Siapa saja boleh berpuisi. Tidak ada pengastaan dalam puisi. Jika saja terjadi hal itu, maka puisi terjebak hanya menjadi milik para begawan dan bangsawan. Senyatanya puisi di dunia nyata menjadi eigendom siapa saja bahkan menjadi alat perlawanan dan biang revolusi.
Gabriela Diandra Larasati berani mendaku pada apa yang dicintainya: puisi itu. Untuk penghargaannya kepada Sapardi Djoko Damono, pensyair yang membuat mereka—yang tak mengerti bahasa prosa dan puisi—itu menjadi paham arti romantisme di balik kekuatan kata-kata yang sederhana.
Diandra, nama panggilannya, mempersembahkan sebuah Buku Pasir, berisi segelintir puisi, namun tersembunyi makna-makna sejumlah butiran bintang yang ada di semesta. Karena bukan kata-kata itu yang memberi makna, kita sendiri sebagai manusia yang memberi makna. Atas setiap kata yang pernah muncul di muka bumi yang fana. Kita sebagai pembaca bebas menafsirkannya. Dengan tafsir paling naif atau tafsir paling rumit sekalipun.
Saya jadi teringat dengan komentar Bakdi Soemanto tentang Sapardi Djoko Damono, “Kekuatan kepenyairan Sapardi adalah kepiawaiannya memainkan kata dan makna sehingga menjadi satu kesatuan ungkapan yang meminjam istilah Rendra, autentik, yakni khas Sapardi.” Buku Pasir adalah keautentikan Diandra.
Saya pikir, dengan kembali pada siapa saja boleh berpuisi, Buku Pasir menambah tinggi gelombang khazanah keberpuisian masyarakat Indonesia. Saya hanya berharap Diandra tidak berhenti sampai di sini. Keberpuisiannya tetap ada kersiknya dengan ada karya-karya berikutnya. Puisimu janganlah fana, Diandra.
***
Riza Almanfaluthi
Ditulis sebagai sebuah persaksian untuk buku puisi Gabriela Diandra Larasati: Buku Pasir yang terbit pada Oktober 2020.
woww…. Editor top
LikeLike
Alhamdulillaah.. terima kasih telah berkunjung.
LikeLike