tak lagi mengenali An-Nu’aiman, ia menjawab, “Iya, aku mencarinya.” An-Nu’aiman lalu membawa Makhramah ke samping Utsman bin Affan ra. yang sedang khusyu’.

“Ayo, ini dia An-Nu’aiman,” ujar An-Nu’aiman kepada Makhramah sambil menunjuk Utsman bin Affan. Maka Makhramah segera mengumpulkan kekuatannya, dan memukul Utsman di sekitar pahanya. Melihat kejadian itu, orang-orang yang ada di masjid langsung berteriak, “Aduh, Anda telah memukul Amirul Mukminin!”

(Al-Hafizh Ibnu hajar dalam Al-Ishabah 6/463)

Ada lagi cerita lain, tapi kini An-Nu’aiman sendiri yang menjadi “korban”. Ada sahabat lain yang suka bercanda dan melucu, Suwaibath bin Harmalah. Beliau adalah ahlulbadr (pengikut perang Badr).

Menurut Ummu Salamah, setahun sebelum wafatnya Nabi SAW, Abu Bakar ra. pergi berniaga ke Bashrah. Ikut dalam perjalanan tersebut, An-Nu’aiman dan Suwaibath bin Harmalah. An-Nu’aiman dipercaya untuk mengurui perbekalan rombongan. Di tengah perjalanan, Suwaibath meminta makanan kepada An-Nu’aiman. Tetapi An-Nu’aiman menolak, “Nanti saja, setelah Abu Bakar bersama kita.” Suwaibath mengancam, “Demi Allah, saya akan membalas kamu nanti!”

Tak lama kemudian, mereka melewati suatu perkampungan. Lalu Suwaibath mendatangi penduduk di perkampungan itu dan berkata, “Adakah kalian ingin membeli hamba sahaya (budak, pen.) dari saya?” “Boleh,” jawab mereka.

“Tapi hamba sahaya ini pintar bersilat lidah. Nanti dia pasti akan berkilah bahwa dia orang yang merdeka. Jangan-jangan kalian kemudian melepaskannya dan membatalkan niat untuk membeli dari saya,” ujar Suwaibath lagi.

“Tidak, kami akan tetap membelinya dari Anda.”

“Baiklah, kalau begitu belilah seharga sepuluh unta muda.”

Maka penduduk perkampungan itu mendatangi rombongan Abu Bakar. Mereka langsung mengikatkan tali di leher An-Nu’aiman. Serta merta An-Nu’aiman protes, “Orang ini bercanda kepada kalian, saya orang yang merdeka, saya bukan hamba sahaya!”

Tetapi para penduduk itu tak menggubris, “Kami sudah tahu kamu pintar bersilat lidah!” mereka tetap membawa An-Nu’aiman ke perkampungan mereka. Setelah Abu Bakar ra. bergabung dengan rombongan tersebut, Suwaibath menceritakan apa yang baru saja terjadi. Maka Abu Bakar segera mendatangi perkapungan penduduk tersebut untuk menjemput An-Nu’aiman, dan mengembalikan sepuluh unta muda yang telah mereka bayarkan. Sekembalinya ke Madinah, para anggota rombongan menceritakan peristiwa tadi kepada Nabi SAW. Tentu saja, Nabi SAW dan para sahabat tertawa mendengar cerita tersebut.”

(HR Ibnu Majah dalam kitab Al-Adab (3719), Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Ar-Rauyani juga meriwayatkan hadits ini, namun dalam versi mereka yang mengibuli adalah An-Nu’aiman serta yang dikibuli adalah Suwaibath, lihat Al-Ishabah (3/222)).

Ikhwatifillah, dari tulisan di atas tak dapat kita pungkiri, di antara (ini berarti pula tidak semuanya) para sahabat ada yang menjalani hidup mereka dengan keras seperti Abu Bakar ra., dan Umar bin Khotthob. Namun ada pula sebaliknya seperti An-Nu’aiman dan Ibnu Umar. Ibnu Umar ini juga sering bercanda dan menyenandungkan syair seperti yang dikatakan Ibnu Sirin. Padahal Ibnu Umar juga terkenal dengan sikap wara’, ketekunan, serta keistiqomahannya dalam menjalankan ajaran agama.

Sudah jelas bahwa kekakuan, wajah masam, tanpa senyum, dan tidak ramah tidak merepresentasikan ajaran islam yang sesungguhnya serta tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Pandangan mereka—seperti disebutkan oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy—lebih disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang kurang benar, karakter pribadi, atau disebabkan oleh latar belakang lingkungan serta pendidikan mereka.

Ia menyebutkan yang terpenting setiap muslim harus tahu bahwa Islam tidak dipatok dari perilaku seseorang maupun sekelompok manusia yang bisa benar atau salah. Standar Islam yang benar adalah yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah teruji kevalidannya.

 

Batasan-batasan

Ikhwatifillah, hiburan, humor, dan canda itu diperbolehkan dalam Islam. Semua itu adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan fitrah manusia yang diberikan Allah. Fitrahnya semua itu dapat meringankan hidup kita. Menyegarkan jiwa, menghilangkan beban, kegalauan, serta mengurangi himpitan yang kita rasakan. Saya mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy dalam bukunya, “Istirahatkanlah hati, dan carilah “gizi” hikmah untuknya. Karena sesungguhnya, hati bisa jenuh sebagaimana badan bisa capek.”

Tapi menurut ulama, ada syarat dan rambu yang harus diperhatikan agar semua itu masih dalam batas yang diperbolehkan. Namun saya tak mengulas lebih dalam rambu dari ulama tersebut karena sudah banyak diterangkan dalam tulisan-tulisan lain yang sejenis. Berikut rambunya:

  1. Tak boleh menggunakan kebohongan dan membuat-buat dalam mencandai orang lain. Misalnya April Mop. Dalam hal berkaitan dengan humor atau anekdot, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy mengatakan itu diperbolehkan asalkan tidak menyakiti atau menyimpang. Bila sebaliknya, maka dilarang. Anekdot pun tidak mesti selalu bersinggungan dengan kejadian-kejadian nyata, namun boleh juga berbentuk fiksi seperti halnya seorang novelis atau cerpenis yang mengarang cerita pendek maupun panjang. Kreasi semacam ini tidak termasuk kebohongan yang diharamkan, karena orang-orang pun tahu bahwa cerita-cerita tersebut hanyalah karangan sang cerpenis atau novelis.
  2. Candaan yang dilakukan tidak boleh mengandung unsur penghinaan ataupun pelecehan terhadap orang lain. Kecuali, yang bersangkutan mengizinkan dan rela.
  3. Jangan sampai mengagetkan atau menimbulkan ketakutan bagi muslim yang lain.
  4. Tidak boleh bercanda dalam situasi serius atau tertawa dalam suasana duka. Sebab segala sesuatu itu ada waktunya, dan setiap ucapan ada tempatnya. Dan cerminan kebijaksanaan seseorang adalah bila ia mampu meletakkan segala sesuatu dengan tepat.

 

Penutup

Ikwhatifillah, di bagian akhir tulisan ini, kembali saya ungkapkan bahwa Islam adalah agama yang moderat. Sebaik-baik perkara adalah yang selalu di pertengahan. Yang berlebihan itu tidak baik. Dalam masalah ini Islam memandang bahwa hidup itu adalah sebuah perjalanan yang berat, dan manusia sebagai musafir dalam perjalanan tersebut butuh sebuah oase, wadi, tempat mata air berkumpul untuk berhenti sejenak dan merehatkan diri. Pada waktunya manusia butuh hiburan, butuh tertawa, butuh kelakar, dan butuh humor, dan butuh semua yang bisa memancing tawa manusia agar kesedihan dan kesusahan itu luput dari wajahnya. Islam mengerti betul fitrah itu dan membiarkannya tidak mati. Yang terpenting, selama semuanya itu masih dalam koridor yang diperbolehkan.

    Sebuah referensi bagus yang saya sarankan untuk dibaca dalam kaitan dengan masalah ini adalah sebuah buku terjemahan yang ditulis oleh DR. Yusuf Al-Qaradhawy berjudul Fikih Hiburan. Di dalam buku tersebut diterangkan bagaimana Islam memandang hiburan dan permainan-permainan yang sekarang sedang bingar dalam kehidupan manusia bumi. Seperti sepakbola, tinju, panjat gedung, sirkus, adu mobil, gulat, lomba lari, renang, catur, dadu, tarian, dansa, drama, tepuk tangan, berburu binatang, lomba pacuan kuda, dan masih banyak lagi lainnya.

    Buku yang menurut saya dapat membuat sebuah pencerahan dan sanggup membuka wawasan kita agar bisa bersikap pertengahan, tidak keras, berlebihan dan tidak meremehkan. Insya Allah.

Ada hikmah yang mengatakan: “Seorang yang berakal tidak selayaknya pergi selain untuk tiga perkara: mencari bekal untuk akhirat, memperbaiki taraf kehidupannya, atau mereguk kenikmatan yang tidak diharamkan.”

Semoga Allah mengampuni saya.

 

Maraji’ utama:

Fikih Hiburan, DR. Yusuf Al-Qaradhawy, Penerjemah Dimas Hakamsyah, Lc., Pustaka AlKautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2005.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

direct selling itu butuh keterampilan berkomunikasi

10.09 02 Juni 2008


 

Be a Hero!


Be a Hero!

 

    Ikhwatifillah yang dirahmati Allah, sesungguhnya sedari kecil di saat kita masih duduk di bangku sekolah dasar kita telah diberikan pelajaran dari guru-guru kita tentang sifat-sifat kepahlawanan. Pelajaran sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan) telah menceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para pendahulu dan pendiri republik ini. Tentunya Anda pasti kenal dengan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Pattimura, Hatta, dan masih banyak lagi para pahlawan lainnya.

Juga dari pelajaran tarikh dan siroh di madrasah-madrasah yang menceritakan pula tentang kepahlawanan para mujahid Islam berperang bersama Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kisah-kisah kepahlawanan lainnya di saat Islam mulai menyebarkan rahmat kasih sayangnya ke seluruh penjuru dunia. Di sini Anda pasti kenal dengan Umar bin Khotthob, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Thariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih, dan lain sebagainya.

Maka dari membaca pelajaran sejarah, pelajaran masa lalu, telah terpatri dalam benak kita dari para pelaku masa saat sekarang yaitu kita, untuk dapat meniru mereka dan mempunyai sikap kepahlawanan. Sikap yang tergabung di dalamnya keberanian, tidak kenal takut pada siapapun, optimisme, gagah berani, mental yang tangguh, fisik yang kuat, keterampilan tempur yang mumpuni, kearifan lokal dan global, bijaksana, kepemimpinan yang kuat, dan amanah. Semua itu, sekali lagi, dalam benak kita adalah hal yang kudu atau wajib ditiru.

Menjadi pahlawan adalah sebuah cita. Menjadi mujahid adalah harapan. Karena pahlawan adalah pahalawan, orang yang berpahala atas perjuangannya. Dari masa ke masa ada satu hal yang sama yang dituju dari para pahlawan tersebut yaitu melawan ketidakadilan, melawan sebuah kezhaliman.

Hiduplah pahlawan!

Maka adalah sebuah keanehan ketika sedari kecil kita dididik untuk menjadi seorang pahlawan, dididik untuk tidak mempunyai sikap pengecut, sikap seorang pecundang, dididik pula untuk bersikap anti penjajahan yang merantai harkat dan martabat kemanusiaan, tiba-tiba disuguhi pada sebuah kenyataan untuk berdiam diri melihat sebuah kemungkaran, ketidakadilan, kezhaliman yang dilakukan oleh para penguasa.

Sikap kepahlawanan itu diharuskan untuk tunduk pada argumen-argumen dan dalil-dalil yang dicari-cari dan cenderung menutup mata terhadap kesalahan yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan dibarengi dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan dari para pembela penguasa lalim itu bahwa para pengusung sikap kepahlawanan tersebut adalah sekumpulan orang-orang yang tak beruntung dunia dan akhirat. Padahal ianya hanya melakukan hak dan kewajibannya terhadap penguasa yaitu dengan metode amar ma’ruf nahi munkar sesuai syariat Allah dan sesuai kemampuannya. Allohukarim.

Sungguh dulu pun para pahlawan disebut sebagai penjahat oleh para pembencinya.

Ikhwatifillah, kita bukanlah khawarij yang berpendapat bahwa apa saja yang mereka pandang sebagai menentang hukum Allah, maka mengharuskan adanya pemberontakan terhadap penguasa yang melakukannya, guna menyingkirkannya.

Ikhwatifillah, kita pun bukanlah orang-orang yang harus diam, tanpa melepas lisan, dan justru membela penguasa zhalim ketika kemungkaran itu nyata di depan kita. Sikap ini adalah sikap yang anti kepahlawanan bahkan mengungkung fitrah manusia untuk melawan setiap kezhaliman yang ada.

Sungguh kezhaliman itu pasti akan berakhir maka jadilah seorang pahlawan. Bukan seorang pengecut, bukan seorang pecundang. Musytafa Masyhur mengatakan bahwa kezhaliman itu hanyalah ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan Allah telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang tertindas dari kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana perkataan Musa terhadap kaumnya yang tertindas si lalim Fir’aun, “mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-Nya, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Ikhwatifillah, Islam telah menuntut setiap diri kita untuk menjadi pahlawan yang menolak setiap kezhaliman dari dirinya dan dari saudara-saudaranya. Islam tidak mengizinkan kita untuk hidup dalam kerendahan, kehinaan, dan kelemahan serta ketertindasan karena semua itu adalah sikap hidup yang hanya dimiliki oleh orang-orang jahiliah terdahulu.

Islam hanya menginginkan kita untuk hidup dalam kemuliaan, kekuatan, dan kekuasaan (menjadi penguasa) karena itu adalah sikap-sikap dari orang-orang yang telah diberikan cahaya tarbiyah dari Allah melalui Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh Allah telah berfirman: “Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun:8).

Ikhwatifillah, Islam telah mengajarkan kita untuk menjadi pahlawan yang menumpas setiap kezhaliman, dan setiap kita yang diperlakukan dengan zhalim maka berhak untuk membela diri. Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada dosa pun atas mereka.

Maka kenapa memilih selemah-lemahnya iman dengan tidak berbuat apa-apa jika kita mempunyai kemampuan mengubah kemungkaran dan melawan kezhaliman para penguasa lalim dengan tangan. Dan sungguh hanyalah orang-orang yang rela pada kehinaan dan ketertindasan—padahal itu membahayakan agamanya—dianggap sebagai orang-orang yang menzhalimi diri sendiri.

Ikhwatifillah, kita adalah sekumpulan orang yang berusaha meniru dari generasi terdahulu yang telah memberikan contoh bagaimana menyikapi kezhaliman penguasa, tidak dengan memeranginya tanpa pertimbangan maslahat dan mudharat yang matang, tidak dengan membabi buta dalam bertindak sehingga membahayakan Muslim lainnya.

Maka jangan kau pendam karakter kepahlawananmu, karena ia adalah muru’ah.

Jangan kau singkirkan jiwa kepahlawananmu, karena ia adalah kegagahberanian.

Jangan kau kuburkan sikap kepahlawananmu, karena ia adalah panji anti kepengecutan.

Jangan kau hilangkan sikap kepahlawananmu sekadar mencari muka di depan para penguasa lalim.

Jangan kau hilangkan didikan para pendahulumu, karena ia ingin kau menjadi pahlawan, bukan sebagai pecundang yang hanya menginginkan keselamatan untuk dirinya sendiri.

Maka…

Be a hero! karena kezhaliman pasti akan berakhir.

 

Riza Almanfaluthi

13:44 May Day 2008

dedaunan di ranting cemara

 

Maraji’ (bahasan untuk dikaji lebih lanjut):

  1. Al-Qur’an yang Mulia;
  2. Kekuasaan, Jama’ah, dan logika yang keliru (Dalam Menasihati Penguasa), perisaidakwah.com;
  3. Fikih Dakwah JIlid 1, Syaikh Mustafa Masyhur, Al-‘Itishom Cahaya Umat, Cet.IV, 2005.