Rakorda di Lhokseumawe menyisakan sesuatu yang mengesankan buat saya. Bukan tentang rakordanya, kotanya, atau apanyalah. Tapi satu hal: bus malam jurusan Lhokseumawe-Medan. Ceritanya begini.
Akhir pekan setelah rakorda saya tidak kembali ke Tapaktuan. Sudah waktunya saya pulang ke Bogor. Dari Lhokseumawe banyak moda transportasi menuju Medan. Bisa travel, bus, ataupun pesawat. Saya pilih bus, karena pesawat baru bisa terbang besok sore. Sayang banget dengan waktu yang terbuang hanya seharian menunggu pesawat.
Di Lhokseumawe ada banyak bus. Entah bus yang berangkat langsung dari Lhokseumawe itu sendiri atau bus dari Banda Aceh yang mampir di kota ini. Jadi saya masih banyak disuguhkan alternatif moda transportasi.
Karena acara rakorda selesainya malam banget, saya memilih bus malam yang berangkat dari Lhokseumawe jam 23.30. Bangku bus sudah dipesankan oleh teman baik saya di sana, Yudhi Meilando, Kepala Seksi Pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhoseumawe.
Jam segitu masih ada waktu untuk mengejar pesawat pagi di Kualanamu. Untuk jaga-jaga saya ambil tiket pesawat jam sembilan pagi. Lebih santai dan tidak terburu-buru.
Diantar Mas Fabian, AR Lhokseumawe, kami bertiga menuju terminal. Awalnya Mas Yudhi yang akan mengantar kami, tetapi sampai hampir jam 23.15 Mas Yudhi tidak nongol-nongol. Akhirnya Mas Fabian yang menawarkan diri mengantar kami ke sana.
Ternyata terminal bus Lhokseumawe tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Pantas saja Mas Yudhi nyantai menjemput kami yang akhirnya tidak jadi. Karena memang dekat banget. Tidak sampai dua kilo. Lima menit pun sampai kalau naik mobil. Apalagi di malam hari.
Memasuki terminal Lhokseumawe seperti memasuki terminal di pulau jawa. Ramai sekali. Sudah lama saya tidak melihat keramaian terminal. Jangan tanya tentang terminal Tapaktuan, siang saja sepi banget.
Banyak bus berjejer di terminal. Masih banyak loket yang buka. Pedagang asongan juga banyak. Peminta-minta juga saling bergantian memasuki bus. Terbayang sebuah momen masa lalu saat masih kuliah di kampus STAN bepergian ke Lampung malam-malam dan terdampar di terminal Tanjung Karang.
Teringat juga terminal Tasikmalaya saat saya berpetualang sendirian 20 tahun lampau dan sampai di sana pukul dua dini hari. Mendekat kepada tukang jual ketan bakar untuk mencari kehangatan dan menghindari dingin yang menggigit.
Saya beli tiket di loket Bus Putra Pelangi Perkasa. Harganya Rp140.000 untuk bus yang bangku penumpangnya berkonfigurasi kursi 2-1. Menurut saya harganya worth it lah. Tapaktuan-Medan lebih jauh sih. Tarif travelnya sebesar Rp170.000.
Ada juga bus Putra Pelangi Perkasa dengan konfigurasi 2-2 yang berangkat ke Medan pukul 23.00 tapi sampainya sama dengan bus yang berangkat jam 23.30. Jadi saya pilih yang 2-1 saja.
Di terminal sudah ada Mas Yudhi yang ternyata juga sedang mengantar pejabat Kanwil DJP Aceh. Saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak ke Mas Yudhi atas bantuan pemesanan tiket bus dan perannya sebagai tuan rumah rakorda. Kita ini sahabat karib yang sama-sama sedang menunggu mutasi. Hahahaha. Soalnya, sudah dua tahun lebih kami di Tanah Rencong ini.
Saya pamit kepada Mas Yudhi dan langsung naik bus. Sudah lama banget saya tidak naik bus umum. Terakhir lebih dari setahun yang lalu saat mengejar pemakaman almarhum Bapak di Jatibarang, Indramayu—yang akhirnya tak terkejar juga. Naik bus Sahabat jurusan Serang-Kuningan yang saya cegat di Slipi, Jakarta. Bangkunya 3-2. Penuh penumpang. Sandarannya tegak. Punggung harus lurus tentunya.
Saya memang tidak pernah naik bus konfigurasi kursi 2-1. Dan saya langsung terpukau. Kursinya gede dan lebar. Jadi terasa luas. Kursi pesawat kelas ekonomi dan bisnis yang selama ini saya naiki pun kalah.
Sandarannya bisa diturunkan maksimal, lebih dari 45 derajat sepertinya. Nyaman dan tak mengganggu orang yang dibelakangnya. Anda yang sering naik pesawat pasti sudah tahu berapa cm sandaran kursi kelas ekonomi bisa diturunkan.
Itu pun saya pernah dimarahi oleh bapak-bapak yang duduknya dibelakang kursi saya, karena merasa terganggu. Bapak itu menahan kursi saya agar tidak turun dengan tangannya. Kayaknya bapak itu baru naik pesawat. Soalnya kursi itu sudah diset sedemikian rupa untuk bisa diturunkan sandarannya dan dianggap tidak mengganggu penumpang lain.
Tak ada larangan menurunkan sandaran kursi kecuali pada saat naik atau turun landasan. Saya saja kalau penumpang di depan saya menurunkan kursi juga tidak marah. Saya tegur balik bapak itu. Kalau masih berlanjut saya akan panggil pramugarinya.
Kembali ke soal bus tadi. Selain sandaran, kursinya juga ada penopang kaki yang bisa dinaikkan, sehingga kaki benar-benar lurus selonjor. Juga ada selimut dan bantalnya segala. Benar-benar dah ah ya. Bus ini memanjakan penumpangnya.
Saya dapat kursi dengan nomor 6A, satu kursi di sebelah jendela. Posisi kursi sepertinya di atas ban. Tapi tak masalahlah.
Bus berangkat jam 23.50 dari terminal Lhokseumawe. Saya langsung mematikan tablet Samsung. Menghemat baterainya. Apalagi mata sudah berat banget. Saya luruskan kaki dan memejamkan mata. Apa yang terjadi kemudian setelahnya?
Saya benar-benar bangun ketika Bus sudah mencapai kota Medan, tepatnya di pasar Kampung Lalang yang sudah ramai menjelang Subuh. Sudah jam lima pagi. Dan saya benar-benar tidur lelap. Enggak ada tuh kejadian kayak di perjalanan Medan-Tapaktuan dengan naik travel. Leher , punggung, atau tulang ekor sakit semua. Saya bangun dengan benar-benar fresh.
Sebenarnya ada sih bus dari Medan yang menuju Tapaktuan. Bus Sempati Star tujuan Meulaboh. Tapi ketepatan waktu datangnya tidak bisa diperkirakan. Bisa pagi bahkan siang. Jadi pasti telat ngantor kalau naik bus ke Tapaktuan.
Bisa jadi kenyamanan bus Putra Pelangi Perkasa ini karena busnya memang bagus. Hebat benar bus ini. Biasanya jenis busnya adalah Jetliner New Mercedes-Benz. Supirnya juga bawanya enak. Bahkan ketika tempat duduk saya ini di atas ban. Enggak gajrut-gajrutan kayak bus Transjakarta.
Barangkali juga karena jalannya malam, lagi sepi-sepinya orang, juga karena jalan Lhokseumawe Medan itu lurus dan lebar. Tidak seperti jalan Medan Tapaktuan yang berliku-liku, naik gunung, dan masuk hutan.
Bus tepat berhenti di pool ALS jam 05.20. Kami yang mau ke Kualanamu turun di sini. Sudah terparkir beberapa bus ALS yang akan membawa kami ke bandara. Pas azan, saya salat Subuh dulu di lantai dua bangunan ruko yang menjadi markas bus ALS bandara. Hampir jam enam pagi bus ALS berangkat ke Kualanamu.
Teman-teman saya yang ditempatkan di kantor pajak Lhokseumawe menurut saya dapat kenikmatan lebih dengan kemudahan dan kenyamanan transportasinya. Tak perlu capek dan butuh waktu lebih lama menuju kantor.
Terus terang saja saya terkesan sama bus dan perjalanan ini. Mungkin kesannya begitu mendalam karena benar-benar beda jauh dengan segala hal yang berkaitan dengan Tapaktuan. Ini bukan soal membandingkan nikmat atau sawang sinawang yah. Hanya masalah beda ini saja: bangun tidak capek saat naik bus. Itu saja. Ini luar biasa bagi saya. Top dah.
Saran saya kalau memang sedang santai dan tidak terburu-buru menuju Lhokseumawe atau Banda Aceh lebih baik naik bus daripada naik pesawat. Nyamannya luar biasa.
Saking luar biasanya itulah maka saya catat perjalanan ini di Rihlah Riza. Jurnal perjalanan saya selama di Aceh. Semua yang ada di Rihlah Riza adalah segala hal yang berkesan di lubuk hati dan pikiran saya yang paling dalam. Entah orang, entah suasana, entah tempat, entah kamu. Iya kamu…
Persiapan sebelum ke terminal bus. Reuni pegawai KPP Pratama Tapaktuan. Yang berangkat ke terminal tidak semua di foto itu. Dari kiri ke kenan: Fahrul Hady, Saya, Suardjono, Sigit Indarupa, Sabar Donal, Fabian.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Maret 2016