AISHWARYA RAI, BIDADARI ITU


Riza Almanfaluthi

Kyai tua itu duduk-duduk di depan teras masjid sambil memandang ufuk timur yang penuh semburat mentari pagi. Posisi masjid yang lebih tinggi dan berada di atas tebing membuatnya leluasa untuk memandang pesona alam.

Halimun masih saja menyelimuti atap-atap rumah penduduk desa di bawah sana. Kicau burung membahana diiringi gemericik air pancuran yang berada di samping masjid itu. Ada geliat para petani menuju sawah dengan cangkul yang tergantung di pundak masing-masing.

Benar-benar deskripsi klasik dari sebuah pemandangan pedesaan bumi Pasundan. Semuanya terukir jelas pagi itu. Pagi yang seperti biasa ia lalui bertahun-tahun ini dengan zikir-zikir Almatsurat usai subuh yang terlontar dari mulutnya dan mulut para santrinya.

Setelah itu ia akan sendiri duduk-duduk di teras masjid dengan mushaf berada di pangkuannya. Membiarkan cahaya memandikan dirinya. Menghangatkan tubuhnya yang mulai merenta hingga duha jelang. Sedangkan para santrinya sekarang mulai mengisi kekosongan pagi itu dengan aktivitas rutin.

Tapi ada salah satu santri tetap tidak…

View original post 1,107 more words

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.