Indonesia pernah mengandalkan ekspor migas sebagai sumber penerimaan negara.
Pada awal Pelita I (1969/1970), penerimaan migas hanya 27% dari total penerimaan negara. Berlanjut di Pelita II yang mencapai 45,4%, dan puncaknya pada Pelita III (1981/1982) ketika proporsi penerimaan migas mencapai 70,6%.
Namun, ketergantungan ini membahayakan keuangan negara karena harga migas yang fluktuatif di tengah produksi migas yang terus menurun dari tahun ke tahun. Lalu penggantinya dari mana dalam postur APBN Indonesia tersebut? Jawabannya adalah pajak.
Untuk itu perlu reformasi perpajakan besar-besaran. Titik tolaknya dimulai pada 1978 ketika Ali Wardhana, Menteri Keuangan pada saat itu, memanggil Marzuki Usman (kelak Marzuki menjadi Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan pada 1988-1992 dan Menteri Negara Investasi pada 1999).
Baca: Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang
Kepada Marzuki, Ali mengungkapkan rencananya untuk melakukan reformasi perpajakan agar penerimaan pajak bisa meningkat signifikan. Oleh karena itu, Ali meminta Marzuki menghubungi Malcolm Gillis dari Harvard Institute for International Development. Gillis dianggap berhasil menangani reformasi perpajakan di Bolivia.
Tim Reformasi Perpajakan dibentuk pada 1978 dengan Ali sebagai ketua dan Marzuki sebagai sekretaris. Para akademisi dari beberapa universitas terkemuka turut menjadi anggota. Tugasnya untuk membenahi ekonomi makro, fiskal, moneter, termasuk perpajakan.
Selama bertahun-tahun, tim merancang undang-undang (UU) perpajakan baru. Tujuannya untuk membarui dan menyederhanakan sistem perpajakan peninggalan Belanda yang sudah usang. Pada saat itu, mengutip Dawam Rahardjo, masih ada trauma belasting yang menghinggapi masyarakat. Pajak dianggap sebagai alat penjajahan dan sumber korupsi. Pajak hanya sebagai upeti atau berbagai pungutan lain di zaman kolonial tanpa ada hak untuk mempertanyakan pemasukannya.
Pada akhir 1983, DPR mengesahkan tiga rancangan UU menjadi UU, yaitu UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Ketiga UU ini mulai berlaku pada 1 Januari 1984. Menyusul dua tahun kemudian terbit UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU Bea Meterai.
Baca: Puluhan Testimoni Pembaca Buku Sindrom Kursi Belakang
Ada perubahan fundamental dalam UU pajak yang baru ini. Utamanya adalah perubahan sistem perpajakan yang semula official assessment menjadi self assessment. Yang menentukan jumlah besaran pajak yang harus dibayar ke kas negara bukan lagi petugas pajak, melainkan wajib pajak sendiri.
Dalam reformasi jilid pertama ini pajak kekayaan dihapus dan Indonesia mulai memberlakukan PPN. Pada saat itu PPN merupakan pajak yang belum banyak diterapkan oleh negara-negara lainnya di dunia. Dari sana PPN kemudian menjadi mesin uang Republik Indonesia sampai dengan saat ini.
Libur Setahun
Tak banyak orang mengetahui kisah di balik reformasi perpajakan. Apalagi kalau kejadian itu sudah berlalu hampir setengah abad yang lampau. Mencegah catatan dan ingatan bisa rapuh ditelan zaman, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menerbitkan buku untuk mendokumentasikan dan mengabadikannya.
Lihat Video: Semua Bisa Menulis dalam Frans Membahas #46
Buku itu adalah Reformasi Administrasi Pajak dari Masa ke Masa dengan Tim Katadata sebagai penulisnya. Buku ini termasuk dalam tiga buku babon sejarah Direktorat Jenderal Pajak. Dua buku lainnya adalah Jejak Pajak Indonesia dan Cerita di Balik Reformasi Perpajakan. Semuanya bisa diperoleh secara gratis dengan mengunduh buku elektroniknya di laman web pajak.go.id.
Yang membedakan buku Reformasi Administrasi Pajak dari Masa ke Masa dengan dua buku lainnya itu adalah buku ini lebih berfokus kepada reformasi administrasi pajak di tahun 1983 sampai dengan periode saat ini. Peristiwa yang terekam dalam lini masa buku ini bahkan sampai Januari 2023. Melewati masa-masa mewabahnya Covid-19 dan dilema antara merawat ekonomi nasional dan menyelamatkan nyawa manusia.
Buku yang diluncurkan pada Hari Pajak 2023 lalu ini mewawancarai puluhan narasumber dari dalam dan luar negeri, terutama para pelaku sejarah yang mengetahui detail dan filosofis sejarah reformasi administrasi perpajakan. Ditunjang dengan riset mendalam dari berbagai sumber tepercaya, membuat buku ini mampu memberikan informasi menarik yang luput dari perhatian banyak orang.
Termasuk upaya Direktur Jenderal Pajak Salamun A.T yang “meliburkan” seluruh pegawai pajak di tahun 1984 untuk lebih fokus mempersiapkan pemberlakuan sistem perpajakan yang baru dengan lebih baik lagi. Adalagi cerita tentang turut campur IMF pada pascakrisis 1997.
Atau cerita Direktorat Jenderal Pajak yang pernah memiliki sistem administrasi PBB terbesar di dunia. Melalui Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop), Direktorat Jenderal Pajak mampu mengadministrasikan 110 juta objek pajak. Pada 2009, Direktorat Jenderal Pajak sudah memetakan semua tanah, termasuk tanah negara, tanah pemerintah, termasuk rawa, sementara Badan Pertanahan Nasional hanya memetakan tanah-tanah yang bersertifikat.
Cerita lainnya pada Kamis, 2 April 2009 di London Summit, saat anggota G20 mulai mendeklarasikan pengakhiran era kerahasiaan bank dan secara bersama-sama melawan praktik culas penghindaran pajak melalui Automatic Exchange of Information.
Baca juga: Review Buku Sindrom Kursi Belakang, Tak Setetes Pun Air Mata
Tujuh belas bab dengan lebih dari 400-an halaman ini menjadi penting untuk membangkitkan memori kolektif kesejarahan tentang pajak di tanah air dan meningkatkan literasi Indonesia. Ya, sekaligus sebagai upaya kecil untuk menghilangkan stigma masyarakat Indonesia yang malas baca dan lebih cerewet di media sosial.
***
Riza Almanfaluthi
27 Januari 2024
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.
Unduh buku Reformasi Administrasi Pajak dari Masa ke Masa di sini.
