RIHLAH RIZA #61: Diserbu Densus 88


image

Suara tembakan pecah di dini hari. Memekakkan telinga. Saya yang sedang tidur lelap terbangun dan terperanjat. Tapi saya tahu ini akan terjadi. Anggota Densus 88 itu akan menyerbu kamar kami.

Segera saya ambil sepatu dan memakainya. Topi dan nametag pun tidak lupa. Saya membuka pintu kamar dan seorang berperawakan tegap serta berjenggot lebat masih mengokang senapan serbu M16 dan memuntahkan pelurunya ke langit-langit ruangan. Selongsong peluru kaliber 5.56 mm NATO bertebaran di lantai.

Sirine polisi meraung-raung tak jauh dari kami. Suara keras ledakan ada di mana-mana. Terdengar dari pengeras suara agar kami berkumpul di tengah lapangan. Ini waktunya apel.

Seumur-umur baru kali ini saya mendengar suara ledakan sebegitu dekatnya. Satu meter di sebelah saya. Kebanyakan tahunya di film-film. Dan beginilah rasanya atau kondisi psikologis seseorang yang dibangunkan layaknya teroris yang diserbu di tengah malam.

Kaget, panik, dan kelabakan. Sepatu yang saya pakai pun bukan sepatu olahraga. Hanya itu sedikit kesalahan saya. Dari semua anggota peleton kami, kebetulan saya yang pertama keluar kamar dan berbaris di lapangan.

Di tengah lapangan sudah berdiri Kepala Bagian Pembinaan Siswa Pusat Pendidikan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Besar Polisi Untung Basuki. Ia mengarahkan siswa agar membentuk barisan dengan cepat.

Dalam arahannya ia mengatakan, “Seperti yang sudah pernah saya katakan dalam PERDUPSIS (Peraturan Kehidupan Siswa) yang pernah saya sampaikan, bahwa nantinya akan ada alarm stelling. Dan malam ini bisa kita laksanakan. Bukan untuk apa-apa. Tapi ini untuk melatih kesiap-siagaan penyidik di kemudian hari. Kalau tidak siap dan terlambat datang ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) apa jadinya TKP?”

Ada tiga siswa dari instansi lain yang kedapatan tidak siap. Masih pakai celana pendek, sandal, bahkan ada yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Oleh Kabag Binsis mereka tidak dimarahi. Cuma ditanyakan alasan ketidaksiapan mereka. Di peleton kami yang berjumlah 27 orang, semua kompak memakai jaket, celana training, dan topi Pusdik.

Sampai tulisan ini dibuat masih terbayang suasana ribut saat alarm stelling itu. Masih lekat dibenak pula anggota detasemen pemberantas teroris itu menembakkan peluru hampanya ke atas atau ke bawah sebegitu dekatnya dengan saya. Saya pernah baca referensi kalau penggunaan peluru hampa pun tidak bisa buat main-main.

Di tahun 1984, seorang bintang film tewas saat pembuatan film ketika ia menodongkan senjata api ke kepalanya sendiri. Dekat sekali. Walaupun peluru hampa ini tidak berproyektil dan suaranya saja yang bising tapi tetap dapat membunuh manusia.

Satu lagi di tahun 1993, kasus anaknya Bruce Lee, Brandon Lee, yang menggunakan peluru hampa tapi bedanya pelurunya itu masih berproyektil walau mesiunya sudah dikosongkan. Tapi ternyata di selongsongnya masih ada sisa-sisa mesiu jadi ketika ditumbuk oleh pemicu masih mengakibatkan pembakaran dan mendorong proyektil keluar dari senapan. Perut pemeran utama The Crow itu koyak. Mengerikan.

Mengakhiri apel dini hari itu AKBP Untung Basuki memimpin yel-yel di hadapan 400-an siswa.
AKBP: Penyidik!!!!
Siswa: Hukum adalah panglima!!!

AKBP: Penyidik!!!
Siswa: Tegakkan hukum walau langit runtuh!!!

AKBP: Penyidik!!!
Siswa: Jeli bagai rajawali, tangkas bagai macan kumbang, tangguh bagai batu karang!!!

Satu ledakan seperti petasan di hajatan orang Betawi tapi lebih dahsyat lagi terdengar untuk terakhir kalinya sebagai penutup alarm stelling. Dan kami masih dua pekan lagi di sini.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08 Mei 2015

Advertisement

One thought on “RIHLAH RIZA #61: Diserbu Densus 88

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.