Sang A itu Aku
Di sebuah senja yang kehilangan merahnya karena gerimis yang cemburu, di sebuah kerumitan yang tak mudah terurai dalam kepadatan gerbong KRL, sang B, petang ini pulang menunggang lelah. Di selatan yang jauh dan biru, sang A, berdiri di sebuah stasiun sambil bersyukur, “Ah, kereta tadi kosong nian.”
Lalu ada yang mengejutkan ingatannya, bahwa ia harus mengirimkan sesuatu pada Sang B. Pesan maya terbang dari ujung handphonenya menuju pemancar terdekat, lalu ke langit, menuju angkasa, menuju sebuah satelit dan mengirimkan kembali kepada sebuah pemancar penerima, dan terbentuk sebuah tulisan di layar handphone Sang B. Saling berbalas.
Sang A : Sudah di mana?
Sang B : Baru di Manggarai?
Sang A : Lagi berdiri atau duduk?
Sang B : Ya pasti berdirilah. Hari gene duduk? Ngimpi kali.
Sang A : Kenapa tak berdiri di ruang hatiku saja? Tak ada mimpi di sana.
Sang B : Gedubrak, plekenthus… hi…hi…hi…
Sang A : Tawamu mengisyaratkan putik yang jatuh di tanah basah
Sang B : Preketieewwww
Sang A : Itu cuma buih di pantai putih pikiranku.
Sang B : &$&*#))*)(%$)(*
*
Sang A : Aku
Sang B : Kamu
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
17.58 03 Februari 2011